ANALISIS
ROMAN “AZAB DAN SENGSARA”
Karya:
Merari Siregar
Makalah Ini Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Kritik Sastra
Dosen
Pengampu : Dra.
Lisdwiana Kurniati, M.Pd.
Disusun
Oleh: Kelompok 3
1.
Ana Wahyu Kusniati NPM
14040004
2.
Sri Ayu Septia Ningsih NPM 14040014
3.
Intan Siti Soleha NPM
14040023
4.
Anita Sari NPM
14040030
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
2017
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur hanya diperuntukkan kepada Sang Maha Pencipta dan Pemilik jiwa
dan ruh seluruh makhluk dan telah menjadikan Muhammad, Rasulullah saw sebagai
teladan dan anutan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi termulia, Muhammad saw, segenap
keluarganya, sahabat-sahabat, dan umat yang senantiasa memegang teguh ajarannya
sampai hari berbangkit. penyusun doakan semoga kita semua berada dalam rahmat
dan ridho-Nya, sehingga tak sedikitpun ruang dan waktu, melainkan memberikan
manfaat untuk umat dalam keseharian kita, Aamiin.
Dengan
terselesaikannya makalah dengan Judul “Analisis
Roman Azab dan Sengsara”, ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, oleh karena penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :
Ibu Dra. Lisdwiana Kurniati, M.Pd. Selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Sastra Perbandingan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, ’’tidak ada jalan yang tidak berlubang’’ maka
tidak ada manusia yang sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan makalah dimasa yang akan
datang. Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
dan bagi semua pihak yang telah membaca makalah ini.
Pringsewu, April 2017
Penyusun,
Kelompok 3
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif
manusia yangmenampilkan kehidupan di dalamnya, yang tidak hanya berisi
imajinasi tetapi juga realita sosial. Karya sastra contohnya prosa memiliki
beberapa jenis, seperticerpen, novel, dan novelet. Karya sastra seperti novel
dan cerpen menurut pandangan tradisional memiliki dua unsur pembangun yaitu
unsur intrinsik danekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra daridalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung memengaruhi bangunan karya sastra tersebut.
Unsur pembangun novel atau karya fiksi terbagi ke
dalam tiga macam yaitu fakta, tema dan sarana pengucapan. Fakta meliputi
karakter atau penokohan, plot (alur), dan setting (latar) ketiganya secara fakta
dan nyata bisa dibayangkan peristiwa dan eksistensinya. Tema adalah dasar
cerita atau makna yang disampaikan pengarang, yang bersinonim dengan idecerita.
Pengucapan atau sarana sastra (literary devices) adalah teknik yangdigunakan
pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita agar tercapai pola-pola
yang bermakna. Sarana sastra pada umumnya meliputi sudut pandang,gaya dan nada,
simbolisme, dan ironi. Metode atau sarana pengucapan ini bertujuan agar pembaca
dapat melihat fakta-fakta cerita yang disampaikan pengarang dari gambaran di
atas penulis dapat mengambil simpulan bahwa sebuahkarya sastra sangat
bergantung terhadap bagaimana seorang pengarangmembangun unsur intrinsik dan
ekstrinsik karya sastra Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks.
Menganalisis karya sastra berarti menguraikan
unsur-unsur apresiasi Prosa novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar 3
pembentuknya. Sehingga, makna keseluruhan karya sastra dapat dipahami.
Selainitu, makna keseluruhan karya sastra hanya dapat diketahui dari hubungan
struktur yang membangun karya sastra unsur intrinsic, ekstrinsik, aliran yang
digunakan dan kesimpulan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa unsur-unsur
intrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”?
2.
Apa unsur-unsur
ekstrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”?
3.
Apa aliran yang
digunakan yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”?
4.
Apa kesimpulan
dari roman “Azab dan Sengsara”?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”
2.
Menegtahui
unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”
3.
Mengetahui
aliran yang digunakan yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”
4.
Menegtahui
kesimpulan dari roman “Azab dan Sengsara”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sinopsis
AZAB DAN SENGSARA
(Merari Siregar,1920)
Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari
Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis bernama Mariamin.
Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai yang mengalir di
tengah-tengah kota Sipirok. Di waktu senja Mariamin atau yang biasa dipanggil
Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan rumahnya menunggu
kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin, kekasihnya itu
menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk mencari
pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan
Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan. Aminuddin seorang anak muda berumur
delapan belas tahun. Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang
kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak.
Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin
bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang
baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satu-satunya, Aminu’ddin.
Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas.
Setelah Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam
rumahnya untuk menyuapi ibunya yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat
ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya
karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun itu hanya
sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau
Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia
sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai
menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk tidur. Mariamin tidak dapat
memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa lalunya ketika dia
masih kecil.
Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang
yang terbilang hartawan dan bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi
karena ia suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh
miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti
berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan
pokrol bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang
perempuan yang penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan
Baringin, suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan
Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan
saudara sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah
Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena
telah menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai.
Setelah 3 bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia
mengirimkan surat kepada Mariamin memberitahukan kalau dia sudah mendapat
pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari Aminu’ddin tersebut. Mariamin
sangat bahagia menerima surat dari Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin
untuk berkemas karena Aminuddin telah mengirim surat kepada orangtuanya untuk
datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta
mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin tidak menyetujui permintaan
putranya itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan
Aminu’ddin. Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang
tua Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang
datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu
memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa
gadis lain sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur
tetapi dia tidak bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan
dia tidak mau durhaka pada orangtua Mariamin gadis yang solehah itu menerima
maaf Aminu’ddin, dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk
keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua tahun lamanya Mariamin
pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia
Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia
juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya
ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia
mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan
suami-istri.
Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan
menamparnya, memukulnya dan berbagai penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia
sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi.
Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke
negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan
sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok. Hidup
Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan
Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang
kasar itu.
B. Unsur-unsur
Intrinsik
Unsur Intrinsik
Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregars
1. Tema
Roman “Azab dan
Sengsara” karya Merari Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan
di masyarakat yang dapat membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan
kebiasaan yang dijelaskan dalam novel tersebut adalah adat dan kebiasaan
menjodohkan anak yang menyebabkan kesengsaraan untuk dua anak manusia karena
kasih tak sampai.
2.
Penokohan
Mariamin : Baik,
penurut, rajin, ramah, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan pemaaf.
Aminu’ddin : Baik,
rajin, tidak sombong, pemaaf, suka menolong, bijaksana, dan berbakti.
Sutan Baringin atau Ayah
Mariamin : Pemarah, malas, tamak, pemboros, angkuh, dan bengis.
Nuria atau Ibu Mariamin
: Penyabar, sederhana, setia, dan pengiba
Baginda Diatas atau
Ayah Aminu’ddin : sombong.
Ibu Aminu’ddin : Baik,
pengiba, dan setia.
Kasibun : Jahat,
bengis, pandai dalam tipu daya, buas, dan ganas
Marah Sait : Jahat, dan
suka menghasut
3.
Latar (Setting)
a. Latar
Tempat
di Kota Sipirok
“Akan tetapi siapakah
yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang
mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.
di batu besar
“Sahut gadis itu seraya
berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang”.
di rumah Mariamin
“rumah kecil tempat
kediaman ibu dan anaknya itu”.
di sebelah rusuk rumah
“Akan tetapi siapakah
yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang
mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.
di kampung A
“Anak muda itu anak
kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu”.
di sawah dala
“ Pada suatu petang, sedang mereka di sawah,
Mariamin menyiangi padinya”.
di tepi sungai
“Tiada berapa lama
sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu”.
di stasiun Pulau
Berayan
“Setelah habis mandi
dan berpakaian, pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan”.
di Deli
“Setelah lengkaplah
sekalian, Baginda di atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya”.
di Medan
“Ia sudah mendengar
kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan”.
b. Latar
Waktu
Sore hari
“Dari yang panas itu
berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke
dalam peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas
dataran tinggi Sipirok itu”
Malam hari
“Ah, rupanya hari sudah
malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,”
Pagi hari
“Waktu pukul tujuh pagi
Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin”
Hari pertama
“Tepat hari pertama,
setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa
nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin”.
Hari Jumat
“Waktunya berangkat
pumn sudah dekat, yakni besok hari Jumat”.
Tanggal enam belas
“Adapun orang itu
tiadalah lain memang Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat
bagi orang kebun”.
Pukul setengah dua
belas
“Pukul setengah dua
belas, pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu”
Pagi hari
“Pada suatu pagi sedang
jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai”.
c. Latar
Suasana
Menyedihkan, senang,
haru, tegang.
4.
Sudut Pandang
a. Orang
ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda.
b. Orang
ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak).
5.
Alur
a. Pengenalan
Dijelaskan bahwa di
sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan
Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga terdiri dari seorang ibu yang sudah
janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis,
Mariamin dan Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di
sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh
kesengsaraan dan kesedihan. Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya
Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam
kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang
ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta
yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan
barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri
serta mudah kena hasutan orang lain. Dan Aminuddin adalah anak Baginda Diatas,
seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya, akan tetapi
baginda Diatas memiliki sifat sombong.
b. Menuju
konflik
Aminudin dan Mariamin
memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa.
Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka
sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin
mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan
segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera
mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke
Medan.
Berita itu tentu saja
amat menggembirakan hati Mariamin. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada
kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Namun, lain halnya
pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya
dan disegani, ia tidak setuju dengan rencana Aminudin, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin
dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat..
c. Konflik
memuncak
Karena baginda Diatas
tidak ingin anaknya Aminudin menikah dengan Mariamin sehingga baginda Diatas
mengajak istri nya keseorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika
kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh
karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi
ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan
Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang
menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin
akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas
sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Kemudian ayahnya mengabarkan
kepada Aminudin bahwa ayahnya akan membawa gadis yang dicintainya, yaitu
Mariamin. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan
membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar.
Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan
adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis
yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang
mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
d. Klimaks
Setahun setelah
peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran
Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya
hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan
lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan
ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun.
Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya
karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan.
Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata
mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan
suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin
berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam
kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin
bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian
itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya
kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa
pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa
cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya
sejadi-jadinya.
e. Penyelesaian
Tak kuasa menerima
perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan
suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar
denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Mariamin akhirnya
terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian,
penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan
kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur
dengan jasad yang kasar itu.
6.
Bahasa Figuratif
Gaya bahasa yang
digunakan dalam novel ini yaitu:
a. Simile:
Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan
berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata
pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian
kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
“bagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut
yang lebar”
“
sedang padi itu bagai air yang hijau rupanya”
“
bagai orang yang hanyut di lautan kesusahan”
“
karena nasib manusia itu bagai roda kadang-kadang di atas, kadang-kadang di
bawah”
“ibarat
bunga yang belum kembang”
“
“ bagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan”
“ibarat
gendang kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya”
“
sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya ibarat mata air
yang ditutup”
“indah
rupanya, bagai disepuh dengan emas juwita”
“angin
yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar
yang gemuruh, bagai gunung runtuh lakunya”
b. Metafora
Majas metafora membatu
orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas,
dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki
ciri-ciri dan sifat yang sama.
“ Raja siang itu akan masuk kedalam
keperaduannya”
“
masing-masing menyanyi memuja tuhan dan memberi hormat kepada raja siang”
“
ibu nya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu”
“
mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan”
c. Personifikasi
Personifikasi
ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda
yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak.
“ angin gunung yang lemah lembut itu
berhembuslah”
“sehingga
daun dan cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang secara perlahan-lahan”
“Batang
padi yang tumbuh disawah luas itupun dibuais-buaikan
angin”
d. Hiperbola
Hiperbola merupakan
pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
“
matanya yang berkilat-kilat serta terang itu”
“
dan air matanya bercucuran pada pipi yang halus itu”
“
cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si kecil”
e. Oksimoron
Oksimoron
ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung
pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau
dalam kalimat yang sama.
“ sungguh pun tak enak dirasa lidah ku nanti,
akan tetapi lezat juga pada perasaan hati ku”
f. Paradoks
Paradoks:
Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya
keduanya benar.
“
matanya saja yang menatap kesana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang
itu tak kan nampak pada matanya”
“
tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah barang lain lah yang
nampak olehnya”
7.
Amanat
jangan sombong atau
menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna. Lebih
baik uang tersebut diberikan kepada yang memeng membutuhkan.
agama adalah penopang
hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan
kesukaan hidup ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan
menjerumuskan.
Padahal Tuhan
menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan
mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan
oleh orang tua dan anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut.
Adat dan kebiasaan yang
kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang
menjalankannya.
Jangan mengambil hak
milik orang lain.
C. Unsur-unsur
Ektrinsik
1.
Latar Belakang Pengarang
Merari
Siregar (1896-1940), dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara, adalah seorang
sastrawan Indonesia yang berasal dari Angkatan Balai Pustaka. Setelah meraih
ijazah Handelscorrespondent Bond A di Jakarta,
ia bekerja sebagai guru bantu di Medan, kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum
Jakarta, dan terakhir di Opium & Zoutregie Kalianget, Madura. Selain Azab
dan Sengasara, yang merupakan tonggak kesusastraan Indonesia, ia juga menulis
cerita si Jamin dan si Johan yang merupakan saduran karya Jus Van Maurik
(1918).
2.
Zaman ketika karya sastra Azab dan
Sengsara dibuat
Roman
Azab dan sengsara disusun pada tahun 1920 dan cetakan pertama pada tahun 1927,
dimana pada waktu itu bangsa Indonesia tengah berjuang untuk merebut kemerdekaannya
dari tangan penjajahan Bangsa Jepang. Meskipun begitu, jalan cerita di dalamnya
tidak menyinggung masalah peperangan yang terjadi pada waktu roman ini dibuat.
Akan
tetapi, isinya lebih banyak membahas tentenag adat istiadat yang dimiliki oleh
masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara pada masa itu.
D. Aliran dan
Pendekatan yang ada dalam Novel “Azab dan Sengsara”
1. Aliran
Aliran
yang terdapat dalam novel azab dan segsara yaitu :
1. Aliran
romantisme
Romantisme
ialah aliran yang mengutamakan perasaan. Bahwa manusia harus lebih banyak
menggunakan intuisi ( untuk meraba rahasia alam yang tak terduga).
a. kutipan
dalam roman azab dan sengsara yaitu :
“Itu tidak benar. Aku
tinggal dhidup dengan untungku, Aminuddin tak melihatku, tiada terdengar
suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu tuan melupakan aku lambat lautnya.
Hilang dari mata, lenyap dari pikiran. Hal yang serupa ini telah beratus kali
kulihat di dunia ini. Akan tetapi aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak
mengingat aku. Sudah kukatakan, bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah
kuserahkan kepadamu, sebab aku berhutang
budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku sudah percaya akan kemuliaan hatimu. ( hal
21 )
b. Kakanda
aminuddin ! Gundah dan gulana silih berganti dalam hati adainda selama kakanda
meninggalkan sipirok yang indah itu. Rindu karena suara kakanda tak kulihat
lagi, muka kakanda tak kulihat lagi. Bimbang dan gulana hati adinda, karena sudah
sekian lama adinda tiada menerima kabar dari kakanda.. ( hal 118 )
c. Akan
adinda, tak usahlah kubukakan di sini isi dadaku. Meskipun bagaimana jauhnya
kakanda, tiadalah berkurang kasihku; gunung yang tinggi kudaki, lurah yang
dalam kuturuni, sungai yang lebar kusebrangi, supaya bertemu dengan kakanda,
lamun waktunya sudah datang. Aminuddinlah jiwaku, kakandalah yang kuharapkan.
(hal 119 )
d. Sekali
lagi Aminu’ddin mengulangi membaca surat kekasihnya itu. Kemudian ia termenung
sejurus lamanya, lalu dengan perlahan-lahan ia mengangkat tangan kirinya ke
mulutnya, dan mencium cincin suasa, yang ada pada jari manisnya itu. Cincin itu
pemberian dari Mariamin. ( hal 119 )
e. Anggi
! Riam, kasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah, engkau tak kulupakan
dari dahulu sampai sekarang, ya sehingga matiku. Aku pun percaya, adinda
kasihku juga akan diri kakanda, sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan
keampunan itu harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang
terbuang-buang di rantau ini. ( hal 137 )
f. Sekarang
sampailah tulisanku ini pada kabar yang meremukkan hatiku. Ayah kita sudah
datang ke medan membawa anak yang lain, dan kawan sehidupku. ( HAL 137 )
g. Riam
tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah. Akan tetapi sudah jauh
terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi. Dengan nama Allah kakanda
bersumpah, bahwa kakanda tak bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah
yang kakanda katakan : Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang
Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan penangungan kita yang
sedih ini. Allah yang akan kasih hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini
berkesudahan yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda ( hal 138 )
h. Dan
sekarang kita lupakan sekalian angan-angan dan janji kita yang dahulu itu. Ya,
apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut ke laut kedukaan . ( hal 138 )
i.
Kalau adinda ada
semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih dan cinta yang bertahun-tahun itu
kita biarkan hidup dalam kalbu kita berdua. ( hal 138 )
j.
Aminu’ddin melihat air
mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau
hati Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia
hidup Mariamin amat sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia. ( hal 156 )
2. Pendekatan
1)
Pendekatan
Historis
Pendekatan
historis menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang
peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa terwujudnya prosa fiksi yang
dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada
umumnya dari zaman ke zaman. Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra
Utara, 13 Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung
halamannya. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi
oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai
kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa.
Setelah
beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan
sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan
tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan
masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok. Perubahan
itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya
yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial
Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan
berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun
1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti
terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah
bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang
berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Seiring
berjalannya waktu, prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena
semakin banyaknya pengarang yang ‘bergaul’ dengan karya sastra barat, terutama
Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu
semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai
Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para
pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru. Selain sebagai pengarang, Merari
juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul
Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya
Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan
cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’
dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun
1879.
Salah
satunya dengan menampilkan kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang dimaksud
dengan istilah kemandirian di sini adalah, para tokoh itu dapat menentukan
nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada lingkungan dan ikatan masyarakat.
Kemandirian itulah yang tercermin dalam roman karya Merari Siregar, Azab dan
Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran
Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat
kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini
dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat
kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap
teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya
karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam
roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya.
Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang
menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang
baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs
Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud
menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah
bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan
oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun
seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma
waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan
terang."
Secara
keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada
umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya
kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan
perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan
pantun dan syair.
Selain
sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang
paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan
Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini
terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk
‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’
yang terbit tahun 1879.
Ide
cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan
candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan
bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia
Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha
memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu,
misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Ketika
menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan
suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran
kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula
dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari
penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang
meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama
anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri
dan anak perempuannya.
Selain
Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa karya Merari
lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu adalah Binasa
Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, serta
roman Cinta dan Hawa Nafsu. Selain dikenal sebagai sastrawan, dalam
kesehariannya ia bekerja sebagai guru. Profesinya sebagai guru sedikit banyak
berpengaruh pada gaya bercerita dan karya sastranya, baik karya asli maupun
saduran. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam setiap
karyanya untuk menarik pembaca. Di samping bahasa yang enak dibaca, Merari juga
memberi nasihat, mengecam ketidakadilan, serta memberi pujian pada tindakan
yang tidak menyalahi aturan ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat.
Merari
merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah
guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr
en West, ‘Timur dan Barat’ yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta.
Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah
swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost
En West. Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia
pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi
Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah
Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget,
Madura, hingga akhir hayatnya. Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia
meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19
Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan
Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
2)
Pendekatan
Didaktis
Pendekatan
didaktis berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun
sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan maupun sikap itu dalam hl ini akan
mampu terwujud dalamdalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis,
sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah
pembaca. Nilai-nilai yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara diantaranya:
a.
Nilai moral
1)
Aminu’ddin adalah seorang anak
yang rajin dan penurut terhadap kemauan orang tuanya
2)
Tali perkauman tidak akan putus
meskipun itu terjalin antara si Kaya dan si Miskin
b.
Nilai agama
1)
Nuria adalah seorang yang taat dan
yakin kepada agama.
2)
Keyakinannya kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang memberi kekuatan baginya akan menerima
nasibnya yang baik dan buruk.
3)
Kalau sekiranya ia tiada menaruh
kepercayaan yang kuat kepada Allah SWT, tentulah ia akan melarat dan tentu
iblis dapat mendayanya.
c.
Nilai kebudayaan
1)
Menurut kebiasaan orang Batak yang
mendiami Tapanuli, ada dua nama yang dipakai oleh masing-masing pria. Satu nama
diberikan sebelum kawin, dan satu nama setelah kawin yang disebut dengan gelar.
2)
Bagi orang Tapanuli, sebelum
mereka menikahkan anaknya, terlebih dahulu mereka pergi ke dukun untuk
menanyakan untung dan rugi daripada perkawinan anak mereka kelak.
3)
Dalam masyarakat Tapanuli,
terdapat larangan untuk kawin dengan orang sesuku. Mereka tidak boleh
ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh adat.
4)
Bagi orang tua, apabila hendak
menikahkan anak perempuan mereka, yang harus dibicarakan boli (mahar)
5)
Apabila seorang laki-laki hendak
menikahi seorang wanita, maka orang tuanya harus menjemput si gadis kemudian
dibawa ke rumahnya.
6)
Menurut adat orang Batak, orang
yang meminta maaf akan kesalahannya, harus harus membawa nasi ke rumah orang
tempat ia meminta maaf itu, supaya langkahnya berat. Nasi itu biasanya
dibungkus dengan daun pisang sehingga disebut dengan nasi bungkus.
d.
Nilai sosial
1)
Kalau kita dalam kekayaan,
banyaklah kaum dan sahabat. Bila kita jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi
yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan dirinya.
2)
Untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya, Nuria mengumpulkan kaum kelargnya serta para tetua di kampungnya
untuk menasihati suaminya.
e.
Nilai pendidikan
a)
Setelah Mariamin berumur tujuh
tahun, ia pun dimasukkan orang tuanya ke sekolah
b)
Meskipun ibu bapaknya orang
kampung saja, tahu jugalah mereka itu, bahwa anak-anak perempuan pun harus juga
disekolahkan
3)
Pendekatan
Sosiopsikologis
Pendekatan
sosiopsikologis berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya,
kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap
lingkungan kehidupannya atau zamannya pada saat prosa fiksi diwujudkan. Kisah
cinta abadi penuh duka antara Maraiamin dengan Aminudin. Dua sejoli yang
dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah rantau, ternyata mendatangkan
petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke lubang kematian. Inilah parodi
yang paling gelap tentang stereotipe kota dan desa, bahwa tidak selamanya tanah
rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap tanah harapan, selalu bisa memberi
kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang dianggapnya
lenih baik, pada akhirnya tak pernah merasa kasih sayang sejati. Ia adalah
potret manusia gagal yang senantiasa berlari, dan terus berlari.
Kehidupan
yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena
manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang
lain. Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan
seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara
perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul”
bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia,
tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam
masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang
diperolehnya dalam masyarakat itu. Akibat yang diperoleh dari hubungan ini,
tentu saja ada. Karena manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia itu akan
menderita putus asa, terobsesi, merasa tidak pernah menerima keadilan, dan
sebagainya. Manusia tidak bebas, selalu diteror atau meneror waktu, adalah
suatu akibat yang ditimbulkan oleh hubungan manusia dengan masyarakat itu.
Dalam
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi
sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia,
peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya. Sikap tolong-menolong
ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di
sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai,
namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras.
Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang
digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan
sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga
ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya
mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi
oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya
menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu
sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki
sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya
ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan
itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus
rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.
Nilai-nilai
sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang
menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat
menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang
sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak
tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai
saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain.
Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas
kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi
akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah
yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain
sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini
digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat
dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda
Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas
sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku
tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga
Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin
menerima Baginda Diatas (ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula
sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena
tergolong keluarga miskin.Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar
ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan
berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya.
Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung.
4)
Pendekatan
Emotif
Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang
berusaha menemukan unsure-unsur yang menggugah perasan pembaca yang dapat
berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu
dan menarik. Dalam novel Azab dan Sengsara, pengarang menyuguhkan rasa senang
dan sedih kepada pembaca.
Dalam kutipan di bawah ini:
“ Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dengan Mariamin.
Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh cinta. Aminuddin sangat
mencintai Mariamin dan berjanji akan melamar Mariamin bila telah mendapatkan
pekerjaan. Keadaan yang miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.”
Pengarang memberi perasaan senang kepada pembaca,
karena cinta yang begitu tulus antara Mariamin dan Aminuddin, juga kesetiaan
Mariamin memberikan rasa kagum dan terharu pada pembacanya.
Kutipan cerita bahagia lainnya adalah:
“ Baginda mengirim telegram yang isinya meminta
Aminuddin menjemput calon isteri dan keluarganya di stasiun kereta api di
Medan. Menerima telegram tersebut, Aminuddin merasa sangat gembira. Dalam
hatinya telah terbayang wajah Mariamin.”
Setelah cerita di atas, tidak ada kebahagiaan lagi
yang dimunculkan oleh pengarang. Hanya kesedihan dan kesengsaraan yang kerena
dua insan yang saling mencintai yaitu Mariamin dan Aminuddin tidak dapat
bersatu, mereka menikah dengan pilihan orang tua mereka yang bahkan tidak
mereka cintai.
Dalam salah satu penggalan cerita yaitu ketika
Mariamin menikah dengan lelaki yang tidak dikenalnya, serta tidak jelas latar
belakangnya. Lalu tidak lama kemudian pasca pernikahan mereka, ibu Mariamin
tutup usia. Setelah setahun usia pernikahan, barulah Mariamin tahu benar
seperti apa suami yang dinikahinya ini, sosok lelaki yang boros, malas bekerja,
dan suka berfoya-foya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mariamin diawali,
Mariamin menikah dengan orang yang tidak
tepat. Mariamin adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua hidup seorang diri, dan dalam kemalangannya
menghadapi tabiat dan tingkah laku sang suami dirinya harus bertahan hidup
dengan sisa uang yang tak seberapa demi anak dalam kandungannya. Serta rentetan
cerita yang menceritakan penderitaan Mariamin yang tidak kunjung habis bahkan
hingga akhir hayatnya. Penulis menceritakan setiap detil cerita dengan teliti
dan tidak tergesa-gesa, penggunaan bahasa yang mendayu-dayu dan pemilihan kata
yang tepat, sehingga tercipta gambaran pada pikiran pembaca bahwa disini
keadaan Mariamin sangat menyedihkan dan sengsara oleh perilaku suaminya.
Penulis berhasil memainkan perasaan pembaca karena penulis berhasil menarik
pembaca untuk mengikuti alur cerita yang menghanyutkan perasaan. Penyusunan
cerita yang seperti ini tidak lepas pula dari usaha dalam memberi nilai
keindahan dalam karya sastra tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian analisis diatas dapat kelompok simpulkan bahwa novel “Azab dan Sengsara”
salah satu karya sastra pada angkatan 20-an. Dilihat dari segi atau unsur intrinsik
novel “Azab dan Sengsara” terdiri dari beberapa unsure diantaranya: (1) Tema,
tema yang diangkat dalam novel ini adalah cinta yang terhalang asat. (2)
Penokohan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel “Azab dan Sengsara yaitu:
Mariamin, aminudin, nuria, ayah aminudin, ibu aminudin, kasibun, dan marah
sail. (3) latar, latar yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu
latar tempa, waktu dan suasana. (4) sudut pandang, dalam novel “Azab dan
Sengsara” menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal. (5) alur yang
digunakan dalam novel ini adalah alur maju. (6) gaya bahasa yang digunkan dalam
novel “Azab dan Sengsara” adalah simile, metafora, personifikasi, hiperbola,
oksimoron, dan paradoks. (7) amanat yang dapat di ambil dalam novel “Azab dan
Sengsara” jangan sombong atau menghambur-hamburkan
uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna, agama adalah penopang
hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan
kesukaan hidup ini sehingga
jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan, padahal Tuhan menjadikan
makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan
mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan, Adat dan kebiasaan yang
kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang
menjalankannya, jangan
mengambil hak milik orang lain.
Jika
dilihat dari unsure ekstrinsiknya, kelompok menganalisis dari latar belakang
pengarang, zaman ketika karya “Azab dan Sengsara” dibuat. Kemudian aliran dan
pendekatan yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu: Aliran
Romantisme, karena hamper keseluruhan cerita mengedepankan suatu perasaan.
Pendekatan
yang digunkan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu pendekatan historis,
didaktis yang meliputi (nilai moral, agama, budaya, social, dan pendidikan),
pendekatan sosiopsikologis dan emotif.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan. (2009). Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Mursal Esten. (2013). Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah.
Bandung: Angkasa.
Merari Siregar. (2005). Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai
Pustaka
Nurul Hidayati. (2013).
Tersedia [online]. https://www.academia.edu/4803698/Analisis _Novel _Azab _dan_Sengsara. Dikutip pada tanggal 7 april 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar