Rabu, 22 Maret 2017

Hakikat Puisi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam KBBI digital Vol 1.2, kata “Hakikat” bermakna intisari atau dasar dan kenyataan yang sebenarnya (kesungguhan). Dalam konteks pembahasan puisi, tentu makna pertama (intisari atau dasar) yang sesuai untuk kita sandingkan dengan kata puisi. Sekarang pertanyaannya adalah apakah hakikat puisi itu? 

William Wordsworth, Penyair Romantik Inggris, menghayati puisi sebagai suatu luapan spontan dari perasaan-perasaan yang kuat-a spontaneous overflow of powerful feelings. Maksudnya, puisi hadir dalam diri seseorang sebagai akibat adanya suatu perasaan kuat spontan tertentu sebagai hasil dari merasakan peristiwa tertentu sehingga secara spontan ide/gagasan (notion) muncul yang kemudian divisualisasikan ke dalam bentuk teks dengan bahasa yang dipadatkan.

Lalu apakah intisari atau dasar yang membentuk puisi itu sendiri? Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hakikat puisi.

B.     Ruang Lingkup
1.      Tema Puisi
2.      Makna Puisi
3.      Rasa Puisi
4.      Nada Puisi
5.      Amanat Puisi






BAB II
PEMBAHASAN

Hakikat sebuah puisi terdiri dari empat hal di antaranya: tema, rasa, nada, dan amanat. Tema adalah gagasan atau ide utama seorang penyair yang ingin disampaikan dalam puisinya. Rasa adalah suasana yang dibawakan penyair dalam puisinya yang dapat dirasakan oleh pembaca. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dan amanat atau pesan adalah kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca tuntas sebuah puisi.

Berdasarkan keempat hal pembangun hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi adalah unsur-unsur inti yang bersifat batiniah pada puisi itu sendiri. Satu kesatuan keempat hal itulah yang disebut hakikat puisi.
A.    Tema
Mengutip dari Aminuddin (1987: 151), ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi itulah yang dimaksud dengan theme atau tema. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. Disebut tidak sama dengan pandangan moral maupun message karena tema hanya dapat diambil dengan jalan menyimpulkan inti dasar yang terdapat dalam totalitas makna puisi, sedangkan pandangan moral atau message dapat saja terdapat dalam butir-butir pokok pikiran yang ditampilkannnya. Dengan kata lain, bidang cakupan tema lebih luas daripada pandangan moral maupun message. 

Waluyo (2002: 17) menyebutkan, tema adalah gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema atau theme haruslah bersifat khusus, objektif, dan lugas. Berikut ini adalah beberapa tema yang biasa ditemukan dalam puisi (Waluyo, 2002: 18):
1.      Tema Ketuhanan
Tema ketuhanan atau tema religius filosofis ialah tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan tuhan, dan menghargai alam seisinya (Waluyo, 2002: 18-19). Berikut adalah contoh puisi bertema ketuhanan :
Ritual Tengah Malam

Setiap malam, kulihat kaukeluar kamar menyalakan lampu untuk memastikan masihkah ada cahaya dalam gelap yang beberapa jam lalu, sebelum kautidur, lampu-lampu itu tidur tak mendengkur.

Langkahmu menuju ruang belakang: kamar mandi, dapur, dan meja makan
Disebut yang pertama kau ada di dalamnya, mengambil air wudu yang kaugunakan untuk basah-basahan, membasuh dan mengusap anggota tubuh yang perlu disetubuhi air.

Tengah malam, kau mulai berzikir dan berucap Bismillahirrahmanirrahim
Aku melihat dan mendengarnya dengan mata dan telinga yang terjaga
Kau ambil secarik kertas, pulpen, dan pikiranmu yang kauletakkan di atas meja
Kau merapal kata-kata, "Ritual tengah malam ini adalah nutrisi untukku
dan juga untuk orang-orang yang ingin berteman dengan kata-kata
seperti para pujangga.

"Ritual tengah malam ini adalah tangga awal untuk dipijak
agar kuat melangkah pada
pijakan-pijakan tangga selanjutnya.

Pada pertengahan ritual, matamu jatuh di atas meja tanpa kau sadari,ia berkedip sebagai tanda lelah. Kau mengacuhkannya
Kau ambil matamu itu dan kau letakkan ke tempat semula
Kau lanjutkan tarian-tarian jemarimu dengan sukacita
Matamu nanar, melihat jemarimu tanpa beban bergoyang ke kiri ke kanan
Sampai azan subuh berkumandang, kau berhenti.
Melanjutkan perjalanan!

(Faliq Ayken, Puisi Malam, 2014)

Dalam puisi di atas, penyair menceritakan seseorang yang bertakwa. Tiap tengah malam sosok kau melakukan aktivitas beribadah yang menggunakan kata ritual. Kebiasaan ritual ini sepatutnya diterapkan di kehidupan sehari-hari agar selalu dekat dengan Tuhan.




2.      Tema Kemanusiaan
Tema ini berisi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut martabat manusia seperti saling menghargai, menghormati, adil, dan manusiawi. Berikut adalah contoh puisi bertema kemanusiaan (Waluyo, 2002: 19-20): 
Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral 
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
....................................................
(Toto Soedarto Bachtiar, Suara, 1956)

Penyair mengungkapkan bahwa gadis kecil berkaleng kecil itu harus dihargai, diperhatikan, dan manusia yang memiliki martabat yang mungkin lebih tinggi darimenara katedral.

3.      Tema Patriotisme
Puisi bertema patriotisme, penyair mangajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air. Berikut adalah contoh puisi bertema patriotisme (Waluyo, 2002: 21-22):
Diponegoro 

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api 
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu 
Sekali berarti 
Sudah itu mati
............ .
Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Chairil Anwar, Kerikil Tajam, 1978)

4.      Tema Cinta Tanah Air
Waluyo (2002: 23-24) membedakan puisi bertema patriotisme dan cinta tanah air. Puisi bertema patriotisme mengungkapkan perjuangan membela bangsa dan tanah air, sedangkan puisi bertema cinta tanah air berupa pujian kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta. Berikut adalah contoh puisi bertema cinta tanah air (Waluyo, 2002: 23-24): 
Tanah Sunda

Ke mana pun berjalan, terpandang daerah ramah di sana
Ke mana pun ngembara, kujumpa
manusia hati terbuka mesra menerima
................
Riak sungai pagi-pagi 
Angin keras menyibak rambut di dahi 
Dan kulihat tanah penuh darah tubuh beku berbaring kuyu  menggapai tangan sia-sia  berseru pun sia-sia

Ah, di mana pun kaubukakan rangkuman 
Ku kan menetap di sana 
Kapan pun kaulambaikan tangan 
Ku kan dating menekankan jantung ke tanah hitam 

(Ajip Rosidi, Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)

Penyair menunjukkan cinta kepada tanah kelahiran melalui puisinya. Tanah kelahirannya, Sunda, merupakan daerah yang ramah, orang-orangnya selalu mesra menerima si penyair.



5.      Tema Cinta Kasih antara Pria dan Wanita
Puisi banyak yang bertema cinta kasih antara pria dan wanita. Penyair biasanya berusaha mengungkapkan rasa cintanya kepada seseorang melalui puisinya. Beberapa puisi memiliki tema cinta yang meliputi perkenalan, asmara, perpisahan, atau cinta yang bertepuk sebelah tangan (Waluyo, 2002: 24). Berikut ini adalah puisi yang bertema cinta antara pria dan wanita
Demam Rindu
Buat Rinrin Sri Annisa
Biarkan waktu yang 'kan menjawab
Semua teka-teki keraguan kita
Sebab yakin bukan soal memaksa.
Adakah cinta yang ingin terlantar?
Adakah cinta yang ingin sendiri
Ketika sepi menegaskan diri?
Aku mendemamkanmu dalam rindu
Di tiap guguran malam yang memaksa pagi menimang fajar
Isak tangis hangatnya membuat tanah, air, dan udara pasrah.
Kautahu, aku menanam namamu di kebun pikiranku setahun lalu
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.
Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya.

(Oky Primadeka, Puisi Waktu, 2014)

Puisi di atas, penyair mengungkapkan perasaan cintanya terhadap sosok wanita yang telah diidamkan sangat lama. Aku mendemamkanmu dalam rindu menunjukkan bahwa penyair dilanda rindu yang sangat mendalam sehingga diibaratkan sakit demam. Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya merupakan maksud yang ingin disampaikan penyair bahwa cintanya tak akan dilepaskan begitu saja.

6.      Tema Kerakyatan
Dalam tema ini, penyair mengungkapkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan dan dapat menentukan pemerintahan suatu negara. Berikut ini adalah puisi yang bertema kerakyatan atau demokrasi (Waluyo, 2002: 27-28): 
Rakyat 
Rakyat ialah kita jutaan tangan yang mengayun dalam kerja di bumi di tanah tercinta  jutaan tangan mengayun bersama  membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga  mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota menaikkan layar menebar jala  meraba kelam di tambang logam dan batubara  Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita  otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
................ .
Rakyat ialah kita  beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang  bertangga  suara kecapi di pegunungan jelita  suara bonang mengambang di pendapa  suara kecak di muka pura  suara tifa di hutan
pala 

Rakyat ialah suara beraneka.
Rakyat ialah kita puisi kaya makna di wajah semesta
................. .
Awan menyimpan topan 
Rakyat ialah puisi di wajah semesta 
Rakyat ialah kita  darah di tubuh bangsa  debar sepanjang masa 
(Hartoyo Andangjaya, Buku Puisi, 1973)
Dalam puisi ini penyair mengungkapkan bahwa rakyat sangat berkuasa dengan menyebutnya darah di tubuh / debar sepanjang masa yang berarti menjadi darah bangsa Indonesia dan jantung bangsa sepanjang masa.

7.      Tema Protes Sosial
Puisi bertema protes atau kritik sosial menonjolkan puisi yang menuntut keadilan bagi kaum tertindas. Tema ini akan menampilkan puisi yang mengungkapkan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum kaya, atau bahkan negara terhadap rakyat jelata (Waluyo, 2002: 28). Berikut ini adalah contoh puisi bertema protes sosial
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alas an
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul, 1986)

Dalam puisi Peringatan karya Wiji Thukul mengungkapkan kritik dan protesnya terhadap pemerintah yang pada waktu itu seolah menjadi tirani. Penyair memprotes pemerintah agar selalu belajar mendengar keluh-kesah rakyatnya. Bahkan, jika suara rakyat dibungkam dan kritik rakyat dilarang tanpa alasan, penyair membalasnya dengan kata lawan!.

8.      Tema Pendidikan
Puisi bertema pendidikan biasanya menampilkan nilai-nilai budi pekerti atau kebaikan (Waluyo, 2002: 30). Berikut ini adalah contoh puisi bertema pendidikan atau budi pekerti.
Tiga Jendela
Waktu sepi, pelan-pelan kubuka pintu kamar
Di dalam banyak suara-suara terdengar samar
Kubawa masuk tubuh dan rasa ingin tahuku
Pandanganku berhenti pada tiga jendela itu

Jendela pertama kubuka, masuk ke dalam
Ruangannya besar penuh tanda-tanda
Kamar ada: fisika metafisika

Jendela kedua kubuka pelan-pelan
Kulihat dengan tatap penuh pertanyaan
Ruangan ini begitu luas, banyak jebakan
Sebagai alat berpikir, kusiapkan akal agar tak banal
Kamar pengetahuan: empiris rasional

Jendela ketiga kubuka dengan nilai-nilai
Tempat belajar bagaimana bersikap
Tempat belajar bagaimana bermasyarakat
Ujung seluruh pengetahuan yang ada
Kamar nilai: etika estetika

Pintu kamar kututup dengan tenang
Kutetapkan menetap di dalamnya
Bersama tiga jendela
(Faliq Ayken, Puisi Jendela, 2014)

Dalam puisi di atas, penyair mengungkapkan nilai pendidikan melalui kata jendela. Pada jendela kedua: kamar pengetahuan yakni empiris rasional seseorang haruslah menggunakan akalnya sebagai alat berpikir. Pada jendela ketiga: kamar nilai etika dan estetika, penyair menjelaskan dan mengajak pembaca bagaimana cara bersikap dan bermasyarakat melalui ilmu filsafat.

B.     Sense atau Makna
Seperti disebutkan sebelumnya, sense diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai makna. Mengutip Aminuddin (1987: 150), sesuatu yang diciptakan atau dikembangkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkannya disebut sense. Terdapatnya sense dalam suatu puisi, pada dasarnya akan berhubungan dengan gambaran dunia atau makna puisi secara umum yang ingin diungkapkan penyairnya.

Tarigan (2011: 10) menyebut sense sama dengan tema atau makna. Menurutnya, penyair mengemukakan, mempersoalkan, dan mempermasalahkan pengalaman-pengalamannya kepada penikmat melalui puisinya sehingga dapat menimbulkan makna tertentu (Tarigan, 2011: 10).
Contoh (Tarigan, 2011: 10-11): 
Kembang Setengah Jalan
Mejaku hendak dihiasi
Kembang jauh dari gunung
Kaupetik sekarangan kembang,
Jauh jalan panas hari,
Bunga layu setengah jalan.

(Armijn Pane, Jassin, 1963: 88)
Sense atau makna yang didapat dari puisi di atas adalah "sesuatu yang tak sampai". Sesuatu itu adalah kembang yang melambangkan kasih, cinta, atau wanita. Makna atausense yang didapat dari sajak di atas adalah kasih tak sampai atau cinta yang bertepuk sebelah tangan (Tarigan, 2011: 11).

C.    Feeling atau Rasa
Adapun mengenai sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya disebut dengan feeling (Aminuddin, 1987:150). Feeling mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran tertentu, manusia pada umumnya juga dilator belakangi oleh sikap tertentu pula. Pembahasan mengenai feeling tidak terlepas dari pembahasan subject matter. Sikap penyair terhadap apa yang ditampilkan lewat puisinya tersebut akan tercermin ketika pokok pikiran penyair terhadap puisinya sudah diketahui terlebih dahulu.

Sama seperti Tarigan (2011: 12) yang menyebutkan rasa atau feeling merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya (Tarigan, 2011: 12). Perasaan penyair dalam puisinya dapat ditangkap saat puisinya dibacakan secara deklamasi. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya dapat menghasilkan suasana hati penyair, seperti perasaan gembira, sedih terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal (Waluyo, 2002: 39-40).
Contoh :
Langkahmu Ayah

Tap tap
Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
Bukan untuk rengekan tambahan jajan
Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
Dari lengkung senyumnya yang letih menawan

Tap tap
Langkah itu berlari cepat ke arahku
Saat ragaku tak seimbang lalu jatuh
Saat jiwaku rapuh seakan dunia 'kan runtuh

Tap tap
Langkahnya mantap namun berat
Sepatunya disemir hingga hitam mengkilat
Tangannya memegang lenganku kuat
Menuntunku pada langkah awal yang baru

Tap tap
Tongkat topang kakinya lemah
Mendekatiku dengan langkah payah
Kerutan dan rambut putihnya bertambah
Tapi pelukannya masih sehangat dulu
Lengkung senyumnya masih semenawan dulu

Tap tap
Langkahku mulai goyah
Mengantarkan pada langkahnya yang terakhir
Langkahmu Ayah...

(Yuni Budiawati, Puisi Sepatu, 2014)

Puisi di atas menggambarkan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yakni perasaan sedih dan haru.

D.    Tone atau Nada
Tone mengandung maksud sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya. Tarigan (2012: 18) juga menyebutkan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya. Sebuah puisi akan bernada "sumbang" bila puisi bertema kegagalan (Tarigan, 2012: 18).

Dalam puisi, nada atau tone mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca sehingga menimbulkan suasana puisi. Penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada pembacanya melalui puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, belas kasih (memelas), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor, mencemooh, angkuh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo, 2002: 37).
Contoh :
Gila Hormat

gila kuasa
gila tepuk tangan
gila eksistensi
tak gila esensi
esensi gila
lawan malas
tolak ingin dihargai
ini esensi eksistensi
ingin dihargai
berapa hargamu?
murah atau mahal?
itu masuk akal atau banal?
gila saja terus
bawa cermin
hormat di depannya
pasti tambah gila
sudah hormat pada dirimu sendiri?
bagaimana pendapatmu?
 apa ada caci maki?
GILA HORMAT! BANGSAAAT!
GILA HORMAT! BANGSAAAT!
GILA HORMAT! BANGSAAAT!
caci maki saja terus
bercermin terus
jangan berhenti
awas kacanya mati

(Faliq Ayken, Puisi Penjajahan, 2014)


Puisi di atas menunjukkan sikap penyair yang bernada sinis atau tidak setuju terhadap seseorang yang ingin selalu dihormati. Dan jika dideklamasikan dengan lantang, tentu akan menemukan efek tertentu saat membaca atau mendengar puisi tersebut.

E.     Amanat
Pengertian amanat atau pesan sebagai unsur unsur puisi adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan, pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya. Secara sadar ataupun tidak seorang penyair yang juga merupakan sastrawan dan anggota masyarakat khususnya yang berperan dalam literasi harusnya bertanggungjawab dalam menjaga kelangsungan hidup dan ketenangan dalam masyarakat sesuai dengan hati nuraninnya.

Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Walaupun menurut Waluyo (1991:130) dalam banyak puisi, para penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair. 

Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari  sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

Contoh :
Dari seorang Guru kepada Murid-muridnya

Adakah yang kupunya anak-anakku
Selain buku-buku dan sedikit ilmu
Sumber pengabdianku kepadamu

Kalau hari Minggu engkau datang ke rumahku 
Aku takut anak-anakku
Kursi-kursi tua yang di sana
Dan meja tulis sederhana

Dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
Semua kepadamu akan bercerita
Tentang hidupku di rumah tangga

(Hartoyo Andangjaya)
Amanat /pesan puisi tersebut sbb. :
·         Perbaikilah nasib guru
·         Hormatilah guru yang hidup menderita, tetapi tetap berbakti dengan semangat
·         Jangan menilai guru dari harta materi, tetapi dari keseluruhan martabatnya.
 
BAB III
KESIMPULAN

Hakikat sebuah puisi terdiri dari empat hal di antaranya: tema, rasa, nada, dan amanat. Tema adalah gagasan atau ide utama seorang penyair yang ingin disampaikan dalam puisinya. Rasa adalah suasana yang dibawakan penyair dalam puisinya yang dapat dirasakan oleh pembaca. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dan amanat atau pesan adalah kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca tuntas sebuah puisi.

Berdasarkan keempat hal pembangun hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi adalah unsur-unsur inti yang bersifat batiniah pada puisi itu sendiri. Satu kesatuan keempat hal itulah yang disebut hakikat puisi.




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera, 2006.

Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, tt.

Jassin, H.B. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas, 2011.

Darmojuwono, Setiawati. "Semantik," Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, eds. Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Semantik. Bandung: Refika, 1999.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Cet. 13. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Rahardjo, Mudjia. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: UIN-Malang Press, 2007.

Setiawan, Ebta. Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan. 2010-2013.

Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka, 2011.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra Rev.ed. Bandung: Angkasa, 2011.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi: Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Waridah, Ernawati. EYD Ejaan yang Disempurnakan & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Cet.2. Bandung: Ruang Kata, 2013.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi Rev.ed. Bandung: Angkasa, 2012.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar