Selasa, 26 Desember 2017

EKSPRESI PUSI


EKSPRESI PUSI 



STKIP BARU.jpg










SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2015



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan makalah yang berjudul “Ekpresi Puisi” ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tepat waktu.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal  sampai akhir.



Pringsewu, November 2015


   Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………...                  i
DAFTAR ISI…………………………………………………………..                   ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..                  1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….       1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..        2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………        2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………...                   3
A. Pengertian……………...…………………………...……………….       3
B. Cara Membaca Puisi dari Segi Lafal, Intonasi, Penghayatan dan
    Ekspresi yang Sesuai………..…………..…………………………...        3
C. Macam-Macam Ekpresi Dalam Puisi ……………….…...…………        5
D. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi …………………..……………..        6
BAB III PENUTUP…………………………………………………...                   12
A. Kesimpulan………………………………………………………….       12
B. Saran………………………………………………………………...       12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………                  13



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Puisi adalah rangkaian atau susunan kata yang indah, bermakna dan memiliki aturan serta unsur-unsur bunyi. Puisi terdiri dari diksi, gaya bahasa, dan tema. Ada dua unsur-unsur pembangun dalam puisi yaitu struktur fisik  dan struktur batin. Struktur fisik terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi dan tipografi. Sedangkan struktur batin terdiri dari tema, perasaan penyair, nada dan suasana serta amanat.

Menulis puisi sangat bertolak-belakang dengan menulis artikel, kalau dalam penulisan artikel kita dituntut untuk menggunakan kata yang tegas dan tidak berbelit-belit, maka dalam puisi malah sebaliknya. Kita dituntut untuk pandai mengimprovisasikan sebuah keadaan menjadi rangkaian kata-kata yang enak dibaca dan penuh dengan makna tersembunyi. Didalam membuat puisi kita harus memperhatikan gaya bahasa, rima, diksi, dan tema yang diangkat, agar puisi yang dibuat semakin bagus.

Di dalam membaca puisi terkadang kita hanya membaca seperti membaca sebuah bacaan, tidak memperhatikan cara-caranya. Puisi harus dibacakan dengan baik dan tepat yaitu dari segi lafal, intonasi dan ekspresi. Lafal adalah cara mengucapkan huruf vokal didalam sebuah puisi, intonasi adalah lagu kalimat, peruabahan tinggi rendahnya sebuah kalimat. Sedangkan ekspresi (mimik) yaitu perubahan raut muka didalam memperlihatkan perasaan tertentu didalam sebuah puisi. Hal ini penting dilakukan didalam membaca puisi karena puisi berbeda dengan membaca bacaan biasa yang hanya memmperhatikan vokal sedangkan pusi harus memperhatikan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat, agar pembacaan puisinya lebih dimaknai dan dipahami makna yang terkandung dalam puisi.


B. Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian ekspresi puisi?
2.      Bagaimana cara membaca puisi dengan ekspresi yang sesuai?
3.      Apa saja macam-macam ekspresi puisi?
4.      Apa yang dimaksud dengan ketidaklangsungan ekspresi puisi?

C. Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian ekspresi puisi.
2.      Untuk mengetahui cara membaca puisi dengan ekspresi yang sesuai.
3.      Untuk mengetahui macam-macam ekspresi puisi.
4.      Untuk mengetahui tentang ketidaklangsungan ekspresi puisi.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Ekspresi adalah raut wajah dan gerak tubuh yang menunjukkan perasaan pembaca puisi. Ekspresi pembaca puisi harus disesuaikan dengan isi puisi yang dibacakannya. Hal tersebut membantu penonton memahami isi puisi yang dibacakan. Dengan ekspresi yang baik dan tepat, penonton juga akan ikut merasakan suasana dalam puisi yang sedang mereka saksikan.

Sama halnya dengan lafal dan intonasi, seorang pembaca puisi juga perlu berlatih mengekspresikan puisi yang dibacakannya dengan tepat. Hal paling penting yang harus dilakukan adalah membaca berulang kali dan memahami isi puisi yang akan dibacakan. Setelah itu, menghayati isi puisi tersebut dan berlatih memainkan raut muka dan gerak tubuh yang sesuai dengan isi puisi. Berlatihlah di depan cermin agar kita dapat menilai, apakah ekspresi yang ditunjukkan sudah sesuai atau tidak.

B. Cara Membaca Puisi dari Segi Lafal, Intonasi, Penghayatan dan Ekspresi yang Sesuai

Membaca pusi tidak sekedar membaca saja. Namun, disini harus memperhatikan beberapa syarat yaitu dari segi lafal, intonasi dan ekspresi. Apresiasi puisi dapat ditempuh dengan berbagai bentuk yaitu:
1.      Pembacaan puisi: Dititikberatkan pada pemahaman, keindahan vokal, dan ekspresi  wajah.
2.      Deklamasi puisi: Menekankan kepada ketepatan pemahaman, keindahan vokal, dan ekspresi wajah disertai dengan gerak-gerik tubuh yang lebih bebas dan ekspersi wajah yang lebih kuat.
3.      Dramatisasi puisi: Puisi dipandang sebagai suatu kesatuan peristiwa yang dapat diperagakan dalam suatu pementasan. Oleh karena itu pembaca akan memeragakan peristiwa-peristiwa dalam pusi dengan lakuan tubuh (akting) yang sesuai.
4.      Musikalisasi puisi: Puisi dinotasikan sebagaimana musik lirik puisi dijadikan syair lagu.

Pembacaan atau pendeklamasian puisi mengutamakan kejelasan, ketepatan, dan keakuratan lafal, volume, intonasi, ekspresi, gesture dan penghayatan.
1.      Lafal: cara menyembunyikan atau mengucapkan huruf (bagaimana mengucapkan misalnya f, v, p, z, j, dan sebagainya).
2.      Volume suara: tingkat kenyaringan atau kekuatan bunyi atau suara
3.      Intonasi: lagu kalimat, perubahan nada pengucapan tuturan (kata, frasa, klausa kalimat yang menimbulkan makna atau arti.
4.      Ekspresi: perubahan atau pandangan air muka (raut wajah) untuk memperlihatkan perasaan tertentu.
5.      Gestur: gerak anggota tubuh (tangan, kaki, kepala, dan sebagainya) untuk memperkuat kesan tertentu atau untuk mengungkapkan perasaan.
6.      Penghayatan: cara memahami atau memaknai sebuah puisi.

Di samping hal-hal tersebut, pembacaan puisi hendaknya didahului kegiatan memberi tanda bantu pada puisi sehingga pembacaannya tidak keliru atau menyimpang dari rencana. Tanda-tanda yang lazim digunakan dan bisa dikreasi sendiri, antara lain:
/   =  Perhentian sejenak di antara kata atau frasa tanpa menarik napas.
//  = Perhentian sesaat untuk mengambil napas (menandai koma atau titik).
/// = Perhentian relatif lebih lama untuk mengambil napas beberapa kali.

Pembacaan puisi dapat dikatakan berhasil apabila pendengar terhanyut dalam suasana pembacaan.   Untuk mencapai tujuan itu, pembaca hendaknya berlatih dan melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
a.       Tahap pertama, pembaca hapan secara jelas, misalnyarus mempelajari dan memahami puisi yang akan dibaca.
b.      Tahap kedua, pembaca memahami pemenggalan (jeda) baik pada kata, frasa, atau kalimat.
c.       Tahap ketiga, pembaca memahami siapa yang menjadi yang menjadi pendengarnya.
d.      Tahap keempat, pembaca harus senang terhadap puisi yang akan dibaca.

Di samping tahapan-tahapan diatas, perlu juga memperhatikan pelafalan atau pengucapan secara jelas, misalnya:
a.       Fonem diucapkan secara jelas, misalnya huruf a dengan mulut terbuka lebar.
b.      Pemberian tekanan atau aksentuasi
c.       Penekanan terhadap intonasi (nada naik, turun atau datar) secara tepat.

C. Macam-Macam Ekpresi Dalam Puisi

Ekspresi dalam membaca puisi ada dua macam, ekspresi wajah dan ekspresi gerak. Setiap bentuk dan gaya baca puisi selalu menuntut adanya ekspresi wajah, gerakan kepala, gerakan tangan, dan gerakan badan. Keempat ekspresi dan gerakan tersebut harus memperhatikan:
a.       jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll,
b.      pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll,
c.       pemahaman puisi yang utuh,
d.      pemilihan bentuk dan gaya baca puisi,
e.       tempat acara: indoor atau outdoor,
f.       audien,
g.      kualitas komunikasi,
h.      totalitas performansi: penghayatan, ekspresi,
i.        kualitas vokal,
j.        kesesuaian gerak, dan
k.      jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, harus memperhatikan
§  pemilihan kostum yang tepat,
§  penggunaan properti yang efektif dan efisien,
§  setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,
§  musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi.

D. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi

1. Penggantian Arti

Pada umunya kata-kata kiasan mengganti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metomini Riffaterre (dalam Pradopo, 2009: 212). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).

Misalnya dalam sajak Chairil ini.

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mangalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mangalir luka
Antara kita mati datang tidak membela…..

Dihitam matamu kembang mawar dan melati: mawar dan melati adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati (putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama, Altenbernd (dalam Pradopo, 2009: 212). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu bisa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan yang lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melhat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

2. Penyimpangan Arti

Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 209: 213) penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada abiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.

a. Ambiguitas

Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Sebuah contoh sajak Sutardji Calzoum Bachri.

TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang Cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hamper
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!

Dengan ambiguitas seperti itu puisi member kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca selalu memberikan arti baru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (tokoh semiotic terkenal) (Preminger dkk, 1974: 982) bahwa dalam puisi arti tidak terletak “di balik” penanda (tanda bahasa: kata), seperti sesuatu yang “dipikirkan” oleh pengarang, melainkan tanda itu (kata-kata itu) menjanjikan sebuah arti (arti-arti) yang harus diusahakan diproduksi oleh pembaca.

b. Kontradiksi

Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardojo sering menulis ironi, misalnya yang terkenal “Afrika Selatan”, yang lain, “Bulan Ruwah”, “Katechisasi”, “Nyayian Ladang”.

NYAYIAN LADANG

Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya sandang
Buat nikah, jangan menangis.
Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang, setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.
Kau akan cukup punya lading
Buat sawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
(Daerah Perbatasan, 1970: 19).

Dalam sajak tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana da sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: akan cukup istirah, cukup punya kerja di sawah, cukup sandang, punya sandang setelah lunas sandang, cukup punya pangan sesudah kondangan (kenduri)!, cukup punya ladang buat sawah.

Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana, dan sengsara, semua serba: akan! Pak tani jangan menangis−itu sesungguhnya malah: Pak tani harus menangis dalam keadaan yang menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, hanya punya makan pun sehabis pergi kondangan, dan sawahnya hanya lading, dalam arti tak cukup baik untuk menanam padi.

c. Nonsense

Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistic tidak mempunyai art sebab tidak terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa) menjadi bentuk baru, pengulangan suku kata dalam satu kata: tekekehkekeh-kehkehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Misalnya sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri anyak mengandung nonsense demikian itu. Misalnya dalam sajak “pot” (1981: 30): pot apa pot itu pot kaukah pot aku?, dalam “Herman”: tak bisa pegang di tangan tak bias tak bias tak bisa…., dalam “Kakek-kakek & Bocah-bocah”: dan bocah-bocah tertawa terkekeh-kekeh. Dalam sajak “Sepisaupi” (1981: 87) sebagai berikut.

SEPISAUPI

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyian

Sutardji menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan sepisaupa, sepisapanya, maka sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau yang menusuk. Juga, sepi digabungkan dengan pikul, menjdi sepikul dosa: rasanya dosa itu betapa berat dan sepi mencekam. Dalam sajak terkandung makna: dasa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau dan membuat sepi terasing.

3. Penciptaan Arti

Terjadi penciptaan arti (Riffaterre, 1978: 2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dar hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait.

Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tampa dalam sajak pantun atau yang semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulang bunyi dan parlelisme. Misalnya bait sajak Rendra ini.

Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelah

Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gugur tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan ngatlah akan pulang. Di bawah ini sajak Sutardji (1981: 25) yang penuh persejajaran bentuk dan arti. Oleh ulang yang berturut-turut terjadilah orkestrasi (bunyi masak) dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi.



BAB III
PENUTUP

A. Latar Belakang

Berdasarkan materi yang sudah diulas pada bab II maka secara garis besar dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
a.       Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
b.      penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada abiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
c.       bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dar hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues).

B. Saran

Sebaiknya kita memahami tentang Teori dan Apresiasi Puisi, pemahaman bahan ajar ini akan membantu kita dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan pendidikan sehingga akan tercapai hasil belajar yang optimal.



DAFTAR PUSTAKA




http://inspirasi-wahanapendidikan.blogspot.co.id/2011/11/makalah-tentang-puisi.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar