BAB I
PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN MANFAAT FILOLOGI
Di antara Anda mungkin sudah banyak
yang mengenal istilah filologi, bahkan
sudah berkecimpung dalam bidang yang satu ini. Mungkin juga berbagai alasan
mengapa Anda tertarik terhadapnya. Ada ketidaktertarikan Anda terhadap bidang
yang langka peminat ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan bahwa filologi
itu adalah ilmu yang berkaitan dengan karya (tulisan) masa lampau, kuno, lapuk,
berdebu, dekil, kotor, dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Namun,
jika sudah terjun ke dalamnya dan sudah “jatuh cinta” kepadanya, Anda akan
merasakan betapa asyiknya “menggauli” teks-teks masa lampau yang sudah lapuk
dan berdebu itu.
Karena berkaitan
dengan produk masa lampau, yang latar sosial dan budayanya berbeda dengan latar
sosial dan budaya masa kini, kebanyakan orang tidak tertarik akan filologi.
Itulah sebabnya, sementara orang memandang bahwa filologi itu sebagai ilmu yang
“gelap” atau kurang jelas.
Sebagaimana
dinyatakan para pakar, karya-karya masa lampau merupakan peninggalan yang
mengandung informasi tentang buah pikiran, perasaan, pengalaman, dan
pengetahuan mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada. Informasi tentang
masa lampau itu merupakan ciptaan manusia yang latar sosial dan budayanya
berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini. Di samping itu, kondisi karya
masa lampau itu – karena dimakan usia – berangsur lapuk. Selain faktor usia,
faktor kesengajaan yang dibuat manusia dalam proses penyalinan, misalnya, juga
mempengaruhi keaslian karya itu. Adanya berbagai varian dalam teks merupakan
akibat kesengajaan yang dibuat manusia (penyalin).
Kerusakan bahan
dan munculnya variasi teks menuntut adanya cara pendekatan dan penggarapannya.
Itulah sebabnya, upaya untuk menggali informasi yang tersimpan dalam karya
(tulisan) masa lampau itu sangat bergantung kepada kondisi teks – yang sulit
dipahami pembaca masa kini – dan kondisi fisiknya yang sudah tidak utuh lagi.
Kekhasan naskah
(teks) dengan kondisi yang telah dikemukakan itu memerlukan pendekatan yang
memadai. Untuk itu, diperlukan keterampilan khusus mengenai teks (tulisan dan
bahasa yang digunakan di dalamnya) dan fisik naskah. Ilmu yang digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah filologi.
A.
Pengertian
Filologi
Kata filologi
berasal dari bahasa Yunani philologia,
yang berupa gabungan kata philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti ‘ilmu, pembicaraan’. Dalam bahasa Yunani philologia berarti ‘senang berbicara’,
kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, ‘senang kepada ilmu’, ‘senang
kepada tulisan’, dan akhirnya ‘senang kepada tulisan yang bernilai tinggi’,
seperti karya sastra (Baried, 1994:2).
Sebagai istilah,
filologi mulai dipakai pada abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli dari Iskandariah,
untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji tulisan yang dihasilkan
berates-ratus tahun sebelumnya. Pakar dari Iskandariah yang pertama kali
melontarkan istilah filologi itu bernama Eratosthenes. Pada waktu itu mereka
harus berhadapan dengan sejumlah peninggalan tulisan yang mengandung informasi
yang bentuknya bermacam-macam, di samping adanya sejumlah bacaan yang rusak.
1)
Berbagai
Pengertian Filologi dalam Perkembangnya
Sesuai dengan perkembangan zaman, studi
filologi juga memperlihatkan kemajuan. Sehubungan dengan itu, pengertian
filologi juga mengalami perubahan sesuai dengan sasaran dan objek kajiannya,
sebagaimana dikemukakan dalam uraian berikut.
a.
Filologi sebagai Ilmu tentang Pengetahuan yang
Pernah Ada
Informasi
mengenai masa lampau suatu masyarakat – yang meliputi berbagai segi kehidupan –
dapat diketahui masyarakat masa kini melalui karya-karya yang mereka
tinggalkan, baik berupa benda budaya maupun tulisan. Karya yang berupa tulisan
umumnya mengandung informasi masa lampau yang lebih jelas dan rinci. Jika
informasi yang terkandung dalam tulisan masa lampau itu mencakupi bidang
kehidupan yang lebih luas, pengetahuan yang dipandang mampu mengungkap
informasi itu dapat dikatakan sebagai kunci pembuka pengetahuan. Itulah
sebabnya, Philip August Boekh pengartikan filologi sebagai’ilmu pengetahuan
tentan g segala sesuatu yang pernah diketahui orang’. Berdasarkan pandangan
itu, pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan masa lampau
disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkap khazanah pengetahuan masa
lampau.
b.
Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Sebagai hasil
budaya masa lampau, suatu tulisan perlu dipahami dari segi konteks masyarakat
yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang hidup dalam
masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang besar bagi
upaya memahami kandungan isinya. Karena prinsip dasar tulisan masa lampau itu
berupa bahasa, modal dasar seorang filolog adalah bahasa yang dipakai dalam
tulisan tersebut. Hal itu berarti bahwa pengetahuan kebahasaan secara luas
diperlukan untuk membedah kandungan karya tulisan masa lampau. Dengan demikian,
seorang filolog harus ahli bahasa. Sehubungan dengan itu, filologi dipandang
sebagai ilmu tentang bahasa.
Bertalian dengan
konsep tersebut, filologi dipandang sebagai studi bahasa yang ilmiah,
sebagaimana dilakukan bidang linguistik. Jika studi tentang bahasa itu
dikhususkan kepada tulisan masa lampau, studi filologi dapat diartikan sebagai
linguistik diakronis. Studi semacam itu antara lain dapat dijumpai di Inggris
dan Arab.
c.
Filologi sebagai Ilmu Sastra Tinggi
Dalam
kenyataannya, tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi itu berupa
karya yang bernilai tinggi dalam masyarakat. Karya itu pada umumnya merupakan
karya sastra adiluhung, seperti karya Homerus. Kajian atau studi semacam itu
kemudian melahirkan pengertian tentang istilah filologi sebagai studi sastra
atau ilmu sastra.
d.
Filologi sebagai Studi Teks
Filologi dapat
juga dipakai untuk menyebut ilmu yang berhubungan dengan studi teks, yaitu
studi yang berupaya mengungkapkan hasil budaya yang terkandung di dalam suatu
teks. Studi seperti itu pernah dilakukan di Belanda. Di Perancis filologi
diartikan sebagai studi suatu bahasa melalui dokumen tertulis dan studi
mengenai teks lama serta penurunanya. Dalam hubungan dengan konsep tersebut,
filologi bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang
tersimpan dalam teks aslinya. Dengan demikian, titik berat studinya adalah teks
yang tersimpan dalam krya tulis masa lampau.
Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sebagai istilah, filologi adalah
suatu disiplin ilmu tentang teks yang terekam dalam tulisan masa lampau. Studi
teks itu didasarkan oleh adanya informasi tentang hasil budaya manusia pada
masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh sebab itu, sebagai satu disiplin
ilmu, filologi tergolong dalam ilmu humaniora yang bertujuan mengungkap hasil
budaya masa lampau yang terekam dalam karya yang berupa tulisan (teks). Konsep
kebudayaan di atas, antara lain, bertalian dengan buah pikiran, perasaan,
kepercayaan, adat kebiasaan, bahasa, dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
Studi filologi
di Indonesia, sampai kira-kira permulaan abad ke-20, masih mengikuti konsep
filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak bentuk teks aslinya.
Pada paruh kedua abad ke-20 studi filologi di Indonesia mulai mempertimbangkan
kondisi teks dan naskah yang tidak sama dengan kondisi teks dan naskah yang
melahirkan disiplin filologi serta kehidupan pernaskahan yang ada dalam
masyarakat saat itu. Sebagai akibatnya, pelacakan bentuk asal teks bukanlah
satu-satunya tujuan studi filologi.
2)
Dasar
Studi Filologi
Filologi,
sebagi suatu disiplin ilmu, diperlukan karena munculnya variasi teks dalam
naskah. Gejala tersebut memperlihatkan bahwa dalam penyalinan teks senantiasa
mengalami perubahan sehingga wujudnya bervariasi. Adanya variasi teks itulah
yang melahirkan studi filologi. Dengan kata lain, studi filologi berdasarkan
pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya.
Adanya variasi
teks menunjukkan bahwa sifat penurunan (penyalinan) teks tidak setia. Penyalin,
baik disengaja maupun tidak disengaja, akan menghasilkan salinan yang tidak
sama dengan bentuk aslinya. Dengan berbagai keterbatasan dan kesubjektivitasnya
penyalin mempunyai peran yang sangat menentukan dalam penyalinan teks.
Variasi teks
yang merupakan dasar studi filologi mula-mula dipandang sebagai kesalahan atau
keteledoran penyalin. Dalam perkembangan sikap terhadap adanya variasi yang
muncul dalam naskah salinan juga berubah. Variasi teks tidak hanya dipandang
sebagai kesalahan penyalinan, tetapi juga sebagai kreasi penyalinan, yang
merupakan hasil kreativitas dan subjektivitasnya sebagai penyambut teks
sehingga salinannya diterima oleh pembaca sezamannya.
Adanya
perbedaan sikap penyalin itu kemudian melahirkan perbedaan pandangan dalam
studi filologi. Pertama, sikap yang memandang variasi sebagai wujud kesalahan
dan kelengahan penyalin melahirkan pandangan yang disebut filologi tradisional.
Dalam konsep itu filologi memandang variasi teks secara negative.
Konsekuensinya, teks harus dibebaskan dari kesalahan. Dengan demikian, tugas
filologi adalah menyiangi teks dari berbagai bentuk kesalahan.
Kedua, sikap
yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang
disebut filologi modern. Dalam konsep ini, variasi dipandang secara positif,
yang berarti variasi merupakan wujud kreasi dan resepsi penyalin. Dalam
pandangan yang kedua ini, gejala yang sebetulnya merupakan akibat keteledoran
atau kesalahan penyalin tetap diperhatikan dan pertimbanngkan dalam pembacaan.
Munculnya
perkembangan sikap terhadap variasi teks dipengaruhi oleh perkembangan
pemahaman orang terhadap sasaran dan objek kajian filologi yang tidak selalu
indentik dengan sasaran serta objek kajian yang melahirkan istilah filologi (di
Iskandariah) dan dengan sasaran objek kajian yang dihadapi oleh kajian filologi
yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Hal itu dapat dilihat dalam
penulisan masa lampau di Nusantara. Berdasarkan gejala-gejala itu, perlu dicermati
studi filologi bagi naskah-naskah Nusantara (termasuk Melayu dan Jawa).
Contoh : Naskah Melayu
asal-usul Bengkulu terdapat beberapa variasi penulisan, ada yang ditulis dengan
aksara Arab, Melayu dan ada yang ditulis dengan aksara Latin.
3)
Sasaran
dan Objek Studi Filologi
Karya tulisan yang berupa buah pikiran,
perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat masa lampau itu disebut naskah. Isi atau informasi yang terdapat
dalam naskah disebut teks.
Berdasarkan sejarahnya, sasaran studi
filologi adalah naskah. Ilmu yang berkaitan dengan pernaskahan disebut
kodikologi. Objek kajian filologi adalah teks atau kandungan naskah.
4)
Tujuan
Sebagaimana
karya lainnya, kondisi fisik peninggalan masa lampau itu makin lama makin tua,
lapuk,mdan secara perlahan-lahan akan mengalami kerusakan. Untuk menyelamatkan
kandungan isinya, cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan penyalinan.
Adanya penyalinan yang berulang-ulang dapat menimbulkan wujud salinan yang
bermacam-macam. Perubahan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara
lain faktor kesalahpahaman penyalin, kesalahan penulisan, dan faktor
kesengajaan (subjektivitas) penyalin. Sebagai akibatnya, informasi yang
terkandung di dalamnya juga akan berlain-lainan pula. Selain itu, bahasa dan
faktor sosial budaya yang melatarbelakangi lahirnya kandungan naskah juga
berbeda.
Adanya variasi
teks itu menimbulkan sikap yang berbeda pula. Sikap yang memandang variasi
sebagai bentuk korup mempunyai tujuan menemukan bentuk asal teks. Bacaan varian
(variant reading) dalam berbagai teks
mengudang perhatian untuk menemukan bentuk teks yang asli, yang dihasilkan
pertama kali, atau teks yang dalam penyalinannya tidak mengalami perubahan
(mendekati yang asli).
Sikap yang
memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi mempunyai tujuan menemukan makna
kreasi yang muncul dalam variasi tersebut. Dasar kerja seperti itu memandang
penyalin sebagai penyambut teks yang kreatif. Kreativitas penyalin timbul
selain berdasar pada subjektivitasnya, juga didukung oleh hasil pembacaan
terhadap teks lain. Dengan demikian, tujuan studi filologi dapat dirumuskan
menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan Umum
Secara umum studi
filologi bertujuan
(1)
mangungkapkan produk masa lampau yang berupa
(karya) tulisan;
(2)
mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam
masyarakat penghasil atau ahli waris karya itu dari dalam masyarakat masa kini;
(3)
mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung
dalam karya itu.
Tujuan Khusus
Secara khusus,
studi filologi bertujuan
(1)
menelusuri bentuk asal teks berdasarkan bacaan
varian yang ada;
(2)
mengungkapkan sejarah perkembangan teks;
(3)
mengungkapkan sambutan masyarakat penerima teks;
(4)
menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang
dapat dibaca oleh masyarakat masa kini.
5)
Metode
Sebagai suatu
disiplin ilmu, filologi menurut adanya metode yang memadai. Berbagai faktor
yang berkaitan dengan studi filologi menjadi pertimbangan dalam penetapan
metode. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1)
sikapnya terhadap bacaan varian (variant reading);
(2)
sasaran dan objek studinya, seperti sistem
bahasa, sistem sastra, konvensi sosial budaya;
(3)
jumlah naskah;
(4)
kondisi naskah (keterbacaan teks); dan
(5)
tujuan.
B.
Kedudukan
Filologi
Jika kita
memperhatikan kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu yang lain yang berkaitan
dengan objek kajian filologi, tampak adanya hubungan timbal balik dan saling
membutuhkan. Sebagaimana kita ketahui, objek kajian filologi adalah
naskah-naskah yang mengandung teks sastra, yang dihasilkan masyarakat
tradisional, yaitu masyarakat yang belum terpengaruh sastra Barat secara
intensif. Sastra seperti itu mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat
yang menghasilkannya. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang masyarakat yang
menghasilkan karya sastra tersebut merupakan syarat mutlak untuk memahami makna
karya sastra tersebut. Kesusastraan Melayu lama, misalnya, sebagian besar
merupakan warisan budaya zaman Sriwijaya, Pasai, Malaka, Aceh, Johor, dan Riau.
Untuk dapat memahami karya sastra Melayu itu, perlu dipelajari pula kehidupan kemelayuan
tersebut. Untuk dapat memahami arti setiap kata / istilah dan ungkapan yang
digunakan dalam teks tersebut, diperlukan juga penguasaan bahasa yang memadai.
Penguasaan bahasa teks tidak terlepas dari pemahaman terhadap masyarakat
penghasil karya tersebut. Dengan demikian, teks tersebut harus dilihat dari
konteks masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Penelitian yang lebih mendalam
dan terinci dapat dilakukan dari ciri bahasanya, nilai sastranya, kandungan
isinya, dan sebagainya.
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah bahwa filologi memerlukan ilmu bantu yang erat
hubungannya dengan bahasa, masyarakat dan budaya yang melahirkan naskah, dan
ilmu sastra. Dengan demikian, untuk menggarap naskah dengan baik, seorang
filolog memerlukan ilmu lain, seperti linguistik, pengetahuan bahasa yang
digunakan dalam teks, ilmu agama, sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor.
Karena kajian filologi banyak yang disajikan dalam bahasa asing, terutama
bahasa Belanda dan Inggris, perlu pula dimiliki pengetahuan bahasa asing yang
memadai. Berikut ini akan diuraikan kaitan antara filologi dan ilmu bantunya.
1)
Linguistik
Mempelajari bahasa teks memang bukanlah
tujuan utama studi filologi. Meskipun demikian, karena bahasa teks berbeda
dengan bahasa sehari-hari, sebelum sampai pada tujuan yang sesungguhnya,
seorang filologi harus memahami bahasanya. Untuk itu, dalam pemahaman bahasa
inilah diperlukan bantuan linguistik. Bantuan linguistik dalam bidang filologi
sudah tampak sejak awal perkembangannya ketika linguistik mengutamakan bahasa
tulis, termasuk bahasa naskah. Bahkan, studi bahasa sampai abad ke-19 dikenal
dengan istilah filologi. Pada perkembangannya kemudian, linguistik lebih
mengutamakan bahasa lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari. Walaupun demikian,
penerapan metodenya diharapkan dapat diterapkan dalam pengkajian bahasa naskah.
Ada beberapa cabang linguistik yang
dipandang dapat membantuk filologi, antara lain etimologi, sosilinguistik, dan
stilistika. Etimologi, yaitu ilmu yang memperlajari asal-usul dan sejarah kata,
telah lama menarik perhatian filolog. Hampir dapat dikatan bahwa pada setiap
kajian bahasa teks selalu ada kajian yang bersifat etimologi. Hal itu dapat
dipahami karena bahasa naskah Nusantara banyak yang mengandung kata serapan
dari bahasa asing, terutama bahasa Arab dan Belanda, yang dalam perkembangannya
mengalami perubahan bentuk, bahkan perubahan arti. Itulah sebabnya, kajian
terhadap kata-kata seperti itu perlu dilakukan. Kajian terhadap perubahan
bentuk atau makna kata menuntut pengetahuan yang memadai tentang filologi (ilmu
tentang bunyi bahasa), morfologi (ilmu tentang pembentukan kata, dan semantic
(ilmu tentang makna kata). Ketiga hal itu termasuk dalam bidang linguistik.
Adanya kata muwafakat, di samping mufakat,
dalam teks Melayu, misalnya, merupakan hal yang tidak asing karena kata itu
diserap dari bahasa Arab. Kata cinta
dalam sastra Melayu sering berarti ‘sedih’ atau ‘susah’. Kata masygul dalam naskah karya Nuruddin
Arraniri tidak berarti ‘sedih’, ‘gundah’, tetapi berarti ‘sibuk’, yaitu arti
pertama dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti itulah yang perlu ditelusuri
secara etimologi, dengan pengetahuan tentang fonologi, morfologi, dan semantik.
Sosiolinguistik, sebagai cabang
linguistik, mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan
perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sosiolinguistik sangat bermanfaat dalam
menekuni teks, misalnya ada atau tidaknya undak-usuk
(tingkatan) bahasa, ragam bahasa, dan alih kode, yang erat kaitanya dengan
konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian sosiolinguistik ini diharapkan
dapat membantu mengungkapkan keadaan sosiobudaya yang tersurat dalam naskah.
Stiliska, juga salah satu cabang
linguistik yang menyelidiki gaya bahasa sastra, diharapkan dapat membantu
penelusuran teks asli yang mendekati teks asli dan dalam penentuan usia teks.
Sebagaimana kita ketahui, naskah yang
sampai kepada kita adalah naskah yang telah mengalami penyalinan (penurunan).
Dalam penyalinan naskah tampak adanya tradisi penyalinan yang longgar. Artinya
bahwa penyalin dapat mengubah, memperbaiki, menambah, dan mengurangi teks yang
disalinnya, jika dianggap perlu. Selain itu, penyalinan teks seringkali
dilakukan secara horizontal dengan menggunakan beberapa naskah induk sehingga
menyulitkan pelacakan naskah asli. Dengan mengkaji gaya bahasa suatu teks,
diharapkan dapat diketahui adanya kelainan dalam teks tersebut. Adanya
perbedaan itu mengindikasikan bahwa teks itu bukanlah asli.
Di samping untuk menelusuri keaslian
teks, pengetahuan stilistika juga diharapkan dapat membantu penentuan usia
teks. Sebagaimana kita ketahui, teks lama pada umumnya tidak mencantumkan data
penulis / penyalin dan wkatu penulisan/penyalinan. Dengan memperbandingkan gaya
bahasa teks, diharapkan dapat diketahui pula siapa pengarang/penyalin teks
tersebut dan kapan dilakukan penulisan/penyalinan teks tersebut. Kitab Brahmandapurana dalam sastra Jawa,
misalnya, yang tidak memiliki keterangan penulis dan tahun penulisnya, oleh
Poerbatjaraka digolongkan ke dalam sastra sezaman dengan “Sang Hyang Kamahayanikan”
berdasarkan kajian struktur dan gaya bahasanya.
2)
Pengetahuan
tentang Bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks
Bahasa teks
Nusantara pada umumnya dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta, Tamil, Arab, Persi
dan berbagai bahasa daerah yang serumpun dengannya. Karena teks Nusantara itu
ada yang berasal dari Persi dan Tamil, pengaruh kedua bahasa itu tampak juga di
dalamnya. Namun, pengaruh kedua bahasa itu sangat sedikit sehingga untuk telaah
teks tersebut tidak diperlukan pendalaman kedua bahasa tersebut. Berbeda halnya
dengan bahasa Sansekerta dan bahasa Arab. Pengaruh kdedua bahasa itu dalam teks
Nusantara sangat besar sehingga untuk keperluan telaah teks, pendalaman
terhadap kedua bahasa tersebut penting dilakukan.
Bahasa
Sansekerta sangat diperlukan dalam kajian teks berbahasa Jawa, terutama Jawa
Kuna. Dalam teks berbahasa Jawa Kuna pengaruh bahasa Sanserkerta ini sangat
besar, tidak hanya berupa serapan kosakata atau frasa, tetapi juga berupa
cuplikan teks yang tidak disertai terjemahannya. Pengaruh bahasa Sanserkerta
itu tampak dalam teks “Ramayana”, “Uttarakanda”, dan “Sang Hyang
Kamahayanikan”. Pengaruh dalam teks berbahasa Jawa Baru hanya sebatas kata dan
dalam ungkapan yang dikenal dengan istilah tembung
Jawi yang berarti ‘kata pujangga’. Dalam teks berbahasa Melayu pengaruhnya
hanya berupa kata serapan dan jumlahnya tidak sebanyak dalam teks berbahasa
Jawa Baru. Walaupun demikian, penanganan teks Melayu juga memerlukan
pengetahuan bahasa Sansekerta.
Pengetahuan
bahasa Arab, terutama, diperlukan untuk pengkajian teks yang berisi ajaran
Islam atau tasawuf atau teks yang kena pengaruh Islam. Dalam teks seperti itu
banyak kata, frasa, kalimat, atau ungkapan berbahasa Arab, bahkan nukilan
bagian teks tertentu, seperti bagian pendahuluan atau penutup. Walaupun pada
umumnya bagian teks berbahasa Arab itu nukilan dari Alquran, hadis, atau kitab
terkenal diikuti terjemahnya dalam bahasa teks, teks itu belum tentu dapat
dibaca dengan benar karena ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca. Oleh
sebab itu, pengetahuan bahasa Arab yang memadai sangat diperlukan agar
pembacaan teks dapat dilakukan dengan benar. Pengetahuan bahasa Arab juga
diperlukan jika kita hendak melacak atau membandingkan teks Nusantara yang
bersumberkan teks berbahasa Arab atau teks Nusantara yang kena pengaruh Islam.
Contoh teks berbahasa Melayu seperti itu adalah teks karya Hamzah Fansuri yang
berjudul “Syarabul ‘Asyiqin”, karya Syamsuddin Assumatrani yang berjudul
“Mir’atul Mu’minin”, karya Nuruddin Arraniri yang berjudul “Siratal Mustaqim”, dan
karya Abdulrauf Singkel yang berjudul “Daqaiqul Huruf”; dalam naskah Jawa
antara lain teks yang berjudul “Suluk
Sukarsa” dan “Suluk Wujil”.
Selain
pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Sansekerta, pengetahuan tentang bahasa
daerah Nusantara juga diperlukan dalam penggarapkan naskah dan teks Nusantara.
Tanpa wawasan yang luas tentang bahasa daerah Nusantara, pembacaan teks sering
direpotkan oleh hadirnya kata bahasa daerah. Hal itu terjadi karena naskah yang
digarap itu tidak diketahui asal-usulnya, baik daerah penemuannya maupun daerah
penyalinannya, apalagi daerah asal penulis atau penulisannya. Kesulitan seperti
itu, terutama, akan dialami dalam pembacaan teks Melayu berhuruf Jawi karena
ejaan teks tersebut tidak selalu menyertakan tanda vocal.
Kegiatan lain
yang memerlukan pengetahuan bahasa daerah Nusantara ialah menyadur atau
menerjemahkan teks lama Nusantara ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing,
apabila perlu. Kegiatan seperti itu merupakan salah satu kegiatan filolog dalam
upaya memasyarakatkan teks lama Nusantara dalam keadaan siap pakai oleh pakar
ilmu lain. Dengan demikian, teks lama Nusantara akan dikenal masyarakat luas
sehingga dapat dimasukkan ke dalam khazanah sastra Indonesia, bahkan sasta
dunia.
Dalam sejarah
sastra Jawa, misalnya, penyaduran telah dilakukan oleh Yasadipura I dan
Yasadipura II (anak Yasadipura I). Karya sastra Jawa Kuna ynag hampir punah
dihayati, kemudian diciptakannya kembali dalam bentuk yang baru (bakan
terjemahan). Agar sastra lama Nusantara dikenal dan dapat dipahami oleh
masyarakat kini dan yang akan dating, perlu adanya ahli filologi yang berbekal
pengetahuan bahasa daerah Nusantara.
Ada pendapat
yang menyatakan bahwa karya saduran dipandang lebih rendah nilainya daripada
karangan asli. Karena adanya pandangan seperti itu, mungkin kegiatan penyaduran
kurang menarik kaum filolog dan tidak mendapat perhatian. Padahal, kita tahu
bahwa penyaduran tidak boleh dianggap enteng atau hina karena kegiatan ini
memerlukan persyaratan yang memadai, yaitu bacaan yang luas, latar belakang
pendidikan dan kebudayaan yang kuat, dan daya cipta yang dapat
dipertanggungjawabkan.
3)
Paleografi
Paleografi
adalah ilmu tentang macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini diperlukan dalam
penelitian tulisan kuna yang berupa prasasti yang tertera di atas batu, logam,
atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai tiga tujuan utama: (1)
mengalihaksarakan teks tulisan kuna karena teks tersebut sulit dibaca orang
awam dan (2) menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa
asing, dan (3) menempatkan peninggalan tertulis itu dalam sejarah (kebudayaan)
suatu bangsa berdasarkan waktu dan tempat ditulisnya teks tersebut. Paleografi
juga merupakan modal utama filolog dalam menelaah teks sastra lama yang tidak
mencantumkan penulis serta waktu dan temapt penulisannya.
Untuk memperoleh
gambaran tentang teks tulisan kuna dan perkembangannya di Indonesia, berikut
ini diuraikan jenis tulisan beberapa prasasti yang tersebar di Nusantara yang
berkaitan dengan fungsinya sebagai penunjang penelitian teks lama. Dalam buku Indonesia Paleography karangan J.G.
Casparis, dijelaskan macam-macam tullisan yang dipakai di daratan Asia
Tenggara, terutama di semenanjung Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan
Vietnam Selatan yang berdasarkan pelacakannya berasal dari tulisan yang
terdapat pada prasasti raja-raja dinasti Palawa di India Selatan pada abad
ke-4. Aksara Palawa yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sansekerta itu dipakai
di daerah luar kerajaan Palawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk Kepulauan Indonesia.
Di Nusantara huruf Palawa dapat dibedakan antara Palawa awal dan Palawa
lanjutan. Palawa awalmenunjukkan cirri-ciri yang berhubungan dengan huruf India
Selatan dan Sri Langka pada prasasti abad ke-3 dan ke-5 (antara lain prasasti
Kutai di Kalimantan Timur dan prasasti Purnawarman di Jawa Barat). Palawa
lanjut yang dipakai dalam prasasti abad ke-7 dan ke-8, antara lain prasasti Tuk
Mas di Jawa Tengah, prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan
(prasasti Kedukan Bukit (tahun 683), prasasti Talang Tuwo (tahun 684), prasasti
Karang Brahi di Jambi, prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686), dan prasasti
Canggal (tahun 732) di Jawa Tengah. Prasasti Canggal adalah prasasti tertua di
Jawa dan merupakan prasasti terakhir yang berhuruf Palawa.
Prasasti-prasati
budha di Jawa Tengah yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf
Pra-Nagari- yang berasal dari India utara- dihasilkan pada abad ke-8. Di antara
prasati itu adalah prasasti Kalasan (778), prasasti Ratubaka (sejaaman dengan
Ratubaka), dan prasati Kelurak (782). Prasati Plaosan diduga dibuat sebelum
pertengahan abad ke-9. Batu dan teksnya sudah rusak sehingga tahun dan nama
raja yang memerintahnya tidak dapat dilacak.
Tulisan Jawa
kuno-yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa-mulai digunakan pada pertengahan
abad ke-8 pada prasasti Dinoyo di Jawa Timur (760). Tulisan itu digunakan
sampai abad ke-13 dalam prasasti yang terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat, Bali
dan Sumatera.
Tulisan yang
terdapat dalam Prasasti di Bali, Madura, Bima dan Sumbawa mendekati tulisan
Jawa periode Majapahit (Jawa Tengahan) abad ke-13 sampai dengan abad ke-15.
Tulisan Jawa Tengahan itu dipakai sampai dengan akhir abad ke-16, kemudian
berkembang ke bentuk tulisan Jawa Modern. Sejak zaman itu, tulisan Jawa hanya
mengalami perubahan kecil-kecilan.
Tidak adanya
prasasti di beberapa daerah di Nusantara tidalk berarti bahwa penduduk daerah
setempat belum mengenai tulisan. Tradisi untuk menuliskan ketetapan raja pada
batu atau logam di daerah-daerah itu memang tidak ada. Ada kemugkinan bahwa tulisan itu
digunakan pada bahan yang lekas rusak seperti pada kulit kayu, lontar, bamboo,
dan sebagainya. Hal itu , antara lain, terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan
beberapa daerah di Filipina yang pada abad ke-16 dan ke-17 masyarakatnya sudah
menggunakan tulisan. Tulisan yang dipakai di derah itu rupanya merupakan
prototip tukisan Jawa Tengahan atau sebelumnya, sebelum tulisan Arab dan Latin
dekenal penduduk. Di beberapa daerah di Sumatera seperti di daerah Batak,
Bengkulu, Kerinci, Lampung dipakai tulisan yang diperkirakan berasal dari
tulisan Malaya zaman Adityawarman. Tulisan Makasar dan Bugis di Sulawesi
Selatan dan tulisan Bima di Sumbawa Timur juga diperkirkirakan berinduk pada
tulisan Sumatera. Karena Bima pernah menjadi daerah bawahan Makasar, tulisannya
juga mirip dengan tulisan Makasar.
Prasasti batu
berbahasa Melayu Lama yang ditulis dengan huruf Arab terdapat di Tregganu
(abada ke-14). Batu nisan di Pasai dan sekitarnya yang berasal dari abad ke-13
juga ditulis dengan huruf Arab. Batu nisan yang bertulisan Arab paling tua
adalah batu nisan Malikus-Saleh (1297). Batu nisan itu didatangkan dari Gujarat
India. Bentuk tulisan Arab pada batu-batu nisan itu sama dengan bentuk tulisan Arab Parsi. Tulisan pada
prasati Trengganu berbeda dengan tulisan Arab pada kebanyakan batu nisan di
Pasai. Bentuk tulisan Arab pada Prasasti Trengganu jelas, sederhana dan
fungsional karena prasasti itu berisi undang-undanh dan peraturan yang harus
dibaca oleh banyak orang. Ileh karena itu, tulisan dalam prasasti itu dituntu
supaya mudah dibaca. Tulisan Arab pada batu nisan Pasai pada umumnya berfungsi
sebagai hiasan yang mementingkan segi keindahan (seni kaligrafi).
Di Jawa prasasti
bertulisan Arab tertua adalah batu nisan anak perempuan Maimun yang terdapat di
Leran (1082), Jawa Timur. Walupun didatangkan dari luar negeri batu nisan itu
merupakan bukti telah dipakainya tulisan Arab di Indonesia.
Huruf Arab
berkembang dengan pesat melalui penulisan naskah Melayu, Jawa, dan naskah
daerah lain sesudah tahun 1500 Masehi. Berdasarkan jenis, bentuk dan ciri khas
tulisan naskah dapat ditelusuri daerah asal, waktu penulisan, dan penulisan
teks, apakah penulis atau penulisannya seorang atau lebih. Dan tersebut berguna
untuk memperkirakan seluk beluk dan sejarah terjadinya. Dengan demikian,
paleolografi memberikan sumbangan yang berharga pada filologi.
4)
Ilmu
Sastra
Naskah
Nusantara pada umumnya berisi teks sastra, yaitu teks yang berupa cerita rekaan
(fiksi). Misalnya, teks Melayu yang tergolong cerita pelipurlara, cerita
berbingkai, cerita jenaka, cerita wayang, cerita panji, dan cerita pahlawan
Islam. Untuk mengkaji teks seperti itu diperlukan metode pendekatan yang sesuai
dengan objeknya, yaitu metode pendekatan ilmu sastra.
Ilmu sastra
telah dipelajari sejak Zaman Aristoteles. Bukunya yang berjudul Poetika merupakan karya tentang teori
sastra yang pertama. Dalam perkembangannya, Abrams (1953) menurut penilaian
Teeuw (1980) berhasil merumuskan teori sastra itu dengan baik. Abrams
membedakan empat tipe pendekatan (kritik) tradisional terhadap karya sastra.
a.
Pendekatan mimetik yang menonjolkan aspek
referensial, acuan karya sastra, dan kaitannya dengan dunia nyata.
b.
Pendekatan pragmatik yang menonjolkan pengaruh
karya sastra terhadap pembaa/pendengarnya.
c.
Pendekatan ekspresif yang menonjolkan penulis
karya sastra sebagai penciptaanya.
d.
Pendekatan objektif yang mementingkan karya
sastra sebagai struktur otonomi, lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari
titik serta nilai penulisnya.
Wellek dan
Warren (1956) menggolongkan pendekatan (a), (b), dan (c) sebagai pendekatan
ekstrinsik, yaitu pendekatan yang mengkaji karya sastra berdasarkan yang di
luar karya sastra itu (latar belakang penciptaannya, keadaan sekitarnya,
penulisannya, sebab-sebab luarnya), sedangkan pendekatan (d) termasuk
pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang mencoba menafsirkan dan
menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada karya
sastra tersebut, sebagai objeknya.
Unsur-unsur
yang terdapat dalam karya sastra antara lain alur, latar, perwatakan, pusat
pengisahan, dan gaya yang kesemuanya terjalin menjadi satu struktur atau
kesatuan organis. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini termasuk pendekatan
intrinsik. Jika dalam pendekatan intrinsik itu diperhitungkan juga kaitan
antara unsur itu, tanpa memperhitungkan faktor di luar karya sastra, pendekatan
seperti itu disebut pendekatan struktural.
Selain keempat
pendekatan di atas, ada satu pendekatan lagi yang akhir-akhir ini sering
dibicarakan, yaitu pendekatan reseptif, suatu pendekatan yang menitik beratkan
kepada tanggapan pembaca atau penikmat sastra, bukan tanggapan perseorangan,
melainkan tanggapan kelompok masyarakat. Teori ini dapat diterapkan terhadap
naskah Nusantara mengingat adanya tradisi penyalinan yang tradisional. Menurut
teori tradisional, penyalinan naskah dilakukan dengan setia kepada naskah
induknya dan secara vertikal, hanya menggunakan satu naskah. Dengan demikian,
varian bacaan dalam naskah saksi dipandang sebagai suatu kesalahan.
Varian-varian yang terdapat dalam naskah Nusantara agak berlainan keadaannya.
Varian bacaan ini mencerminkan adanya kebebasan penyalin, yang berupa
penambahan, penggunaan, dan perbaikan terhadap naskah yang disalinnya.
Mengingat adanya tradisi penyalinan yang demikian, setiap naskah saksi dapat
dipandang sebagai penciptaan kembali suatu teks yang telah ada dan varian
bacaan tidak dipandang sebagai bentuk korup.
Sehubungan
dengan hal di atas, Julia Kristeva
mengemukakan bahwa tiap teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan
dan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Riffatere (1978) menyebut,
teks yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra dengan istilah hipogram,
sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasinya disebut teks transformasi.
Dalam sejarahnya,
perkembangan karya sastra merupakan interaksi yang terus-menerus antara kreasi
dan resepsi, yang menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian
ditanggapi lagi, dan seterusnya. Penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan dapat
disebut sebagai wujud resepsi.
Selain
pendekatan di atas, dalam ilmu sastra juga ada pendekatan yang disebut
sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Hal-hal yang diungkap antara lain:
a.
Konteks sosial pengarang: bagaimana pengarang menghasilkan
karya, profesionalisme pengarang, sasaran (masyarakat) pembaca;
b.
Sastra sebagai cermin masyarakat, dan
c.
Fungsi sastra dalam masyarakat.
Dengan demikian,
pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan ekstrinsik.
Pendektan
terakhir disebut pendekatan semiotik, yang memandang sastra sebagai gejala
kemasyarakatan dan kebudayaan. Banyak peneliti sastra yang berkeyakinan bahwa
sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa memperhatikan
aspek kemasyarakatannya sebagai tindakan komunikasi atau dengan kata lain tanpa
mendekatinya sebagai tanda (sign)
atau sebagai gejala semiotik.
Semiotik adalah
ilmu tentang tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial/kemasyarakatan
dan kebudayaan sistem, aturan, konvensi merupakan tanda-tanda yang bermakna.
Dalam bidang kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra
sebagai wujud penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi tambahan dan
penelitian ciri-ciri yang menyebabkan berbagai-bagai wacana mempunyai makna.
Tokoh yang
dianggap melahirkan teori semiotik ini adalah Ferdinand de Saussure dan Charles
Sanders Peirce (1839-1914). Saussure, seorang linguis, menyebutkan ilmu ini
dengan istilah semiologi (berkembang di Perancis), sedangkan Peirce, seorang
filosof, menyebut ilmu ini dengan istilah semiotik (digunakan di Amerika).
5)
Pengetahuan
Agama Hindu, Budha, dan Islam
Penelurusuran
tentang naskah Nusantara melalui katalogus dan karya ilmiah menimbulkan kesan
bahwa teks yang terkandung di dalamnya dipengeruhi ajaran Hindu, Budha, dan
Islam. Dalam naskah Jawa Kuna, misalnya, tampak jelas adanya pengaruh agama
Hindu dan Budha, bahkan memang berisi ajaran agama. “Brahmandapurana” dan “Agastyaparwa”
berisi ajaran Hindu dan “Sang Hyang Kamahayanikan” dan “Kunjarakarna” berisi
ajaran Budha. Karya Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Assumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf Singkel berisi
ajaran Islam. Dari 5.000 naskah Melayu yang dicatat Ismail Hussein dari perpustakaan dan museum di berbagai negara yang
terdiri atas 800 judul – 300 judul di antaranya merupakan karya tentang
ketuhanan/keagamaan. Jumlah naskah keagamaan itu diperkirakan akan bertambah
lagi. Hal itu terbukti dari adanya penemuan naskah keagamaan (Islam) sekitar
200 naskah – di Sri Langka oleh Bachamiya
Abdullah Hussainmiya, dosen Universitias Ceylon.
Berdasarkan
gambaran kondisi naskah tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan tentang agama
Hindu, Budha, dan Islam amat diperlukan dalam penanganan naskah Nusantara,
terutama naskah keagamaan. Naskah yang berisi ajaran tasawuf atau mistik Islam,
baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Melayu, pada umumnya mengandung kata dan
istilah teknik agama Islam yang hanya dapat dipahami oleh orang yang mempunyai
pengetahuan agama Islam yang cukup luas.
6)
Sejarah
Kebudayaan
Sastra Nusantara,
disamping dipengaruhi ajaran Hindu, Budha, dan Islam, juga dipengaruhi sastra
klasik India, Arab, dan Persi. Karya klasik India seperti “Ramayana” dan “Mahabharata” muncul dalam sastra lama
Nusantara, misalnya dalam sastra Jawa Kuna “Ramayana”
dan “Mahabharata” yang kemudian
disadur kedalam sastra Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru. Selain itu,
muncul pula kreasi baru yang diilhami oleh karya klasik India atau karya Jawa
Kuna saduran karya klasik India. Dalam sastra lama Melayu pengaruh karya klasik
India muncul dalam sastra Jawa, seperti “Hikayat
Sri Rama”, “Hikayat Sang Boma”, dan “Hikayat
Pandawa Lima”. Karya sastra Melayu seperti “Abu Nawas”, “Hikayat Seribu Satu Malam”, “Hikayat Anbiya” (“Serat
Anbiya” dalam sastra Jawa), “Hikayat Nur
Muhammad”, “Hikayat Amir Hamzah” (“Serat Menak” dalam sastra Jawa), “Hikayat Ibrahim ibn Adam” dan “Hikayat Seribu Mas’alah” mengingatkan
kita akan khazanah sastra klasik dunia Islam, Persia, dan Arab. Hasil sastra
yang berupa sastra kitab dari dunia Islam pada umumnya hanya dikenal lewat
hasil karya penulis sastra kitab Nusantara (misalnya Nuruddin Arraniri) sebagai
buku sumber atau rujukan. Namun, ada juga karya terjemahan seperti “Ihya ‘Ulumuddin” karya Imam AL-Ghazali
dan “Tafsir Baidhawi” terjemahan
Abdurrahman Singkel.
Dalam pengkajian
secara historis terhadap karya-karya lama Nusantara tersebut diperlukan
pengetahuan sejarah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Hindu dan Islam. Lewat
sejarah kebudayaan dapat diketahui pertumbuhan dan perkembangan unsur budaya
suatu bangsa. Unsur budaya yang erat kaitannya dengan perkembangan karya sastra
lama Nusantara antara lain sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan,
dan agama. Tanpa didasari pengetahuan tentang kebudayaan Hindu, misalnya, orang
tidak akan dapat menilai dengan tepat tentang peristiwa yang dalam agama Hindu
disebut patibrata, yaitu kerelaan
seorang istri untuk terjun ke dalam api pembakaran mayat suaminya dengan
disaksikan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal itu dapat dijumpai dalam teks “Smaradahan” atau “Kunjarakarna”.
Contoh lain
bagaian teks yang pemahamannya memerlukan pengetahuan sejarah kebudayaan ialah
genealogi raja-raja Melayu. Menurut silsilah, raja-raja Melayu secara genealogi
berasal dari nenek moyang yang kelahirannya tidak wajar, yaitu lahir dari buih,
bamboo, atau turun dari langit atau peristiwa yang berhubungan dengan air.
Peristiwa semacam ini terdapat di dalam teks “Hikayat Raja-Raja Pasat” (Putri Betung lahir dari bamboo; Merah
Gajah ditemukan di atas kepal gajah yang dimandikannya di sungai); “Hikayat Aceh” (Putri Dewi Indra yang
keluar dari bamboo); “hikayat Bajar” (Putri
Junjung Buih yang lahir dari buih, Raden Putra lahir di pangkuan Raja Majapahit
yang sedang bertapa); dan “Salasilah
Kutai” (Putri Karang Melemu yang lahir dari buih dan begitu ke luar duduk
di atas gong yang dibawa ular naga, Aji Batara Agung Dewa Sakti turun dari
langit dalam bola emas).
7)
Antropologi
Telah dijelaskan
di muka bahwa penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat
dan budaya yang melahirkannya. Untuk keperluan itu, ahli filologi dapat
memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai suatu ilmu yang objek
penyelidikannya manusia dari segifisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya.
Masalah yang berkaitan dengan antropologi antara lain adanya sikap masyarakat
terhadap naskah yang sekarang masih dipelihara dan dimilikinya, apakah naskah
itu dipandang sebagai benda keramat atau sebagai benda biasa.
Karya-karya
pujangga keraton yang sekarang tersimpan di perpustakaan keraton Surakarta dan
Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti benda-benda pusaka. Tradisi caos dhahar yang berarti ‘memberi
sesaji’ dan nyirami yang berarti
‘memandikan’ biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan juga terhadap
naskah sastra. Tentu saja perlakuan nyirami
naskah tidak dilakukan dengan cara memandikan naskah dengan air, tetapi
dilakukan dengan cara mengain-anginkannya. Selain itu, pengeramatan atau
penghormatan terhadap naskah tercermin juga dari adanya istilah mutrani, sebagai istilah yang berarti
‘penyalinan naskah’. Secara harfiah, istilah mutrani berarti ‘membuat putra’. Kata putra mengandung konotasi rasa hormat. Hasil mutrani disebut putran, yang berarti ‘naskah salinan,
naskah kopi’. Selain itu, ada naskah magis yang pendekatannya memerlukan
informasi antropologi, seperti naskah yang mengandung teks mantera.
Uraian di atas
memperlihatkan perlunya bekal pengetahuan antropologi dalam penanganan
naskh-naskah Nusantara.
8)
Folklor
Folklor merupakan
cabang ilmu yang relative masih baru. Semula folklor dipandang sebagai bagian
dari antropologi. Folklor telah ada sejak pertengahan abad ke-19. Folklor dapat
dibagi menjadi dua golongan: (a) yang materinya bersifat bahasa lisan dan (b)
yang berupa upacara. Yang termasuk golongan (a) antara lain mite, legenda,
cerita asal-usul (dunia, nama tempat, binatang, tanaman, dan sebagainya),
cerita pelipur lara, dongeng, mantera, tahayul, teka-teki, peribahasa, dan
drama tradisional. Yang termasuk golongan (b) antara lain upacara yang
berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Berdasarkan
penggolongan itu, golongan (a) mempunyai kaitan erat dengan filologi.
C.
Manfaat
Filologi bagi Ilmu-Ilmu Lain
Berdasarkan
uraian di muka dapat diketahui bahwa objek filologi terutama teks yang terekam
dalam naskah lama. Hasil kegiatannya terutama berupa suntingan teks.
Berdasarkan metode penyuntingannya, ada beberapa jenis suntingan, yaitu
suntingan diplomatis, fotografis, dan suntingan kritis atau suntingan ilmiah.
Suntingan teks biasanya disertai catatan tentang teks atau aparat kritik,
kajian bahasa naskah, singkatan isi naskah, bahasa teks, dan terjemahan teks ke
dalam bahasa nasional jika teks tersebut tersaji dalam bahasa daerah. Jika
suntingan itu disajikan untuk dunia internasional, teks berbahasa daerah itu
diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.
Dalam pengertian
penyajian suntingan teks itulah,
filologi dapat berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu lain yang menggunakan
suntingan teks sebagai objek penelitian. Karena kandungan naskah lama itu
bermacam-macam, dapatlah dipastikan bahwa filologi dapat membantu berbagai
bidang ilmu, antara lain linguistik, ilmu sastra, sejarah, sejarah kebudayaan,
ilmu hukum adat, ilmu agama, dan filsafat. Wujud bantuannya akan diuraikan berikut
ini:
1)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Linguistik
Untuk keperluan penelitian linguistik
diakronik, ahli linguistik memerlukan suntingan teks lama hasil kerja filologi
dan mungkin juga memerlukan kajian bahasa teks lama yang dihasilkan ahli
filologi. Pada umumnya ahli linguistik meyakini kaum filologi atau ahli
epigrafi dalam pembacaan teks lama. Berdasarkan hasil kerja mereka itulah, ahli
linguistik menggali dan menganalisis seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya
berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hasil kajian ahli linguistik itu juga dapat
dimanfaatkan oleh para peneliti teks/naskah lama.
2)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sastra
Karena banyaknya
naskah yang mengandung teks sastra, dalam perkembangan sejarahnya filologi
pernah dipandang sebagai ilmu sastra. Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya
kemajuan ilmu sastra, filologi dianggap sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan
filologi terhadap ilmu sastra, terutama dalam bentuk penyajian teks suntingan
dan hasil pengkajian teks yang mungkin, dapat dimanfaatkan sebagai bahan
penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.
Ilmu sastra dapat
bersifat universal jika dalam penyusunan teorinya didasarkan juga pada sastra
lama, bukan hanya sastra baru/modern. Konvensi sasta baru belum tentu sama
dengan konvensi sastra lama. Dengan demikian, hasil kajian terhadap teks sastra
lama akan sangat berguna dalam penyusunan teori-teori ilmu sastra yang
universal.
3)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan
Selain
menginventarisasi, memelihara, dan menyunting naskah, kegiatan filologi juga
mengungkap khazanah rohaniah nenek moyang, seperti tentang kepercayaan,
adat-istiadat, kesenian, dan bahasa. Berdasarkan pembacaan teks lama, banyak
dijumpai penyebutkan atau pemberitahuan adanya unsure budaya yang telah punah,
seperti istilah di bidang seni (musik), takaran, timbangan, ukuran, dan mata
uang. Semua itu merupakan bahan yang sangat berguna dalam penyusunan sejarah
kebudayaan.
4)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Sejarah
Jumlah naskah
Nusantara yang dipandang berisi teks sejarah cukup banyak, seperti “Nagarakertagama”, “Pararaton” (naskah
Jawa Kuna), “Babad Tanah Jawi”, “Babad
Dipanegara”, “Babad Blambangan”, “Babad Demak” (naskah Jawa Baru), “Sejarah Melayu”, “Hikayat Raja-Raja Pasai”,
“Hikayat Banjar”, dan “Hikayat Aceh” (naskah
Melayu). Suntingan naskah jenis ini, terutama yang menggunakan kajian
filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber kajian sejarah setelah diuji
berdasarkan sumber lain, seperti prasasti, batu nisan, atau candi. Informasi
historis yang tertera dalam batu nisan Sultan
Malikus-Saleh tidaklah lengkap jika tidak ditemukannya naskah “Hikayat Raja-Raja Pasai” dan “Sejarah Melayu”.
Selain hal di
atas, ilmu sejarah dapat juga memanfaatkan suntingan teks jenis lain, bukan
teks sastra sejarah, khusunya teks yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang
tidak ditemukan dalam sumber sejarah di luar teks sastra. Dalam “Hikayat Abdullah”, misalnya, dapat kita
baca bagian teks yang berupa kritik tajam terhadap kehidupan feudal. Teks “Undang-undang Melayu” juga menggambarkan
kehidupan masyarakat.
5)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Hukum Adat
Manfaat filologi
bagi ilmu hukum adat, seperti bagi ilmu-ilmu lain, terutama sebagai sumber data
(penyedia teks). Banyak naskah Nusantara yang berisi adat-istiadat daerah
tertentu. Selain itu, dalam khazanah sastra lama Nusantara memang banyak naskah
yang berisi teks hukum, yang dalam sastra Melayu dikenal dengan sebutan
“undang-undang” atau “angger-angger” di
Jawa. Penulisannya dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian hukum
oleh raja atau setelah adanya pengaruh Barat. Contoh teks undang-undang dalam
sastra Melayu adalah “Undang-undang
Negeri Malaka” (dikenal juga dengan nama “Risalah Hukum Kanun” atau
“Hukum Kanon”, “Undangan-undang Minangkabau”, dan “Undang-undang Bangkahulu”. Dalam sastra Jawa terdapat teks “Raja Niti”, “Paniti Raja”, “Kapa-Kapa”,
“Surya Ngalam”, “Nawala Pradata”, dan “Angger
Sadasa”. Selain “sastra
undang-undang”, dalam sastra Melayu
terdapat teks “adat”, seperti “Adat Raja-Raja Melayu”. Teks-teks seperti itu sangat bermanfaat
bagi ilmu hukum adat.
6)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama
Telah
dikemukakan bahwa naskah Nusantara banyak yang mengandung teks keagamaan. Teks
Jawa Kuna pada umumnya menggambarkan kehidupan masyarakat beragama Hindu dan
Budha, sedangkan teks Melayu menggambarkan kehidupan masyarakat beragam Islam.
Pengaruh Islam dalam sastra Jawa Baru pada umumnya melalui sastra Melayu.
Suntingan teks
yang berisi ajaran keagamaan (sastra kitab) yang disertai pembahasan isinya
merupakan bahan berharga bagi penulisan perkembangan agama. Berdasarkan teks
semacam itu akan diperoleh gambaran antara lain wujud penghayatan agama,
percampuran agama Hindu, Budha, dan Islam dengan kepercayaan yang hidup dalam
masyarakat Nusantara, serta permasalahan aliran (mazhab) agama yang masuk ke
Nusantara. Masalah seperti itu termasuk masalah yang harus ditangani ilmu
sejarah perkembangan agama. Berdasarkan penjelasan itu, penanganan sastra kitab
secara filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah perkembangan agama.
7)
Filologi
sebagai Ilmu Bantu Filsafat
Filsafat adalah
cara berpikir logis, bebas, dan mendalam, hingga sampai ke dasar persoalan.
Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa cabang, yaitu
metafisika (ontology), epistemology, logika, etika, estetika, dan sebagainya.
Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, filsafat alam, dan filsafat
ilmu pengetahuan.
Renungan yang
bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara lain dapat digali
lewat warisan budaya lama yang berwujud teks sastra. Kehidupan masyarakat
tradisional Nusantara didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama. Kedatangan
kebudayaan Hindu tidak mengubah prinsip hidup tersebut. Pemikiran rasional
muncul setelah datangnya Islam. Teks-teks lama terbukti mengandung
renungan-renungan filsafat yang erat kaitannya dengan seni dan agama, yaitu
estetika, etika, dan metafisika.
Pada hakikatnya
semua karya sastra mengandung pandangan hidup tertentu yang tersaji secara
jelas atau samar-samar karena ungkapan batin manusia selalu berdasar pada
pemikiran filsafati. Kajian tentang renungan filsafati dalam teks sastra secara
teoretis dapat dikaitkan dengan teori Roman Ingarden tentang lapis-lapis suatu
karya sastra. Ia menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas beberapa lapis,
antara lain lapis metafisika, yang memungkinkan adanya perenungan filsafati
suatu karya sastra. Keagungan, kesucian, kedahsyatan suatu karya sastra
menyebabkan kita untuk merenung-renungkannya atau memikirkannya. Kegiatan itu
akan melahirkan makna filsafati suatu karya sastra.
Menurut para
filsuf Yunani, filsafat timbul karena adanya kekaguman yang dilanjutkan dengan
pertanyaan yang terus-menerus melahirkan jawaban. Subagio Sastrowardoyo (1983)
telah mencoba mengangkat pemikiran filsafati dalam sastra hikayat. Ia
menyatakan bahwa teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat dan petatah
petitih yang menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan moralitas
yang dijunjungan masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian bersumber
pada keyakinan yang bersifat filsafat atau pemikiran keagamaan. Lukisan tokoh
dalam hikayat, yang terdiri atas tokoh jahat dan tokoh baik mencerminkan
pandangan hidup sederhana bahwa hidup ini pada dasarnya merupakan pertarungan antara
yang baik dan yang buruk, yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik.
Dalam sastra tradisional, pandangan umum ini berlaku secara mutlak walaupun ada
sedikit perkecualian.
Menurut Al-Attas (1972:67), naskah yang berisi
teks tasawuf mengandung filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan
psikologi. Al-Attas memandang bahwa
ilmu tasawuf merupakan filsafat Islam yang sejati. Naskah yang mengandung teks
filsafat dalam sastra Nusantara jumlahnya cukup banyak, terutama dalam sastra
Melayu dan Jawa.
Penggalian unsur
filsafat dalam teks sastra Nusantara secara mendalam belum banyak dilakukan
walaupun suntingan naskahnya cukup tersedia. Sebetulnya, sumbangan filologi
kepada ilmu filsafat terutama berupa suntingan teks beserta transliterasi dan
terjemahannya dalam bahasa nasional. Suntingan seperti itu dapat dimanfaatkan
oleh ahli filsafat. Contoh teks suntingan yang dapat dimanfaatkan oleh ahli
filsafat adalah “Sang Hyang
Kamahayanikan”, “Ramayana Kakawin”, “Arjuna Wiwaha”, dan “Bomakavya” (berbahasa Jawa Kuna), “Hikayat Sri Rama”, “Hikayat Andaken
Penurat”, “Hikayat Banjar”, “Hikayat Merong Mahawangsa”, dan “Tajussalatin” (berbahasa Melayu).
Ini sumbernya dari penelitian apa ya mba kalo boleh tau?
BalasHapus