Senin, 05 Maret 2018

PRINSIP KESANTUNAN LEECH


PRINSIP KESANTUNAN LEECH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pragmatik


Dosen Pengampu      : Veria Septianingtias, M.Hum.


Disusun Oleh:

1.      Ana Wahyu Kusniati            NPM   14040004




 


















SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2016


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur hanya diperuntukkan kepada Sang Maha Pencipta dan Pemilik jiwa dan ruh seluruh makhluk dan telah menjadikan Muhammad, Rasulullah saw sebagai teladan dan anutan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi termulia, Muhammad saw, segenap keluarganya, sahabat-sahabat, dan umat yang senantiasa memegang teguh ajarannya sampai hari berbangkit. penyusun doakan semoga kita semua berada dalam rahmat dan rhido-Nya, sehingga tak sedikitpun ruang dan waktu, melainkan memberikan manfaat untuk umat dalam keseharian kita, Aamiin.
            Dengan terselesaikannya makalah analisis yang“Prinsip Kesantunan Leech” ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :
Ibu Veria Septianingtias, M.Hum. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pragmatik. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan makalah dimasa yang akan datang. Dan harapan penyusun semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan bagi semua pihak yang telah membaca makalah ini.



Pringsewu, 14  Maret 2016
Penyusun


Kelompok 4





Daftar Isi





























BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Salah satu cabang dari linguistik yang mempelajari tentang ujaran dari sang penutur adalah pragmatik. Seorang ahli bahasa Leech mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu atau dalam konteks tertentu. Atau dengan kata lain pragmatik adalah ilmu cabang lnguistik yang mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi dan bentuk tuturan. Dan dalam pragmatik inilah terdapat prinsip-prinsip tentang bagaimana seorang manusia bertutur dalam situasi tertentu. Salah satu dari prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan atau kesopanan. Dengan mengetahui prinsip-prinsip kesantunan kita sebagai penutur bisa menerapkan atau mengimplementasikananya dalam situasi atau konteks tertentu dalam membuat tuturan.

1.2              Rumusan Masalah

1.         Apa saja prinsip-prinsip kesantunan dalam pragmatik itu?
2.         Apa saja skala dalam prinsip kesantunan?


1.3              Tujuan

1.         Mengetahui prinsip-prinsip kesantunan dalam pragmatik.
2.         Mengetahui Skala yang terdapat dalam prinsip kesantunan






BABA II
PEMBAHASAN
A.  Kesantunan
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda.
Kesopansantunan sendiri pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other).
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan

B. Prinsip-Prinsip Kesantunan
1.   Prinsip kesantunan Leech

a.    Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta petuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.
Dengan perkataan lain, menurut maksi ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan pabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh berikut ini.

·         Tuan rumah   :  “silakan makan saja dulu, nak!
Tamu               :  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu,”

Di dalam contoh di atas tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa.

b.   Maksim Kedermawaan (Generosity Maxim)

Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh :
·         Anak kos A  :   “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok,          
                                        Yang kotor.”
Anak kos B  :   “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga,kok.”

Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B. Di dalam masyarakat tutur jawa, hal demikian itu sangat sering terjadi karena merupakan salah satu wujud nyata dari sebuah kerja sama.
·         Bapak A  :  “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.”
Bapak B  :  “Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!”
      
c.    Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mancaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya.
Contoh :
·         Dosen A  :  “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business             
                                 English.”
Dosen B  :  “Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian. Dapat dikatakah bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berprilaku santun terhadap dosen A. Hal itu berbeda dengan cuplikan percakapan pada tuturan di bawah ini.
·         A (mahasiswi)  :  “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
                                          Aku tidak bias mengerjakan tugas itu sendiri.”
B (mahasiswa)  :  “Tolol……ini, cepat kembalikan!”



d.   Maksim Kesederhanaan ( Modesty Maxim)

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat besikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Contoh :
·         Ibu A  :  “Nanti ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma!”
Ibu B  :   “Waduh,……nanti grogi aku.”

·         Sekertaris A  :   “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu,ya!”
                                        Anda yang memimpin!”
Sekertaris B  :    “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”

e.    Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
Contoh :
·         Guru A  :   “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B  :   “He..eh! Saklarnya mana, ya?”

·         Noni      :   “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!
Yuyun     :   “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

f.     Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)

Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagi tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
Contoh :
·         Karyasiswi A  :   “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Karyasiwi B   :   “wah, Proficiat ya! Kapan pesta?”

·         Ani   :    “tut, nenekku meninggal!”
Tuti  :    “Innalillahiwainnalillahi rojiun. Ikut berduka cita.”

2.   Skala Kesantunan

Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penilitian kesantunan. Ketiga macam skala itu antara lain :

a.    Skala Kesantunan Leech

Di dalam model kesantuna Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech itu selengkapnya, antara lain :
1)  Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
2)  Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
3)  Indirectness scale atau skala ketidaklansungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak lansungnya maksud sebuah tuturan.
4)  Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status social anatar penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat social antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status social di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
5)  Social distance scale atau skala jarak social menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan.



b.   Skala Kesantunan Brown dan Levinson

Di dalam model kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu, antara lain:
1)  Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiolkultural.
2)  Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3)  Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.

c.    Skala Kesantunan Robin lakoff

Robin Lakoff (1973) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan itu, antara lain :
1)  Skala formalitas, dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh.
2)  Skala ketidaktegasan atau seringkali disebut skala pilihan menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.
Skala kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Agar tecapai maksud demikian penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other).

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penilitian kesantunan. Ketiga macam skala itu antara lain :
a.    Skala Kesantunan Leech
b.   Skala Kesantunan Brown dan Levinson
c.    Skala Kesantunan Robin lakoff













Daftar Pustaka
Rahardi, Kunjana. 2008 . Pragmatik. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia . Jakarta:   
Erlangga.
http://pengertiankesantunan.blogspot.co.id (dikutip pada tanggal 30 Maret 2016 pukul 22:07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar