Jumat, 10 Mei 2019

PENGERTIAN NASKAH DAN TEKS SERTA SITUASI PERNASKAHAN DI INDONESIA

BAB III
PENGERTIAN NASKAH DAN TEKS SERTA SITUASI
PERNASKAHAN DI INDONESIA

Sebelum masuk pada penjelasan edisi naskah dan langkah kerjanya: kritik teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang menjadi inti penelitian filologi, Anda lebih dahulu harus mengerti perbedaan antara naskah dan teks. Kedua istilah itu dalam filologi dibedakan. Pada bagian ini kedua istilah itu akan diuraikan pengertiannya dengan agak terperinci disertai dengan contoh. Contoh sangat berguna untuk Anda agar pemahaman yang diterima benar-benar konkret.
Di samping pengertian naskah dan teks, pada bagian ini akan dijelaskan pula situasi pernaskahan di Indonesia. Pengertian naskah di Indonesia mengacu pada berbagai naskah daerah yang terdapat di Indonesia. Tiap daerah di Indonesia mempunyai keunikan naskah tersendiri yang ditandai dengan pemakaian alas naskah, aksara, dan bahasa daerah masing-masing. Dengan aksara dan bahasa daerah itulah sebuah teks ditulis. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi sangat kaya dengan pernaskahan. Situasi pernaskahan di Indonesia yang akan diuraikan pada kesempatan ini hanya sebatas pada gambaran sekilas tentang bahan yang digunakan untuk menulis teks, isi teks, dan beberapa tempat yang penyimpanan naskah-naskah berbagai daerah di Indonesia (Nusantara).
Setelah mempelajari materi ini diharapkan Anda dapat menjelaskan:
1.      perbedaan makna istilah naskah dan teks sebagai suatu istilah dalam kajian filologi.
2.       situasi dari aksara pernaskahan di Indonesia.

Agar uraian ini lebih lengkap, dalam materi ini diberikan beberapa contoh aksara daerah dan beberapa keunikan naskah yang disertai dengan ilustrasi (gambar). Berhubung naskah Nusantara sangat banyak, dalam bagian ini akan diuraikan tujuh daerah saja. Hal itu bukan berarti hanya tujuh daerah itu saja yang memiliki naskah. Pemilihan itu terbatas pada kemudahan pencarian data penelitian. Pernaskahan ketujuh daerah itu adalah naskah Melayu, naskah Batak, naskah Lampung, naskah Bugis (Sulawesi Selatan), naskah Jawa, naskah Sunda, dan naskah di Bima.

A.       Pengertian Naskah dan Teks
Saat Anda mempelajari filologi dan Anda niendengar kata naskah, apa yang muncul dalam benak Anda? Apakah naskah drama, naskah pidato, atau naskah buku yang siap dicetak? Kalau kata-kata itu yang muncul, berarti Anda salah dan Anda harus menyingkirkan pengertian vang seperti itu beberapa lama karena dalam filologi istilah naskah berbeda dengan pengertian di atas. Kalau begitu apa yang dimaksud dengan naskah?
Dalam filologi naskah dibedakan pengertiannya dengan teks. Teks adalah apa yang terdapat di dalam naskah, yaitu isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya, kumpulan kertasnya. Di bavvah ini akan diuraikan perbedaan kedua istilah tersebut dengan lebih terperinci.


1.      Pengertian Naskah
Istilah naskah dalam filologi adalah terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata itu pada awalnya dipakai dalam hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis karena kata itu pada dasarnya berarti 'teras batang pohon'. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Naskah dalam pengertian itu adalah hasil tulisan tangan yang berasal dari abad yang lalu sebelum dikenal mesin cetak (Mulyadi 1994:1). Ada pakar yang menyebutkan bahwa batas minimal suatu tulisan tangan dikatakan naskah jika telah berumur di atas 100 tahun.
Sebenarnya istilah naskah seperti yang dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah karangan yang ditulis tangan. Pengertian itu sangat umum tidak mementingkan apakah tulisan tangan ituTarna atau bam. Pada perkembangannya kemudian is rilahitu dalam filologi telah mengalami pergeseran berupa penyempitan arti sehingga kata itu hanya mempunyai pengertian sebagai karya yang ditulis tangan dan berasal dari abad yang lalu. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian filologi tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada naskah cetakan. Namun, tujuan yang hendak dicapai sama dengan filologi.
Baried (1985:54) mendef iniskan naskah sebagai tulisan tangan yangmenyimpan berbagaiungkapanpikiran dan perasaan sebagai hasilbudayabangsa masa lampau.
Dalam bahasa Belanda, naskah disebut handschrift dan handschriften bentuk jamakriya yang sering disingkat dengan hss. Dalam,bahasa Inggris naskah disebut manuscript dan manuscripts adalah bentuk jamaknya yang sering disingkat dengan, mss. Dalam bahasa Indonesia istilah itu cukup disebut dengan naskah saja atau kadahg-kadang ada yang menyebutnya dengan manuskrip (ditulis sudah dengan ejaan bahasa Indonesia). Dalam buku yang sama Zoetmulder mengatakan bahwa khusus untuk naskah Jawa Kuna, naskah disebut haras. Naskah Jawa memakai lontar dan kertas. tradisional yang disebut dluwang. Tentu saja kertas Eropa juga dipakai dalam naskah Jawa.,
Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa naskah mengacu pada bahan atau alas tulis naskah merupakan bentuk fisik atau bentuk konkret, benda yang dapat dipegang atau dilihat.
Di Indonesia berbagli daerah menggunakan bahan yang berbeda untuk menuangkan ide pikirannya ke dalam bentuk naskah-Ada yang menggunakan Iontar (naskah yang berasal dari sejenispohonpalma), kertas (kertas tradisional dan kertasEropa),kuhtbinatahg, kayu, dan batu.Pahkanbeberapanegara mempunyai kekhasart dalam penggunaan naskah sebagai bahan. Gaur (1974:4—9), di antaranya, menguraikan bahwa berbagai tulisan ada yang diabadikan di atas bambu, seperti di Cina; daunpalma digunakan di India dan '&«a Tenggara; papiras digunakan di Mesh"; baja, linen, dan sutra serta perkamenidjgimaj&jm di Iran dan bagian timur lainnya; di sampmg itu rnasih ada juga beberapa iilisan yang ditulis di atas batu-batuan, hiking, gading,. dan kulit binatang.
Jika naskah juga menggunakan batu sebagai alat tulis, kemudian timbul pertariyaan dalam benak Anda, apa bedahya naskah dengan prasasti karena, prasasti juga ditulis di atas batu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Baried ada tigabutir yang dapat membedakan naskah dan prasasti.
Pertama, naskah pada umumnya panjang karena ia dapat berbentuk cerita, sedangkan prasasti umumnya pendek karena ia hanya memuat soal-soal yang ringkas. Kedua, prasasti umumnya menyebutkannama penulisnya bahkan lengkap dengan angka tahun, tetapi dalam naskah umumnyaanonim dan tanpa penyebutan tahun penulisan. Kebga, naskah biasanya beriurhlah banyak karena ia disahkan beberapa kali, sedangkan prasasti tidak disaliniagi. .
Selain dari bahan yang dipakai sebagai sarana tulisan seperti yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya apasaja yang menjadi bagian atau unsur-unsur dalam naskah? Yang terlihat pada kita adalah naskah dalam wujud fisiknya, seperti kertas. Namun, sebenarnya banyak unsur yang dapatdikaji dajamhaskah, yakni semua hal yang berhubungan dengan bahan itu, misalnya alat-alat yang dipakai untuk menulis, seperti, tinta;pensile dan pena, alas, tulis (seperti.kertas yang meirtiliki cap kertas dan lontar), huruf, ilustrasi, uurrunasi (gambaf), penjilidan, dan inf orrnasi Iain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tinta ada yang dibuat dari bahan-bahan tradisional, yaitu dari berbagai tumbuhan bahkan datah bihatang, ada juga tinta Eropa. Demikian juga dengan alat tulis, di beberapa daerahhdi dari pohon aren atau enau digunakan sebagai alat tulis, tetapi ada juga yang sudah menggunakan alat tulis yang dibuat oleh orang Eropa. Kajian dari proses pembuatan naskah itu merupakan bidang kajian tersendiri, yaitu kajian pernaskahan atau istilahnya kajian kodikologi. Mulyadi (1994) mengatakan bahwa ilmu pernaskahan adalah ilmu yang mengkaji naskah, bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Tugas yang dilakukan bidang kajian ini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat (skrip torium),
masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah. Informasi yang lebih mendalam tentang naskah ini akan dibahas dalam modul4, yaitu tentang kodikologi atau ilmu penaskahan. Penelitian , kodikologi belum berkembangdi Indonesia, tetapi sudah mulai dirintis, seperti Maria Indra Rukmi (1997) Penyaiinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari segi kodikologi dan I Kuntara Wiryamartana (BKI:149, 1993) The Scriptoria in The. Merbabu Area.

2.      Pengertian Teks

Kalau naskah adalah bentuk fisik yang dapat dipegang, teks adalah isi yang ada dalam bentuk fisik itu yang umumnya berupa id&4de atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Untuk memperjelas definisi itu dikutip kembali apa yang disampaikan Baried (1985;56) tentang teks. Ia mengatakan bahwa teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstraknya yang hanya dapat dibayangkan
saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila terdapafnaskah yang muda, tetapi mengandung teks yang tua. Ilustrasi yang dibuat oleh Muiyadi (1994:3) berikut ini diharapkan dapat memperjelas perbedaan antara naskah dan teks. Satu naskah dapat saja terdiriatas, beberapa teks, umpamanya naskah yang berjudul Syair PerangKalwungu bernomor ML198F yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasiohal (Sutaarga dan Jusuf et. al: 1972:241). Dalam naskah itu terdapat enam teks, yaitu (1) Hikayat Maharaja Ali, hlm.l -33 ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi) (2) Hikayat, Darma Taisiah, him. 33-42 juga ditulis dengan huruf Jawi, (3) Hikayat Abu Samah hlm.43-67 ditulis dengan huruf Latin, (4) Syair Kumkuma/ hlm 68-71 ditulis dengan huruf Latin, (5) Hikayat ]entayu, h]m. 71 85, ditulis dengan huruf Latin,dan (6) Syair Perang Kaliwungu, hlm.86 174, juga ditulis dengan huruf Latin. "
Sebaliknya satu teks dapat ditulis dalam beberapa naskah. Misalnya Hikayat Negeri Johor ditulis dalam 8 naskah (Mu'jizah, 1996), Naskah dengan judul Hikayat Negeri Johor itu ada dua buah yang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, yaitu naskah W. 192 dan haskah W 196 Jtfaskah dengan judul yang sama terdapat juga tiga buah dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belahda, yaitu bernomor Cod. Or; 1741, Cod. Qr3322,.dan H.24. Perpustakaan SQAS (School of Oriental and Affrican Studies), London, menyimpan dua naskah, yaitu nomor Ms.40507 dan norridr Ms. 297498, Perpustakaan Royal Asiatic Society (London, Inggris) menyimpan satu naskah Hikayat Negeri Johor dengan nomor Malay 10.
Mengapa hal seperti itu terjadi, teks yang sama ditulis dalam beberapa naskah atau dalam satu naskah terdapat beberapa teks, seperti yang dicontohkan di atas? Jawabannya adalah bahwa proses terjadinya sebuah naskah atau teks kadangkala sangat rumit. Kerumitan itu terjadi karena naskah ditulis tangan sehingga produksinya tidak banyak, tidak sama dengan mesin cetak, satu teks dicetak langsung dalam ratusan naskah (eksemplar).
Berikut ini digambarkan contoh terjadinya sebuah naskah atau teks. Suatu teks dari karya seorang pengarang kadangkala tidak berhenti setelah teks itu dicipta menjadi sebuah naskah. Kadangkala teks tersebut menempuh perjalanan yang panjang. Suatu teks yang sudah dicipta kadangkala dijadikan dasar atau sumber bagi penciptaan teks yang baru yang benar-benar sama dengan aslinya. Namun, kadangkala teks itu tidak sama hasilnya atau berubah. Hal itu terjadi karena pada saat itu sang pencipta tidak hanya menulis dengan menggunakan satu sumber, tetapi beberapa sumber. Dari beberapa sumber itu, kemudian ia menggabungkannya menjadi sebuah teks baru. Pada saat itu, sang pencipta sudah menambah dan mengurangi teks yang ditulisnya sehingga terjadi teks yang sama sekali baru. Teks baru itu tercipta karena penulis sudah mulai menambahkan kreativitasnya ketika menulis. Berdasarkan hal itu, dalam filologi dikenal tradisi penyalinan teks, yaitu tradisi tertutup dan tradisi terbuka. Robson (1978:39 — 40) menyebutkanbahwa dalam tradisi terbuka penurunan naskah tidak terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja, sedangkan dalam tradisi tertutup penurunan naskah terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja. Hasil penyalinan dalam tradisi tertutup adalah teks yang sama (merupakan varian dari satu teks) dalam beberapa naskah, sedangkan hasil dalam penyalinan terbuka teks yang lain (versinya berbeda) terdapat dalam beberapa naskah.
Karena diturunkan dari satu teks ke teks lain, kadangkala terjadi kesalahan penulisan. Berdasarkan kesalahan inilah penurunan suatu teks dapat dilacak.
De Haan pada tahun 1973, melalui Robson (1978), menguraikan 3 (tiga) kemungkinan terjadinya suatu teks.
(1)   Aslinya teks hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita. Penurunan cerita terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte. Teks itu terjadi apabila seseorang ingin memiliki teks tersendiri. Setiap kali teks diturunkan terjadi variasi. Variasi itu terjadi selama pengarang menurunkan teksnya kepada seseorang karena setiap kali mendiktekan teks terjadi perkembangan cerita. Oleh sebab itu, variasi terjadi selama pengarang itu masih hidup.
(2)   Teks asli ada dalam bentuk tertulis yang bentuknya lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicu ri dan terjadilah cabang tradisi kedua atau ketiga di samping yang telah ada karena varian-varian pembawa cerita d'imasukkan. (3) Teks aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pemba waannya karena pengarang telah menentukan piiihan kata, urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat. Sehubungan dengan ketigahalitu, dalam penurunan teks dikenaljugacampuran horizontal (horizontal contamination) dan campuran vertikal (vertical contamination), Penurunan dalam campuran horizontal terjadi pada tradisi terbuka, sedangkan penurunan vertikal terjadi pada tradisi tertutup. Penurunan teks "dengan campuran horizontal terjadi jika penyalin tidak seialu menyalin teks dari satu contoh saja. Hal itu terjadi karena teksnya sering rnenunjukkan ketidaksempurnaan, maka penyalin mencari sumber-sumber lain dan penyalin mengambilnya juga sebagai sumber penyalinan. Kemudian ia memilih bacaan yang baik atau bagian-bagian tertentu yang menarik lain memasukannya ke dalam teks yang disalinnya. Penurunan teks dengan campuran vertikal adalah jika penyalin menyalin teks berdasarkan satu sumber saja. Penyalin dengan setia menyalin sumber itu apa adanya, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan dalam teks sumber tersebut. Hasilnya satu naskah yang hampir sama dengan naskah turunannya.
(a) contoh campuran horizontal
(b) contoh campuran vertikal
A

B
 


C
Setelah rrtengetahui tradisi penurunan teks, kita kembali pada esensi sebuah teks. Bagaimanakah bentuknya dan apa saja isinya? Kalau melihatbentuknya, teks dapat berbenmk puisi (tembang untuk Jawa, syair dan pantun untuk Melayu) dan prosa. Keduanya mempunyai aturan-aturan tertentu, pantun misalnya dalam teks Melayu terdiri atas 4 larik. Larik 1 dan 2 berisi sampir^an dan larik 3 serta 4 merupakan isinya. Pantun juga mempunyai rima tertentu a-b-a-b. Demikian pula dengan puisi (tembang) dalam teks Jawa yang mempunyai matra tertentu, misalnya mempunyai guru wilangan dan guru lagu.
Bentuk sebuah teks menarik untuk dikaji oleh masyarakat masa kini, begitu juga halnya dengan isi teks atau gagasan yang ada dalam sebuah teks. Apa yang dapat disumbangkan teks itu bagi kehidupan masyarakat saat ini? Banyak naskah Nusantara yang membicarakan sejarah masa lalu. Data itu sangat penting untuk merangkai sejarah suatu daerah, misalnya Hikayat Bandjar (Melayu) dapat dipakai untuk penyusi man sejarah daerah Banjarmasin, Sejarah Melayu dapat dipakai untuk penyusunan s ejarah masyarakat Melayu. Demikian juga dengan Hikayat Radja-Radja Pasai, i&i dalam hikayat itu dapat mengungkap dan mengidentifikasikan sebuah makam yang ada di daerah Pasai. Babad Buleleng dapat dipakai untuk mengungkap sejarah masyarakat Bali, Hikayat Dipati Ukur untuk melihat sejarah dan tokoh sejar. ah dari masyarakat Sunda, Kaba Minagkabau juga dapat mengungkap data tentang masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Masih sederet teks yang dapat mengungkap sejarah daerah masing-masing. Apakah daerah Anda kira-kira memiliki naskah sejenis itu? Kalau memilikinya, naskah itu menarik untuk diteliti karena di dalam naskah itu terdapat teks yang mengandung data sejarah masa lampauyang da pat dipakai untuk merekonstruksi sejarah masa kiniyang merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu. Akan tetapi, satu hal yang harus diingat dalam penggunaan tek s sebagai data sejarah, yaitu peneliti harus berhati-hati sekali walau bagaimana pun karya-karya tersebut sudah memadukan antara fakta dan fiksi, antara kenyataai y dan dunia rekaan. Untuk itu, diperlukan dokumen-dokumen lain sebagai pembanding untuk membuktikan unsur sejarahnya.
Anda masih mengingat cerita-cerita lucu peninggalan nenek moyang kita? Cerita Pak Belalan g berasal dari Melayu, Joko Bodo berasal dari Jawa, dan Si Kabayan dari Sunda. Cerita-cerita itu pada dasarnya bukan hanya bersif at menghibur karena kelucuan tingkah laku tokohnya, tetapi juga dapat bersifat mendidik pembaca. Sama halnya dengan cerita-cerita binatang yang sangat cerdik yang ditemukan dalam Hikayat Sang Kancil dan Hikayat Pelanduk Jenaka dari Melayu.
Selain kedua h al di atas, naskah undang-undang juga sangat penting diketahui karena kalau undang-undang itu digunakan dan penting pada masyarakat masa lampau berarti undang-undang itu penting juga diketahui bagi masyarakat masa kini. Dalamkhazanvh Melayu banyak ditemukannaskah-naskah seperti itu, Undang-Undang Malaka, Ado t-adatRaja Melayu, dan Undang-undang Palembang. Masyarakat Minangkabau pun memiliki undang-undang untuk mengatur segala aspek kehidupan masyara katnya di masa lalu, seperti Undang-undang Minangkabau.
Bahasa sebagai sarana pengungkap ide juga dapat diteiiti dalam teks-teks lama.
Bahasa dengan struktur yang bagaimana yang mereka gunakan dulu? Untuk
keperluan itu, beberapa pakar bahasa juga banyak yang tertarik dengan teks,
terutama untuk melihat sejarah perkembangan bahasa. Suwarso (1991) pernah
mengkaji struktur gramatika bahasa Melayu Jama dalam
Hikayat Abu Samah. Tiga
hal yang menjadi perhatiannya, yaitu (1) penggunaan partikel penghubung, seperti
mdka, kemudian maka, kalakian maka; (2) konstruksi kalirnat yang menggunakan
partikel
pun dan lah; (3) penggunaan klausa dan f rasa. Konstruksi seperti itu apakah
masih digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini? Hal itu merupakan pertanyaan
yang patut dijawab oleh pakar bahasa yang menekuni sejarah perkembangan suatu
baliasa.                                                                                 '
Naskah yang teksnya berisi masalah keagamaan juga sangat banyak diperha tikan peneliti, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dalam naskah keagamaan tersimpan sejarah pemikiran dan pandangan hidup suatu bangsa Kehidupan sastra keagamaan di Aceh pada abad ke-17, misalnya, banyak mengundangbeberapa peneliti karena di daerah itu hidup empat orang suf i yang terkenal, yaitu Shamsuddin as-Suma Irani, Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel, dan Nurudin ar-Raniri. Perdebatan pendapat di antara mereka tentang hubungan antara manusia dan Tuhan banyak direkam dalam karya-karya mereka. Abdul Hadi W.M. (1995), misalnya, tertarik dengan kehidupan Hamzah Fansuri dan kepenyairannya. Ia meneliti penyajr itu. Penelitiannya diberi judul Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Pitisi-pu isinya. Buku itu memberikan gambaranyang luas tentang penyair itu, mulai dari kehidupannya sampai dengan pemikiran-pemikirannya.
Teks-teks yang berbentuk cerita, seperti beberapa karya yang sudah disebutkan di atas banyak juga dikaji dengan berbagai pendekatan tergantung pada teksnya. Teks sastra misalnya dikaji dengan pendekatan struktural. Pendekatan ini lebih banyak menyoroti teknik penceritaan, misalnya alur, tokob dan penokohan, latar, sudut pandang. Kalau teks berbentuk puisi yang diteiiti biasanya gaya bahasa, perlambangan, dan rima, atau stilistikanya. Di samping itu, masih banyak lagi pendekatan lain yang dapat diterapkan. Berbagai kajian atas naskah dengan berbagai pendeka tan yang pernah diterapkan terhadap berbagai teks Nusantara akan dibahas khusus pada modul 6, yaitu aneka edisi naskah Nusantara dan kajiaroiya.
Setelah mengetahui uraian di atas, tentunya Anda yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga memiliki khazanah kesastraan dari masa lalu. Dari berbagai naskah itu banyak butir penting yang patut Anda gali untuk kepentingan daerah Anda masing-masing. Untuk itu, cobalah meneliti dan menggali isinya.
Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1)      Apa yang Anda ketahui tentang naskah?
2)      Jika Anda tertarik dengan naskah, apa saja yang dapat Anda kaji?
3)      Apa yang Anda ketahui tentang teks?


Petunjuk jawaban Latihan

Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu jawaban di bawah ini.
1)      Naskah merupakan terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata itu berarti 'teras batang pohon' dan dipakai dalam hubungan dengan penianfaatan kayu sebagai alat tulis. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu mengacu pada suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Dengan begitu, pengertian naskah dapat diartikan sebagai hasil tulisan tangan yang berasal dari abad lalu sebelum dikenal mesin percetakan. Tulisan tangan itu digoreskan di atas sebuah alas yang disebut dengan naskah. Alas naskah itu bermacam-macam bahan dasarnya, ada yang berasal dari kayu, kulit, bambu, dan kertas. Dengan begitu, naskah adalah sesuatu yang dapat dipegang dan bentuknya konkret. Dalam bahasa Belanda naskah disebut dengan handschrif, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan manuscript.
2)       Jika ingin mengkaji naskah, kita dapat memperhatikan beberapa unsur yang berhubungan dengan naskah, seperti alas naskah, alat yang dipakai untuk menulis, huruf, cap kertas, ilustrasi, iluminasi, penjilidan, sejarah pernaskahan, penyalin, dan tempat-tempat penyalinan (skriptorium), serta informasi lain yang ada di luar isi naskah.
3)      Yang dimaksud dengan teks adalah isi naskah atau kandungan yang ada dalam naskah, yaitu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Teks adalah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Dalam bagian ini diuraikan dua istilah dasar yang dikenal dalam filologi. Kedua istilah itu adalah naskah dan teks. Naskah adalah hal yang konkret yang dapat dipegang, misalnya alas tulis (kertas) yang dipakai untuk menulis. Di atas alas itulah seorang pengarang menuangkan gagasan-gagasannya.
Yang menjadi unsur dalam naskah adalah hal yang berkaitan dengan fisik naskah, misalnya alas naskah yang digunakan (kertas, kayu, bambu), tinte, pensil, dan pena, huruf, kolofon, ilustrasi,  Uuminasi (gambar), penjilidan, dan informasi lain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tugas yang dilakukan bidang kajianini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat- tempat penyalinan naskah (skriptorium), masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Teks adalah isi atau kandungan yang ada dalam naskah. Kandungan itu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Oleh sebab itu,Uiksbersifatabstrakyanghanyadapatdibayangkansaja.Teksbermacam-macam, ada yang berisi sejarah, keagamaan, bahasa, cerita, silsilah, adat-istiadat. Dalam kajian teks digunakan berbagai pendekatan sesuai dengan sifat teks.
Indonesia terdiri atas berbagai daerah dengan ragam bahasa dan aksaranya. Dengan demikian Indonesia sangat kaya dengan naskah. Di Sumatra terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Demikian pula di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau Jawa memiliki naskah di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali naskah masih terus dibuat di hampir seluruh daerah. Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
Dari sekian banyak kekayaan pernaskahan Indonesia, di mana sajakah naskah tersebut disimpan? Pada saat ini naskah-naskah di atas penyimpanannya yang pasti tersebar di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri naskah-naskah daerah disimpan di berbagai perpustakaan dan lembaga resmi milik pemerintah dan swasta. Selain itu, beberapa penduduk atau perorangan juga memiliki naskah yang mereka simpan di rumah mereka. Naskah yang mereka miliki biasanya merupakan warisan dari orang-orang tua mereka terdahul. Naskah yang disimpan dan menjadi milik lembaga pemerintah atau swasta mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan pemeliharaannya. Mereka sudah memperhatikan pemeliharaan itu dan mereka mempunyai dana khusus untuk keperluan itu. Namun, naskah yang menjadi milik pribadi atau perorangan yang tersebar luas di masyarakat inilah yang sangat mengkhawatirkan. Naskah yang harus disimpan di tempat khusus, disimpan di tempat yang tidak layak untuk naskah. Bahkan ada yang menyimpannya dengan membungkusnya dalam plastik. Dengan begitu, naskah menjadi cepat rusak. Naskah agar terpelihara dengan baik dan tidak cepat punah dimakan ngengat (sejenis serangga pemakan buku) disimpan pada suhu tertentu.Yang menyedihkan lagi sampai saat ini masyarakat berbagai daerah di Indonesia masih menganggap naskah itu sebagai barang keramat. Untuk membacanyasajaperludiadakahupacara. Akibatnya, naskah jarangdibuka sehingga kemushahannya semakin tinggi.
Jakarta, ibukota negara, mempunyai satu tempat penyimpanan naskah, yakni Perpustakaan Nasional. Berbagai naskah daerah disimpan di perpustakaan ini dengan a man. Di tempat itu disimpan 9.626 naskah yang ditulis dalam berbagai bahasa dan aksara, seperti Aceh, Bali, Batak, Jawa,Jawa Kuna, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate.
Perpustakaan Nasional, saat ini, terletak di Jalan Salemba Rava, Jakarta. Pemakaiannya baru diresmikan pada tahun 1989. Perpustakaan itu memiliki ruang khusus di lantai V yang menyimpan berbagai naskah daerah tersebut. Naskah-naskah itu sebelumnya disimpan di Perpustakaan Museum Pusat atau Gedung Gadjah, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Naskah itu pada awalnya milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen. Dalam Pedcman Singkat Mengoendjoengi Moeseoem (1948:7 — 33) dijelaskan bahwa pada akhir abad XVII di Eropa tampak adanya suatu kegiatan dan pembaruan dalam bidang ilmu. Sehubungan dengan itu, di berbagai negara didirikan perkumpulan-perkumpulan sarjana. Dari perkumpulan yang ada di Belanda didirikan satu cabang di Batavia (Jakarta) tahun 1778, yaitu Bataviaasch Genootsclmp van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Van Ronkel (1909:1 — IV) koleksi naskah di gedung itu berasal dari berbagai sumber, di antaranya adalah naskah-naskah yang disusun dalam katalogus Cohen Stuart tahun 1871. Pada tahun 1875 koleksi bertambah lagi. Tambahan itu dibuat daftarnya oleh Van den Berg. Di samping itu, Von de Wall juga menghibahkan koleksmya ke perpustakaan tersebut di atas.
Bukan hanya di dalamnegeri saja naskah-naskah Indonesia disimpan, melainkan juga di luar negeri, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Amerika, Jerman, dan Malaysia. Bagaimana naskah-naskah itu sampai tersebar ke berbagai negara di atas? Penyebaran naskah itu dilakukan dengan berbagai cara. Inggris misalnya, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pernah menjajah sebagian kawasan .Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan sejarah masa lampau itulah naskah-naskah dari kedua negara itu sangat banyak dikoleksi di negara itu. Naskah-naskah yang tersimpan di Inggris dicatat dengan teliti dalam katalog vang disusun oleh Ricklefs dan Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collection. Dalam katalogus itu tercatat 1.200 naskah yang disimpan pada tempat yang tersebar di kota-kota di negara itu, di antaranya Bristol, London, Cambridge, Eidenburgh, Manchester, Oxford, dan Glasgow.
Sama halnya dengan Inggris, Belanda pun pernah menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, naskah-naskah Indonesia sangat banyak tersimpan di sana. Katalog yang mencatat naskah-naskah Indonesia di Belanda, di antaranya katalog yang disusun oleh Juynboll (1899), Catalogus van de Maleische' en Sundaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotlieek dan katalog yang disusun oleh Van Ronkel (1909) Catalogus der Maleische en Minangkabausclie Handschriften in de Ixidsdie Universiteits-
Bibliotheek. Katalog yang paling baru yang mencatat koleksi naskah di Belanda adalah yang disunting oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts: In the Library of Leiden University and other Collections in the Netherlands. Naskah-naskah yang dicatat dalam katalog itu disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Selain di tempat itu, Perpustakaan KITLV ( Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde) juga merupakan tempat penyimpanan naskah-naskah Indonesia di Belanda.
Untuk mengetahui naskah kekayaan Indonesia, berikut ini diuraikan beberapa situasi pernaskahan daerah. Karena beragamnya naskah daerah, dalam bagian ini hanya akan diuraikan beberapa daerah saja. Seperti yang sudah diuraikan di atas daerah di Indonesia sangat banyak yang memiliki naskah. Dalam uraian ini diambil beberapa naskah daerah yang pernah diteiiti oleh pakar. Berdasarkan penelitian itulah situasi pernaskahan disusun. Naskah itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis, Jawa, Sunda, dan E5ima. Bahasa Melayu penyebarannya sangat luas sehingga terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, naskah Melayu akan diuraikan pada bagian awal, kemudian disusul dengan beberapa daerah lain.

3.      Pernaskahan Nusantara
a.      Naskah Melayu

Bahasa Melayu tersebar di berbagai daerah, seperti di Aceh, Minangkabau, Siak, Riau, Palembang, Bengkulu, Jakarta, dan Bima. Masing-masing daerah itu memiliki naskah yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Oleh karena tempat asalnya berbeda, penyebaran dan penyimpanannya pun tersebar di berbagai tempat. Ada yang disimpan di berbagai perpustakaan, museum, dan di rumah penduduk sebagai milik pribadi yang merupakan warisan dari para orang tua mereka. Penyimpanan terbesar yang ada di Indonesia untuk naskah Melayu adalah Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan di luar negeri adalah Perpustakaan Universi­tas Leiden, Belanda.
Untuk mengetahui jumlah naskah Melayu, biasanya masing-masing tempat penyimpanan naskah membuat daftar atau katalog naskah. Perpustakaan Nasional menerbitkan katalog terbaru tahun 1998 yang memuat seluruh koleksinya dari berbagai bahasa. Katalog itu berjudul Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Mid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Obor dan Eeole Francaise d'Extreme-Orient. Sebelumnya para peneliti masih berpegang pada katalog yang diterbitkan oleh Sutaarga yang berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, 1972. Katalog itu disusun berdasarkan katalog tertua yang disusun oleh Van Ronkel (1909), Catalogus der Maleische Handschriften in het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Ding Choo Ming (1986) naskah Melayu sebagian besar berasal dari salinan abad ke-19 meskipun ada beberapa naskah yang lebih tua dari abad itu disimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge dan Perpustakaan Universitas Oxford. Hal itu diketahui melalui daf tar-daf tar naskahyang dibuat oleh F. Valentijn. Sayangnya, naskah yang disebutkan dalam daf tar tersebut sudah ada beberapa yang hiiang. Hilangnya satu atau beberapa naskah dalam pernaskahan Melayu dapat terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja. Rusaknya naskah karena bahan naskah terlalu tua tidak dapat dihindari, tetapi penghancuran naskah dengan sengaja kadangkala terjadi. Peristiwa seperti itu misalnya terjadi pada masa kesultanan Melayu di Pasai atau di Aceh,. yaitu pembakaran naskah. Karya-karya Shamsuddin Pasai pada abad ke-17 sengaja dibakar di Aceh karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran Nuruddin ar-Raniri.
Dalam kondisi yang seperti itu satu keuntungan bagi naskah Melayu adalah dengan hadirnya beberapa orang Eropa ke Nusantara. Karena mereka, banyak naskah yang aman tersimpan dalam berbagai koleksi, terutama di Eropa. Hal itu terjadi karena sambil menjalankan tugas pemerintahan mereka belajar bahasa Melayu. Sambil belajar bahasa,merekatertarik dengan naskah yangmereka pelajari. Oleh karena itu, mereka mengoleksi dan memeliharanya selama dua abad sehingga naskah tersebut aman sampai saat ini. Akan tetapi, sayangnya tempat koleksi itu sangat teisebar, misalnya di Inggris, Belanda, Malaysia, dan Jerman sehingga peneliti agak sulit menjangkaunya.
Mengapa naskah Melayu itu tersebar di negara-negara tersebut? Penyebaran tersebut terjadi seiring dengan hadirnya pemerintah kolonial di tanah Melayu misalnya Riau. Riau pada zaman dahulu jaya sebagai kemaharajaan Melayu dart kerajaan Riau-Lingga pernah menjadi pusatnya. Pada masa lalu di tempat itu penyalinan dan penciptaan naskah turnbuh subur. Kerajaan menjadi pusat kegiatan kesastiaan. Di tempat itulah naskah banyak disalin. Roorda van Eysinga datang ke daerah itu ingin belajar bahasa Melayu Beberapa tahun kemudian ia sudah mahir mempelajari bahasa dan kesastraan Melayu. Ia pun kemudian mengoleksi beberapa naskah tersebut. Untuk koleksinya, mereka bukan hanya meminta penyalin lokal untuk menulis, tetapi juga penyalin Eropa. Untuk koleksi, mereka juga membeli naskah. Kegiatan seperti itu sudah tersebar di beberapa bagian tanah air seperti Von de Wall dan A.L. van Hasselt di Riau, Crawford di Penang, Malaka, dan General Sekretariat di Batavia. Naskah salinan General Sekretariat banyak dikirim ke Akademi Delf sebagai bahan pelajaran bahasa Melayu bagi mereka yang akan ditugasi ke tanah jajahan.
Berapa kiranya jumlah seluruh naskah Melayu yang tempat penyimpanannya tersebar? Meskipun berbagai katalog. bibliografi, dan daftar naskah sudah dibuat, tetapi beium ada satu pun yang menyebutkan jumlah yang sama dari seluruh naskah tersebut. Beberapa peneliti berusaha menghitung naskah itu, di antaranya Ismail Hussein yang menyebutkan jumiahnya 5.000 naskah, Chambert-Loir mengatakan 4.000 naskah yang tersebai di 26 negara, dan Russel Jones mengatakan jumiahnya 10.000 naskah.
Tampaknya hampir seluruh naskah lelayu itu ditulis dengan dua aksara, yaitu aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu agaknya hanya mengenai kertas sebagai alas tubs. Berikut ini dicontohkan aksara Arab Melayu yang dipakai dalam naskah. Tabel di bawah ini berisi 4 bentuk pemakaian dari setiap aksara (Hollander, 1984:6 - 7)









Aksara Arab Melayu (Jawi)



Bagairnana dengan isi teks yang terkandung dalam naskah Melayu? Isi yang ada di dalamnya sangat beragam. Kalau melihatpembagian yang pernah dilakukan Liaw Yock Fang (1991, Jilid I dan II), naskah Melayu dapat diklasifikasi menjadi 10. Sepuluh kelompok itu adalah kesusastraan rakyat, epos India dan sastra wayang, cerita psnji, kesusastraan zaman Islam, cerita berbingkai, sastra kitab, sastra sejarah, undang-undang Melayu, dan pantun serta syair.
Dari masing-masing kelompok itu sastra Melayu memiliki karya-karya puncak atau karya yang populer di masyarakat pendukungnya. Misalnya dalam cerita panji, orang pasti mengenai Hikayat Panji Semirang. Dalam sastra kitab diketahui karya Flamzah Fansuri yang berjudul Syair Perahu. Sejarah Melayu merupakan karya yang populer yang tidak pernah berhenti diteiiti hingga saat ini. Sama halnya dengan cerita berbingkai, yaitu Cerita Seribu Satu Malum hingga saat ini masih terus diceritakan kembali dalam bahasa yang populer agar akrab dengan pembaca saat ini.

b.      Pernaskahan Batak
Masyarakat Batak tinggal di Sumatra Utara.Kalau, mendengar kelompok masyarakat ini, kita langsung terjngatpada beberapa nama marga yang sangat kuat melekat pada nama-nama masyarakat pendukungnya sehingga mereka dapat dengan cepat diidentifikasi sebagai mayarakat Batak. Kita mengenai beberapa marga, di antaranya Nababan, Nasution, Sembiring, dan Tarigan. Suku Batak Toba dan Karo merupakaninduk dari beberapa marga di daerah itu. Mereka menggunakan bahasa Batak dengan berbagai dialeknya. Bahasa itu pada masa lalu menggunakan aksara khas masyarakat tersebut, yaitu aksara Batak. Beberapa peneliti pernah membahas pernaskahan Batak di antaranya K.F. Holle (1882), Voorhoeve (1927— 1985), Uh Kozok (1991 dan 1996).
Masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak dengan empat dialek. Dialek Karo dipakai oleh orang Karo; dialek Pakpak dipakai oleh orang Pakpak; dialek Simalungun menjadi ragam bahasa orang Simalungun; dan dialek Toba dipakai oleh masyarakat Toba, Angkola, serta Mandailing. Di antara para peneliti ada pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain karena ada juga peneliti yang membagi bahasa tidak seperti di atas. Bahasa Mandailing, Angkola, dan Toba merupakan dialek-dialek tersendiri, tidak termasuk dialek Toba.
Naskah Batak yang menggunakan aksara Batak, seperti yang diungkap beberapa penelitian di atas, memiliki variasi karena di daerah itu tinggal beberapa suku Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Variasi dapat diketahui dari penyematan vokalnya. Ada usaha penyeragaman (Pudjiastuti, 1997:38) olehSuruhen Purba dari kelima variasi itu menjadi aksara Batak atau Surat Pustaha yang disempurnakan. Surat Pustaha yang disempurnakan inilah yang diajarkan kepada murid SD dan SMP sebagai aksara Batak yang sekarang. Di bawah ini dicontohkan variasi kelima aksara Batak dari Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Data ini diambil dari Pudjiastuti (1997:50).




Aksara Batak















Masih dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa aksara Batak itu ditulis di atas bahan atau alas naskah yang beragam. Yang paling terkenal dari naskah Batak adalah yang disebut pustaha yang berarti buku. Bentuknya seperti buku yang lembarannya bersambungan dan dilipat-lipat seperti sebuah akordeon
sejenis alat musik). Bahan utama naskah itu adalah kayu, yakni kayu alim yang banyak terdapat di daerah itu. Ternyata model naskah seperti itu terdapat juga di Cina, Jepang, Laos, dan Thailand. Selain kayu, bahan lain yang digunakan adalah bambu. Bambu yang digunakan dari jenis bambu betung. Naskah dengan bahan itu vang utama digunakan untuk menulis tanggal atau kalender (perlwlaun). Rotan, tulang binatang, kulit binatang, dan kertas juga merupakan bahan lain yang digunakan untuk naskah Batak.
 Kalau bahan atau alas naskahnya seperti yang disebutkan di atas, bagairnana dengan alat tulis yang digunakan? Karena alasnya berbeda, alat tulisnya juga berbeda ka rena alat tulis yang dipakai tergantung pada bahan naskah, lidi dari ijuk enau (iarugi) dan lidi dari pohon pakis (sampipil) digunakan untuk menulis naskah yang berasal dari kayu. Pisau kecil (panggorit) dipakai untuk menulis bahan yang keras, seperti tulang, bambu, rotan, dan tanduk binatang. Tinta dipakai untuk kertas. Tinta itu ada yang tradisional, dibuat dari berbagai tumbuhan, darahhewan, dan nunyak. Di samping itu, ada juga tinta yang berasal dari jelaga lampu. Baja, sejenis tinta, dihasilkan bukan dari jelaga lampu, tetapi dari jelaga kayu bakar. Tinta bervvarna dibuat dari campuran anggur dan cuka atau dari getah damar dicampur dengan minyak. Di samping tinta tradisional itu, dipakai juga tinta rmpor yang dipakai untuk menulis bahan dari kertas (Pudjiastuti, 1997).
Bahan-bahan di atas berhubungan dengan naskah, bagairnana dengan teksnya? Masai aii apa saja yang ada di dalam naskah itu? Kembali pada beberapa penelitian di atas,. kandungan naskah Batak juga sangatberagam, mulai dari cerita, ramalan, obat-obatan, jimat, kekuatan magis, beragam surat, undang-undang, dan sejarah. Namun, dari beberapa masalah itu yang terbanyak ditulis adalah jimat, obat-obatan, dan ramalan. Dalam koleksi naskah di London, ada naskah yang berisi obat-obatan, terutama cara menangkal racun dalam tubuh. Teks seperti itu terdapat dalam Tambar Simangaraprap dan Tambar Sirnanuwasah (Ms. Jav.C4) Teks seperti itu banyak ditemukan dalam naskah Batak dan biasanya disertai dengan beberapa ilustrasi, seperti Tambar (Ms. Jav. g.l). Ada juga naskah yang isinya tentang astrologi. Naskah itu Poda ni Pangarambui ari na tolu oulu (E. 5185).
Di rnanakah naskah-naskah tersebut di simpan? Tempat penyimpanan sangat tersebar, dalam dan luar negeri. Di dalam negeri tentunya kalangan masyarakat umum banyak yang menyimpannya sebagai milik pribadi. Lembaga formal juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Sumatra Utaia.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, banyak menyimpan naskah Batak yang berasal dari berbagai koleksi, di antaranya koleksi Cohen Stuart. Sayangnya, naskah-naskah itu sudah dimasukkan dalam katalog Perpustakaan Nasional yang terbaru (1998), tetapi belum dideskripsikan dengan memadai Di dalam buku itu baru daf'tar saja yang dimuat. Pendaftarannya diabjad berdasarkan judul naskah.
Perpustakaan luar negeri yang menyimpan di antaranya adalah Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda), beberapa perpustakaan di London (Inggris, seperti India Office Library dan Perpustakaan School of Oriental and African Studies, Perpustakaan Bodlein. Beberapa naskah yang disebutkan judulnya di atas adalah koleksi yang disimpan di London. Selain tempat itu, masih ada beberapa tempat lain di Inggris yang menyimpan naskah Batak.


c.       Pernaskahan Lampung
Lampung merupakan provinsi paling selatan di Pulau Sumatra, penduduknya yang ad a di daerah lampung, Komering, dan Krui menggunakan bahasa Lampung. Bahasa itu mempunyai beberapa dialek. Ada yang membaginya atas dialek abung dan dialek paminggir dan ada juga yang membaginya atas dialek Ny ou dan dialek Api. Masing-masing dialek terdiri atas beberapa logat.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Pudjiastuti (1995:60) naskah Lampung ditulis dengan aksara Lampung yang dikenal dengan had Lampung atau surat Lampung.Aksara Lampung jika dirunut dalam sejarah dapat dimasukkan dalam rumpun tulisan Kaganga. Menurut beberapa ahli, aksara itu mirip dengan aksara Rejang, Pasemah, Batak, dan Makasar. Bagi Hadikusuma (1988:18) aksara Lampung sebenarnya aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh Sumatra Selatan. Orang-orang tua di daerah Sumatra Selatan kadang-kadang menyebut aksara Lampung dengan "Surat Ulu" atau Surat Ugan". Namun, pada kenyataannya, sejak sebelum perang hingga kini, aksara itu hanya dipakai oleh orang Lampung. Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa aksara Lampung sebenarnya merupakan perkembangan dari aksara devanagari yang berasal dari India. Tulisan itu terdiri atas tigaunsur, yakniindukhuruf (kalabaisurat), anakhuruf atau tandabunyi (benah surat), dan.tanda baca. Sistem menulis aksara Lampung dimulai dari kiri ke kanan, sama halnya dengan tulisan Latin. Tulisan Lampung disebut juga dengan huruf Kaganga.
Dalam naskah Lampung, selain aksara Kaganga, ditemukan juga naskah yang ditulis dengan aksara Arab berbahasa Arab, aksara Jawi berbahasa Melayu, dan aksara Pegonberbahasa Lampung. Aksara Arab digunakan untuk menulis masalah agama Islam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di atas, bahan atau alas naskah yang digunakan untuk menulis aksara Lampung, hampir sama dengan Batak. Naskah yang alasnya dari kayu dibentuk seperti akordeon juga dibuat dari kayu halim. Di samping itu, bambu, rotan, dan kertas juga digunakan sebagai bahan naskah. Alat tulis yang digunakan adalah lidi (kemasi) dan pisau kecil yang runcing (lading lancip).Tintanya ada yang berasal dari tinta tradisional yang dibuat dari campuran buah deduruk, arang, dan getah kayu kuyung. Selain itu, tinta dapat juga dibuat dari campuran arang dan buah serdang.
Di bawah ini contoh aksara Lampung Lama yang terdiri atas 19 huruf (Pudjiastuti, 1995).
 



Perbandingan aksara Lampung dengan aksara daerah lain


Di mana sajakah naskah-naskah Lampung disimpan? Berdasarkan beberapa katalogus, kita ketahui bahwa naskah Lampung ada yang masih disimpan di rumah-rumah sebagai milik pribadi atau perorangan. Beberapa lembaga formal di daerah itu juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Lampung.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, tidak memiliki koleksi naskah Lampung karena tidak tercatat dalam katalog, 1998. Lain halnya dengan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Di tempat itu ditemukan beberapa naskah Lampung. Perpustakaan School of Oriental and African Studies dan India Office Library di London, Inggris, dalam katalognya mencatat beberapa naskah Lampung yang menjadi milik mereka. Dalam Ricklefs dan Voorhoeve dicatatsatu naskah Lampung yang terdapat dalam koleksi India Office Library, Surat Pantun cara Lampung (Malay A.4) yang berbentuk wayak, semacam pantun yang berpola a-b-a-b.
Isi naskah Lampung banyak ragamnya. Menurut Pudjiastuti, 1997, ada teks yang membicarakan mantra, doa, dan rajah (khajah). Di daerah itu dikenal mantra pekasih, mantra penolak bala, mantra pembenci, mantra untuk mengambil madu, dan mantra kekebalan. Doa juga banyak ditemukan dalam naskah tersebut. Doa disebut dengan memang. Sama halnya dengan mantra, memang juga terdapat dalam berbagai. ragam; ada memang untuk para bujang dan gadis agar dapat saling menyintai; memang untuk mengobati orang sakit; dan memang untuk memohon dan meminta kepada Tuhan. Ramalan, doa, dan primbon juga sering dibahas dalam naskah Lampung. Di samping itu, silsilah yang berisi daftar keturunan dari nenek moyang yang melahirkan penduduk di daerah itu. Di samping silsilah, hukum adat dan undang-undang juga ada.

d.             Pernaskahan Bugis dan Makasar
Di Sulawesi Selatan tinggal empat suku yang besar, suku Bugis (50 %), suku Makasar (30 %), suku Toraja (5 %), dan suku Mandar (5 %). Toraja masih hidup dalam tradisi lisan sehingga di daerah itu agaknya tidak ditemukan naskah. Suku lainnya banyak yang memiliki naskah yang mereka sebut dengan lontarak. Penyebutan itu lebih dikenal dalam naskah Bugis/Makasar. Penyebutan nama lontarak karena bahan naskah yang digunakan berasal dari lontar, yaitu bahan naskah yang dibuat dari sejenis daun palma dengan proses tertentu sehingga dapat ditulis. Alat tulisnya dapat berupa pisau kecil yang ujungnya sangat lancip. Dengan pisau itulah lontar yang sudah siap ditulis dipotong dengan ukuran tertentu kemudian baru ditulis. Setelah selesai, di atas tulisan itu diberi minyak yang berwarna hitam (biasanya campuran minyak dan kemiri yang sudah diolah kalau di Jawa). Lontar bukan satu-satunya alas tulis yang dikenal di daerah itu, kertas juga dikenal mereka.
Aksara Lontarak, berdasarkan pendapat beberapa peneliti, berasal dari aksara Pallawa. Akasaranya oleh masyarakat di daerah itu disebutnya aksara lontarak. Aksara itu dikenal juga dengan aksara Bugis/Makasar. Menurut penelitian Noorduyn aksara itu ditulis dengan berbagai variasi dan banyak pakar yang sudah menefctinya, seperti Raffles, Crawfurd, 'Ihomsen. Berikut ini dicontohkan aksara itu yang dicunbil dari penelitian Noorduyn (1993:539) dalam makalahnya yang berjudul Variation in the Bugis/Makasarese Script, yang diterbitkan dalam majalah BKl, 149. Apakah Anda mengenai akasara ini?

Aksara Bugis
 

















Naskah-naskah Sulawesi Selatan disimpan di beberapa lembaga formal dan di rumah perorangan yang menjadi milik pribadi. Naskah yang menjadi nulik pribadi biasanya sangat jarang dibuka, apalagi untuk diketahui isinya. Pembukaan naskah biasanya dilakukan dengan suatu upat ara khusus, hampir sama dengan kebanyakan naskah-naskah daerah lain di Indonesia. Karena jarang dibuka, banyak para pemilik yang baru sadar setelah melihat bahwa naskah sudah rusak ketika dalam waktu lama tidak dibuka. Cara penyimpanan naskah ini pun sangat menyedihkan karena disimpan di antara onggokan padi di rangkiang bersama dengan benda pustaka lain, seperti keris dan badik. Padahal kedua benda itu bahannya berbeda dengan lontar serta kertas. Lontar dan kertas memerlukan suhu tertentu di tempat penyimpanannya. Kondisi itu berbeda dengan tempat penyimpanan naskah yang ada di beberapa lembaga formal, seperti perpustakaan dan museum. Mereka sudah lebih layak menyimpannya meskipun tentunya belum memenuhi sy arat sepenuhnya untuk pemeliharaan naskah.
Naskah dari daerah itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan saja disimpan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, juga menyimpannya. Bahkan, beberapa perpustakaan di luar negeri seperti di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan beberapa perpustakaan di London, Inggris. Suatu peristiwa yakni pembakaran naskah yang sangat merugikan menimpa pernaskahan di daerah itu. Peristiwa itu terjadi pada masa DI/TII. Peristiwa pembakaran itu terjadi di beberapa daerah yang dikuasainya. Menurut Gani (1991:172) pada masa itu anggota gerombolan banyak yang merampas nakah-naskah peninggalan nenek moyang mereka yang disimpan para penduduk. Naskah itu dimusnahkan karena mereka menganggap penduduk menyembahnya. Dan penyembahan pada naskah itu disamakan dengan penyembahan berhala. Penyembahan seperti itubertentangan dengan ajaran agama Islam yang murni. Pada saat itu, memang pada kenyataannya para pemilik naskah sering melakukan upacara penghormatan terhadap naskah. Peristiwa itu menjadi semacam trauma bagi beberapa pemilik naskah di daerah itu sehingga dampaknya sampai saat ini masih terlihat. Kalau ada peneliti yang mencari atau akan meminjam naskah, mereka curiga bahwa mereka juga akan memusnahkan naskah yang masih ada. Oleh sebab itu, para peneliti harus pandai membujuk dan memberi keyakinan sehingga mereka dapat mengeluarkan naskah mereka.
Naskah yang berasal dari Sulawesi Selatan isinya sangat beragam. Kembali pada penelitian Gani (1991:171), ia mengelompokkan isi naskah tersebut atas delapan bidang ilmu yang uraiannya seperti di bawah ini.
(1)   Naskah yang berisi asal-usul atau silsilah raja-raja, keluarga bangsawan yang disebutnyaattoriolong. Naskahjenis inisangatbaikuntuk dijadikanbahan dalam penyusunan sejarah atau daftar silsilah. Dalam naskah yang semacam ini kadang-kadang ditemukan juga catatan-catatan peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam.
(2)   Lontarak bilang yang isinya hampir mirip dengan  ottoriolong, tetapi lebih terperinci dan lebih rumit. Naskah ini dapat dianggap sebagai catatan harian.
(3)   Nasihat yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat disebut pappangaja.
(4)   Ulu ada yaitu lontarak yang berisi berbagai perjanjian, terutama perjanjian yang bertalian dengan negara atau kerajaan.
(5)   Undang-undang atau peraturan yang berasal dari adat leluhur yang disebut sure bicara attoriolong.
(6)   Berbagai naskah yang isinya tentang obat-obatan yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan biasa digunakan oleh masyarakat setecnpat. Naskah berjenis ini disebut lontarak pabbura.
(7)   Lontarak palakia berisi tentang ilmu perbintangan (ilmu falaq).
Pada dasarnya berbagai jenis isi yang disebutkah di atas juga terdapat dalam naskah lain, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda. Hanya keunikan berbagai ragam isi naskah sudah dinamakan dalam bahasa asli Bugis.

e.               Pernaskahan Jawa
Naskah jawa tidak kalah kayanya jika dibandingkan dengan Melayu yang penyebarannya sangat luas di berbagai kepulauan Naskah Jawa juga tersebar di beberapa tempa t, tetapi terbatas pada Pvdau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Naskah itu ditemukan, di antaranya diCirebort, Solo, Surakarta, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Banten. Jumiahnya juga sangat besar. Behrend (1993:407) mengatakan 19.000 naskah Jawa yang penyimpanannya tersebar di beberapa lembaga di Indonesia dan Eropa, belum termasuk yang dikoleksi oleh perorangan. Naskah Jawa tersimpan hampir di 27 negara, di antaranya Indonesia, Inggris, Belanda, Rusiajerman, dan Itali. Di Indonesia penyimpanannya tersebar, seperti di Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Denpasar.
Bahasa yang digunakan ada tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru. Aksara yang digunakan dalam naskah yang berbahasa Jawa disebut aksara Jawa atau hanacaraka, sedangkan aksara Arab yang mtnggunakan bahasa Jawa disebut pegon. Naskah beraksara pegon biasanya ditulis di daerah Banten, Madura, dan Cirebon.
Contoh aksara Jawa (hanacaraka) diambil dari Simuh (1988:vii)












Bagairnana dengan bahan atau alas naskah? Masyarakat Jawa mengenai lontar sebagai alas naskah yang dibuat dari sejenis pohon palma. Bahan yang sama juga dipakai untuk naskah Bugis, Bali, dan Sunda. Alat tulisnya disebut pengutik, sedangkan tintanya dibuat dari minyak kemiri. Selain lontar, naskah Jawa juga ditulis di atas kertas baik kertas tradisional maupun kertas Eropa. Kertas tradisional disebut dluwang. Kertas ini dibuat dari bahan khusus dari kulit sebuah pohon yang kemudian diproses secara tradisional. Untuk menulis naskah yang berasal dari bahan itu adalah tinta. Tinta. itu ada yang dibuat secara tradisional.
Jika kita ingin mengetahui keragaman naskah Jawa, ada beberapa katalog yang dapat dipakai untuk mengecek kekayaan naskah itu. Dalam Caraka no .4 disebutkan beberapa katalog yang mendeskripsikan keadaan naskah Jawa. Katalog yang paling lengkap dan sering dipakai, di antaranya Juynboll, 1907, dengan judul Supplement of den catalogus van de Javaansche en Madoeresche Handschriften der Leidsclte Universiteits Bibliotheek. Katalog Nikolaus Girardet yang diterbitkan pada tahun 1983 yang berjudul Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and Printed Book in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Bagairnana dengan isi naskah? 'Naskah Jawa sangat kaya, sesuai dengan perkembangan kebudayaannya yang dilatarbelakangi oleh agama Hindu, Budha, dan Islam. Sehubungan dengan itu, isi yang ada dalam naskah juga sangat beragam, di antaranya obat-obatan, primbon, cerita panji, cerita wayang, sastra sejarah, dan masih banyak yang lainnya. Pada bagian ini hanya dicontohkan beberapa karya sastra sejarah, primbon, dan cerita panji.
Dalam sastra Jawa, banyak sekali ditemukan sastra sejarah. Anda tentu pernah mendengar Babad Tanah Jawi. Karya itu sangat terkenal. Kata babad tampaknya dipakai untuk karya-karya yang bersifat kesejarahan. Dalam khazanah sastra itu dikenal juga Babad Diponegoro (KBG:5) yang mengisahkan peristiwa Perang Diponegoro pada tahunl813. Dalam karya itu diceritakan pengalaman Caradiwirya yang memerangi pasukan Diponegoro di berbagai daerah. Sesudah peperangan ia diangkat menjadi Adipati Diponegoro. Naskah yang berisi ramalan atau primbon, seperti Nalatruna (KBG:681) sangat unik karena disertai dengan berbagai gambar raja dan disertai berbagai mantra. Yang tidak kalah menariknya adalah cerita panji. Dalam sastra itu, di antaranya dikenal Panji Angreni, Panji Dewakusuma Kembar, dan
Panji Kuda Semirang. Karya sejenis itu dapat dikertali dari beberapa tokohnya yang selalu mer.ampilkan tokoh Panji dan Candra Kirana atau nama-nama samaran lain yang sering mereka pakai. Selain cerita panji, dikenal juga cerita yang hampir mirip dengan cerita itu karena berbagai petualangan dikisahkan. Cerita itu adalah cerita wayang. Wayang merupakan pertunjukan yang menarik dalam kebudayaan ini dan sangat digemari bahkan di mancan egara. Cerita wayangbukanhanya ditemukan dalam pertunjukan, melainkan juga dalam bentuk naskah, seperti Bharatayuddha (Add. 12279), Serat Kitab Tufah dan Serat Wirid Hidayat membahas hubungan manusia dan Tuhan juga merupakan naskah keagamaan yang menarik. Simuh (1988) mengambil Wirid Hidayat Jati menjadi bahan disertasinya. Ia memberi judul peneliiiaimva dengan Mistik Islam Kejuwen Raden Ngabehi Ranggaxvarsita: Dalam naskah itu digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan

f.       Situasi Pernaskahan Bima
Kalau ingin mengetahui khazanah naskah Bima, kita dapat melihat katalogus yang disusun oleh Mulyadi dan Salahuddin (1990 dan 1992) yang berjudul Katalogus Naskah Melayu Bima, jilid 1 dan II. Di dalam buku itu diuraikan dan dideskripsikan keadaan naskah Bima yang saat ini menjadi koleksi Museum Kebudayaan Sampuraga, Bima, Museum Negara Nusa Tenggara Barat, Mataram, dan naskah yang menjadi koleksi Desa Maria, Kampung Dara, Bima. Naskah yang dideskripsikan dalam katalogus tersebut adalah naskah yang menjadi koleksi istana Sultan Muhammad Salahuddin (1915 — 1951), Sultan Birna terakhir.
Naskah Bima, menurut kedua peny usun tersebut, tidak banyak yang merupakan cata tan dari periode pra-Islam yang ditulis dalam aksara Bima denganbahasa Bima. Mereka hanya menemukan satu atau dua naskah saja yang berbahasa Bima. Timbul dugaan bahwa besar kemungkinan hilangnya naskah dari periode ini karena suatu kebakaran besar yang terjadi pada masa pemerintahanSultan Abdul Kadim Zilullah fial Alam, tahun 1751 — 1773. Menurut Noorduyn kebaka ran itu telahmemusnahkan banyak naskah. Rupanya naskah pada periode pra-islam ke periode masuknya Islam, di Bima pada akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17, membawa perubahan besar sehingga bahasa yang digunakan kerajaan Bima adalah bahasa Melayu. Bahasa itu menjadibahasa resmi negara. Oleh karena itu, i iaskah~naskah peninggalan dari periode inilah yang banyak ditemukan saat ini. Berdasarkan deskripsi dua. katalog di atas, naskah Bima tampaknya hampir semua ditulis di atas kertas. Naskah itu ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu, aksara Arab dengan bahasa Arab, dan aksara Arab dengan bahasa Bima.
Seperti yang diuraikan dalam kedua katalog itu, kita dapat mengetahui isi naskah Bima. Kedua penyusun katalog itu membagi teks Buna menjadi tujuh jenis, yaitu Bo, sejenis catatan harian yang sangat lengkap uraiannya disertai dengan penanggalan waktu terjadinya suatu peristiwa, doa dan ilmu agama, filsafat, hikayat, silsilah, surat, dan surat keputusan. Ketujuh jenis itu kemudian ditambah lagi dengan dua jenis pada Katalogus Naskah Melayu Bima II, yakni surat peraturan dan surat perjanjian kontrak serta ilmu tua.

Contoh aksara Bima yang diambil dari Mulyadi dan H.S. Maryam (1991:72)











g.              Pernaskahan Sunda
Naskah yang berasal dari suku Sunda (Jawa Barat) bahannya juga beragam seperti daerah lain karena di daerah itu ditemukan juga naskah yang ditulis di atas daun pair aa (daun lontar, daun kelapa, daun pandan, dan daun nipah), bambu, dan kertas. Kertas yang digunakan terdiri atas dua macam, yaitu kertas tradisional yang disebut daluwang dan kertas Eropa.
Bahasa yang digunakan ada yang berbahasa Sunda, Jawa, dan Melayu. Bahasa Sunda dibagi lagi atas Sunda Kuna yang digunakan pada naskah yang dibuat sekitar abad 16 — 18 dan Sunda Baru digunakan dalam naskah yang berasal dari abad 19. Naskah berbahasa Jawa biasanya digunakan bahasa jawa-Cirebon, Jawa-Periangan, dan Jawa-Banten. Bahasa Melayu digunakan dalam naskah yang ditulis pada akhir abad 19 yang jumiahnya tidak terlalu banyak. Aksara yang digunakan adalah aksara yang disebut Sunda Lama (digunakan pada naskah-naskah yang berasal dari sebelum abad 18), Cacarakan (Jawa-Sunda yang dipakai pada sekitar akhir abad 17), Arab dan Latin (naskah-naskah yang berasal dari abad 19).
Naskah yang berasal dari daerah itu diperkirakan jumiahnya mencapai 1.500 buah. Di antara naskah-naskah itu masih banyak yang disimpan oleh masyarakat sebagai milik pribadi dan beberapa lembaga formal di tanah air. Museum Negeri Jawa Barat dan Kantor EFEO (Bandung), MuseumCigugur (Kuningan) di antaranya yang menyimpan naskah Sunda. Selain itu, beberapa perpustakaan di luar negeri ju ga menyimpannya, yakni Perpustakaan Universitas Leiden, perpustakaan KITLV di Belanda, dan The British Library serta Bodleian Library di London. Di samping itu, beberapa pesantren juga ada yang menyimpannya. Untuk melihat berbagai naskah Sunda dan tempat koleksinya dapat dilihat dalam katalog Naskah Sunda (Bandung: Universitas Padjadjaran,1988) yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh EdiS. Ekadjati. Katalog lain yang dapat dipakai adalah Katalog Naskah-naskah Sunda di Museum Pusat (Yumsari Yusuf), dan R. Memed Sastrahadiprawira dengan judul Katalogus Naskah-naskah Sunda di Museum Nasional Jakarta
Menurut Ekadjati (1988), naskah Sunda banyak yang sudah hancur danmusnah yang tidak mungkin dapat diketahui lagi isinya. Kehancuran itu disebabkan oleh musibah, seperti terbakar, tertimpa banjir, hilang, dan rusak dimakan hama. Selain itu, ada pula karena kelalaianpemiliknya, misalnya diunggal mengungsi sehingga tidak terpeiihara lagi.
Naskah Sunda yang masih diselarnatkan hingga kini jika dilihat dari isinya hampir sama dengan naskah lain dari bagian Nusantara lainnya. Naskah itu ada yang mengisahkan tentang silsilah, sejarah, ajaran agama, dan adat istiadat, serta ajaran moral.
Berikut ini salah satu contoh naskah Sunda yang bentuknya seperti kipas yang diambil dari buku Illuminations (1996).




Sebagai informasi para peneliti yang membahas naskah Sunda adalah Atja 1968, Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Edi S. Eka Djati, 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Jakarta: Dunia Pustaka Djaja, dan Joedawikarta, 1933, Sadjarah Soekapoera, Parakanmoentjang Sareng Gadjah, Bandung: Pengharepan.

Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1)      Sebutkan daerah mana saja yang memiliki naskah?
2)      Di mana saja naskah-naskah itu disimpan saat ini dan sebutkan tiga perpustakaan di luar negeri yang menyimpan naskah?
3)      Sebutkan nama aksara di daerah yang ada di Indonesia?

Petunjuk jawaban Latihan
Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu jawaban di bawah ini.
1)      Daerah yang memiliki naskah di Indonesia ini sangat banyak. Di Sumatra terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau jawa memiliki naskah di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Am­bon. Di Sulawesi naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
2)      Naskah-naskah Indonesia ada yang disimpan di dalam dan di luar negeri. Di dalamnegerinaskah disimpan di daerah-daerah masing-masing sebagai pemilik naskah, yaitu di perpustakaan dan lembaga daerah serta di rumah beberapa penduduk yang masih memilikinya. Di Jakarta disimpan berbagai naskah daerah Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional. Di luar negeri ada juga naskah yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV di Belanda serta di Perpustakaan School of Oriental and African Studies di London.
3)      Lima aksara yang ada di Indonesia adalah aksara Batak, aksara Lampung, aksara Jawa (hanacaraka), aksara Arab Melayu (Jawi), dan aksara Bima.

Sehubungan derigannaskah dan teks, Indonesia yang terdiri atas berbagai daerah ini sangat kaya dengan kedua hal itu. Hampir setiap daerah mempunyai naskah yang ditulis dalam bahasa daerah masing-masing dengan aksara atau huruf daerah. Oleh sebab itu, penelitian pernaskahan Indonesia sangat perlu dilakukan. Untuk melihat kekayaan naskah Indone­sia, berbagai daerah yang memiliki naskah itu patut ditampilkan, misalnya naskah apa saja yang mereka dimiliki, naskah ditulis dalam aksara daerah apa, dan di mana saat ini naskah itu disimpan. Uraian itu penting agar Anda mengetahui latar balakang pernaskahan sebelum melakukan sebuah penelitian. Dari berbagai pernaskahan di Indonesia, dalam bagian ini hanya diambil tujuh pernaskahan daerah. Pemilihan ketujuh daerah itu berhubungan dengan hasil penelitian yang mudah dijangkau. Pernaskahan daerah itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis/Makasar, Jawa, Bima, dan Sunda.

 BAB III
PENGERTIAN NASKAH DAN TEKS SERTA SITUASI
PERNASKAHAN DI INDONESIA

Sebelum masuk pada penjelasan edisi naskah dan langkah kerjanya: kritik teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang menjadi inti penelitian filologi, Anda lebih dahulu harus mengerti perbedaan antara naskah dan teks. Kedua istilah itu dalam filologi dibedakan. Pada bagian ini kedua istilah itu akan diuraikan pengertiannya dengan agak terperinci disertai dengan contoh. Contoh sangat berguna untuk Anda agar pemahaman yang diterima benar-benar konkret.
Di samping pengertian naskah dan teks, pada bagian ini akan dijelaskan pula situasi pernaskahan di Indonesia. Pengertian naskah di Indonesia mengacu pada berbagai naskah daerah yang terdapat di Indonesia. Tiap daerah di Indonesia mempunyai keunikan naskah tersendiri yang ditandai dengan pemakaian alas naskah, aksara, dan bahasa daerah masing-masing. Dengan aksara dan bahasa daerah itulah sebuah teks ditulis. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi sangat kaya dengan pernaskahan. Situasi pernaskahan di Indonesia yang akan diuraikan pada kesempatan ini hanya sebatas pada gambaran sekilas tentang bahan yang digunakan untuk menulis teks, isi teks, dan beberapa tempat yang penyimpanan naskah-naskah berbagai daerah di Indonesia (Nusantara).
Setelah mempelajari materi ini diharapkan Anda dapat menjelaskan:
1.      perbedaan makna istilah naskah dan teks sebagai suatu istilah dalam kajian filologi.
2.       situasi dari aksara pernaskahan di Indonesia.

Agar uraian ini lebih lengkap, dalam materi ini diberikan beberapa contoh aksara daerah dan beberapa keunikan naskah yang disertai dengan ilustrasi (gambar). Berhubung naskah Nusantara sangat banyak, dalam bagian ini akan diuraikan tujuh daerah saja. Hal itu bukan berarti hanya tujuh daerah itu saja yang memiliki naskah. Pemilihan itu terbatas pada kemudahan pencarian data penelitian. Pernaskahan ketujuh daerah itu adalah naskah Melayu, naskah Batak, naskah Lampung, naskah Bugis (Sulawesi Selatan), naskah Jawa, naskah Sunda, dan naskah di Bima.

A.       Pengertian Naskah dan Teks
Saat Anda mempelajari filologi dan Anda niendengar kata naskah, apa yang muncul dalam benak Anda? Apakah naskah drama, naskah pidato, atau naskah buku yang siap dicetak? Kalau kata-kata itu yang muncul, berarti Anda salah dan Anda harus menyingkirkan pengertian vang seperti itu beberapa lama karena dalam filologi istilah naskah berbeda dengan pengertian di atas. Kalau begitu apa yang dimaksud dengan naskah?
Dalam filologi naskah dibedakan pengertiannya dengan teks. Teks adalah apa yang terdapat di dalam naskah, yaitu isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya, kumpulan kertasnya. Di bavvah ini akan diuraikan perbedaan kedua istilah tersebut dengan lebih terperinci.


1.      Pengertian Naskah
Istilah naskah dalam filologi adalah terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata itu pada awalnya dipakai dalam hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis karena kata itu pada dasarnya berarti 'teras batang pohon'. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Naskah dalam pengertian itu adalah hasil tulisan tangan yang berasal dari abad yang lalu sebelum dikenal mesin cetak (Mulyadi 1994:1). Ada pakar yang menyebutkan bahwa batas minimal suatu tulisan tangan dikatakan naskah jika telah berumur di atas 100 tahun.
Sebenarnya istilah naskah seperti yang dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah karangan yang ditulis tangan. Pengertian itu sangat umum tidak mementingkan apakah tulisan tangan ituTarna atau bam. Pada perkembangannya kemudian is rilahitu dalam filologi telah mengalami pergeseran berupa penyempitan arti sehingga kata itu hanya mempunyai pengertian sebagai karya yang ditulis tangan dan berasal dari abad yang lalu. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian filologi tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada naskah cetakan. Namun, tujuan yang hendak dicapai sama dengan filologi.
Baried (1985:54) mendef iniskan naskah sebagai tulisan tangan yangmenyimpan berbagaiungkapanpikiran dan perasaan sebagai hasilbudayabangsa masa lampau.
Dalam bahasa Belanda, naskah disebut handschrift dan handschriften bentuk jamakriya yang sering disingkat dengan hss. Dalam,bahasa Inggris naskah disebut manuscript dan manuscripts adalah bentuk jamaknya yang sering disingkat dengan, mss. Dalam bahasa Indonesia istilah itu cukup disebut dengan naskah saja atau kadahg-kadang ada yang menyebutnya dengan manuskrip (ditulis sudah dengan ejaan bahasa Indonesia). Dalam buku yang sama Zoetmulder mengatakan bahwa khusus untuk naskah Jawa Kuna, naskah disebut haras. Naskah Jawa memakai lontar dan kertas. tradisional yang disebut dluwang. Tentu saja kertas Eropa juga dipakai dalam naskah Jawa.,
Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa naskah mengacu pada bahan atau alas tulis naskah merupakan bentuk fisik atau bentuk konkret, benda yang dapat dipegang atau dilihat.
Di Indonesia berbagli daerah menggunakan bahan yang berbeda untuk menuangkan ide pikirannya ke dalam bentuk naskah-Ada yang menggunakan Iontar (naskah yang berasal dari sejenispohonpalma), kertas (kertas tradisional dan kertasEropa),kuhtbinatahg, kayu, dan batu.Pahkanbeberapanegara mempunyai kekhasart dalam penggunaan naskah sebagai bahan. Gaur (1974:4—9), di antaranya, menguraikan bahwa berbagai tulisan ada yang diabadikan di atas bambu, seperti di Cina; daunpalma digunakan di India dan '&«a Tenggara; papiras digunakan di Mesh"; baja, linen, dan sutra serta perkamenidjgimaj&jm di Iran dan bagian timur lainnya; di sampmg itu rnasih ada juga beberapa iilisan yang ditulis di atas batu-batuan, hiking, gading,. dan kulit binatang.
Jika naskah juga menggunakan batu sebagai alat tulis, kemudian timbul pertariyaan dalam benak Anda, apa bedahya naskah dengan prasasti karena, prasasti juga ditulis di atas batu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Baried ada tigabutir yang dapat membedakan naskah dan prasasti.
Pertama, naskah pada umumnya panjang karena ia dapat berbentuk cerita, sedangkan prasasti umumnya pendek karena ia hanya memuat soal-soal yang ringkas. Kedua, prasasti umumnya menyebutkannama penulisnya bahkan lengkap dengan angka tahun, tetapi dalam naskah umumnyaanonim dan tanpa penyebutan tahun penulisan. Kebga, naskah biasanya beriurhlah banyak karena ia disahkan beberapa kali, sedangkan prasasti tidak disaliniagi. .
Selain dari bahan yang dipakai sebagai sarana tulisan seperti yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya apasaja yang menjadi bagian atau unsur-unsur dalam naskah? Yang terlihat pada kita adalah naskah dalam wujud fisiknya, seperti kertas. Namun, sebenarnya banyak unsur yang dapatdikaji dajamhaskah, yakni semua hal yang berhubungan dengan bahan itu, misalnya alat-alat yang dipakai untuk menulis, seperti, tinta;pensile dan pena, alas, tulis (seperti.kertas yang meirtiliki cap kertas dan lontar), huruf, ilustrasi, uurrunasi (gambaf), penjilidan, dan inf orrnasi Iain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tinta ada yang dibuat dari bahan-bahan tradisional, yaitu dari berbagai tumbuhan bahkan datah bihatang, ada juga tinta Eropa. Demikian juga dengan alat tulis, di beberapa daerahhdi dari pohon aren atau enau digunakan sebagai alat tulis, tetapi ada juga yang sudah menggunakan alat tulis yang dibuat oleh orang Eropa. Kajian dari proses pembuatan naskah itu merupakan bidang kajian tersendiri, yaitu kajian pernaskahan atau istilahnya kajian kodikologi. Mulyadi (1994) mengatakan bahwa ilmu pernaskahan adalah ilmu yang mengkaji naskah, bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Tugas yang dilakukan bidang kajian ini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat (skrip torium),
masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah. Informasi yang lebih mendalam tentang naskah ini akan dibahas dalam modul4, yaitu tentang kodikologi atau ilmu penaskahan. Penelitian , kodikologi belum berkembangdi Indonesia, tetapi sudah mulai dirintis, seperti Maria Indra Rukmi (1997) Penyaiinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari segi kodikologi dan I Kuntara Wiryamartana (BKI:149, 1993) The Scriptoria in The. Merbabu Area.

2.      Pengertian Teks

Kalau naskah adalah bentuk fisik yang dapat dipegang, teks adalah isi yang ada dalam bentuk fisik itu yang umumnya berupa id&4de atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Untuk memperjelas definisi itu dikutip kembali apa yang disampaikan Baried (1985;56) tentang teks. Ia mengatakan bahwa teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstraknya yang hanya dapat dibayangkan
saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila terdapafnaskah yang muda, tetapi mengandung teks yang tua. Ilustrasi yang dibuat oleh Muiyadi (1994:3) berikut ini diharapkan dapat memperjelas perbedaan antara naskah dan teks. Satu naskah dapat saja terdiriatas, beberapa teks, umpamanya naskah yang berjudul Syair PerangKalwungu bernomor ML198F yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasiohal (Sutaarga dan Jusuf et. al: 1972:241). Dalam naskah itu terdapat enam teks, yaitu (1) Hikayat Maharaja Ali, hlm.l -33 ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi) (2) Hikayat, Darma Taisiah, him. 33-42 juga ditulis dengan huruf Jawi, (3) Hikayat Abu Samah hlm.43-67 ditulis dengan huruf Latin, (4) Syair Kumkuma/ hlm 68-71 ditulis dengan huruf Latin, (5) Hikayat ]entayu, h]m. 71 85, ditulis dengan huruf Latin,dan (6) Syair Perang Kaliwungu, hlm.86 174, juga ditulis dengan huruf Latin. "
Sebaliknya satu teks dapat ditulis dalam beberapa naskah. Misalnya Hikayat Negeri Johor ditulis dalam 8 naskah (Mu'jizah, 1996), Naskah dengan judul Hikayat Negeri Johor itu ada dua buah yang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, yaitu naskah W. 192 dan haskah W 196 Jtfaskah dengan judul yang sama terdapat juga tiga buah dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belahda, yaitu bernomor Cod. Or; 1741, Cod. Qr3322,.dan H.24. Perpustakaan SQAS (School of Oriental and Affrican Studies), London, menyimpan dua naskah, yaitu nomor Ms.40507 dan norridr Ms. 297498, Perpustakaan Royal Asiatic Society (London, Inggris) menyimpan satu naskah Hikayat Negeri Johor dengan nomor Malay 10.
Mengapa hal seperti itu terjadi, teks yang sama ditulis dalam beberapa naskah atau dalam satu naskah terdapat beberapa teks, seperti yang dicontohkan di atas? Jawabannya adalah bahwa proses terjadinya sebuah naskah atau teks kadangkala sangat rumit. Kerumitan itu terjadi karena naskah ditulis tangan sehingga produksinya tidak banyak, tidak sama dengan mesin cetak, satu teks dicetak langsung dalam ratusan naskah (eksemplar).
Berikut ini digambarkan contoh terjadinya sebuah naskah atau teks. Suatu teks dari karya seorang pengarang kadangkala tidak berhenti setelah teks itu dicipta menjadi sebuah naskah. Kadangkala teks tersebut menempuh perjalanan yang panjang. Suatu teks yang sudah dicipta kadangkala dijadikan dasar atau sumber bagi penciptaan teks yang baru yang benar-benar sama dengan aslinya. Namun, kadangkala teks itu tidak sama hasilnya atau berubah. Hal itu terjadi karena pada saat itu sang pencipta tidak hanya menulis dengan menggunakan satu sumber, tetapi beberapa sumber. Dari beberapa sumber itu, kemudian ia menggabungkannya menjadi sebuah teks baru. Pada saat itu, sang pencipta sudah menambah dan mengurangi teks yang ditulisnya sehingga terjadi teks yang sama sekali baru. Teks baru itu tercipta karena penulis sudah mulai menambahkan kreativitasnya ketika menulis. Berdasarkan hal itu, dalam filologi dikenal tradisi penyalinan teks, yaitu tradisi tertutup dan tradisi terbuka. Robson (1978:39 — 40) menyebutkanbahwa dalam tradisi terbuka penurunan naskah tidak terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja, sedangkan dalam tradisi tertutup penurunan naskah terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja. Hasil penyalinan dalam tradisi tertutup adalah teks yang sama (merupakan varian dari satu teks) dalam beberapa naskah, sedangkan hasil dalam penyalinan terbuka teks yang lain (versinya berbeda) terdapat dalam beberapa naskah.
Karena diturunkan dari satu teks ke teks lain, kadangkala terjadi kesalahan penulisan. Berdasarkan kesalahan inilah penurunan suatu teks dapat dilacak.
De Haan pada tahun 1973, melalui Robson (1978), menguraikan 3 (tiga) kemungkinan terjadinya suatu teks.
(1)   Aslinya teks hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita. Penurunan cerita terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte. Teks itu terjadi apabila seseorang ingin memiliki teks tersendiri. Setiap kali teks diturunkan terjadi variasi. Variasi itu terjadi selama pengarang menurunkan teksnya kepada seseorang karena setiap kali mendiktekan teks terjadi perkembangan cerita. Oleh sebab itu, variasi terjadi selama pengarang itu masih hidup.
(2)   Teks asli ada dalam bentuk tertulis yang bentuknya lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicu ri dan terjadilah cabang tradisi kedua atau ketiga di samping yang telah ada karena varian-varian pembawa cerita d'imasukkan. (3) Teks aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pemba waannya karena pengarang telah menentukan piiihan kata, urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat. Sehubungan dengan ketigahalitu, dalam penurunan teks dikenaljugacampuran horizontal (horizontal contamination) dan campuran vertikal (vertical contamination), Penurunan dalam campuran horizontal terjadi pada tradisi terbuka, sedangkan penurunan vertikal terjadi pada tradisi tertutup. Penurunan teks "dengan campuran horizontal terjadi jika penyalin tidak seialu menyalin teks dari satu contoh saja. Hal itu terjadi karena teksnya sering rnenunjukkan ketidaksempurnaan, maka penyalin mencari sumber-sumber lain dan penyalin mengambilnya juga sebagai sumber penyalinan. Kemudian ia memilih bacaan yang baik atau bagian-bagian tertentu yang menarik lain memasukannya ke dalam teks yang disalinnya. Penurunan teks dengan campuran vertikal adalah jika penyalin menyalin teks berdasarkan satu sumber saja. Penyalin dengan setia menyalin sumber itu apa adanya, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan dalam teks sumber tersebut. Hasilnya satu naskah yang hampir sama dengan naskah turunannya.
(a) contoh campuran horizontal
(b) contoh campuran vertikal
A

B
 


C
Setelah rrtengetahui tradisi penurunan teks, kita kembali pada esensi sebuah teks. Bagaimanakah bentuknya dan apa saja isinya? Kalau melihatbentuknya, teks dapat berbenmk puisi (tembang untuk Jawa, syair dan pantun untuk Melayu) dan prosa. Keduanya mempunyai aturan-aturan tertentu, pantun misalnya dalam teks Melayu terdiri atas 4 larik. Larik 1 dan 2 berisi sampir^an dan larik 3 serta 4 merupakan isinya. Pantun juga mempunyai rima tertentu a-b-a-b. Demikian pula dengan puisi (tembang) dalam teks Jawa yang mempunyai matra tertentu, misalnya mempunyai guru wilangan dan guru lagu.
Bentuk sebuah teks menarik untuk dikaji oleh masyarakat masa kini, begitu juga halnya dengan isi teks atau gagasan yang ada dalam sebuah teks. Apa yang dapat disumbangkan teks itu bagi kehidupan masyarakat saat ini? Banyak naskah Nusantara yang membicarakan sejarah masa lalu. Data itu sangat penting untuk merangkai sejarah suatu daerah, misalnya Hikayat Bandjar (Melayu) dapat dipakai untuk penyusi man sejarah daerah Banjarmasin, Sejarah Melayu dapat dipakai untuk penyusunan s ejarah masyarakat Melayu. Demikian juga dengan Hikayat Radja-Radja Pasai, i&i dalam hikayat itu dapat mengungkap dan mengidentifikasikan sebuah makam yang ada di daerah Pasai. Babad Buleleng dapat dipakai untuk mengungkap sejarah masyarakat Bali, Hikayat Dipati Ukur untuk melihat sejarah dan tokoh sejar. ah dari masyarakat Sunda, Kaba Minagkabau juga dapat mengungkap data tentang masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Masih sederet teks yang dapat mengungkap sejarah daerah masing-masing. Apakah daerah Anda kira-kira memiliki naskah sejenis itu? Kalau memilikinya, naskah itu menarik untuk diteliti karena di dalam naskah itu terdapat teks yang mengandung data sejarah masa lampauyang da pat dipakai untuk merekonstruksi sejarah masa kiniyang merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu. Akan tetapi, satu hal yang harus diingat dalam penggunaan tek s sebagai data sejarah, yaitu peneliti harus berhati-hati sekali walau bagaimana pun karya-karya tersebut sudah memadukan antara fakta dan fiksi, antara kenyataai y dan dunia rekaan. Untuk itu, diperlukan dokumen-dokumen lain sebagai pembanding untuk membuktikan unsur sejarahnya.
Anda masih mengingat cerita-cerita lucu peninggalan nenek moyang kita? Cerita Pak Belalan g berasal dari Melayu, Joko Bodo berasal dari Jawa, dan Si Kabayan dari Sunda. Cerita-cerita itu pada dasarnya bukan hanya bersif at menghibur karena kelucuan tingkah laku tokohnya, tetapi juga dapat bersifat mendidik pembaca. Sama halnya dengan cerita-cerita binatang yang sangat cerdik yang ditemukan dalam Hikayat Sang Kancil dan Hikayat Pelanduk Jenaka dari Melayu.
Selain kedua h al di atas, naskah undang-undang juga sangat penting diketahui karena kalau undang-undang itu digunakan dan penting pada masyarakat masa lampau berarti undang-undang itu penting juga diketahui bagi masyarakat masa kini. Dalamkhazanvh Melayu banyak ditemukannaskah-naskah seperti itu, Undang-Undang Malaka, Ado t-adatRaja Melayu, dan Undang-undang Palembang. Masyarakat Minangkabau pun memiliki undang-undang untuk mengatur segala aspek kehidupan masyara katnya di masa lalu, seperti Undang-undang Minangkabau.
Bahasa sebagai sarana pengungkap ide juga dapat diteiiti dalam teks-teks lama.
Bahasa dengan struktur yang bagaimana yang mereka gunakan dulu? Untuk
keperluan itu, beberapa pakar bahasa juga banyak yang tertarik dengan teks,
terutama untuk melihat sejarah perkembangan bahasa. Suwarso (1991) pernah
mengkaji struktur gramatika bahasa Melayu Jama dalam
Hikayat Abu Samah. Tiga
hal yang menjadi perhatiannya, yaitu (1) penggunaan partikel penghubung, seperti
mdka, kemudian maka, kalakian maka; (2) konstruksi kalirnat yang menggunakan
partikel
pun dan lah; (3) penggunaan klausa dan f rasa. Konstruksi seperti itu apakah
masih digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini? Hal itu merupakan pertanyaan
yang patut dijawab oleh pakar bahasa yang menekuni sejarah perkembangan suatu
baliasa.                                                                                 '
Naskah yang teksnya berisi masalah keagamaan juga sangat banyak diperha tikan peneliti, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dalam naskah keagamaan tersimpan sejarah pemikiran dan pandangan hidup suatu bangsa Kehidupan sastra keagamaan di Aceh pada abad ke-17, misalnya, banyak mengundangbeberapa peneliti karena di daerah itu hidup empat orang suf i yang terkenal, yaitu Shamsuddin as-Suma Irani, Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel, dan Nurudin ar-Raniri. Perdebatan pendapat di antara mereka tentang hubungan antara manusia dan Tuhan banyak direkam dalam karya-karya mereka. Abdul Hadi W.M. (1995), misalnya, tertarik dengan kehidupan Hamzah Fansuri dan kepenyairannya. Ia meneliti penyajr itu. Penelitiannya diberi judul Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Pitisi-pu isinya. Buku itu memberikan gambaranyang luas tentang penyair itu, mulai dari kehidupannya sampai dengan pemikiran-pemikirannya.
Teks-teks yang berbentuk cerita, seperti beberapa karya yang sudah disebutkan di atas banyak juga dikaji dengan berbagai pendekatan tergantung pada teksnya. Teks sastra misalnya dikaji dengan pendekatan struktural. Pendekatan ini lebih banyak menyoroti teknik penceritaan, misalnya alur, tokob dan penokohan, latar, sudut pandang. Kalau teks berbentuk puisi yang diteiiti biasanya gaya bahasa, perlambangan, dan rima, atau stilistikanya. Di samping itu, masih banyak lagi pendekatan lain yang dapat diterapkan. Berbagai kajian atas naskah dengan berbagai pendeka tan yang pernah diterapkan terhadap berbagai teks Nusantara akan dibahas khusus pada modul 6, yaitu aneka edisi naskah Nusantara dan kajiaroiya.
Setelah mengetahui uraian di atas, tentunya Anda yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga memiliki khazanah kesastraan dari masa lalu. Dari berbagai naskah itu banyak butir penting yang patut Anda gali untuk kepentingan daerah Anda masing-masing. Untuk itu, cobalah meneliti dan menggali isinya.
Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1)      Apa yang Anda ketahui tentang naskah?
2)      Jika Anda tertarik dengan naskah, apa saja yang dapat Anda kaji?
3)      Apa yang Anda ketahui tentang teks?


Petunjuk jawaban Latihan

Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu jawaban di bawah ini.
1)      Naskah merupakan terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata itu berarti 'teras batang pohon' dan dipakai dalam hubungan dengan penianfaatan kayu sebagai alat tulis. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu mengacu pada suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Dengan begitu, pengertian naskah dapat diartikan sebagai hasil tulisan tangan yang berasal dari abad lalu sebelum dikenal mesin percetakan. Tulisan tangan itu digoreskan di atas sebuah alas yang disebut dengan naskah. Alas naskah itu bermacam-macam bahan dasarnya, ada yang berasal dari kayu, kulit, bambu, dan kertas. Dengan begitu, naskah adalah sesuatu yang dapat dipegang dan bentuknya konkret. Dalam bahasa Belanda naskah disebut dengan handschrif, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan manuscript.
2)       Jika ingin mengkaji naskah, kita dapat memperhatikan beberapa unsur yang berhubungan dengan naskah, seperti alas naskah, alat yang dipakai untuk menulis, huruf, cap kertas, ilustrasi, iluminasi, penjilidan, sejarah pernaskahan, penyalin, dan tempat-tempat penyalinan (skriptorium), serta informasi lain yang ada di luar isi naskah.
3)      Yang dimaksud dengan teks adalah isi naskah atau kandungan yang ada dalam naskah, yaitu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Teks adalah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Dalam bagian ini diuraikan dua istilah dasar yang dikenal dalam filologi. Kedua istilah itu adalah naskah dan teks. Naskah adalah hal yang konkret yang dapat dipegang, misalnya alas tulis (kertas) yang dipakai untuk menulis. Di atas alas itulah seorang pengarang menuangkan gagasan-gagasannya.
Yang menjadi unsur dalam naskah adalah hal yang berkaitan dengan fisik naskah, misalnya alas naskah yang digunakan (kertas, kayu, bambu), tinte, pensil, dan pena, huruf, kolofon, ilustrasi,  Uuminasi (gambar), penjilidan, dan informasi lain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tugas yang dilakukan bidang kajianini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat- tempat penyalinan naskah (skriptorium), masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Teks adalah isi atau kandungan yang ada dalam naskah. Kandungan itu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Oleh sebab itu,Uiksbersifatabstrakyanghanyadapatdibayangkansaja.Teksbermacam-macam, ada yang berisi sejarah, keagamaan, bahasa, cerita, silsilah, adat-istiadat. Dalam kajian teks digunakan berbagai pendekatan sesuai dengan sifat teks.
Indonesia terdiri atas berbagai daerah dengan ragam bahasa dan aksaranya. Dengan demikian Indonesia sangat kaya dengan naskah. Di Sumatra terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Demikian pula di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau Jawa memiliki naskah di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali naskah masih terus dibuat di hampir seluruh daerah. Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
Dari sekian banyak kekayaan pernaskahan Indonesia, di mana sajakah naskah tersebut disimpan? Pada saat ini naskah-naskah di atas penyimpanannya yang pasti tersebar di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri naskah-naskah daerah disimpan di berbagai perpustakaan dan lembaga resmi milik pemerintah dan swasta. Selain itu, beberapa penduduk atau perorangan juga memiliki naskah yang mereka simpan di rumah mereka. Naskah yang mereka miliki biasanya merupakan warisan dari orang-orang tua mereka terdahul. Naskah yang disimpan dan menjadi milik lembaga pemerintah atau swasta mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan pemeliharaannya. Mereka sudah memperhatikan pemeliharaan itu dan mereka mempunyai dana khusus untuk keperluan itu. Namun, naskah yang menjadi milik pribadi atau perorangan yang tersebar luas di masyarakat inilah yang sangat mengkhawatirkan. Naskah yang harus disimpan di tempat khusus, disimpan di tempat yang tidak layak untuk naskah. Bahkan ada yang menyimpannya dengan membungkusnya dalam plastik. Dengan begitu, naskah menjadi cepat rusak. Naskah agar terpelihara dengan baik dan tidak cepat punah dimakan ngengat (sejenis serangga pemakan buku) disimpan pada suhu tertentu.Yang menyedihkan lagi sampai saat ini masyarakat berbagai daerah di Indonesia masih menganggap naskah itu sebagai barang keramat. Untuk membacanyasajaperludiadakahupacara. Akibatnya, naskah jarangdibuka sehingga kemushahannya semakin tinggi.
Jakarta, ibukota negara, mempunyai satu tempat penyimpanan naskah, yakni Perpustakaan Nasional. Berbagai naskah daerah disimpan di perpustakaan ini dengan a man. Di tempat itu disimpan 9.626 naskah yang ditulis dalam berbagai bahasa dan aksara, seperti Aceh, Bali, Batak, Jawa,Jawa Kuna, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate.
Perpustakaan Nasional, saat ini, terletak di Jalan Salemba Rava, Jakarta. Pemakaiannya baru diresmikan pada tahun 1989. Perpustakaan itu memiliki ruang khusus di lantai V yang menyimpan berbagai naskah daerah tersebut. Naskah-naskah itu sebelumnya disimpan di Perpustakaan Museum Pusat atau Gedung Gadjah, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Naskah itu pada awalnya milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen. Dalam Pedcman Singkat Mengoendjoengi Moeseoem (1948:7 — 33) dijelaskan bahwa pada akhir abad XVII di Eropa tampak adanya suatu kegiatan dan pembaruan dalam bidang ilmu. Sehubungan dengan itu, di berbagai negara didirikan perkumpulan-perkumpulan sarjana. Dari perkumpulan yang ada di Belanda didirikan satu cabang di Batavia (Jakarta) tahun 1778, yaitu Bataviaasch Genootsclmp van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Van Ronkel (1909:1 — IV) koleksi naskah di gedung itu berasal dari berbagai sumber, di antaranya adalah naskah-naskah yang disusun dalam katalogus Cohen Stuart tahun 1871. Pada tahun 1875 koleksi bertambah lagi. Tambahan itu dibuat daftarnya oleh Van den Berg. Di samping itu, Von de Wall juga menghibahkan koleksmya ke perpustakaan tersebut di atas.
Bukan hanya di dalamnegeri saja naskah-naskah Indonesia disimpan, melainkan juga di luar negeri, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Amerika, Jerman, dan Malaysia. Bagaimana naskah-naskah itu sampai tersebar ke berbagai negara di atas? Penyebaran naskah itu dilakukan dengan berbagai cara. Inggris misalnya, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pernah menjajah sebagian kawasan .Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan sejarah masa lampau itulah naskah-naskah dari kedua negara itu sangat banyak dikoleksi di negara itu. Naskah-naskah yang tersimpan di Inggris dicatat dengan teliti dalam katalog vang disusun oleh Ricklefs dan Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collection. Dalam katalogus itu tercatat 1.200 naskah yang disimpan pada tempat yang tersebar di kota-kota di negara itu, di antaranya Bristol, London, Cambridge, Eidenburgh, Manchester, Oxford, dan Glasgow.
Sama halnya dengan Inggris, Belanda pun pernah menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, naskah-naskah Indonesia sangat banyak tersimpan di sana. Katalog yang mencatat naskah-naskah Indonesia di Belanda, di antaranya katalog yang disusun oleh Juynboll (1899), Catalogus van de Maleische' en Sundaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotlieek dan katalog yang disusun oleh Van Ronkel (1909) Catalogus der Maleische en Minangkabausclie Handschriften in de Ixidsdie Universiteits-
Bibliotheek. Katalog yang paling baru yang mencatat koleksi naskah di Belanda adalah yang disunting oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts: In the Library of Leiden University and other Collections in the Netherlands. Naskah-naskah yang dicatat dalam katalog itu disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Selain di tempat itu, Perpustakaan KITLV ( Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde) juga merupakan tempat penyimpanan naskah-naskah Indonesia di Belanda.
Untuk mengetahui naskah kekayaan Indonesia, berikut ini diuraikan beberapa situasi pernaskahan daerah. Karena beragamnya naskah daerah, dalam bagian ini hanya akan diuraikan beberapa daerah saja. Seperti yang sudah diuraikan di atas daerah di Indonesia sangat banyak yang memiliki naskah. Dalam uraian ini diambil beberapa naskah daerah yang pernah diteiiti oleh pakar. Berdasarkan penelitian itulah situasi pernaskahan disusun. Naskah itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis, Jawa, Sunda, dan E5ima. Bahasa Melayu penyebarannya sangat luas sehingga terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, naskah Melayu akan diuraikan pada bagian awal, kemudian disusul dengan beberapa daerah lain.

3.      Pernaskahan Nusantara
a.      Naskah Melayu

Bahasa Melayu tersebar di berbagai daerah, seperti di Aceh, Minangkabau, Siak, Riau, Palembang, Bengkulu, Jakarta, dan Bima. Masing-masing daerah itu memiliki naskah yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Oleh karena tempat asalnya berbeda, penyebaran dan penyimpanannya pun tersebar di berbagai tempat. Ada yang disimpan di berbagai perpustakaan, museum, dan di rumah penduduk sebagai milik pribadi yang merupakan warisan dari para orang tua mereka. Penyimpanan terbesar yang ada di Indonesia untuk naskah Melayu adalah Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan di luar negeri adalah Perpustakaan Universi­tas Leiden, Belanda.
Untuk mengetahui jumlah naskah Melayu, biasanya masing-masing tempat penyimpanan naskah membuat daftar atau katalog naskah. Perpustakaan Nasional menerbitkan katalog terbaru tahun 1998 yang memuat seluruh koleksinya dari berbagai bahasa. Katalog itu berjudul Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Mid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Obor dan Eeole Francaise d'Extreme-Orient. Sebelumnya para peneliti masih berpegang pada katalog yang diterbitkan oleh Sutaarga yang berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, 1972. Katalog itu disusun berdasarkan katalog tertua yang disusun oleh Van Ronkel (1909), Catalogus der Maleische Handschriften in het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Ding Choo Ming (1986) naskah Melayu sebagian besar berasal dari salinan abad ke-19 meskipun ada beberapa naskah yang lebih tua dari abad itu disimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge dan Perpustakaan Universitas Oxford. Hal itu diketahui melalui daf tar-daf tar naskahyang dibuat oleh F. Valentijn. Sayangnya, naskah yang disebutkan dalam daf tar tersebut sudah ada beberapa yang hiiang. Hilangnya satu atau beberapa naskah dalam pernaskahan Melayu dapat terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja. Rusaknya naskah karena bahan naskah terlalu tua tidak dapat dihindari, tetapi penghancuran naskah dengan sengaja kadangkala terjadi. Peristiwa seperti itu misalnya terjadi pada masa kesultanan Melayu di Pasai atau di Aceh,. yaitu pembakaran naskah. Karya-karya Shamsuddin Pasai pada abad ke-17 sengaja dibakar di Aceh karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran Nuruddin ar-Raniri.
Dalam kondisi yang seperti itu satu keuntungan bagi naskah Melayu adalah dengan hadirnya beberapa orang Eropa ke Nusantara. Karena mereka, banyak naskah yang aman tersimpan dalam berbagai koleksi, terutama di Eropa. Hal itu terjadi karena sambil menjalankan tugas pemerintahan mereka belajar bahasa Melayu. Sambil belajar bahasa,merekatertarik dengan naskah yangmereka pelajari. Oleh karena itu, mereka mengoleksi dan memeliharanya selama dua abad sehingga naskah tersebut aman sampai saat ini. Akan tetapi, sayangnya tempat koleksi itu sangat teisebar, misalnya di Inggris, Belanda, Malaysia, dan Jerman sehingga peneliti agak sulit menjangkaunya.
Mengapa naskah Melayu itu tersebar di negara-negara tersebut? Penyebaran tersebut terjadi seiring dengan hadirnya pemerintah kolonial di tanah Melayu misalnya Riau. Riau pada zaman dahulu jaya sebagai kemaharajaan Melayu dart kerajaan Riau-Lingga pernah menjadi pusatnya. Pada masa lalu di tempat itu penyalinan dan penciptaan naskah turnbuh subur. Kerajaan menjadi pusat kegiatan kesastiaan. Di tempat itulah naskah banyak disalin. Roorda van Eysinga datang ke daerah itu ingin belajar bahasa Melayu Beberapa tahun kemudian ia sudah mahir mempelajari bahasa dan kesastraan Melayu. Ia pun kemudian mengoleksi beberapa naskah tersebut. Untuk koleksinya, mereka bukan hanya meminta penyalin lokal untuk menulis, tetapi juga penyalin Eropa. Untuk koleksi, mereka juga membeli naskah. Kegiatan seperti itu sudah tersebar di beberapa bagian tanah air seperti Von de Wall dan A.L. van Hasselt di Riau, Crawford di Penang, Malaka, dan General Sekretariat di Batavia. Naskah salinan General Sekretariat banyak dikirim ke Akademi Delf sebagai bahan pelajaran bahasa Melayu bagi mereka yang akan ditugasi ke tanah jajahan.
Berapa kiranya jumlah seluruh naskah Melayu yang tempat penyimpanannya tersebar? Meskipun berbagai katalog. bibliografi, dan daftar naskah sudah dibuat, tetapi beium ada satu pun yang menyebutkan jumlah yang sama dari seluruh naskah tersebut. Beberapa peneliti berusaha menghitung naskah itu, di antaranya Ismail Hussein yang menyebutkan jumiahnya 5.000 naskah, Chambert-Loir mengatakan 4.000 naskah yang tersebai di 26 negara, dan Russel Jones mengatakan jumiahnya 10.000 naskah.
Tampaknya hampir seluruh naskah lelayu itu ditulis dengan dua aksara, yaitu aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu agaknya hanya mengenai kertas sebagai alas tubs. Berikut ini dicontohkan aksara Arab Melayu yang dipakai dalam naskah. Tabel di bawah ini berisi 4 bentuk pemakaian dari setiap aksara (Hollander, 1984:6 - 7)









Aksara Arab Melayu (Jawi)



Bagairnana dengan isi teks yang terkandung dalam naskah Melayu? Isi yang ada di dalamnya sangat beragam. Kalau melihatpembagian yang pernah dilakukan Liaw Yock Fang (1991, Jilid I dan II), naskah Melayu dapat diklasifikasi menjadi 10. Sepuluh kelompok itu adalah kesusastraan rakyat, epos India dan sastra wayang, cerita psnji, kesusastraan zaman Islam, cerita berbingkai, sastra kitab, sastra sejarah, undang-undang Melayu, dan pantun serta syair.
Dari masing-masing kelompok itu sastra Melayu memiliki karya-karya puncak atau karya yang populer di masyarakat pendukungnya. Misalnya dalam cerita panji, orang pasti mengenai Hikayat Panji Semirang. Dalam sastra kitab diketahui karya Flamzah Fansuri yang berjudul Syair Perahu. Sejarah Melayu merupakan karya yang populer yang tidak pernah berhenti diteiiti hingga saat ini. Sama halnya dengan cerita berbingkai, yaitu Cerita Seribu Satu Malum hingga saat ini masih terus diceritakan kembali dalam bahasa yang populer agar akrab dengan pembaca saat ini.

b.      Pernaskahan Batak
Masyarakat Batak tinggal di Sumatra Utara.Kalau, mendengar kelompok masyarakat ini, kita langsung terjngatpada beberapa nama marga yang sangat kuat melekat pada nama-nama masyarakat pendukungnya sehingga mereka dapat dengan cepat diidentifikasi sebagai mayarakat Batak. Kita mengenai beberapa marga, di antaranya Nababan, Nasution, Sembiring, dan Tarigan. Suku Batak Toba dan Karo merupakaninduk dari beberapa marga di daerah itu. Mereka menggunakan bahasa Batak dengan berbagai dialeknya. Bahasa itu pada masa lalu menggunakan aksara khas masyarakat tersebut, yaitu aksara Batak. Beberapa peneliti pernah membahas pernaskahan Batak di antaranya K.F. Holle (1882), Voorhoeve (1927— 1985), Uh Kozok (1991 dan 1996).
Masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak dengan empat dialek. Dialek Karo dipakai oleh orang Karo; dialek Pakpak dipakai oleh orang Pakpak; dialek Simalungun menjadi ragam bahasa orang Simalungun; dan dialek Toba dipakai oleh masyarakat Toba, Angkola, serta Mandailing. Di antara para peneliti ada pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain karena ada juga peneliti yang membagi bahasa tidak seperti di atas. Bahasa Mandailing, Angkola, dan Toba merupakan dialek-dialek tersendiri, tidak termasuk dialek Toba.
Naskah Batak yang menggunakan aksara Batak, seperti yang diungkap beberapa penelitian di atas, memiliki variasi karena di daerah itu tinggal beberapa suku Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Variasi dapat diketahui dari penyematan vokalnya. Ada usaha penyeragaman (Pudjiastuti, 1997:38) olehSuruhen Purba dari kelima variasi itu menjadi aksara Batak atau Surat Pustaha yang disempurnakan. Surat Pustaha yang disempurnakan inilah yang diajarkan kepada murid SD dan SMP sebagai aksara Batak yang sekarang. Di bawah ini dicontohkan variasi kelima aksara Batak dari Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Data ini diambil dari Pudjiastuti (1997:50).




Aksara Batak















Masih dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa aksara Batak itu ditulis di atas bahan atau alas naskah yang beragam. Yang paling terkenal dari naskah Batak adalah yang disebut pustaha yang berarti buku. Bentuknya seperti buku yang lembarannya bersambungan dan dilipat-lipat seperti sebuah akordeon
sejenis alat musik). Bahan utama naskah itu adalah kayu, yakni kayu alim yang banyak terdapat di daerah itu. Ternyata model naskah seperti itu terdapat juga di Cina, Jepang, Laos, dan Thailand. Selain kayu, bahan lain yang digunakan adalah bambu. Bambu yang digunakan dari jenis bambu betung. Naskah dengan bahan itu vang utama digunakan untuk menulis tanggal atau kalender (perlwlaun). Rotan, tulang binatang, kulit binatang, dan kertas juga merupakan bahan lain yang digunakan untuk naskah Batak.
 Kalau bahan atau alas naskahnya seperti yang disebutkan di atas, bagairnana dengan alat tulis yang digunakan? Karena alasnya berbeda, alat tulisnya juga berbeda ka rena alat tulis yang dipakai tergantung pada bahan naskah, lidi dari ijuk enau (iarugi) dan lidi dari pohon pakis (sampipil) digunakan untuk menulis naskah yang berasal dari kayu. Pisau kecil (panggorit) dipakai untuk menulis bahan yang keras, seperti tulang, bambu, rotan, dan tanduk binatang. Tinta dipakai untuk kertas. Tinta itu ada yang tradisional, dibuat dari berbagai tumbuhan, darahhewan, dan nunyak. Di samping itu, ada juga tinta yang berasal dari jelaga lampu. Baja, sejenis tinta, dihasilkan bukan dari jelaga lampu, tetapi dari jelaga kayu bakar. Tinta bervvarna dibuat dari campuran anggur dan cuka atau dari getah damar dicampur dengan minyak. Di samping tinta tradisional itu, dipakai juga tinta rmpor yang dipakai untuk menulis bahan dari kertas (Pudjiastuti, 1997).
Bahan-bahan di atas berhubungan dengan naskah, bagairnana dengan teksnya? Masai aii apa saja yang ada di dalam naskah itu? Kembali pada beberapa penelitian di atas,. kandungan naskah Batak juga sangatberagam, mulai dari cerita, ramalan, obat-obatan, jimat, kekuatan magis, beragam surat, undang-undang, dan sejarah. Namun, dari beberapa masalah itu yang terbanyak ditulis adalah jimat, obat-obatan, dan ramalan. Dalam koleksi naskah di London, ada naskah yang berisi obat-obatan, terutama cara menangkal racun dalam tubuh. Teks seperti itu terdapat dalam Tambar Simangaraprap dan Tambar Sirnanuwasah (Ms. Jav.C4) Teks seperti itu banyak ditemukan dalam naskah Batak dan biasanya disertai dengan beberapa ilustrasi, seperti Tambar (Ms. Jav. g.l). Ada juga naskah yang isinya tentang astrologi. Naskah itu Poda ni Pangarambui ari na tolu oulu (E. 5185).
Di rnanakah naskah-naskah tersebut di simpan? Tempat penyimpanan sangat tersebar, dalam dan luar negeri. Di dalam negeri tentunya kalangan masyarakat umum banyak yang menyimpannya sebagai milik pribadi. Lembaga formal juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Sumatra Utaia.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, banyak menyimpan naskah Batak yang berasal dari berbagai koleksi, di antaranya koleksi Cohen Stuart. Sayangnya, naskah-naskah itu sudah dimasukkan dalam katalog Perpustakaan Nasional yang terbaru (1998), tetapi belum dideskripsikan dengan memadai Di dalam buku itu baru daf'tar saja yang dimuat. Pendaftarannya diabjad berdasarkan judul naskah.
Perpustakaan luar negeri yang menyimpan di antaranya adalah Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda), beberapa perpustakaan di London (Inggris, seperti India Office Library dan Perpustakaan School of Oriental and African Studies, Perpustakaan Bodlein. Beberapa naskah yang disebutkan judulnya di atas adalah koleksi yang disimpan di London. Selain tempat itu, masih ada beberapa tempat lain di Inggris yang menyimpan naskah Batak.


c.       Pernaskahan Lampung
Lampung merupakan provinsi paling selatan di Pulau Sumatra, penduduknya yang ad a di daerah lampung, Komering, dan Krui menggunakan bahasa Lampung. Bahasa itu mempunyai beberapa dialek. Ada yang membaginya atas dialek abung dan dialek paminggir dan ada juga yang membaginya atas dialek Ny ou dan dialek Api. Masing-masing dialek terdiri atas beberapa logat.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Pudjiastuti (1995:60) naskah Lampung ditulis dengan aksara Lampung yang dikenal dengan had Lampung atau surat Lampung.Aksara Lampung jika dirunut dalam sejarah dapat dimasukkan dalam rumpun tulisan Kaganga. Menurut beberapa ahli, aksara itu mirip dengan aksara Rejang, Pasemah, Batak, dan Makasar. Bagi Hadikusuma (1988:18) aksara Lampung sebenarnya aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh Sumatra Selatan. Orang-orang tua di daerah Sumatra Selatan kadang-kadang menyebut aksara Lampung dengan "Surat Ulu" atau Surat Ugan". Namun, pada kenyataannya, sejak sebelum perang hingga kini, aksara itu hanya dipakai oleh orang Lampung. Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa aksara Lampung sebenarnya merupakan perkembangan dari aksara devanagari yang berasal dari India. Tulisan itu terdiri atas tigaunsur, yakniindukhuruf (kalabaisurat), anakhuruf atau tandabunyi (benah surat), dan.tanda baca. Sistem menulis aksara Lampung dimulai dari kiri ke kanan, sama halnya dengan tulisan Latin. Tulisan Lampung disebut juga dengan huruf Kaganga.
Dalam naskah Lampung, selain aksara Kaganga, ditemukan juga naskah yang ditulis dengan aksara Arab berbahasa Arab, aksara Jawi berbahasa Melayu, dan aksara Pegonberbahasa Lampung. Aksara Arab digunakan untuk menulis masalah agama Islam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di atas, bahan atau alas naskah yang digunakan untuk menulis aksara Lampung, hampir sama dengan Batak. Naskah yang alasnya dari kayu dibentuk seperti akordeon juga dibuat dari kayu halim. Di samping itu, bambu, rotan, dan kertas juga digunakan sebagai bahan naskah. Alat tulis yang digunakan adalah lidi (kemasi) dan pisau kecil yang runcing (lading lancip).Tintanya ada yang berasal dari tinta tradisional yang dibuat dari campuran buah deduruk, arang, dan getah kayu kuyung. Selain itu, tinta dapat juga dibuat dari campuran arang dan buah serdang.
Di bawah ini contoh aksara Lampung Lama yang terdiri atas 19 huruf (Pudjiastuti, 1995).
 


Perbandingan aksara Lampung dengan aksara daerah lain


Di mana sajakah naskah-naskah Lampung disimpan? Berdasarkan beberapa katalogus, kita ketahui bahwa naskah Lampung ada yang masih disimpan di rumah-rumah sebagai milik pribadi atau perorangan. Beberapa lembaga formal di daerah itu juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Lampung.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, tidak memiliki koleksi naskah Lampung karena tidak tercatat dalam katalog, 1998. Lain halnya dengan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Di tempat itu ditemukan beberapa naskah Lampung. Perpustakaan School of Oriental and African Studies dan India Office Library di London, Inggris, dalam katalognya mencatat beberapa naskah Lampung yang menjadi milik mereka. Dalam Ricklefs dan Voorhoeve dicatatsatu naskah Lampung yang terdapat dalam koleksi India Office Library, Surat Pantun cara Lampung (Malay A.4) yang berbentuk wayak, semacam pantun yang berpola a-b-a-b.
Isi naskah Lampung banyak ragamnya. Menurut Pudjiastuti, 1997, ada teks yang membicarakan mantra, doa, dan rajah (khajah). Di daerah itu dikenal mantra pekasih, mantra penolak bala, mantra pembenci, mantra untuk mengambil madu, dan mantra kekebalan. Doa juga banyak ditemukan dalam naskah tersebut. Doa disebut dengan memang. Sama halnya dengan mantra, memang juga terdapat dalam berbagai. ragam; ada memang untuk para bujang dan gadis agar dapat saling menyintai; memang untuk mengobati orang sakit; dan memang untuk memohon dan meminta kepada Tuhan. Ramalan, doa, dan primbon juga sering dibahas dalam naskah Lampung. Di samping itu, silsilah yang berisi daftar keturunan dari nenek moyang yang melahirkan penduduk di daerah itu. Di samping silsilah, hukum adat dan undang-undang juga ada.

d.             Pernaskahan Bugis dan Makasar
Di Sulawesi Selatan tinggal empat suku yang besar, suku Bugis (50 %), suku Makasar (30 %), suku Toraja (5 %), dan suku Mandar (5 %). Toraja masih hidup dalam tradisi lisan sehingga di daerah itu agaknya tidak ditemukan naskah. Suku lainnya banyak yang memiliki naskah yang mereka sebut dengan lontarak. Penyebutan itu lebih dikenal dalam naskah Bugis/Makasar. Penyebutan nama lontarak karena bahan naskah yang digunakan berasal dari lontar, yaitu bahan naskah yang dibuat dari sejenis daun palma dengan proses tertentu sehingga dapat ditulis. Alat tulisnya dapat berupa pisau kecil yang ujungnya sangat lancip. Dengan pisau itulah lontar yang sudah siap ditulis dipotong dengan ukuran tertentu kemudian baru ditulis. Setelah selesai, di atas tulisan itu diberi minyak yang berwarna hitam (biasanya campuran minyak dan kemiri yang sudah diolah kalau di Jawa). Lontar bukan satu-satunya alas tulis yang dikenal di daerah itu, kertas juga dikenal mereka.
Aksara Lontarak, berdasarkan pendapat beberapa peneliti, berasal dari aksara Pallawa. Akasaranya oleh masyarakat di daerah itu disebutnya aksara lontarak. Aksara itu dikenal juga dengan aksara Bugis/Makasar. Menurut penelitian Noorduyn aksara itu ditulis dengan berbagai variasi dan banyak pakar yang sudah menefctinya, seperti Raffles, Crawfurd, 'Ihomsen. Berikut ini dicontohkan aksara itu yang dicunbil dari penelitian Noorduyn (1993:539) dalam makalahnya yang berjudul Variation in the Bugis/Makasarese Script, yang diterbitkan dalam majalah BKl, 149. Apakah Anda mengenai akasara ini?

Aksara Bugis
 
















Naskah-naskah Sulawesi Selatan disimpan di beberapa lembaga formal dan di rumah perorangan yang menjadi milik pribadi. Naskah yang menjadi nulik pribadi biasanya sangat jarang dibuka, apalagi untuk diketahui isinya. Pembukaan naskah biasanya dilakukan dengan suatu upat ara khusus, hampir sama dengan kebanyakan naskah-naskah daerah lain di Indonesia. Karena jarang dibuka, banyak para pemilik yang baru sadar setelah melihat bahwa naskah sudah rusak ketika dalam waktu lama tidak dibuka. Cara penyimpanan naskah ini pun sangat menyedihkan karena disimpan di antara onggokan padi di rangkiang bersama dengan benda pustaka lain, seperti keris dan badik. Padahal kedua benda itu bahannya berbeda dengan lontar serta kertas. Lontar dan kertas memerlukan suhu tertentu di tempat penyimpanannya. Kondisi itu berbeda dengan tempat penyimpanan naskah yang ada di beberapa lembaga formal, seperti perpustakaan dan museum. Mereka sudah lebih layak menyimpannya meskipun tentunya belum memenuhi sy arat sepenuhnya untuk pemeliharaan naskah.
Naskah dari daerah itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan saja disimpan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, juga menyimpannya. Bahkan, beberapa perpustakaan di luar negeri seperti di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan beberapa perpustakaan di London, Inggris. Suatu peristiwa yakni pembakaran naskah yang sangat merugikan menimpa pernaskahan di daerah itu. Peristiwa itu terjadi pada masa DI/TII. Peristiwa pembakaran itu terjadi di beberapa daerah yang dikuasainya. Menurut Gani (1991:172) pada masa itu anggota gerombolan banyak yang merampas nakah-naskah peninggalan nenek moyang mereka yang disimpan para penduduk. Naskah itu dimusnahkan karena mereka menganggap penduduk menyembahnya. Dan penyembahan pada naskah itu disamakan dengan penyembahan berhala. Penyembahan seperti itubertentangan dengan ajaran agama Islam yang murni. Pada saat itu, memang pada kenyataannya para pemilik naskah sering melakukan upacara penghormatan terhadap naskah. Peristiwa itu menjadi semacam trauma bagi beberapa pemilik naskah di daerah itu sehingga dampaknya sampai saat ini masih terlihat. Kalau ada peneliti yang mencari atau akan meminjam naskah, mereka curiga bahwa mereka juga akan memusnahkan naskah yang masih ada. Oleh sebab itu, para peneliti harus pandai membujuk dan memberi keyakinan sehingga mereka dapat mengeluarkan naskah mereka.
Naskah yang berasal dari Sulawesi Selatan isinya sangat beragam. Kembali pada penelitian Gani (1991:171), ia mengelompokkan isi naskah tersebut atas delapan bidang ilmu yang uraiannya seperti di bawah ini.
(1)   Naskah yang berisi asal-usul atau silsilah raja-raja, keluarga bangsawan yang disebutnyaattoriolong. Naskahjenis inisangatbaikuntuk dijadikanbahan dalam penyusunan sejarah atau daftar silsilah. Dalam naskah yang semacam ini kadang-kadang ditemukan juga catatan-catatan peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam.
(2)   Lontarak bilang yang isinya hampir mirip dengan  ottoriolong, tetapi lebih terperinci dan lebih rumit. Naskah ini dapat dianggap sebagai catatan harian.
(3)   Nasihat yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat disebut pappangaja.
(4)   Ulu ada yaitu lontarak yang berisi berbagai perjanjian, terutama perjanjian yang bertalian dengan negara atau kerajaan.
(5)   Undang-undang atau peraturan yang berasal dari adat leluhur yang disebut sure bicara attoriolong.
(6)   Berbagai naskah yang isinya tentang obat-obatan yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan biasa digunakan oleh masyarakat setecnpat. Naskah berjenis ini disebut lontarak pabbura.
(7)   Lontarak palakia berisi tentang ilmu perbintangan (ilmu falaq).
Pada dasarnya berbagai jenis isi yang disebutkah di atas juga terdapat dalam naskah lain, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda. Hanya keunikan berbagai ragam isi naskah sudah dinamakan dalam bahasa asli Bugis.

e.               Pernaskahan Jawa
Naskah jawa tidak kalah kayanya jika dibandingkan dengan Melayu yang penyebarannya sangat luas di berbagai kepulauan Naskah Jawa juga tersebar di beberapa tempa t, tetapi terbatas pada Pvdau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Naskah itu ditemukan, di antaranya diCirebort, Solo, Surakarta, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Banten. Jumiahnya juga sangat besar. Behrend (1993:407) mengatakan 19.000 naskah Jawa yang penyimpanannya tersebar di beberapa lembaga di Indonesia dan Eropa, belum termasuk yang dikoleksi oleh perorangan. Naskah Jawa tersimpan hampir di 27 negara, di antaranya Indonesia, Inggris, Belanda, Rusiajerman, dan Itali. Di Indonesia penyimpanannya tersebar, seperti di Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Denpasar.
Bahasa yang digunakan ada tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru. Aksara yang digunakan dalam naskah yang berbahasa Jawa disebut aksara Jawa atau hanacaraka, sedangkan aksara Arab yang mtnggunakan bahasa Jawa disebut pegon. Naskah beraksara pegon biasanya ditulis di daerah Banten, Madura, dan Cirebon.
Contoh aksara Jawa (hanacaraka) diambil dari Simuh (1988:vii)












Bagairnana dengan bahan atau alas naskah? Masyarakat Jawa mengenai lontar sebagai alas naskah yang dibuat dari sejenis pohon palma. Bahan yang sama juga dipakai untuk naskah Bugis, Bali, dan Sunda. Alat tulisnya disebut pengutik, sedangkan tintanya dibuat dari minyak kemiri. Selain lontar, naskah Jawa juga ditulis di atas kertas baik kertas tradisional maupun kertas Eropa. Kertas tradisional disebut dluwang. Kertas ini dibuat dari bahan khusus dari kulit sebuah pohon yang kemudian diproses secara tradisional. Untuk menulis naskah yang berasal dari bahan itu adalah tinta. Tinta. itu ada yang dibuat secara tradisional.
Jika kita ingin mengetahui keragaman naskah Jawa, ada beberapa katalog yang dapat dipakai untuk mengecek kekayaan naskah itu. Dalam Caraka no .4 disebutkan beberapa katalog yang mendeskripsikan keadaan naskah Jawa. Katalog yang paling lengkap dan sering dipakai, di antaranya Juynboll, 1907, dengan judul Supplement of den catalogus van de Javaansche en Madoeresche Handschriften der Leidsclte Universiteits Bibliotheek. Katalog Nikolaus Girardet yang diterbitkan pada tahun 1983 yang berjudul Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and Printed Book in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Bagairnana dengan isi naskah? 'Naskah Jawa sangat kaya, sesuai dengan perkembangan kebudayaannya yang dilatarbelakangi oleh agama Hindu, Budha, dan Islam. Sehubungan dengan itu, isi yang ada dalam naskah juga sangat beragam, di antaranya obat-obatan, primbon, cerita panji, cerita wayang, sastra sejarah, dan masih banyak yang lainnya. Pada bagian ini hanya dicontohkan beberapa karya sastra sejarah, primbon, dan cerita panji.
Dalam sastra Jawa, banyak sekali ditemukan sastra sejarah. Anda tentu pernah mendengar Babad Tanah Jawi. Karya itu sangat terkenal. Kata babad tampaknya dipakai untuk karya-karya yang bersifat kesejarahan. Dalam khazanah sastra itu dikenal juga Babad Diponegoro (KBG:5) yang mengisahkan peristiwa Perang Diponegoro pada tahunl813. Dalam karya itu diceritakan pengalaman Caradiwirya yang memerangi pasukan Diponegoro di berbagai daerah. Sesudah peperangan ia diangkat menjadi Adipati Diponegoro. Naskah yang berisi ramalan atau primbon, seperti Nalatruna (KBG:681) sangat unik karena disertai dengan berbagai gambar raja dan disertai berbagai mantra. Yang tidak kalah menariknya adalah cerita panji. Dalam sastra itu, di antaranya dikenal Panji Angreni, Panji Dewakusuma Kembar, dan
Panji Kuda Semirang. Karya sejenis itu dapat dikertali dari beberapa tokohnya yang selalu mer.ampilkan tokoh Panji dan Candra Kirana atau nama-nama samaran lain yang sering mereka pakai. Selain cerita panji, dikenal juga cerita yang hampir mirip dengan cerita itu karena berbagai petualangan dikisahkan. Cerita itu adalah cerita wayang. Wayang merupakan pertunjukan yang menarik dalam kebudayaan ini dan sangat digemari bahkan di mancan egara. Cerita wayangbukanhanya ditemukan dalam pertunjukan, melainkan juga dalam bentuk naskah, seperti Bharatayuddha (Add. 12279), Serat Kitab Tufah dan Serat Wirid Hidayat membahas hubungan manusia dan Tuhan juga merupakan naskah keagamaan yang menarik. Simuh (1988) mengambil Wirid Hidayat Jati menjadi bahan disertasinya. Ia memberi judul peneliiiaimva dengan Mistik Islam Kejuwen Raden Ngabehi Ranggaxvarsita: Dalam naskah itu digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan

f.       Situasi Pernaskahan Bima
Kalau ingin mengetahui khazanah naskah Bima, kita dapat melihat katalogus yang disusun oleh Mulyadi dan Salahuddin (1990 dan 1992) yang berjudul Katalogus Naskah Melayu Bima, jilid 1 dan II. Di dalam buku itu diuraikan dan dideskripsikan keadaan naskah Bima yang saat ini menjadi koleksi Museum Kebudayaan Sampuraga, Bima, Museum Negara Nusa Tenggara Barat, Mataram, dan naskah yang menjadi koleksi Desa Maria, Kampung Dara, Bima. Naskah yang dideskripsikan dalam katalogus tersebut adalah naskah yang menjadi koleksi istana Sultan Muhammad Salahuddin (1915 — 1951), Sultan Birna terakhir.
Naskah Bima, menurut kedua peny usun tersebut, tidak banyak yang merupakan cata tan dari periode pra-Islam yang ditulis dalam aksara Bima denganbahasa Bima. Mereka hanya menemukan satu atau dua naskah saja yang berbahasa Bima. Timbul dugaan bahwa besar kemungkinan hilangnya naskah dari periode ini karena suatu kebakaran besar yang terjadi pada masa pemerintahanSultan Abdul Kadim Zilullah fial Alam, tahun 1751 — 1773. Menurut Noorduyn kebaka ran itu telahmemusnahkan banyak naskah. Rupanya naskah pada periode pra-islam ke periode masuknya Islam, di Bima pada akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17, membawa perubahan besar sehingga bahasa yang digunakan kerajaan Bima adalah bahasa Melayu. Bahasa itu menjadibahasa resmi negara. Oleh karena itu, i iaskah~naskah peninggalan dari periode inilah yang banyak ditemukan saat ini. Berdasarkan deskripsi dua. katalog di atas, naskah Bima tampaknya hampir semua ditulis di atas kertas. Naskah itu ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu, aksara Arab dengan bahasa Arab, dan aksara Arab dengan bahasa Bima.
Seperti yang diuraikan dalam kedua katalog itu, kita dapat mengetahui isi naskah Bima. Kedua penyusun katalog itu membagi teks Buna menjadi tujuh jenis, yaitu Bo, sejenis catatan harian yang sangat lengkap uraiannya disertai dengan penanggalan waktu terjadinya suatu peristiwa, doa dan ilmu agama, filsafat, hikayat, silsilah, surat, dan surat keputusan. Ketujuh jenis itu kemudian ditambah lagi dengan dua jenis pada Katalogus Naskah Melayu Bima II, yakni surat peraturan dan surat perjanjian kontrak serta ilmu tua.

Contoh aksara Bima yang diambil dari Mulyadi dan H.S. Maryam (1991:72)











g.              Pernaskahan Sunda
Naskah yang berasal dari suku Sunda (Jawa Barat) bahannya juga beragam seperti daerah lain karena di daerah itu ditemukan juga naskah yang ditulis di atas daun pair aa (daun lontar, daun kelapa, daun pandan, dan daun nipah), bambu, dan kertas. Kertas yang digunakan terdiri atas dua macam, yaitu kertas tradisional yang disebut daluwang dan kertas Eropa.
Bahasa yang digunakan ada yang berbahasa Sunda, Jawa, dan Melayu. Bahasa Sunda dibagi lagi atas Sunda Kuna yang digunakan pada naskah yang dibuat sekitar abad 16 — 18 dan Sunda Baru digunakan dalam naskah yang berasal dari abad 19. Naskah berbahasa Jawa biasanya digunakan bahasa jawa-Cirebon, Jawa-Periangan, dan Jawa-Banten. Bahasa Melayu digunakan dalam naskah yang ditulis pada akhir abad 19 yang jumiahnya tidak terlalu banyak. Aksara yang digunakan adalah aksara yang disebut Sunda Lama (digunakan pada naskah-naskah yang berasal dari sebelum abad 18), Cacarakan (Jawa-Sunda yang dipakai pada sekitar akhir abad 17), Arab dan Latin (naskah-naskah yang berasal dari abad 19).
Naskah yang berasal dari daerah itu diperkirakan jumiahnya mencapai 1.500 buah. Di antara naskah-naskah itu masih banyak yang disimpan oleh masyarakat sebagai milik pribadi dan beberapa lembaga formal di tanah air. Museum Negeri Jawa Barat dan Kantor EFEO (Bandung), MuseumCigugur (Kuningan) di antaranya yang menyimpan naskah Sunda. Selain itu, beberapa perpustakaan di luar negeri ju ga menyimpannya, yakni Perpustakaan Universitas Leiden, perpustakaan KITLV di Belanda, dan The British Library serta Bodleian Library di London. Di samping itu, beberapa pesantren juga ada yang menyimpannya. Untuk melihat berbagai naskah Sunda dan tempat koleksinya dapat dilihat dalam katalog Naskah Sunda (Bandung: Universitas Padjadjaran,1988) yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh EdiS. Ekadjati. Katalog lain yang dapat dipakai adalah Katalog Naskah-naskah Sunda di Museum Pusat (Yumsari Yusuf), dan R. Memed Sastrahadiprawira dengan judul Katalogus Naskah-naskah Sunda di Museum Nasional Jakarta
Menurut Ekadjati (1988), naskah Sunda banyak yang sudah hancur danmusnah yang tidak mungkin dapat diketahui lagi isinya. Kehancuran itu disebabkan oleh musibah, seperti terbakar, tertimpa banjir, hilang, dan rusak dimakan hama. Selain itu, ada pula karena kelalaianpemiliknya, misalnya diunggal mengungsi sehingga tidak terpeiihara lagi.
Naskah Sunda yang masih diselarnatkan hingga kini jika dilihat dari isinya hampir sama dengan naskah lain dari bagian Nusantara lainnya. Naskah itu ada yang mengisahkan tentang silsilah, sejarah, ajaran agama, dan adat istiadat, serta ajaran moral.
Berikut ini salah satu contoh naskah Sunda yang bentuknya seperti kipas yang diambil dari buku Illuminations (1996).




Sebagai informasi para peneliti yang membahas naskah Sunda adalah Atja 1968, Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Edi S. Eka Djati, 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Jakarta: Dunia Pustaka Djaja, dan Joedawikarta, 1933, Sadjarah Soekapoera, Parakanmoentjang Sareng Gadjah, Bandung: Pengharepan.

Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1)      Sebutkan daerah mana saja yang memiliki naskah?
2)      Di mana saja naskah-naskah itu disimpan saat ini dan sebutkan tiga perpustakaan di luar negeri yang menyimpan naskah?
3)      Sebutkan nama aksara di daerah yang ada di Indonesia?

Petunjuk jawaban Latihan
Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu jawaban di bawah ini.
1)      Daerah yang memiliki naskah di Indonesia ini sangat banyak. Di Sumatra terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau jawa memiliki naskah di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Am­bon. Di Sulawesi naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
2)      Naskah-naskah Indonesia ada yang disimpan di dalam dan di luar negeri. Di dalamnegerinaskah disimpan di daerah-daerah masing-masing sebagai pemilik naskah, yaitu di perpustakaan dan lembaga daerah serta di rumah beberapa penduduk yang masih memilikinya. Di Jakarta disimpan berbagai naskah daerah Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional. Di luar negeri ada juga naskah yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV di Belanda serta di Perpustakaan School of Oriental and African Studies di London.
3)      Lima aksara yang ada di Indonesia adalah aksara Batak, aksara Lampung, aksara Jawa (hanacaraka), aksara Arab Melayu (Jawi), dan aksara Bima.

Sehubungan derigannaskah dan teks, Indonesia yang terdiri atas berbagai daerah ini sangat kaya dengan kedua hal itu. Hampir setiap daerah mempunyai naskah yang ditulis dalam bahasa daerah masing-masing dengan aksara atau huruf daerah. Oleh sebab itu, penelitian pernaskahan Indonesia sangat perlu dilakukan. Untuk melihat kekayaan naskah Indone­sia, berbagai daerah yang memiliki naskah itu patut ditampilkan, misalnya naskah apa saja yang mereka dimiliki, naskah ditulis dalam aksara daerah apa, dan di mana saat ini naskah itu disimpan. Uraian itu penting agar Anda mengetahui latar balakang pernaskahan sebelum melakukan sebuah penelitian. Dari berbagai pernaskahan di Indonesia, dalam bagian ini hanya diambil tujuh pernaskahan daerah. Pemilihan ketujuh daerah itu berhubungan dengan hasil penelitian yang mudah dijangkau. Pernaskahan daerah itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis/Makasar, Jawa, Bima, dan Sunda.