BAB
V
UMUR, PENULISAN, PENYALINAN NASKAH, SERTA
ILUMINASI DAN ILUSTRASI
1.Umur (Daya Tahan) Naskah
Sampai berapa lama naskah dapat bertahan di daerah
beralam tropis seperti Nusantara ini? Ada indikasi bahwa di negeri yang
beriklim panas dan lembab, seperti di Nusantara, naskah-naskah kurang bisa
bertahan lama dibandingkan dengan di negeri yang beriklim dingin, seperti di
negeri Barat. Sebagai bukti, di Oxford, Cambridge, dan Itali sampai kini masih
terdapat naskah-naskah Nusantara dari abad ke-16 dan ke-17 yang masih utuh.
Dewasa ini
berkat kemajuan teknologi, penyimpanan naskah di dalam ruangan yang ber-AC di
beberapa perpustakaan menolong upaya pelestariannya. Namun, tidak semua
perpustakaan dan tempat penyimpanan naskah di Indonesia memiliki sarana
tersebut. Menurut Russel
Jones, karena faktor iklim, jarang ada naskah di Indonesia
yang dapat bertahan lebih dari dua abad.
Naskah "Hikayat Sri Rama" yang
terdapat di Perpustakaan Bodleian, Oxford, t yang
dijadikan bahan kajian dalam disertasi Achadiati Ikram, adalah salah satu dari
23 naskah yang berisikan teks "Sri Rama". Pada
tahun 1633 naskah itu telah dihadiahkan oleh Uskup Besar
William Laud dari Canterbury, yang memiliki beberapa naskah tua
dalam beberapa bahasa daerah di Nusantara. Sehubungan dengan itu, naskah
tersebut diduga telah beberapa lama dimilikinya sehingga timbul perkiraan bah wa naskah
itu ditulis pada awal abad ke-17 atau akhir abad ke-16.
Mulyadi (1983)
menyatakan bahwa dari tiga puluh naskah "Hikayat Indraputra " yang
dijadikan bahc.n telaahnya, ada satu naskah yang berangka tahun 1700. Sekarang
naskah yang masih utuh itu disimpan di Perpustakaan KITLV, Leiden.
Di Perpustakaan.
Nasional, Jakarta, juga ada dua naskah yang berisikan teks yangsama.
Menurutkajian Mulyadi (1983),
salahsatu dari duanaskahitu tampaknya lebih tua daripada naskah yang disimpan
di Leiden. Sayang sekali naskah tersebut penuh lakuna dan urutannya juga
terbalik-balik sehingga naskah itu tidak dapat dipakai sebagai dasar
suntingannya.
Mulyadi juga
menambahkan bahwa naskah " Hikayat Indrapu tra" yang
bernomor ML. 125 yang sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada
tahun 1696 telah dimasukkan di dalam daftar naskah yang disusun oleh Pendeta Melchior
Leidecker. Naskah yang tercatat dalam daftar tersebut merupakan
naskah koleksi Isaac
de St. Martin.
Menurut Werndly
(1736), harta peninggalan Isaac de St.
Martin telah dimasukkan ke dalam peti kayu dan disimpan di Sekretarye tanpa
ada yang memanfaatkannya. Sekretarye itu
kemudian berubah nama menjadi Algemeene Secretarie (Kantor
Sekretariat Jenderal Pemerintah Belanda). Menurut perkiraan Mulyadi (1983),
warisan Isaac de St. Martin itu
adalah 59 naskah berbahasa Melayu dan Arab yang disebutkan dalam NBG 5,1897:42.
Salah satu dari ke-59 naskah itu adalah "Hikayat Indraputra" yang tercatat dalam urutan ke-27.
Pada tahun 1880 sebanyak 26 naskah (8 naskah
berbahasa Arab, 17 naskah berbahasa Melayu, dan 1 naskah berbahasa Jawa) oleh Algemeene
Secretarie dihibahkan kepada Bataviaasch
Genootscfrap van Kunsten en Wetenschappen, sebagaimana
dinyatakan dalam NBG 18,1880. Di antara ke-26 naskah itu naskah "Hikayat
Indraputra"
tercatat dalam nomor urut ke-10.
Menurut L.W.C.
van den Berg, naskah "Hikayat
Indraputra"
itu adalah naskah yang rusak sekali
dan halaman awalnya hilang (NBG
18,1880:23,III,IX).
Naskah-naskah warisan Isaac de
Si. Martin, yang meninggal tahun 1696 di Batavia, pernah
dibicarakan Van
Ronkel dalam tulisannya berjudul "Over Eene
Oude Lijst van Maleische Handschriften" dalam
BKJ No. 42 tahun 1900. Menurut dugaan Van Ronkel, sebagian
peninggalan Isaac
St. Martin merupakan warisan Raffles yang
terdapat di Royal
Asiatic Society,
London. Dikemukakannya juga bahwa
mungkin sebagian naskah peninggalan Isaac de
St. Martin itu termasuk koleksi Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen — sekarang
semua naskah itu disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta — sejak abad ke-19.
. Dugaan Van Ronkel itu
kemudian dibantah P.
Voorhoeve dalam tulisannya berjudul "A Malay
Scriptorium" dalam Malayan and Indonesian Studies:
Essays Presented to Sir Richard Winstedton His Eighty-Fifth Birthday yang
diedit John
Bastian dan R. Roolvink (1964).
Berdasarkan penelitiannya, naskah-naskah peninggalan Raffles yang
disimpan di Royal
Asiatic Society,
London, tidak ada yang berasal dari
abad ke-17. Voorhoeve
juga menyangkal bahwa
tidak ada naskah asli koleksi Isaac de St. Martin yang dapat ditelusuri dalam koleksi abad ke-19 yang
disimpan di Jakarta. Namun, Mulyadi (1983) menyatakan bahwa salah satu dari dua
naskah "Hikayat
Indraputra "
yang ada di Perpustakaan Nasional,
Jakarta, itu adalah naskah peninggalan Isaac de St. Martin sesuai
dengan cap kertas yang tertera dalam alas naskah tersebut.
Pada tahun 1990 Mulyadi juga
meneliti naskah-naskah Melayu Bima. Yang tertulis dalam naskah-naskah itu ialah
peristiwa yang terjadi pada tahun 1619 — 1891. Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa ada 42 naskah Bima yang alas naskahnya menggunakan cap kertas tua, yaitu Starsburg Lily. Menurut
Churchill dalam
tulisannya berjudul Watermark
in Paper in Holland, England, France etc., in the XVII and XVIII Centuries and
Their Interconnection
(1935), Starsburg Lily adalah jenis cap kertas yang diproduksi tahun 1624 —
1789. Sementara itu, Edward
Heawood dalam bukunya Watermarks, Mainly oftlte 17th
& 18th Centuries
menyatakan bahwa kertas yang bercap
jenis itu diproduksi sepanjang abad ke-17.
Selain yang bercap kertas Starsburg Lily,
Mulyadi juga meneliti 25 naskah Bima yang bercap kertas
" VOC+A". Ke-25 naskah Melayu Bima itu mengisahkan peristiwa yang
terjadi sekitar tahun 1697—1871. Menurut H. Voorn dalam bukunya De Papiermnlens
in de Provincie Noord-Holland
(1960:7—9) jenis kertas yang bercap
"VOC+A" itu dibuat oleh pabrik kertas VOC di Batavia yang berproduksi
antara tahun 1665 dan 1681. Menurut dugaan Mulyadi (1992),
sebagaimana dinyatakan dalam tulisannya "Collections of Bima Malay
Manuscripts", kertas
bercap "VOC+A" itu masih diproduksi di Amsterdam sampai jatuhnya VOC
pada akhir abad ke-18. Naskah-naskah Melayu Bima itu menunjukkan buktibahwa
kertas yang diproduksi pada abad ke-17 dan ke-18 masih dipakai untuk menuliskan
peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871 dan 1891.
2.Penulisan
dan Penyalinan Naskah
Siapakah para penulis dan penyalin naskah Nusantara?
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penulis
naskah di Indonesia, baik penulis naskah berbahasa Melayu maupun penulis naskah
berbahasa daerah, tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama penulis dapat
kita ketahui. Biasanya nama penulis tercantum dalam kolofon, yaitu bagian akhir
tulisan di luar teks cerita. Dalam kolofon itu selain nama penulis atau
penyalin teks, juga terdapat tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan,
bahkan ada pula saran atau permohonan kepada pembaca untuk memperbaiki teks,
hasil kerja penulis.
Penulis atau penyalin naskah terdiri atas berbagai
lapisan masyarakat, pria atau wanita, baik secara terof ganisasi maupun tidak,
menulis atas kehendak sendiri atau atas dasar pesanan. Di antara mereka itu ada
yang berprofesi sebagai penulis dan sekaligus sebagai penyalin. Ada pula di
antara mereka yang meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa
lampau dikenal penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh
pihak lain, baik oleh perseorangan maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau
Inggris.
Dalam "Hikayat Abdidlah" tercatat bahwa Raffles sangat
rajin menyuruh orang menyalmkan naskah untuknya, sampai-sampai dipekerjakan
empat atau lima orang juru tulis untuk memenuhi keinginannya itu. Selain itu,
dia juga membeli banyak naskah.
Voorhoeve dalam
tulisannya yang berjudul A Malay Scriptorium dalam
buku John
Bastian dan R. Roolvink (ed.)
yang berjudul Malayan
and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedt on his
Eighty-Fifth Birthday
(1964) mengemukakan bahwa kegiatan Raffles itu
telah mendorong pemerintah Belanda untuk menggairahkan penyalinan naskah. Pada
pertengahan abad ke-19 kantor Algemeene Secretarie pada
zaman pemerintah Belanda telah memiliki skiptorium Melayu yang menghasilkan
salinan naskah yang sebagian besar merupakan koleksi Perpustakaan Universitas
Leiden. Voorhoeve
(1964:256) juga
menambahkan bahwa salinan naskah Melayu yang dibuat di kantor Algemeene
Secretarie itu sebagian menjadi koleksi naskah di Berlin,
Paris, Brussel, dan Den Haag. Naskah koleksi Koninklijk
Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde sekarang
sudah dipindahkan ke Leiden.
Salah seorang penyalin yang lama bekerja di Algemeene
Secretarie adalah Muhammad Ghing
Saidullah. Hal itu terbukti dari banyaknya naskah salinan yang
dibuatnya. Voorhoeve (1964:260)
menyatakan bahwa salinan naskah produksi Algemeene Secretarie itu
menunjukkan kemiripan dan tampak rapi. Penampilan dan format kertas seragam
sehingga karya-karya itu dengan mudah dapat dikenali sebagai salinan Algemeene
Secretarie.
Maria Indra
Rukmi (1993) dalam tulisannya
berjudul "Penyalinan Naskah
Melayu di Jakarta pada Abad Ke-19 Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari Segi
Kodikologi" menyatakan bahwa orang yang pernah bekerja di Algemeene
Secretarie ialah Muhamad
Sulaiman, Muhamad Hasan ibn Haji Abdul Aziz, dan
Abdul
Hakim.
Sampai seberapa jauh tugas seorang penyalin?
Gambaran tugas penyalin dalam menyiapkan naskah di
dunia Barat, khususnya di biara Benedict, pada
masa lampau pernah dikemukakan oleh Falconer Madan (1893:34
— 36) dalam karangannya berjudul Books in Manuscript: A Short
Introduction to Tlieir Study and Use.
Dalam buku tersebut dijelaskan
bahwa sebuah skiptorium merupakan suatu ruangan yang luas yang terdiri atas
ruang-ruang kecil. Dalam skiptorium itu berlaku berbagai peraturan yang ketat.
Semua peralatan yang dibutuhkan disediakan oleh seorang petugas khusus. Para
biara wan yang ber tugas sebagai penyalin naskah tidak diperbolehkan mengubah
sesuatu dalam teks walaupun di dalam teks itu ada sesuatu yang salah. Penyalin
juga bertugas sebagai iluminator, ilustrator, atau rubrikator. Jika tugas-itu
tidak dapat mereka kerjakan, didatangkan tenaga lain dari luar biara itu.
T.E. Behrend (1922:17-25)
dalam tulisannya berjudul "Patrons, Sciptoria and Manuscripts Production
in Nineteenth Century Java" menjelaskan
bahwa di skiptorium istana
Yogyakarta pada pemerintahan Hamengku Buwono V (1822 — 1855) tugas menyalin
naskah, memkubuhkan iluminasi atau gambar, dan menjilid naskah dijalankan oleh
petugas khusus. Diperkirakan bahwa skiptorium istana Yogyakarta
selama Pemerintahar
Hamengku Buwono
V mempekerjakan 2 — 10
orang penulis dan/ atau penyalin.
Chambert-Loir mencata-'
bahwa salah seorang penulis naskah milik Von de
Wall pada tahun 1837—1865 adalah Husein bin
Ismail, orang Bugis, dari Pulau Penyengat, Riau.
Dijelaskannya bahwa naskah-naskah tulisan Husein bin
Ismail, berdasarkan gaya tulisannya yang selalu rapi,
mencapai 66 naskah lebih. Berdasarkan kolofonnya, naskah-naskah Perpustakaan
Nasional koleksi Von
de Wall yang
ditulis/disalin Husein
bin Ismail berjumlah 6 buah, yaitu yang bernomor 11,31,68,157,228, dan
257. Giutnbert-Loir juga
mencatat bahwa ada 2 naskah tulisan Husein bin Ismail yang
disimpan di School
of Oriental and African Studies,
University of London; 1 naskah di Cambridge
University Library,
dan 1 naskah di Library of
Congress, Washington.
Naskah-naskah keagamaan—yang berisi ajaran agama,
tafsir, atau tasawuf biasanya ditulis dengan hati-hati dan cermat. Selain
naskah keagamaan, naskah yang ber.si peraturan atau perundang-undangan ditulis
dengan cermat juga. Namun, tidak semua penyalin menaati peraturan itu.
Mulyadi (1994:55) dalam bukunya yang berjudul Kodikologi
Melayu di Indonesia
menjelaskan bahwa tradisi
penyalinan naskah Melayu dan begitu juga dalam penyalinan naskah daerah lain di
Indonesia sangat berlainan dengan tradisi penyalinan di dunia Barat yang ketat,
sampai-sampai kesalahan pun harus disalin apa adanya.
Penvalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan.
Dia dapat saja memperbaiki sesuatu yang dianggapnya salah dalam naskah yang
disalirmya, mengubah, menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya.
Dalam kebebasan seperti itu dapat saja dia "menyalin" dari satu
naskah atau lebih yang terdapat di hadapannya dan mengambil bagiandxagian yang
dianggap paling cocok untuk memenuhi seleranya sehingga lahirlah suatu teks
ramuan dari berbagai naskah itu ditambah dengan daya imajinasi.
Dengan gaya penyalinan seperti itu dapat dipahami
bahwa dalam penggarapan edisi naskah tidak selalu berhasil merunut teks yang
ada sehingga dapat disusun sebuah silsilah (slemma). Dalam
alam penyalinan seperti yang terdapat di Indonesia itu, metode stemma yang
bertujuan merunut teks asli diragukan keberhasilannya.
3.Iluminasi
dan Ilustrasi
Mula-mula istilah
iluminasi dipakai
dalam penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan.
Dalam perkembangannya kemudian, iluminasi mengacu pada gambar dalam naskah yang
biasanya terdapat pada halaman depan naskah, halaman 1 dan halaman 2, yang
berfungsi sebagai penghias halaman. Gallop (1991:79) menyatakan bahwa gambar
yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks disebut iluminasi. Selain
iluminasi, dalam
naskah juga ada gambar yang berfungsi bukan hanya sebagaipenghias halaman
melainkan juga sebagai pendukung isi teks. Gambar seperti itu disebut ilustrasi (Folsom, 1990:40). Karena berfungsi sebagai penjelas teks,
ilustrasi terletak di mana saja, bisa di bagian depan, di tengah atau di bagian
belakang.
Iluminasi biasanya berbentuk bingkai yang ada pada
halaman depan. Dalam The
Art of the Book in Central Asia
dinyatakan bahwa dekorasi yang
terletak pada halaman depan teks ada 3 jenis: (1) dekorasi yang membingkai
seluruh teks, yang disebut. arlauh; (2)
dekorasi yang terdapat pada bagian atas teks, yang disebut univan; dan
(3) dekorasi yang terdapat di tengah teks dan berbentuk oval, yang disebut samsah.
Dalam naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional,
Jakarta, sebagian besar iluminasi berbentuk bingkai teks dan terdapat pada
halaman bagian depan. Bentuknya persegi panjang dan kadang-kadang bujur
sangkar. Bagian atas iluminasi ada juga yang berbentuk setengah lingkaran
(kubah) dan bagian tengahnya berbentuk kerucut. Pada kerucut itu ada yang
bergambar bunga, kuncup bunga, bintang, bulan, atau gambar geometrik.
Motif gambar yang membingkai teks juga beragam.
Iluminasi yang terdapat dalam halaman muka naskah "Syair
Kumbang dan Melati"
berupa gambar yang membingkai
seluruh teks. Motif gambarnya berupa tumbuh-tumbuhan, bunga teratai yang
berpadu dengan daun melati, dan daun anggur yang berpadu dengan garis
geometris. Motif itu berbentuk mihrab dan di atasnya berbentuk kubah. Di atas
gambar kubah itu terdapat gambar bintang.
Iluminasi berbentuk kubah juga terdapat pada naskah "Syahrul
lndra VIII". Gambar dalam iluminasi itu dipoles dengan cat air
dengan warna-warni yang sangat mencolok: merah, biru, kuning, dan hitam.
Goresan dalam iluminasi itu tampak halus dan rapi.
Dalam naskah "Maharaja Boma IV" iluminasi bermotif geometris yang berpadu dengan
floral. Gambar hanya terdapat pada bagian atas teks, sedangkan pembatas kiri,
kanan, dan bawah hanya menggunakan baris. Bingkai teks seperti itu juga
terdapat dalam naskah "Maharaja Boma I" yang bergambar akar sulur dan
daun melati, sedangkan bingkai kedua sisinya bergambar bintang.
Mengapa motif iluminasi itu berupa tumbuh-tumbuhan,
seperti melati, anggur, dan teratai?
Mungkin tumbuh-tumbuhan jenis itu mempunyai lambang
khusus dalam budaya kita. Teratai merupakan lambang kekuatan dan
keteguhankarena tumbuhan itu dapat hidup kokoh di atas permukaan air walaupun
akarnya hanya terhunjam di air.
Walaupun hidup di air yang kotor, teratai berbunga
indah dan berseri-seri.
Motif tumbuhan bersulur yang berupa batang merambat
yang dirangkai dengan daun dan bunga yang saling berkaitan dalam istilah Jawa
disebut sulur gelung. Dalamnaskah "Sejarah Kawedar" dinyatakan
bahwa swZwrgeZimgmerupakan lambang dari pegangan hidup (Pudjiastuti,
1992:3). Menurut Daneshvari (1986:27), baik sulur anggur maupun sulur lainnya,
bukan hanya muncul dalam seni Islam, melainkan juga dalam seni Kristen. Sulur
merupakan lambang dari kehidupan yang akan datang di surga. Gallop (1991:59)
berpendapat bahwa gambar seperti itu (geometris dan floral) dipakai sejalan
dengan kepercayaan Islam ortodoks yang menolak gambar makhluk hidup. Oleh sebab
itu, gambar manusia jarang dijumpai dalam naskah Melayu.
Sehubungan dengan munculnya seni Islam, (Akbar, 1992:4) menyatakan bahwa salah satu karakteristik
seni Islam adalah pengulangan. Pengulangan dapat bermotif geometrik atau floral.
Dalam arsitektur Islam dapat kita lihat adanya bentuk yang diulang-ulang hingga
menutupi seluruh permukaan dinding. Hal itu melambangkan keterikatan hubungan
antara Tuhan dan khaliknya, termasuk juga nilai-nilai estetika. Motif gambar
seperti itu merupakan upaya untuk menutupi kekosongan. Kaligrafi merupakan
kesenian Islam yang beniilai estetis tinggi.
Motif bunga, bulan, dan geometrik juga berkaitan
dengan kepercayaan orang Melayu tentang Ketuhanan. Orang Melayu menganggap
bahwa Tuhan itu Mahatinggi dan Mahamulia.
Hal itu menunjukkan bahwa kesenian Melayu berkaitan
erat dengan kesenian Islam.
Bertahan dengan kesenian Islam, Akbar (1922)
menyatakan bahwa produk seni Islam didominasi oleh pola geometrik dan bunga
yang bersifat non-figuratif yang melambangkan keesaan (tauhid) Tuhan, tidak
berkompromi, tidak dapat di-
ekspresikan dalam bentuk-bentuk bendawi. Seni Islam merupakan simbul
kepercayaan dan pemahaman akan Tuhan yang dituangkan dalam bentuk garis,
warna, dan irama. .
Berbeda dengan iluminasi, yang
gambarnya membingkai teks, ilustrasi tampil dalam haitannya dengan alur cerita (Gallop, 1991:87).
Karena berkaitan dengan alur cerita, ilustrasi tampak pada halaman-halaman
tertentu sesuai dengan alur cerita. Ilustrasi dapat berfungsi memperjelas
identifikasi tokoh>, jalan cerita, atau makna teks. Oleh sebab itu, Vermeeren dan
Hallinga (1963:263)
menyebut gambar seperti itu dengan istilah textillustration.
Pada umumnya kehadiran gambar yang berfungsi sebagai
ilustrasi itu disesuaikan dengan isi cerita dalam teks. Dalam naskah "Merpati
Emas dan Merpati Perak",
misalnya, dikisahkan bahwa tokoh
berlayar sampai di suatu pantai. Di bawah teks yang menyatakan peris tiwa itu
terdapat gambar — dengan tinta hi tarn— dua buah kapal laut sedang berlayar
yang menghampiri pantai. Pada halaman lain terdapat gambar istana. Ternyata,
istana tersebut merupakan tempat tinggal tokoh yang bernama istana Negeri
Padang Temurat.
Dalam naskah "Wayang Arjuna",
"Cerita Wayang",
dan "Hikayat
Purusara",
ketiga teksnya tergolong cerita
wayang, terdapat gambar wayang, yang menjadi tokoh cerita. Gambar wayang itu
dapat diidentifikasi berdasarkan peristiwa yang tertera dalam teks,
Dalam naskah "Hikayat Purusara"halaman
5, misalnya, terdapat gambar Petruk, Gareng, dan Garubug sedang
bercakap-cakap. Teks yang terdapat pada halaman itu menyatakan bahwa mereka
sedang merundingkan pembagian kerja dalam pembangunan kampung: siapa yang
mencangkul dan siapa yang memotong kayu. Dalam halaman 118 naskah itu juga
terdapat gambar Petruk, Semar, Garubug, serta Rara Amis dan anaknya. Gambar itu
berfungsi memperjelas teks tentang peristiwa Rara Amis dan para
punakawannya ketika berada di hutan.
Kehadiran ilustrasi dalam naskah seperti itu jelas
dapat membantu pembaca dalam memahami isi teks dan dapat merangsang pembaca
untuk terus membaca, di samping untuk menghilangkan kebosanan.
Dalam naskah "Syair Buah-buahan" (bernomor
ML 254) terdapat ilustrasi berupa gambar buah jambu, jeruk, pisang, delima,
anggur, dan rambutan. Gambar buah-buahan tersebut ditampilkan sesuai dengan
alur cerita, bahkan berfungsi sebagai tokoh cerita karena dapat berbicara dan
bertindak seperti manusia. Hal itu dapat kita pahami karena "Syair
Buah-buahan"
tergolong syair simbolik.
Selain bermotif geometrik dan sulur, ilustrasi juga
ada yang bermotif daun dan garis yang membentuk silsilah. Dalam naskah koleksi Yayasan
Indrasakti, yang terdapat di Pulau Penyengat, Riau, ada beberapa
naskah silsilah, seperti "Silsilah Keturunan Raja-raja
Riau" dan "Silsilah Laksamana Encik
Muhammad Yusuf".
Ilustrasi dalam naskah "Silsilah
Laksamana Encik Muhammad Yusuf
berbentuk tongkat dengan garis ke
kiri dan ke-kanan yang mencantumkan nama-nama keturunanny a. Tinta yang
digunakan dalam kedua naskah itu berwarna merah dan hitam.
Di Perpustakaan Nasional juga terdapat naskah
seperti itu yang berjudul "Tapel Adam". Ilustrasinya
berbentuk akar sulur yang membelah menjadi dua bagian. Sulur sebelah kiri
ditulis dengan aksara Jawa dan sulur sebelah kanan dengan aksara pegon.
Silsilah berawal dari Nabi Adam sampai
keturunan Sultan
Yogyakarta dan teralchir Kanjeng Sultan Gangsal. Alas
naskahnya kertas double
folio (3 lembar) yang disambung-sambung.
Selain ilustrasi yang telah diuraikan di atas, ada
juga ilustrasi motif lain, sebagaimana yang terdapat dalam naskah kitab,
obat-obatan, astrologi, ilmu firasat (primbon), mistik, dan tasawuf. Ilustrasi
dalam naskah tersebut juga berfungsi sebagai penjelas teks agar doa, ramalan,
dan obat-obatan yang tertera pada teks bertuah ampuh. Ilustrasi dalam naskah
seperti itu bermotif binatang, tumbuh-tumbuhan, geometrik, dan manusia (dalam
bentuk yang sangat primitif).
Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi teks-teks
berikut:
Siapakah yang membuat iluminasi dan ilustrasi itu? Apakah
yang membuatnya penulis atau penyalin naskah itu?
Pertanyaan itu sukar dijawab mengingat sulit sekali
mengidentifikasinya. Dalam naskah ataupun teks sama sekali tidak ada ciri-ciri
yang dapat menelusurinya. jika pembuat iluminasi atau ilustrasi itu penulis/penyalin,
hal itu dapat dilacak melalui kolofon. Namun, itu pun tidak dapat diandalkan
karena naskah-naskah tua tidak berkolofon. Pada naskah abad ke-19 barulah
terdapat kolofon. Kolofon-kolofon itu sering mencantumkan nama
penulis/penyalin, tempat, dan waktu penyalinan. Bahkan, dalam kolofon
kadang-kadang tencantum data pemilik naskah.
Dalam naskah, Melayu yang berilustrasi dan
berkolofon tercatat tempat penyalinan, antara lain Betawi (Jakarta) dan
Palembang. Menurut Chambert-Loir
(1984:44 — 67), pada abad ke-19 di
Betawi ada seorang penyalin dan pemilik naskah yang bernama Muhammad Bakir. Chambert-Loir berhasil
mencatat 27 naskah milik Muluwtmad
Bakir. Namun, di antara ke-27
naskah itu hanya 8 naskah yang berilustrasi, yaitu (1) "Hikayat
Agung Sakti", (2)
"Hikayat Maharaja Garebag
Jagat", (3) Syair Wayang Arjuna", (4) Hikayat
MeiyatiLmas dan MerpatiPerak", (5)
"Hikayat Purusara", (6) "Hikayat
Sultan Taburatl", (7)
"SyairKen Tambuhan",dan(8)
"SyairBuah-buahan". Semua naskah itu disalin sekitar tahun 1880-an.
Sebagian besar naskah yang disalin Muhammad Bakir disewakan kepada pembaca. Kolofon yang terdapat
dalam naskah "Syahrul Indra
VIU" berbunyi sebagai
berikut.
Saya hendak
berpesan kepada sekalian Tuan-tuan dan Cucu-cucu atau Babah atau Enci-Enci yang
suka baca ini hikayat jangan terlalu dekat pelita dan jangan terlalu makan
sirih dan jangan
terlalu becanda di hadapan ini hikayat sebab takut nanti ketumpahan minyak. Dan
lagi jikalau sekalian sanak saudara ada empunya rahim serta rida hati yang puti
bersi akan saya, maka adalah saya hendak mohonkan di dalam satu malam 10 sen
demikian adanya.
Dalam kolofon "Syahrul
Indra VII" juga disebutkan
harga sewa naskah sebagai berikut. "... pada tahun seribu delapan puluh delapan enam ...
Kasim Sarina yang punya di Kampung Ancol. Siapa yang suka baca boleh bayar 10
sen."
Berdasarkan catatan tersebut, penyewaan naskah
ternyata berkaitan erat dengan pemberian ilustrasi dalam naskah karena
ilustrasi dapat merangsang minat pembaca dan mempuanyai nuansa lain dalam bacaan.
Ternyata naskah-naskah berilustrasi yang disewakan
itu bukan hanya naskah yang disalin di Betawi, melainkan juga naskah yang
disalin di Palembang. Kratz
(1980:90—96) menyatakan bahwa
beberapa naskah yang ditulis di Palembang disewakan. Naskah itu bertahuri 1886
AD. Naskah yang disewakan itu ada yang berilustrasi, seperti naskah "Hikayat Sri Panji Kelana Anaken".
Dalam salah satu naskah tercantum kolofon yang
menyatakan bahwa penyalinnya adalah Radin
Mas Subra di Palembang dan
selesai disalin pada 14 Rabiul Awal 1332 H atau 1914 M. Selain itu, ada juga
keterangan sebagai berikut.
"Siapa suka mau beli Syair Syari'at Islam boleh
datang di toko Ce Haji Chatib Kampung Sekanak Sungai Besar."
Dalam kolofon naskah yang lain tercatat bahwa naskah
tersebut "tamat kepada
tanggal 3 bulan Jumadil Aioal malam Ahadjam 5 Viadanya pada
tanggal tahun 1336/1918 adanya. Maka adalah yang mengarang ini yaitu Kemas
Ahmad pada Kampung 3 Ulu adanya."
Dalam kolofon naskah "Pandawa Lebur" disebutkan bahwa, "Naskah baharu sudah dibaikkan pada tanggal 1
Juli 1906. Yang empunya hikayat ini Muhammad Syafei bin Muhammad Saleh, Kampung
Ulu Palembang adanya. Barangsiapa pakai ini hikayat min ta tolong
peliharakan."
Dalam kolofon naskah "Hikayat Anbiya" juga dinyatakan sebagai berikut.
Ini hikayat ada empat orang yang empunya bekas
tulisannya. Maka jadi berlain-lainan tulisannya. Jangan dikasi tangan
pertanyaan dan sewanya dalam sehari semalam 10 sen.... Hamba memberitahukan
kepada Tuan-tuan yang manah suka membaca hikayat ini, biarlah Tuan-tuan ingat
kepada yang empunya karena ini hikayat tulisannya belum lama dan lagi jangan
ada kena kotor karena harganya 15 rupiah perak adanya. Ini hikayat yang empunya
bernama Muhammad Din, Kampung Nurbaik, Gang Terunci adanya.
Berdasarkan kolofon tersebut, pencantuman ilustrasi
tampaknya berkaitan erat dengan komersialisasi naskah pada abad ke-19, baik
untuk disewakan, dipinjamkan, maupun untuk dijual.
Daya tahan (usia) naskah bennacam-macam: ada yang
tahan lama dan ada yang tidak tahan lama. Usia naskah sangat bergantung kepada
alas naskah yang digunakan, iklim, dan tempat penyimpanannya. Selain itu, daya
tahan naskah juga bergantung kepada pemeliharaannya.
Penulis atau penyalin naskah Nusantara pada umumnya
anonim. BerdasarKar
t kolofon yang biasanya terdapat pada bagian akhir
teks, penulis atau penyal n naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat,
baik secara terorganisa.' si maupun tidak, yang menulis berdasarkan kehendak
sendiri atau berdas arkan pesanan. Di antara mereka itu ada yangberprofesi
sebagai penulis dar i sekaHgus sebagai penyalin serta meminjamkan hasil
karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau dikenal penulis atau pujangga
istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik oleh perseo-rangan
maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau Inggris.
Naskah-naskah Nusantara pada umumnya tidak
beriluminasi, tetapi ada pula yang beriluminasi. Selain itu, ada.pula naskah
yang berilustrasi. Iluminasi ac Ialah gambar yang berfungsi sebagai penghias
halaman muka naskah, biasanya membuat sejenis bingkai teks. Ilustrasi adalah
gambar yang berfungsi sebagai penjelas teks. Jadi, ilustrasi ada kaitannya
dengan alur cerita, sedangkan iluminasi tidak berkaitan dengan alur/Lsi cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar