WUJUD KESANTUNAN BERBAHASA MAHASISWA TERHADAP DOSEN DI STKIP
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
Kajian Sosiopragmatik
Oleh,
Ana Wahyu
Kusniati
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia,
STKIP Muhammadiyah
Pringsewu Lampung
Email:
Ana.nawayusti@Gmail.com.
Abstract
This article aims at describing the forms of politeness of the STKIP Kendari’s students and their lecturers in interaction. The data are any utterances uttered
in campus By using descriptive- qulaitative approach, it is afound that the students use some kinds of modes in implmenting politeness. They are
declarative
and interogative
sentence
to
express
the
politeness and impretive
for impoliteness. Besides, the use of complete sentence with commonly chronological order is indicating the politeness. The less complete
sentence with inverisive order reflects the impoliteness.
Key words: politeness, college students, lecturers, and STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampng
1. Pendahuluan
Bahasa merupakan
alat komunikasi bagi manusia. Bahasa
memungkinkan manusia untuk saling berkomunikasi, saling berbagi pengalaman,
saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Dengan bahasa, seseorang
dapat berinteraksi dengan orang lainnya. Dengan
bahasa juga hubungan timbale balik antara seseorang dan orang lain akan
terjadi. Hal ini senada dengan pandangan
Marjusman Maksan bahwa
bahasa adalah ucapan pikiran
manusia yang dengan
teratur memakai alat bunyi. Ucapan pikiran yang
disampaikan kepada lawan tutur tidak pernah terlepas dari
persoalan sopan santun (Nisja, 2009: 478). Kesantunan berbahasa
sangat perlu untuk dikaji, karena kegiatan berbahasa tidak
luput dari kehidupan manusia. Kesantunan
merupakan sebuah istilah yang berkaitan
dengan kesopanan,
rasa hormat,
sikap yang baik, atau
perilaku
yang pantas.
Dalam kehidupan sehari-hari, keterkaitan kesantunan dengan perilaku yang pantas
mengisyaratkan
bahwa kesantunan bukan hanya berkaitan
dengan bahasa,
melainkan juga dengan
perilaku nonverbal.
Kesantunan menghubungkan bahasa
dengan berbagai aspek dalam
struktur sosial sebagaimana dengan aturan perilaku atau etika. Sopan santun dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa
setidaknya bukan semata-mata motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan juga merupakan faktor pengatur yang menjaga
agar
percakapan berlangsung dengan benar, menyenangkan, dan tidak
sia-sia. Leech
(1993:38) mengatakan bahwa manusia
pada umumnya lebih senang
mengungkapkan
pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak
sopan. Secara umum, masalah
kesantunan berbahasa
sangat berhubungan dengan
masalah menjaga
harga diri. Dalam bahasa bugis, istilah ini dikenal dengan sebutan jagai siri
(Gunawan, 2013: 65), sementara Brown
dan Levinson
(1987:65)
memopulerkannya dengan
istilah tindakan mengancam muka
(FTA).
Menjaga keterancaman muka atau
menjaga harga diri ini penting
dilakukan baik penutur maupun mitra tuturnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari
saling ketersinggungan yang
diakibatkan oleh tutur kata dan berujung
kepada konflik.
Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:
a.
Mohon
maaf pak, ada waktunya?
b.
Ada
apa?
a.
Kalau
bapak ada waktu, saya ingin meminta bimbingan proposal.
Konteks: seorang mahasiswa yang
meminta kesedian dosennya untuk
melakukan pembimbingan proposal.
Tuturan (1)
dituturkan oleh seorang
mahasiswa kepada dosennya. Secara eksplisit, tuturan ini
menggunakan modus kalimat interogatif yang secara
konfensial berfungsi untuk bertanya
mengenai ada
atau tidak adanya waktu
dari
dosen pembimbingnya.
Tetapi secara implisit,
modus kalimat ini mengisyaratkan
permintaan secara
tidak langsung kepada lawan tutur. Tujuannya
adalah untuk meminimalisir rasa malu penutur jika saja permintaannya tidak
disetujui, apalagi jika ada orang
lain
yang juga berada di sana.
Selain itu, permintaan pada
tuturan (1) itu ditujukan kepada dosennya, yang
tentu lebih tua, status sosialnya
lebih
tinggi, dan hubungan kekerabatannya
tidaklah
dekat.
Dengan demikian, untuk memberikan efek kesantunan,
mahasiswa itu menggunakan
kalimat interogatif tidak langsung yang
diawali dengan menggunakan penanda
kesantunan, yaitu permohonan
maaf yang
menggunakan kata
“maaf” dan kata sapaan “pak” atau
“bapak”.
Hal ini tentu
sangat berbeda
dengan
penggunaan modus
kalimat imperatif yang seringkali dijumpai
dalam percakapan antara
mahasiswa dengan dosen.
(2) Pak, saya minta
tanda tangannya, karena
besok pagi saya ujian.
Konteks: seorang mahasiswa yang
meminta dosen pembimbingnya
menandatangani proposal penelitian yang telah dibuat
untuk segera melakukan ujian proposal
seminar.
Tuturan (2)
dituturkan oleh seorang
mahasiswa kepada dosennya.
Tuturan ini bermodus kalimat imperatif.
Jadi, perintah seorang mahasiswa kepada
dosennya
untuk segera menandatangani proposal penelitiannya karena
waktu ujian atau seminar proposal sudah diambang pintu.
Padahal, proposal itu belum layak ditandatangani karena
masih ada beberapa hal yang harus direvisi. Karena itu, si dosen itu mengatakan:
(3) saya akan tanda
tangan, tetapi jangan salahkan
saya jika anda tidak lulus seminar proposal.
Konteks: Tuturan seorang
dosen pembimbing yang
tersinggung dengan tuturan mahasiswa karena merasa
tidak dihargai.
Tuturan (2) merupakan
contoh ketidak santunan berbahasa seorang mahasiswa kepada dosennya.
Mahasiswa kepada dosennya. Ketidaksantunan itu tergambar dari
kalimat perintah atau imperatif langsung
yang digunakan. Padahal,
tidak selayaknya seorang
mahasiswa yang
kelas sosialnya lebih rendah, lebih
muda, dan duduk di bangku
jurusan pendidikan yang sudah mempelajari etika
sopan santun melakukan
tindak tutur imperatif semacam itu.
Karena merasa muka
atau harga
dirinya sebagai
seorang dosen seakan tidak diakui,
dengan nada yang
agak kesal dan tersinggung, ia mengatakan “saya
akan tanda tangan,
tetapi jangan salahkan saya jika
anda tidak seminar proposal.”
Fakta
kebahasaan ini hanya sebagian kecil
dari
fenomena kebahasaan yang
seringkali
terjadi. Masih banyak fenomena
lain yang dapat dilihat dalam aktivitas pertuturan itu. Dengan demikian, tulisan yang
membahas
wujud kesantunan berbahasa
mahasiswa dalam berinteraksi
dengan dosen di STKIP Muhammadiyah
Pringsewu Lampung penting untuk dilakukan.
2. Wujud Bahasa,
Tindak Tutur, dan
Kesantunan
Secara formal berdasarkan modusnya,
kalimat dibedakan menjadi kalimat
berita (declarative), kalimat tanya (interogative) dan kalimat perintah (imperative) (Wijana, 1996:4). Secara
konvensional, kalimat berita
digunakan
untuk memberitahukan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan,
permintaaan
atau permohonan. Jika
kalimat
perintah difungsikan secara konvensional
maka akan terbentuk tindak tutur langsung.
Tindak tutur langsung seringkali dikatakan sebagai
tindak
tutur
yang kurang
santun, terlebih
jika
diucapkan oleh orang lebih muda ke orang
yang
lebih tua, dan orang yang
berstatus sosial lebih rendah kepada orang yang berstatus sosial tinggi. Demikian pula halnya, jika kalimat berita dan kalimat tanya
dimanfaatkan untuk memerintah
seseorang, maka kalimat itu tergolong
kalimat yang santun.
Hal ini karena orang
yang diperintah tidak akan merasa dirinya
diperintah. Wijana, menyebut tindak tutur
ini dengan tindak tutur tidak
langsung. Terkadang, modus kalimat semacam ini dimanfaatkan oleh orang yang lebih muda dan
berstatus sosial
rendah kepada orang
yang lebih tua dan berstatus tinggi. Demikian pula, sebuah tuturan dianggap
santun jika disampaikan dengan kalimat lengkap. Maksudnya,
kalimat itu
paling
tidak memiliki subjek dan predikat. Jika
sebaliknya, maka tuturan
itu
dianggap sebagai tuturan yang kurang santun. Sebuah tuturan juga akan dianggap santun
ketika disampaikan dengan kalimat berpola urutan biasa, dan kurang santun jika berpola urutan inversi.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Berkaitan
dengan
hal itu, ada tiga langkah yang dilakukan, yaitu
pengumpulan data, analisis data,
dan penyajian hasil
analisis (Arikunto, 1993:
310). Pengambilan
data
dilakukan di kampus STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung. Data berasal dari tuturan-tuturan mahasiswa dalam berinteraksi dengan
dosennya di lingkup kampus STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Lampung. Data kemudian
dijaring dengan metode simak tekhnik rekam dan
catat
Sudaryanto, (dalam Mahsun, 2005:90). Mahasiswa yang dimaksud adalah
semua mahasiswa STKIP
Program
Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia semester VI. Tuturan yang
dijaring itu adalah tuturan permintaan
yang
terjadi baik di dalam kelas, maupun di luar kelas
di wilayah kampus STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
Untuk mengetahui wujud kesantunan
berbahasa mahasiswa terhadap
dosen digunakan teori Wijana mengenai
klasifikasi kalimat di dalam tuturan yang
dianggap santun karena menggunakan
modus kalimat deklaratif dan interogatif, dan dianggap kurang santun
karena menggunakan modus kalimat imperatif.
4. Hasil dan Pembahasan
Wijana
(1996:4) mengatakan bahwa
berdasarkan bentuk sintaksisnya,
kalimat dibagi atas kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif, dan
kalimat ekslamatif. Dilihat dari kelengkapan unsurnya,
kalimat dibagi atas kalimat
lengkap dan kalimat tidak lengkap. Dilihat dari pola urutan katanya, kalimat dibagi
atas
kalimat biasa dan kalimat inversi.
Wujud kesantunan berbahasa mahasiswa terhadap dosen di STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Lampung direalisasikan
dalam beberapa modus kalimat. Berdasarkan penelusuran data, realiasasi kalimat
itu terbagi menjadi tiga, yaitu (1) kalimat berdasarkan bentuk sintaksisnya,
(2) kalimat berdasarkan
kelengkapan unsurnya, dan (3) kalimat berdasarkan pola urutannya.
1)
Kalimat
Berdasarkan Bentuk Sintaksis
Berdasarkan
bentuk
sintaksisnya, kalimat dibagi menjadi
kalimat deklaratif, imperatif dan
interogatif. Kalimat deklaratif
adalah kalimat yang berfungsi
untuk menyampaikan informasi kepada
orang
lain. Kalimat interogatif adalah
kalimat yang berfungsi untuk bertanya. Kalimat imperatif adalah
kalimat yang berfungsi untuk menyatakan
perintah. Berdasarkan penelusuran data, modus kalimat deklaratif dan
interogatif lebih
banyak digunakan mahasiswa
STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung
dalam berinteraksi dengan
dosennya daripada modus kalimat imperatif.
Hal ini karena modus kalimat deklaratif
dan interogatif tergolong tindak tutur tidak
langsung yang dianggap santun, sementara modus kalimat imperatif
tergolong tindak tutur langsung yang
dianggap kurang santun
digunakan dalam berinteraksi antara seorang
mahasiswa dengan dosen.
a.
Kalima
Deklaratif
Kalimat deklaratif adalah kalimat yang berfungsi untuk menyampaikan
berita atau informasi kepada
orang
lain. Selain menyampaikan informasi, modus
kalimat ini juga dapat
dimanfaatkan untuk meminta sesuatu secara
tidak langsung kepada orang lain untuk menyatakan
kesantunan. Hal ini dapat dilihat
pada contoh berikut ini.
(1)
Assalamu‘alaikum…ibu, saya mau
konsul proposal…
Konteks: siti, Seorang mahasiswi,
yang
meminta waktu kepada
dosennya untuk mengonsultasikan
proposal penelitian.
(2) hai bu
dosen! saya mau bertanya!
Konteks:
Yusuf mahasiswa, meminta waktu untuk menanyakan
masalah mata kuliah hari itu kepada dosennya
Tuturan (1-2)
bermodus kalimat deklaratif. Tuturan (1) hendak menginformasikan rencana Siti
untuk mengonsultasikan proposal penelitiannya. Ia
merasa bahwa ada hal-hal prinsipil yang tampaknya harus dikonsultasikan.
Namun demikian, untuk menyatakan hal itu, ia lebih memilih menggunakan
modus kalimat deklaratif untuk meminta secara tidak langsung. Hal ini selain
untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya
juga untuk menghindari rasa
ketersinggungan
dosennya ketika diminta waktunya karena waktunya kurang tepat.
Selain itu, ia juga menggunakan
penanda kesantunan lainnya yang
berupa ucapan salam
‘assalamu ‘alaikum’ dan kata
sapaan ‘ibu’.
Tuturan (2)
juga bermodus kalimat deklaratif. Tuturan ini hendak
menginformasikan keinginan
Bayu untuk menanyakan sesuatu yang
belum dimengerti kepada dosennya. Namun demikian, tuturan ini didahului
oleh kata seruan refleks
‘hai’ untuk menunjukkan keakraban kepada dosennya meskipun dianggap tidak sopan. Kata
seruan ini selanjutnya diikuti oleh penanda kesantunan yang
berupa kata sapaan ‘bu dosen’.
(3)
Bu,
ini
kartu bimbingannya;
kartu konsultasi
proposal penelitian
Konteks:
wildan
yang hendak
meminta pembimbingan proposal dari dosennya dengan
memberikan kartu
bimbingan proposal penelitian.
(4)
Bu, makalah saya masih ada sama teman
Konteks:
Rosita hendak meminta penundaan waktu untuk
presentasi karena makalahnya masih di tangan
teman satu kelompoknya yang belum hadir.
Tuturan (3) juga tergolong
kalimat deklaratif karena
hendak memberitahukan bahwa kartu bimbingan
atau kartu konsultasi skripsinya
sudah ada. Modus kalimat ini sengaja digunakan untuk menyatakan kesantunannya dan
berharap maksud tuturannya dapat
dipahami. Dengan kalimat sederhana, wildan
mengatakan ‘ini kartu bimbingannya’. Tuturan
ini didahului oleh kata sapaan
Bu sebagai penanda kesantunan dan diikuti oleh kata
penunjuk ini sebagai unsur pengisi fungsi subjek. Tuturan (4)
hendak menginformasikan
bahwa makalah yang disusun
Rosita masih digandakan oleh temannya yang belum
sempat hadir ketika diskusi kelas hendak berlangsung. Oleh karena
itu, untuk meminta penundaan
waktu berlangsungnya diskusi kelas, Rosita menggunakan modus
kalimat deklaratif
untuk menyatakan
permintaannya
secara tidak langsung kepada dosennya.
b.
Kalimat
Introgatif
Kalimat interogatif adalah kalimat secara konvensional berfungsi untuk menanyakan
sesuatu.
Jika modus kalimat ini dimanfaatkan
untuk tujuan lain, seperti meminta, maka hal
itu untuk menyatakan
kesantunan seseorang kepada orang
lain. Modus kalimat ini terbagi menjadi
tiga, yaitu yes-no
question, WH question, dan modality question.
Berdasarkan
penelusuran data, tuturan mahasiswa terhadap dosennya di STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung juga
memanfaatkan yes-no
question, WH-question, dan modality question
untuk tujuan meminta
secara tidak langsung
a)
Yes-No Question
Yes-no question adalah bentuk
kalimat tanya yang jawaban adalah ya atau tidak. Hal ini dapat dilihat sebagaimana
contoh berikut.
(6) Pak,
waktu ngajarnya sudah
habis ya?
Konteks: seorang
mahasiswa yang meminta dosennya menyelesaikan
perkuliahan karena waktu sudah
selesai.
Tuturan (6)
bermodus kalimat interogatif. Di
dalam tuturan ini, mahasiswa
kelas VI A Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia menanyakan
dosennya mengenai
waktu
perkuliahan yang sudah selesai.
b)
WH
Question
WH
Question adalah bentuk pertanyaan yang
menggunakan kata tanya. Kata tanya itu dapat berupa apa, siapa, mengapa,
bagaimana, dimana, dan kapan. Dalam
bahasa Inggris, dikenal istilah 5W dan
1H, yaitu what, who, why, where, when, dan how. Kalimat tanya yang menggunakan kata tanya ini dapat dilihat sebagaimana contoh berikut.
(1)
Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh. Saya. Saya dari kelompok
5. Ada
yang ingin saya tanyakan, Apa yang dimaksud dengan unsure wajib dan tidak wajib dalam kalimat?
(2)
Tadi pertanyaan bapak itu bagaimana?
(3) Mengapa
pola
urutan kalimat
harus semacam
itu?
(4) Kapan saya bisa
ikut
UTS
pak, soalnya saya
sakit
kepala
minggu lalu.
Berdasarkan penelusuran data, kata
tanya
sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya relatif digunakan pada semua kalimat tanya. Kata tanya
itu berupa kata tanya
apakah, dimana, bagaimana, mengapa, kapan, dan siapa.
Penggunaan kata tanya apakah
digunakan untuk menanyakan
sesuatu yang belum dipahami
maksudnya. Tuturan (1)
menjelaskan bahwa si penanya,
mahasiswa, belum mengerti
unsure
wajib dan tidak wajib dalam kalimat. Untuk itulah, ditanyakan maksudnya. Tuturan (2) menggunakan kata tanya
bagaimana untuk mengklarifikasi sesuatu yang
masih diragukan. Tuturan (3) menggunakan kata tanya mengapa untuk
menanyakan sesuatu secara filosofis, atau menanyakan sesuatu berdasarkan
alasan
yang dapat diterima akal sehat. Mengapa
harus seperti itu dan mengapa
harus seperti
ini.
Tuturan (4) menggunakan
kata tanya ‘kapan’ untuk
menanyakan waktu
berlangsungnya sebuah
kegiatan.
Dalam hal ini, kata
tanya
kapan ditujukan untuk mengetahui
kapan waktunya seorang mahasiswa dapat melakukan ujian susulan.
c. Modality Question
Modality question adalah kalimat
tanya yang didahului
oleh kata tanya ‘dapat’,
‘boleh’, ‘akan’
dan ‘harus’. Hal ini dapat dilihat
pada data berikut.
(1) Pak, bisa saya ke rumahnya bapak?
soalnya pak saya
bisa batal untuk tidak ikut seminar
hari selasa
pak. Bisa ya pak saya ke rumah
bapak hari ini?
Penggunaan
kata tanya modal ditemukan
pada kata dapat. Dalam bahasa tidak formal, kata dapat dapat diubah menjadi kata bisa sebagai bahasa
sehari-hari. Tuturan (1) memanfaatkan kata dapat untuk
menanyakan kesediaan seorang
dosen untuk didatangi rumahnya pada
malam hari.
c.
Kalimat
Imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan
perintah. Jika modus kalimat
ini digunakan untuk menyatakan perintah
dari orang yang lebih muda kepada orang yang
lebih tua, atau orang yang lebih
rendah status sosialnya kepada orang yang lebih tinggi
status sosialnya,
maka tuturan itu
dianggap sebagai tuturan yang
kurang
santun karena tidak sepantasnya orang yang
lebih muda dan lebih rendah status sosialnya memerintah
orang yang
lebih
tua dan lebih tinggi status sosialnya.
Berdasarkan
penelusuran data, ada beberapa mahasiswa yang menggunakan
modus kalimat ini ketika hendak meminta tanda tangan para dosen pembimbing proposalnya
menjelang tiba waktu ujian
di awal mei. Modus ini akhirnya mereka
gunakan
sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan karya tulisnya yang sudah direvisi beberapa kali, sementara
mereka sudah tidak dapat lagi untuk menyelesaikannya.
Hal
ini dapat dilihat pada contoh berikut.
(2) Pak, tanda tanganni
saja proposal ku kasian. Sudah selesai
ini
semua teman-temanku ujian.
Konteks: Seorang mahasiswa,
anwar yang meminta dosen pembimbing proposal penelitiannya untuk menandatangani form
persetujuan untuk diuji.
Tuturan (2)
bermodus kalimat
imperatif. Tuturan imperatif ini
dapat dilihat dari frase ‘tanda tanganpi’
yang berarti
‘tanda tanganlah’. Ini berarti bahwa
sebagai seorang mahasiswa memerintah dosen pembimbingnya untuk
menandatangani
belangko persetujuan untuk
diadakan
ujian proposal, sementara masih ada
banyak
hal yang harus direvisi dan belum layak
untuk diuji. Hal ini tentu membuat dosen pembimbing anwar tersinggung, geram, dan
marah. Akibatnya, form proposal
tidak ditandatangani dan anwar
terancam tidak diluluskan dalam ujian proposal.
Modus kalimat ini
banyak
ditemukan ketika menjelang ujian proposal penelitian atau seminar
proposal di semester VI. Di STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Lampung, seminar
proposal hanya diadakan
sekali dalam setahun. Dengan demikian, jika mahasiswa atau
mahasiswi tidak dapat menyelesaikan
proposal penelitiannya, maka akan ditunda hingga tahun
depan. Itulah sebabnya
mengapa ada beberapa mahasiswa,
terutama mahasiswi, yang menggunakan
modus kalimat
imperatif kepada
dosennya.
4. Kalimat
Berdasarkan Kelengkapan
Unsurnya
Berdasarkan
unsur kelengkapannya, kalimat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu
kalimat lengkap
dan kalimat tidak lengkap.
Kalimat lengkap adalah kalimat
yang
unsur pengisi fungsi
Subjek, Predikat, dan Objeknya ada, sementara
kalimat tidak lengkap adalah
kalimat yang unsur pengisi fungsi subjek, predikat, atau
objek tidak ada. Jika sebuah
tuturan menggunakan kalimat lengkap,
maka tuturan itu dianggap
santun. Sebaliknya, jika
tuturan
itu
menggunakan kalimat
tidak lengkap, maka tuturan itu dianggap kurang santun.
c)
Kalimat
Lengkap
Kalimat lengkap adalah
kalimat yang unsur pengisi fungsi subjek
atau predikatnya terpenuhi. Ada
atau tidaknya objek
dalam sebuah kalimat tergantung
tuntutan verbanya. Sementara
itu, ada verba yang
selalu membutuhkan kehadiran objek, dan ada juga verba yang tidak membutuhkan kehadiran
objek. Hal ini dapat dilihat sebagaimana data berikut.
(1) Saya sudah di ruangan ketua jurusan
menunggu bapak
Tuturan (1) menggunakan kalimat
lengkap karena unsur pengisi
fungsi subjek
dan predikatnya terpenuhi. Fungsi
S diisi oleh pronominal persona, saya. Fungsi P diisi
oleh verba menunggu. Fungsi O diisi oleh nama diri,
bapak. Fungsi O ini ada karena tuntutan prefiks
me- pada verba menunggu. Unsur pengisi
fungsi KET
diisi oleh kata depan di
yang diikuti anteseden ruangan ketua
jurusan.
a)
Kalimat
Tidak Lengkap
Kalimat tidak
lengkap adalah
kalimat yang tidak memenuhi salah satu unsur pengisi fungsi subjek dan predikat. Hal ini dapat
dilihat sebagaimana data berikut.
(1) Anu, kanda
(2) Sa tidak menger dari tadi
(3) Da pulang sebagian teman-temanku
Tuturan (1) tergolong
kalimat tidak lengkap karena ketidakjelasan pengisi fungsi S dan
P. Kata anu tidak dapat dipahami dengan baik
karena merujuk kepada sesuatu yang
tidak jelas dan harus menggunakan konteks. Sementara itu, kata kanda merupakan
nama diri yang tidak mungkin dapat mengisi fungsi
P. Hal ini karena
pengisi fungsi P hanya dapat diisi oleh verba, nomina, adjektiva, dan kata
depan. Kalimat sa tidak menger
pada tuturan (2) tergolong kalimat yang tidak
jelas karena ketidaksempurnaan
katanya. Seharusnya, kata sa diubah
menjadi saya dan menger diubah
menjadi mengerti. Kata saya dapat menjadi pengisi
fungsi S dan mengerti
dapat menjadi pengisi fungsi P. Hal serupa juga terjadi pada kata da pada tuturan (3). Kata da menjadi
tidak jelas karena hanya merupakan
kependekan dari kata yang seharusnya
ditulis, yaitu dia. Namun demikian, kata dia merupakan redundant
dari frase sebagian
teman-teman.
Penggunaan
kalimat tidak lengkap dalam
budaya Kendari tidaklah sopan karena tidak menghargai seorang
dosen dalam berinteraksi, meskipun dianggap
santun karena tergolong dalam
kesantunan positif.
d.
Kalimat
Berdasarkan
Pola Urutan Kata
Kalimat berdasarkan pola urutan kata
dibagi menjadi dua, yaitu
pola urutan kata biasa dan pola urutan kata inversi. Pola urutan kata biasa adalah urutan kata yang sesuai dengan kebiasaan kepenulisan. Maksudnya, urutan kata yang dimulai dari fungsi Subjek, diikuti Predikat
dan Objek. Pola urutan kata
inversi adalah pola urutan
kata yang dibalik
susunannya, yaitu
urutan kata yang dimulai dengan Predikat, diikuti Subjek, dan Objek.
a)
Pola Urutan Kata Biasa
Yang
dimaksud pola urutan biasa adalah
urutan kata yang sesuai dengan kebiasaan
penulisan, yaitu urutan kata yang dimulai
dengan Subjek kemudian diikuti oleh Predikat. Hal ini dapat dilihat pada
data berikut.
(1) Saya mau mengonsultasikan proposal penelitian
saya
Tuturan (1)
disebut berpola urutan kata biasa karena dimulai dengan
susunan kata Subjek diikuti
Predikat dan Objek. Fungsi Subjek diisi
oleh
pronominal persona,
saya, fungsi Predikat diisi oleh verba
mengonsultasikan, dan fungsi objek
diisi oleh frase nominal proposal penelitian proposal
saya.
b)
Pola Urutan Kata Inversi
Pola urutan
kata
inversi adalah pola urutan kata yang
tidak sesuai dengan urutan kata
biasa, atau kebalikan
dari urutan
kata biasa. Jika urutan
kata biasa dimulai dengan Subjek, urutan
kata inversi dimulai dengan Predikat. Hal ini dapat
dilihat pada data berikut.
(2) Bingung saya atas
penjelasan itu
Tuturan (2) disebut urutan kata inversi
karena dimulai urutan kata
Predikat yang diikuti
Subjek dan Pelengkap. Fungsi
Predikat diisi verba bingung, sementara fungsi Subjek
diisi oleh pronominal persona saya. Fungsi pelengkap
diisi oleh frase preposisional
atas penjelasan itu.
5. Kesimpulan
Kesantunan berbahasa merupakan hal mutlak yang
dibutuhkan dalam berkomunikasi, terutama antara seorang mahasiswa terhadap dosen. Hal ini karena
keduanya tergolong orang yang
berpendidikan tinggi. Tidaklah layak bagi orang yang
berpendidikan dan berilmu
pengetahuan untuk tidak
menerapkan prinsip kesantunan
dalam kehidupannya. Termasuk di antaranya adalah kesantunan berbahasa
mahasiswa STKIP Muhammadiyah
Pringsewu Lampung terhadap dosennya.
Artikel yang
membahas wujud kesantunan berbahasa
mahasiswa terhadap dosen di STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung ini menemukan bahwa di dalam berinteraksi, mahasiswa
STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung lebih
memilih untuk
menggunakan modus kalimat deklaratif dan interogatif untuk menyatakan
kesantunannya daripada kalimat imperatif,
kecuali dalam
keadaan terdesak. Selain itu,
modus kalimat lengkap
dan berpola urutan biasa juga menjadi
pilihan untuk digunakan karena dianggap kebih santun
daripada kalimat
tidak
lengkap
dan
berpola urutan inversi yang
dianggap
kurang santun.
Daftar Pustaka:
Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson.
1987.
Universal in Language
Use: Politeness Phenomena. Dalam Esther N. Goody
(penyunting)
Question and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.
Gunawan, Fahmi. (2013). Politeness Strategy on Request Speech Act in Bugis Kendari Language. Proceedings The 1st International Seminar on Linguistics (ISOL-I),
Postgraduate Programe on Linguistics Andalas University and Linguistics Society
of Indonesia
Universitas Andalas.
Leech, Geoffray (1993). Prinsip-Prinsip
Pragmatik. Terjemahan Oka,
M.D.D.
Jakarta: Universitas Imdonesia
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Nisja, Indriani. (2009). ‘Kesantunan
Berbahasa dalam Berdiskusi
Mahasiswa Jurusan
Bahasa Indonesia Semester III Tahun 2007-2008 Ummy Solok’. Dalam Jurnal
Ilmiah Tambua, Vol. VIII, No. 3,
September-Desember.
Sudaryanto.
1993.
Metode
dan
Aneka Teknik Analisis
Bahasa. Yogyakarta:Duta Wacana University Press.
Wijana, Dewa
Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar