BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI
A.
Perkembangan
Filologi di Eropa dan di Timur Tengah
Kebudayaan
Yunani kuno sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada
umumnya. Dalam segala bidang kehidupan dapat dirasakan unsure-unsur yang
berakar pada kebudayaan Yunani kuno, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah
milik bangsa itu. Cabang ilmu yang mampu menyingkap aspek yang berakar pada
kebudayaan Yunani itu adalah ilmu filologi. Oleh karena itu, ilmu filologi
dipandang penting dalam menyajikan kebudayaan Yunani kuno yang sampai kini
berperan dalam memperluas dan memperdalam pengetahuan pengenai sumber ilmu
pengetahuan. Kebudayaan Yunani kuno tidak hanya berpengaruh di dunia Barat,
tetapi juga di seantero dunia.
Sejak kecil
masyarakat Barat terbiasa mengenal nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas, Athena, Zeus, dan Hera. Para dewa dan pahlawan dalam legenda Yunani kuno dipandang
sebagai sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang Barat, sama halnya
dengan cerita wayang dalam masyarakat yang memegang tradisi jawa.
Para penulis
Barat sering mengutip mitologi Yunani kuno apabila memerlukan perumpamaan yang
lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para sarjana dan ilmuwan sering
menggunakan istilah yang didasarkan pada legenda Yunani kuno, seperti istilah “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu
pengetahuan, seperti ilmu filsafat, matematika, dan fisika banyak dikutip
pendapat para ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka.
Jelaslah bahwa mereka yang ingin mengetahui aspek tertentu dari masyarakat
Barat akan mendapat manfaat apabila mengetahui dasar-dasar kebudayaan Yunani
kuno. Ilmu filologi juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
1.
Filologi
di Eropa
1.1.
Filologi
di Iskandariah
Filologi, sebagai salah satu cabang ilmu,
mula-mula tumbuh dan berkembang di kawasan Kerajaan Yunani, yaitu di kota
Iskandariah, di pantai utara Benua Afrika. Dari kota Iskandariah filologi
berkembang dan meluas ke Eropa Daratan, kemudian ke bagian dunia lain.
Di kota Iskandariah studi filologi
mula-mula dilakukan oleh bangsa Yunani sekitar abad ke-3 S.M. Bangsa Yunani itu
mampu membaca teks yang dimuat dalam naskah Yunani kuno yang ditulis kira-kira
pada abad ke-8 SM dalam huruf bangsa Funisia (asal huruf Yunani kuno).
Teks-teks tersebut ditulis pada daun papirus. Tujuan penulisan teks pada
dasarnya merupakan upaya untuk merekam tradisi lisan mereka yang telah mereka
miliki sejak berabad-abad sebelumnya. Untuk menyelamatkan teks yang terekam dalam
naskah, dilakukanlah penyalinan teks secara berulang-ulang sejak abad ke-8 SM
sampai abad ke-3 SM. Karena adanya penyalinan itulah, teks-teks itu kemudian
mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk aslinya.
Pada abad ke-3 SM kota Iskandariah dapat dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan
karena kota tersebut merupakan tempat dilaksanakannya telaah naskah dan teks
oleh para ahli di bidangnya. Para pakar itu berasal dari daerah sekitar Laut
Tengah, terutama bangsa Yunani, dan dari Eropa Selatan. Pusat studi itu
kemudian berubah menjadi semacam perpustakaan dan di tempat itulah tersimpan
sejumlah naskah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti filsafat, ilmu
kedokteran, perbintangan, ilmu hukum, dan sastra. Bangunan asli perpustakaan
itu sebetulnya adalah sebuah kuil yang digunakan untuk pemujaan. Para peneliti
naskah itu kemudian dikenal sebagai ahli filologi dan yang pertam kali
menggunakan istilah itu adalah Erastosthenes.
Pada waktu itu seorang filolog harus
berwawasan luas karena untuk memahami naskah itu harus mengenai tulisan,
bahasa, dan ilmu yang dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya,
mereka kemudian menulisnya kembali dengan huruf dan bahasa yang dikenal dan
digunakan pada waktu itu. Metode yang mereka gunakan adalah sebagai berikut:
Mula-mula mereka memperbaiki bacaan (huruf, kata, ejaan, bahasa, dan tata
tulisannya) yang korup (rusak), kemudian menyajikannya dalam suntingan yang
mudah dibaca dan bersih dari sesalahan. Teks yang tanpa cacat itu kemudian
disalin berulang-ulang. Selain disalin, kadang-kadang dalam salinannya diberi
komentar yang berupa tafsiran atau penjelasan lain secukupnya. Ahli filologi
pada masa itu betul-betul harus menguasai ilmu dan kebudayaan Yunani kuno dan
mereka itu dikenal dengan mazhab Iskandariah.
Selain bertujuan menggali ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Yunani kuno, kegiatan filologi juga dipandang sebagai kegiatan
perdagangan. Untuk mencapai tujuan kedua itu, penyalinan naskah biasanya
dilakukan oleh budak belian yang pada waktu itu mudah didapat. Dengan cara
demikian, penyimpangan dari teks yang disalin mudah terjadi karena penyalin
tidak memiliki kesadaran yang tinggi terhadap keasliannya. Hasil penyalinan itu
kemudian diperdagangkan di daerah sekitar Laut Tengah.
Jika penyalinan teks yang berkali-kali itu
bersumber pada naskah yang korup, dapat dipastikan bahwa teks salinan akan
makin menyimpang dari teks aslinya. Kemudian, ahli filologi memandang perlu
memperbaiki kesalahan atau penyimpangan itu sejauh yang dapat mereka upayakan
untuk menjaga keasliannya.
Penyalinan teks dengan tulis tangan memang
mudah menimbulkan bacaan yang korup atau rusak. Hal itu terjadi (1) karena
penyalin bukan yang ahli dalam bidang ilmu yang terekam dalam teks tersebut,
(2) karena ketidaksengajaan, atau (3) karena keteledoran penyalin. Kegiatan
penyalinan dan penelaahan naskah makin lama makin meningkat dan terhenti ketika
daerah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Perlu dikemukakan bahwa teks yang ditulis
dengan menggunakan alas (bahan) papirus itu berbentuk gulungan. Teks tertulis
pada satu sisi (tidak bolak-balik) dengan menggunakan benda runcing. Karena
berupa gulungan, naskah tidak bernomor halaman seperti dalam naskah berbentuk
buku sehingga pembaca sulit mengecek bagian yang telah dibacanya. Selain itu,
penyimpangannya juga memerlukan tempat yang luas dan tidak mudah. Setelah
selesai dibaca, naskah harus digulung kembali agar awal teks berada di bagian
depan.
Teks-teks yang dijadikan bahan kajian para
ahli filologi pada masa awal pertumbuhannya antara lain karya Homerus, Plato, Menander, Hippocrates,
Socrates, Herodotus, dan Aritoteles.
Isinya meliputi berbagai bidang ilmu, filsafat, dan sastra yang bermutu tinggi.
Hingga kini karya-karya tersebut diakui sebagai karya agung dalam dunia ilmu
pengetahuan, baik di Barat maupun di Timur.
Setelah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa
Romawi, kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatan, yang berpusat di kota Roma. Aktivitasnya melanjutkan tradisi
Yunani atau mazhab Iskandariah. Teks-teks Yunani kuno merupakan bahan kajian
utama dan bahasa Yunani merupakan bahasa kedua mereka. Pada abad ke-1 hingga
abad ke-4 Masehi kegiatan filologi mulai beralih pada pembuatan resensi
teks-teks tertentu yang berbahasa Yunani kuno. Kegiatan ini berakhir ketika
pecahnya Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur pada
abad ke-4. Peristiwa itu ternyata mempengaruhi perkembangan ilmu filologi.
1.2.
Filologi
di Romawi Barat dan Romawi Timur
Kegiatan filologi di Romawi Barat
diarahkan kepada penggarapan naskah dalam bahasa Latin yang sejak abad ke-3 SM
telah digarap filologi. Naskah Latin itu ada yang berupa puisi dan prosa,
antara lain karya Cicero dan Varro.
Kegiatan ini mungkin mengikuti kegiatan filologi Yunani mazhab Iskandariah pada
abad ke-3 SM. Isi naskah itu banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada
abad-abad selanjutnya.
Tradisi Latin itulah yang dikembangkan di
Kerajaan Romawi Barat dan bahasa Latin dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Sejak terjadinya kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi di Romawi Barat
ditunjukkan untuk telaah teks keagamaan yang dilakukan oleh kaum pendeta.
Sebagai akibatnya, naskah Yunani ditinggalkkan. Bahkan, sering kali dipandang
sebagai tulisan yang berisi paham jahiliah dan berisi ilmu yang berkaitan dengan
paham itu. Dengan demikian, telaah teks Yunani menjadi mundur dan kandungan
isinya tidak banyak dikenal lagi.
Sejak abad ke-4 teks sudah ditulis dalam
bentuk buku yang disebut codex dengan
menggunakan bahan dari kulit binatang, terutama kulit domba yang dikenal dengan
nama perkamen (perkament (bahasa
Belanda) atau parchment (bahasa
Inggris). Dalam bentuk codex itu
naskah diberi halaman sehingga mudah dibaca. Selain itu, bahan perkamen juga
berdaya tahan lebih lama daripada bahan papirus.
Ketika telaah teks Yunani mulai mengalami
kemuduran di Eropa Barat, di Eropa Timur malahan mulai muncul pusat-pusat studi
teks Yunani, seperti di Antioch, Athena,
Iskandariah, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Kota-kota itu merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandariah menjadi pusat studi
filsafat Aristoteles dan Beirut menjadi
pusat studi bidang hukum. Pusat-pusat studi itu selanjutnya berkembang menjadi
perguruan tinggi, suatu lembaga yang menghasilkan tenaga ahli di bidang
pemerintahan, pendidikan, dan administrasi.
Pada periode itu mulai muncul tradisi
menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi halaman. Catatan itu disebut scholia. Procopirus dari Gaza telah membiasakan menulis teks yang disertai
dengan scholia dengan bahan yang
diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena
tulisannya pada umumnya mengenai ajaran Beibel, cara penulisan seperti itu
dikenal sebagai cara baru dalam kajian Beibel.
Ketika telaah teks Yunani berkembang di
Romawi Timur, dirasakan kurangnya ahli yang mampu melakukan hal itu. Untuk
mendapatkan tenaga ahli filologi yang andal, teks-teks yang dipandang penting
diajarkan di perguruan tinggi.
1.3.
Filologi
pada Zaman Renaisans
Istilah Renaisans mulai dipakai dengan pengertian perubahan dalam lapangan
sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari Zaman
Pertengahan ke zaman baru. Renaisans mulai berkembang di Italia pada abad
ke-13, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan berakhir pada abad
ke-16. Dalam arti sempit zaman Renaisans adalah suatu zaman yang menempatkan
kebudayaan klasik sebagai pedoman hidup. Dalam arti luas, Renaisans adalah
suatu zaman yang rakyatnya cenderung berpedoman pada dunia Yunani klasik atau
kepada aliran humanisme. Renaisans
mula-mula merupakan gerakan di kalangan para sarjana dan seniman, yang
selanjutnya meningkat menjadi perubahan cara berpikir di kalangan umat beradab.
Kata humanisme
berasal dari kata humaniora (bahasa
Yunani) atau umanista (bahasa Latin)
yang semula berarti ‘guru yang mengelola tata bahasa, retorika, puisi, dan
filsafat’. Karena bahan-bahan yang diperlukan itu bersumber pada teks klasik,
humanisme kemudian diartikan sebagai aliran yang mengkaji sastra klasik yang
meliputi keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, ilmu bahasa, kesastraan, dan
kesenian.
Pada zaman Renaisans kegiatan telaah teks
klasik timbul kembali setelah berabad-abad diabaikan. Kajiannya berpijak pada
kritik teks dan sejarahnya.
Pada abad ke-15 Kerajaan Romawi Timur atau
Byzantium jatuh ke tangan bangsa Turki. Peristiwa itu mendorong para ahli
filologi berpindah dari Romawi Timur ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma.
Di tempat-tempat baru itu mereka mendapat kedudukan sebagai pengajar atau
penyalin naskah atau penerjemah teks Yunani ke dalam bahasa Latin.
Dengan adanya penemuan mesin cetak oleh Gutenberg dari Jerman pada abad ke-15,
bidang filologi mengalami perkembangan baru. Penyalinan teks tidak lagi
dilakukan dengan tulis tangan, tetapi dengan mesin cetak dan dalam jumlah yang
banyak dan mudah. Penggandaan teks dengan mesin cetak menuntut tersedianya,
teks siap cetak dalam bentuk yang baik dan bersih dari korup. Teks seperti itu
dapat dihasilkan lewat kajian filologi secara cermat. Kritik teks perlu
penyempurnaan dengan jumlah yang lebih banyak dan penyebarannya lebih meluas.
Sejak saat itu, kekeliruan pada penyalinan teks makin berkurang, tidak seperti
penyalinan dengan tulis tangan.
Dengan didirikannya berbagai perguruan
tinggi pada zaman Pertengahan kegiatan filologi bertambah-tambah karena lembaga
pendidikan tinggi itu memerlukan teks lama untuk bahan pelajaran. Selain itu,
kedudukan bahasa Romawi, Yunani, dan Latin bertambah penting. Khusus untuk
kajian Beibel diperlukan pengetahuan bahasa Ibrani dan Arab.
Selanjutnya, dalam perkembangannya di
Eropa, ilmu filologi diterapkan juga untuk telaah naskah lama nonklasik,
seperti naskah Germania dan Romania. Untuk itu, ahli filologi
dituntut untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Sejak saat itu, batas antara
filologi dan ilmu bahasa (linguistik) menjadi kabur karena kegiatan linguistik
juga menelaah teks. Mulai abad ke-19 linguistik memisahkan diri dari filologi
dan berkembang menjadi bidang ilmu yang berdiri sendiri. Pada abad ke-20
pengertian filologi di Eropa tetap
seperti semula, yaitu telaah teks klasik, sedangkan di kawasan Anglo-Sakson berubah menjadi linguistik.
2.
Filologi
di Kawasan Timur Tengah
Negara-negara di Timur Tengah memperoleh
ilmu filsafat dan ilmu eksakta melalui bangsa Yunani lama, yang sejak zaman Iskandar Zulkarnain telah menanamkan
kebudayaan di Mesir, Siria, dan tempat lain. Sejak abad ke-4 beberapa kota di
Timur Tengah telah memiliki perguruan tinggi, pusat studi berbagai ilmu
pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza, pusat ilmu oratori (oratory),
Beirut dalam bidang hukum, dan Edessa dalam kebudayaan Yunani. Karena
pada abad ke-5 kota Edessa dilanda
perpecahan kaum gerejani, banyak ahli filologi dari kota itu yang berpindah ke
kota lain, terutama ke kawasan Persia.
Di Persia mereka disambut baik kaum penguasa. Oleh Kaisar Anusyirwan mereka diberi kedudukan ilmiah di akademi Jundi Syapur pusat studi ilmu filsafat
dan ilmu kedokteran. Di lembaga itu teks-teks Yunani diterjemahkan ke dalam
bahasa Siria dan dari bahasa Siria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kota Harra, di daerah Mesopotamia, pernah menjadi pusat studi naskah
Yunani. Penduduknya, bangsa Sabean,
suatu suku bangsa yang tergolong kuno, mahir berbahasa Arab. Tidaklah
mengherankan jika di kota itu dipelajari karya-karya Plato, Ptolomaeus, dan Galen.
Teks-teks Yunani kuno itu banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan
Arab.
Studi teks dan ilmu pengetahuan Yunani
makin lama makin berkembang terutama pada masa Dinasti Abasiah, yaitu masa pemerintahan Khalifah Mansur (754-775), Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809), dan Khalifah
Makmun (809-833). Perkembangan studi teks itu mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Khalifah Makmun.
Di istana Khalifah Makmun berkumpul sejumlah ilmuwan dari berbagai Negara.
Mereka belajar ilmu geometri, astronomi, teknik, dan musik. Di sana mereka
mendapat tempat dan pelayanan yang baik. Mereka dibuatkan pusat studi yang
diberi nama Baitul Hikmah (‘lembaga
kebijaksanaan’), yang dilengkapi dengan sarana perpustakaan dan observatorium.
Pada masa Khalifah Makmun itu dikenal tiga orang ahli penerjemah, yaitu (1) Qusta bin Luqa, (2) Hunain bin Ishak, dan (3) Hubaisyi.
Ketiga orang itu beragama Nasrani.
Di antara ketiga orang itu Hunain-lah yang paling luas ilmu
pengetahuannya. Ia lahir berbahasa Arab, Yunani, dan Persia, padahal bahasa
ibunya bahasa Arab. Ia menjadi penerjemah ke dalam bahasa-bahasa tersebut sejak
berumur 17 tahun. Kemahirannya itu, mungkin, diperolehnya karena ia tinggal di
daerah multilingual. Ia mendirikan lembaga penerjemah di kota Bagdad. Akan
tetapi, tidak begitu jelas apakah teks sumbernya berbahasa Yunani atau
berbahasa Siria. Pada waktu itu di daerahnya masih banyak naskah-naskah
berbahasa Yunani. Ia rajin mencari naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria,
Palestina, dan Mesopotamia.
Setelah beberapa lama, Hunain menyusun daftar naskah Yunani
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab disertai nama
penerjemahnya dan untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Selain itu, disusun
juga daftar naskah Yunani yang belum diterjemahkan dan tempat-tempat
penyimpanannya.
Hunain
juga terkenal karena kritikannya. Kritiknya terhadap hasil terjemahan orang
lain sangat tajam. Dalam kritiknya ia tidak segan-segan menunjukkan
bagian-bagian yang kurang tepat penerjemahannya dan sebab-sebab kekurangan
tepatannya, misalnya karena rusaknya naskah yang menjadi sumber terjemahkan itu
atau karena kurangnya penerjemah mengenal bahasa sumber, terutama bahasa Yunani
kuno. Di samping mengeritik penerjemah, ia juga melakukan kritik teks dengan
menggunakan sebanyak mungkin naskah yang dapat dijangkaunya.
Bangsa-bangsa di Timur Tengah dikenal
sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama (kuno) yang bernilai luhur, seperti
karya tulis yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan Persia. Sebelum datangnya
agama Islam, bangsa Arab dan Persia telah memiliki karya sastra, baik prosa
maupun puisi, yang mengagumkan. Bangsa Arab jauh sebelumnya telah mengenal “Mu’allaqat” dan “Qasidah”. Setelah Islam berkembang, kegiatan sastra meluas ke
kawasan lain di luar Negara Arab dan mistik Islam berkembang pesat di daerah
Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-13. Sastra mistik yang termasyhur antara
lain “Mantiq At-Tair” karya Fariduddin Attar, “Mansnawi fi M’nawi” karya
Jalaluddin Arrumi, dan “Tarjuman al-Asywaq” karya Ibn al-‘Arabi. Selainitu, puisi-puisi
Umar Khayyam, penyair Persia ternama, serta ceria “Seribu Satu Malam” yang hingga kini masih banyak dikenal di
seluruh dunia dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, baik
bahasa-bahasa Barat maupun Timur.
Sejalan dengan datangnya bangsa Barat di
kawasan Timur Tengah, kegiatan filologi membuka peluang terhadap karya-karya
agung tersebut. Sebagai akibatnya, kandungan teks itu makin dikenal di dunia
Barat dan banyak menarik perhatian kaum orientasi Barat. Oleh karena itu,
banyak teks yang diteliti oleh mereka sehingga banyak naskah yang tersebar ke
pusat-pusat studi dan koleksi naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap
naskah-naskah dilakukan di pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa
dan hasilnya berupa teori mengenal kebudayaan dan sastra Arab, Persia, Siria,
Turki, dan sebagainya.
Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-15
kekuasaan Dinasti Umayah meluas
sampai ke Spanyol dan Andalusia. Hal itu membuka dimensi baru
bagi telaah karya tulis dari kawasan Timur Tengah yang masuk ke Eropa pada
waktu itu. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali masuk
ke Eropa dengan kemasan Islam. Banyak karya sastra Arab dan Persia dikenal di
Eropa dalam periode kekuasaan Dinasti
Umayah di Eropa. Tulisan Al-Ghazali,
Ibnu al-‘Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya merupakan bahan kuliah
dan penelitian yang menarik. Orientalis yang dikenal pada waktu itu ialah Albertus Magnus, ahli filsafat
Aristoteles, melalui tulisan Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Albertus Magnus mengajar di Persia pada
abad ke-12.
Pada abad ke-13 Roger Bacon dan Raymon Lull belajar
bahasa Arab dan Persia untuk mempelajari filsafat Yunani. Pada abad itu Paus Clement telah memerintahkan agar
bahasa Arab, Ibrani, dan Kaldea diajarkan di universitas di Rome, Bologne, Paris, dan Oxford sebagai alat untuk mempelajari
ilmu pengetahuan yang terkandung dalam naskah yang ditulis dengan bahasa
tersebut. Pada abad ke-13 di pusat studi Montpillier
dilakukan penerjemahan tulisan Ibnu Rusyd
dan Ibnu Sina ke dalam bahasa
Latin.
Pada abad ke-17 telaah teks klasik Arab
dan Persia di Eropa telah dipandang mantap, terutama did Cambridge dan Oxford.
Mimbar kuliah bahasa Arab dibuka dengan dosen terkenal, seperti Thomas Adams, Archbishop Laud, Edward Pococke,
dan Abraham Wheelock. Pada waktu
itu, di samping naskah Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani, dan
Siria. Sementera itu, di Inggris dipelajari pula karya-karya sastra Arab,
Persia, dan Turki, seperti “Hikayat
Seribu Satu Malam” dan syair-syair
sufi. Syair-syair karya Umar Khayyam deterjemahkan
dalam berbagai bahasa Eropa dan disadur dalam bahasa Inggris.
Pada akhir abad ke-18 di Paris didirikan
pusat studi kebudayaan ketimuran oleh Silvester
de Sacy dengan nama Ecole des Langues
Orientales Vivantes. Di tempat itu dipelajari naskah-naskah dari Timur
Tengah oleh para ahli di kawasan Eropa sehingga melahirkan ahli-ahli orientalis
Eropa terkemuka dan karangan bermutu tentang karya-karya penulis Timur Tengah.
Di antara ahli orientalis itu adalah Etienne
Quatremere (1782-1857), penanggung jawab Manuscripts Orienteaux di Paris, yang telah menerjemahkan “Tarikh al-Mamalik” karya Al-Maqrizi dan “Muqaddimah” karya Ibnu
Khaldun ke dalam bahasa Perancis. Selain itu, ia juga menerbitkan naskahnya
yang berbahasa Arab. Ahli orientalis kedua adalah De Slane. Ia berhasil menyusun katalogus naskah-naskah Arab yang
terdapat di Bibliotheque Nationale de
Paris. Ia juga berhasil menerjemahkan “Diwan
Imru’ul-Qais” ke dalam bahasa Perancis. Ahli orientalis yang ketiga adalah De Sacy. Ia dipandang sebagai bapak para
orientalis di Eropa atas jasanya yang telah melahirkan orientalis-orientalis
Eropa dari Ecole des Langues Orientales
Vivantes. Selain itu, ia juga telah menghasilkan banyak tulisan dalam
bidang telaah karya dari kawasan Timur Tengah pada umumnya.
B.
Perkembangan
Filologi di Kawasan Asia: India dan Nusantara
1.
Filologi
di Kawasan Asia yaitu India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa-bangsa
Asia memiliki peradaban yang tinggi, seperti Cina, Jepang, India, dan
bangsa-bangsa di kawasan Nusantara. Sejak bangsa-bangsa tersebut mengenal
huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah, semacam
dokumen yang mengandung informasi mengenai kehidupan mereka pada masa lampau.
Studi filologi terhadap naskah-naskah
tersebut berhasil membuka khazanah kebudayaan Asia dan kajian tentang naskah
tersebut bermanfaat untuk kepentingan studi humaniora di Asia pada umumnya.
Hasil studi itu dapat menyibak sejarah bangsa Asia dan kebudayaan serta dapat
memperjelas hubungannya dengan kawasan di luar Asia. Dengan demikian, dapat
diketahui pula kebudayaan lain yang pernah menjalin hubungannya dengan
kebudayaan Asia.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang
memiliki dokumen peninggalan masa lampau dan kebudayaannya bersifat terbuka.
Keluhuran bangsa India terungkap melalui berbagai penelitian, terutama
penelitian terhadap dokumen yang berupa prasasti atau naskah. Bangsa India
telah mengadakan kontak secara langsung dengan bangsa Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang telah
mengadakan perjalanannya sampai ke India pada abad ke-3 SM. Kebudayaan India di
daerah Gandhara ternyata dipengaruhi
kebudayaan Yunani. Patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara dipahat seperti patung Apollo
dengan memakai jubah tebal.
Perpaduan antara kebudayaan Yunani, Hindu,
Budha, dan Jaina dinamakan kebudayaan Gandhara. Kebudayaan tersebut mencapai
puncaknya pada zaman Raja Kaniska Kusana dalam
tahun 78-100 Masehi. Fisafat Yunani diduga telah mempengaruhi silogisme India.
Selain itu, teori atom Empedocies juga
telah berpengaruh pada hukum atom India.
Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak
langsung antara bangsa India dan bangsa Cina. Pada waktu itu sekelompok pendeta
Budha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina. Sebaliknya, sesudah itu
musafir-musafir Cina melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci agama
Budha di India. Di antara kaum musafir Cina itu ada orang yang tercatat dalam
sejarah India, yaitu Fahian yang
berkunjung ke India pada tahun 399, Hiuen-tsing
pada tahun 630-645, dan I-tsing pada
tahun 671-695. Mereka telah menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa
Cina. Bahkan, I-tsing telah menulis
ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina.
Kontak antara bangsa India dengan bangsa
Persia terjadi lebih awal daripada kontaknya dengan bangsa lain karena letak
kedua Negara itu berdekatan. Namun, dokumen yang otentik tentang awal
terjadinya hubungan itu tidak memberi informasi yang mantap. Dokumen sastra
yang merupakan data adanya kontak langsung itu, antara lain, masuknya karya
sastra India Pancatantra dalam
kesusastraan Persi.
Pancatantra,
yang digubah pada abad ke-3 di India
oleh seorang Waisynawa atas perintah Kaisar
Anusyirwan dari Dinasti Sasaniah (531-579) di Persi
diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Kaisar tersebut mengirimkan seorang dokter
pribadinya yang bernama Burzue ke
India untuk menerjemahkan naskah “Pancatantra”.
Selanjutnya, versi “Pancatantra” dalam
bahasa Persi itu berkali-kali disalin ke dalam bahasa Persi Tengahan dan bahasa
Persi Baru. Abdullah ibn Muqaffa menerjemahkan
“Pancatantra” versi Persi itu ke
dalam bahasa Arab. Hasil terjemahnya itu kemudian diberi judul “Kalila wa Dimna”.
Selain “Pancatantra”,
sastra India yang disalin ke dalam bahasa Persi adalah “Sukasaptati”. Dalam versi Persi “Sukasaptati” itu dikenal dengan judul “Tutinameh”.
Berdasarkan telaah filologi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kontak langsung antara bangsa India dan bangsa Persi
paling awal terjadi pada abad ke-6, saat disalinnya “Pancatantra” ke dalam bahasa Persi.
Pada tahun 1030 Alberuni, seorang musafir Arab-Persi, berkunjung ke India. Dalam
catatannya ia menulis tentang aspek-aspek kebudayaan India, seperti filsafat,
kesastraan, tatabahasa, dan ilmu kedokteran. Diperkirakan dialah yang pertama
kali mempelajari naskah dan teks India untuk mengetahui lebih dekat kebudayaan
India itu.
1)
Naskah-Naskah
India
Naskah India yang dipandang paling tua
adalah “Weda”, kitab suci agama
Hindu. “Weda” terdiri atas empat
bagian, yaitu “Rigweda”, “Samaweda”,
“Yajurweda”, dan “Atarweda”.
Kitab “Weda” diperkirakan ditulis
pada abad ke-6 SM. Isinya adalah tentang kepercayaan kepada para dewa,
penyembahan terhadap para dewa secara ritual, mantra yang mengiringi upacara
keagamaan Hindu, dan ilmu sihir.
Sesudah periode “Weda”, disusun pula kitab suci Brahmana, kitab “Aranyaka”, dan kitab “Upanisal”. Kitab suci Brahmana berisi
antara lain tentang penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, dan cerita
tentang persajian. “Aranyaka” berisi
tentang petunjuk bagi petapa yang menjalani kehidupan di hutan-hutan, sedangkan
“Upanisad” berisi masalah filsafat
yang memikirkan rahasia dunia.
Selain naskah yang bernapaskan agama dan
filsafat, naskah lama India juga ada yang berbentuk wiracarita, seperti “Mahabharata” dan “Ramayana”. Selain bentuk wiracarita (cerita kepahlawanan) ada pula
karya yang berbentuk puisi, seperti “Harsacarita”
(gubahan penyair Bana) dan “Buddhacarita” (gubahan Aswagosa), yang berbetnuk table atau
cerita binatang seperti “Pancatantra”,
“Sukasaptati” dan “Hitopadesa”, dan
ada pula yang berbentuk drama. Di samping itu, ada pula karya yang berisi ilmu
pengetahuan, seperti ilmu kedokteraan, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu
politik.
2)
Telaah
Filologi terhadap Naskah-Naskah India
Telaah terhadap naskah-naskah India yang
berisi berbagai aspek kebudayaan baru dimulai pada saat bangsa Barat tiba di
kawasan itu setelah ditemukannya jalan laut ke India oleh Vasco da Gama tahun 1498. Mereka mengetahui kebudayaan India lewat
hasil telaah filologinya terhadap naskah India mutakhir. Berdasarkan telaah
filologi itu, mereka mengenal adanya bahasa-bahasa daerah di India, seperti
bahasa Gujarati dan bahasa Bangali sebelum abad ke-19. Pada awal
abad ke-19 mereka mengetahui tentang bahasa Sansekerta dan pada akhir abad
ke-19 mereka menemukan kitab “Weda”.
Hasil kajian filologi terhadap naskah
tersebut mulai dipublikasikan oleh orang Belanda yang bernama Abraham Roger dengan judul Open Door to Hidden Heathendom pada
tahun 1651. Dia pernah tinggal di Madra dan bertugas sebagai penyiar agama
Nasrani. Karangannya itu berbicara tentang ajaran kitab suci “Brahmana” dan berupa ikhtisar puisi
penyair Bhratihari. Kemudian terbit
pula karangan dua orang Prancis, Bernier (1671)
dan Tafernier (1677), tentang
geografi, politik, adat-istiadat, dan kepercayaan bangsa India.
Tatabahasa Sansekerta dalam bahasa Latin
mula-mula ditulis oleh Hanxleden, seorang
pendeta berbangsa Jerman. Tatabahasa tersebut diterbitkan di Roma pada tahun
1790 oleh Fra Paolo Bartolomeo, seorang
penginjil berbangsa Austria. Ia pernah tinggal di Malabar pada tahun 1776-1789.
Pada abad ke-18 bangsa Inggris baru
memulai kegiatan filologinya di India. Kegiatannya berawal dari adanya hasrat
Gubernur Jenderal Warren Hastings untuk
menyusun kitab hukum yang bersumber pada naskah-naskah lama bangsa India.
Teks-teks hukum yang terdapat dalam naskah lama itu dikajinya dan hasilnya
diterbitkan di London pada tahun 1776. Pada tahun 1784 di kota Bengal didirikan
suatu wadah kegiatan filologi yang bernama The
Asia Society oleh para orientalis Inggris yang pada saat itu sedang
bertugas di India. Di antara kaum orientalis itu ada tiga orang yang berhasil
memajukan telaah filologi India, yaitu Sir
Charles Wilkins, Sir William Jones, dan Henry
Thomas Colebrooke. Pada tahun 1785 Wilkins, yang menguasai bahasa
Sansekerta, berhasil menerjemahkan “Bagawadgita”
ke dalam bahasa Inggris. Terjemahannya itu diberi judul Song of the Adorable One. Pada tahun
1787 ia menerjemahkan “Hitopadesa” ke
dalam bahasa Inggris dan pada tahun 1808 menyusun tatabahasa Sansekerta.
William
Jones, yang menjabat ketua mahkamah tinggi di Bengal sejak tahun 1783,
mendirikan The Asia Society di
Calcutta. Pada tahun 1794 ia menerjemahkan “Sakuntala”
dan “Gitagowinda”, kitab hukum
bangsa Manu. William Jones yang
berpendidikan formal di Universitas
Oxford itu adalah orang pertama kali menyatakan bahwa bahasa Sansekerta
merupakan nenek moyang bahasa Persi, bahasa-bahasa
Germani, dan serumpun dengan bahasa Kelt.
Henry
Thomas Colebrooke dipandang sebagai
orang pertama yang melakukan dasar-dasar filologi India. Dia menulis dalam
bidang hukum, filsafat, agama, tatabahasa, astronomi, dan ilmu hitung. Dia
berhasil menerbitkan kamus bahasa Sansekerta, buku tatabahasa karangan Panini,
dan kitab “Hitopadesa”. Ia juga
berhasil mengoleksi naskah-naskah Sansekerta.
Pada awal abad ke-19 dikenal nama Alexander Hamilton (bangsa Inggris) dan Friedrich Schlegel (bangsa Jerman).
Mereka dipandang sebagai orang yang memajukan studi naskah Sansekerta di Eropa.
Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel menulis
buku yang berjudul On the Language and
Wisdom of the India. Ia juga berhasil mendirikan sebuah lembaga filologi
India di Jerman.
Kakaknya, August Wilhelm von Schlegel, adalah orang yang pertama kali
memberikan kuliah bahasa Sansekerta din Bonn, Jermah Barat. Sesudah itu, telaah
naskah-naskah Sansekerta di Jerman bertambah maju, melebihi tempat-tempat lain
di Eropa.
Selain ketiga orang itu, dikenal juga nama
Frans Bopp. Berdasarkan telaahnya
terhadap naskah-naskah Sansekerta, ia sampai pada simpulan yang menyatakan
bahwa sistem konyugasi bahasa Sansekerta sama dengan sistem konyungasi
bahasa-bahasa di Eropa. Pendapatnya itu ditulis dalam karangannya yang berjudul
On the Conjugational System of the
Sanskrit Language in Comparison with that of the Greek, Latin, Persia, Germanic
Languages. Frans Bopp juga
dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan
filologi.
Sampai pertengahan abad ke-19 telah banyak
hasil telaah terhadap naskah karya sastra klasik India dan sastra epic. Namun,
telaah terhadap kesastraan Budha dan Weda belum banyak dilakukan.
Pada abad ke-17 kitab “Upanisad” diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Pada tahun
1801-1802 hasil terjemahan itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin oleh
seorang orientalis Prancis yang bernama Anquetil
Dupperon dengan judul Oupnek’hat.
Buku itu dipandang telah mempengaruhi dua orang ahli filsafat Jerman, Schelling dan Schopenhauer.
Telaah filologi yang sebenarnya terhadap
sasta “Weda” dilakukan oleh F. Roesen pada tahun 1838. Hasil terbitannya berupa
delapan bagian pertama kitab “Regweda”.
Pada dasawarsa keempat abad ke-19 Rudolf Roth mengenalkan dasar-dasar
studi sastra “Weda” di Eropa. Pada tahun 1846 dia menulis On the Literature and History of the Weda.
Selain Rudolf Roth, orang yang tekun menelaah “Weda” adalah F. max Muller, salah
seorang murid F. Rosen. Dia menulis
buku tentang Regweda dalam 8 jilid. Dalam buku tersebut disertakan juga
tafsiran Regweda karya Sayana.
Dengan telah dilakukannya studi terhadap “Weda”
dan kitab-kitab agama Budha lainnya, perkembangan studi filologi di India,
dari segi materi, telah dianggap lengkap pada pertengahan abad ke-19. Sejak
tahun 1850 kajian terhadap sastra klasik India secara ilmiah telah dilakukan.
Selain itu, sejumlah naskah yang disertakan dengan kritik teks juga telah
diterbitkan.
Pada tahun 1876 Albercht Weber menulis History
of India Literature. Dua orang ahli filologi Jerman, Rudolf Roth dan Bohtlingk, menyusun
kamus besar bahasa Sansekerta dalam 7 jilid.
Pada tahun 1819 Wilhelm von Schlegel menyusun daftar naskah Sansekerta, baik yang
belum disunting maupun yang telah disunting dan yang telah diterjemahkan, yang
jumlahnya mencapai puluhan. Pada tahun 1852 Weber
berhasil menyusun daftar naskah
Sansekerta itu dengan jumlah sekitar 500 buah. Pada awal abad ke-20 daftar
tersebut sudah memuat beribu-ribu naskah, yang tersimpan di berbagai pusat
studi kebudayaan dan kesastraan India, baik di India maupun di Eropa.
2.
Filologi
di Kawasan Nusantara
Nusantara termasuk kawasan Asia Tenggara.
Sebagaimana kawasan Asia pada umumnya, Nusantara sejak dahulu telah dikenal
sebagai kawasan yang memiliki peradaban tinggi. Hal itu terbukti dari adanya
peninggalan nenek moyang, baik berupa bahan tulisan (naskah dan prasasti)
maupun benda-benda bersejarah (alat rumah tangga, guci, patung, candi, dan
lain-lain).
Di kawasan Nusantara terdapat berbagai
kelompok etnis. Tiap-tiap etnis memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa
mengabaikan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara. Kekayaan naskah lama Nusantara
dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang terdapat di berbagai studi kebudayaan
Timur dan Barat.
1)
Naskah
Nusantara dan Pedagang Barat
Minat untuk menelaah naskah-naskah
Nusantara mulai timbul pada abad ke-16 setelah bangsa Barat datang di kawasan
Nusantara. Adanya naskah-naskah lama Nusantara itu mula-mula diketahui oleh
para pedagang. Mereka menganggap naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang
mendapatkan untung besar, seperti yang mereka kenal di Eropa, sekitar Laut
Tengah, dan daerah-daerah lainnya.
Karana adanya anggapan itu, para pedagang
Barat mengumpulkan dan membeli naskah-naskah dari perorangan ataupun dari
tempat-tempat tertentu yang mengoleksinya, seperti kuil dan pesantren.
Naskah-naskah itu mereka bawa ke Eropa, kemudian mereka jual kepada
perseorangan atau lembaga yang mengoleksi naskah lama atau yang mempunyai pusat
kajian naskah lama. Naskah-naskah Nusantara itu selalu berpindah tangan karena
diperjualbelikan atau dihadiahkan.
Salah seorang pedagang Eropa yang bergerak
dalam perdagangan naskah adalah Pieter
Williemsz atau Peter Floris. Pada
tahun 1604 Van Elbinck, pengusaha
naskah, pernah tinggal di Aceh. Kumpulan naskahnya, antara lain, dijual kepada Thomas Erpenius, salah seorang
orientalis kenamaan dari Leiden (1584-1624).
Tampaknya Erpenius tidak berminat mengkaji
naskah-naskah Nusantara itu karena keahliannya tentang kebudayaan Timur Tengah.
Pada tahun 1632 koleksi naskah Nusantara Erpenius
jatuh ke perpustakaan Universitas Oxford. Selain Erpenius, pembeli naskah Nusantara dari para pedagang ialah Edward Pococke, pemilik naskah tertua “Hikayat Sri Rama”. William Laud,
seorang uskup besar dari Canterbury, menghadiahkan koleksi naskah Nusantaranya
kepada Bodleian di Oxford.
Dalam kaitannya dengan naskah-naskah
Nusantara tersebut, perlu dicatat nama Frederick
de Houtman, saudara laki-laki dan teman seperjalanan Cornelis de Houtman. Minatnya yang besar terhadap kebudayaan
Nusantara terbukti dari karangannya yang berjudul Spraeck en de Woordencboek, in de Maleysche en de Madagaskarsche Talen yang
terbit tahun 1603. Buku tersebut menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa sehingga
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, dan Prancis. Berdasarkan kenyaan
itu, diduga bahwa kemahiran berbahasa Melayu Frederick de Houtman, antara lain,
karena membacma dan mempelajari naskah-naskah Melayu.
Pada zaman VOC upaya mempelajari
bahasa-bahasa Nusantara hampir terbatas pada bahasa Melayu karena dengan bahasa
Melayu itu mereka sudah dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa
asing yang berada di kawasan Nusantara, seperti bangsa India, Cina, Arab, dan
bangsa Eropa lainnya. Peranan para pedagang, sebagai pengamat bahasa melalui
pembacaan naskah-naskah, dilanjutkan oleh para penginjil. Mereka dikirim VOC ke
wilayan Nusantara dalam jumlah yang besar selama 2 abad pertama (abad 17-18).
2)
Telaah
Naskah Nusantara oleh para Penginjil
Pada tahun 1629, 30 tahun setelah kapal
Belanda pertama tiba di Nusantara, diterbitkan terjemahan Alkitab pertama dalam
bahasa Melayu oleh penerbit Jan Jacobsz, Palenstein. Penerjemahnya adalah Albert Cornelisz Ruyl. Buku tersebut
berjudul Het Nieuwe Testament in
Nederduyts ende Malays, na de Grieckscher waarheyt Overgeset-Jang Testament
Baru Bersalin kepada Bassa Hulanda dan Bassa Malaju, seperti jang Adillan Bassa
Gregu. Ruyl adalah seorang pedagang. Pada tahun 1600 ia bersama-sama dengan
Jacob van Neck datang ke Nusantara.
Sebelum tahun 1600 ia telah menerbitkan buku berjudul Spiegel van de Maleise Tale yang bersumber dari karangan Frederick de Houtman dan beberapa
terjemahan ajaran gerejani.
Dr.
Melchior Leijdecker (1645-1701), seorang penginjil terkenal, menaruh minat
yang besar terhadap naskah-naskah Melayu. Terjemahan Beibelnya dalam bahasa
Melayu baru dapat diterbitkan setelah ia meninggal karena perlu penyempurnaan
dan revisi. Pada tahun 1835 jilid pertama terjemahan itu terbit.
Atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan Beibel
dalam bahasa Melayu tinggi. Untuk memenuhi tugas itu, dia harus meningkatkan
kemampuan bahasa Melayunya dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan
menuliskan karangan-karangannya dalam bahasa Melayu pula. Akan tetapi, hingga
akhir hayatnya terjemahan itu belum selesai. Pekerjaannya itu kemudian
dilanjutkan oleh penginjil lain, Petrus
van den Vorm (1664-1731).
Petrus tiba di Indonesia pada tahun 1688.
Mula-mula ia ditugaskan sebagai pendeta di Kepulauan Maluku. Ia berpendidikan
Teologi dari Universitas Leiden. Dengan diberikannya tugas missionaries di
beberapa daerah memungkinkan ia berkesempatan menulis berbagai aspek kebudayaan
Indonesia. Pada tahun 1726 terbitlah karangannya yang ensiklopedik dengan judul
Ouden Nieuw Oost Indien, Vervattende een
Naukkenigen en Uitvoerige Verhandelinge van Nederlandse Mogentheyd in die
Gewesten.
Karangannya itu memperlihatkan bahwa
pengetahuannya tenang naskah-naskah Nusantara cukup luas. Dalam tulisannya
disebutkan beberapa judul naskah yang diketahuinya pada waktu itu. Kemahirannya
berbahasa Melayu, walaupun bahasa Melayu rendah, bertujuan menyebarkan Beibel
dan menerjemahkannya. Dia sering menulis karangan tentang kebudayaan Nusantara.
Dia juga berhasil menyusun kamus dan buku tatabahasa Melayu yang baik.
Perhatiannya terhadap bahasa dan sastra Melayu juga cukup besar.
G.H.
Werndly adalah penginjil lain yang mengakrabi bahasa dan sastra Melayu.
Pada tahun 1736 terbit karangannya yang berjudul Maleische Spraakkunst. Dalam lampiran bukunya itu dia menyusun
daftar naskah Melayu yang diketahuinya yang berjumlah 69 naskah. Dia
mempelajari naskah itu hingga memahami isinya. Tiap-tiap naskah dibuat
ringkasan isinya, walaupun sangat pendek, dan dibuat deskripsinya.
Makin lama kedudukan VOC makin lemah.
Sebagai akibatnya, dorongan untuk mempelajari bahasa dan naskah Nusantara makin
berkurang. Usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Karena menghadapi berbagai kesulitan, lembaga
tersebut baru dapat mengirim seorang penginjil Protestan, yang bernama G. Bruckner, ke Indonesia pada tahun
1814. Ia ditempatkan di Semarang. Tugas utamanya adalah menyebarkan ajaran
Alkitab kepada masyarakat Jawa.
Agar pelaksanaan tugas tersebut berjalan
lancer, Bruckner bergaul dengan
penduduk Jawa dan membaca naskah-naskah Jawa untuk mempelancar
kemampuan-berbahasa-Jawanya, baik lisan maupun tulis. Bruckner berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahsa Jawa. Selain
menerjemahkan, dia juga menulis tatabahasa Jawa yang berjudul Proeve eener Javanaasche Spraakkunst. Buku tersebut
dicetak pada tahun 1930. Di dalam buku tersebut terdapat teks dan terjemahan
cerita Jawa dan beberapa surat dalam bahasa Jawa, sebagai bahan bacaan. Pada
tahun 1842 terbit pula kamus Bruckner yang berjudul Een Klein
Woordenboek der Hollandsche, Engelsche en avaansdie Talen.
Jika ditinjau dari segi ilmu bahasa, Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG) mempunyai kegiatan penting. Lembaga itu menyanggupi
akan menerbitkan terjemahan atau tulisan Bruckner
yang lain. Lembaga tersebut
berpendapat bahwa untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lain,
penerjemah harus memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang ilmu bahasa.
Ketetapan NBG itu menuntut para penyiar dan penerjemah Alkitab
yang akan dikirim ke Indonesia untuk memiliki pendidikan akademik yang memadai.
Dampak ketetapan itu muncul karangan ilmiah dari para penginjil mengenai
bahasa, sastra, dan kebudayaan Nusantara pada umumnya. Sebaliknya,
negara-negara jajahan Belanda memperoleh dampak positif dari ketetapan NBG tersebut.
Para penginjil membantu Pemerintah jajahan Belanda itu memberi pelajaran bahasa
secara ilmiah kepada para pegawai sipil Belanda yang memerlukan keahlian itu.
Pada tahun 1824 J.V.C. Gericke, seorang penginjil yang memenuhi persyaratan itu,
dikirim NBG untuk bertugas di Indonesia. Ia ditugaskan mengajar
dalam bidang bahasa Jawa. Dia dapat membantu pemerintah mengajarkan bahasa Jawa
kepada para pegawai negeri sipil Belanda. Dia mendesak Pemerintah Belanda untuk
membuka lembaga pendidikan (institut) bahasa Jawa. Pada tahun 1832 NBG mendirikanlembaga
tersebutdengannama Javaansclie
Instituut. Namun, tampaknya
lembaga itu sulit maju. Akhirnya, pada tahun 1834 lembaga itu ditutup.
Selain ke daerah berbahasa Jawa dan Melayu, NBG menugasi
penginjil ke daerah Kalimantan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
dan Kepulauan Nias. Selain menjalankan tugas dari NBG, mereka
juga mengadakan penelitian dan kajian ilmiah terhadap dokumen dan naskah
berbahasa daerah tersebut. Sebagai akibatnya, mereka mengakrabi naskah-naskah
Nusantara dan menghasilkan karangan ilmiah dalam bidang ilmu yang dikajinya
itu. Mereka dipercaya sebagai petugas yang mempunyai otoritas tentang
kebudayaan setempat. Beberapa orang terkenal di antara mereka adalah A. Hardeland (untuk
bahasa Dayak), H.N. van der
Tuuk (bahasa dan Bali), B.F. Matthes (bahasa
Bugis dan Makasar), G.j.
Grashuis, D. Koorders, dan
S. Coolsma (bahasa Sunda), serta L.E. Denninger (bahasa Nias).
Pada umumnya tenaga-tenaga yang dikirim NBG tidak
melakukan telaah filologis terhadap naskah yang dibaca dan dipelajari
bahasanya. Mereka sering menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa asing,
terutama bahasa Belanda. Karena ada etnis-etnis yang belum mengenai huruf,
etnis itu tidak memiliki dokumen tertulis (naskah). Sebagai akibatnya,.kebudayaannya
masih tersimpan secara lisan. Menurut teori filologi, sastra lisan termasuk
kajian f ilologi. Oleh sebab itu, ada di antara penginjil yang mengkaji sastra
lisan daerah yang didatanginya. N.
Adriani dan Knujt, misalnya,
menelaah sastra lisan Toraja.
3)
Kegiatan
Filologi terhadap Naskah Nusantara
Hadirnya tenaga
penginjil yang dikirim NBG
ke Indonesia dengan bekal ilmu
pengetahuan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan penelitian naskah
dari berbagai daerah Nusantara. Mula-mula mereka mempelajari naskah dengan
tujuan mengenai bahasanya untuk kepentingan penyiaran dan penerjemahan Alkitab.
Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat mengkaji naskah unttik memahami
isinya. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat menyuntingnya agar
naskah itu dapat diketahui kalangan yang lebih luas.
Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul pada
pengajar bahasa-bahasa Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon
pegawai sipil yang akan dikirim ke Indonesia. Calon pegawai itu perlu dibekali
pengetahuan dalam bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (hud, landen volkenkunde). Mimbar kuliah untuk program tersebut mula-mula
diadakan di KoninklijkeMilitaire
Academie (KNiA) di Breda dimulai
pada tahun 1836 dan di Delft pada tahun 1842. Di Akademi Breda diangkat Taco Roorda sebagai
guru besar dalam bahasa Melayu, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa Hindia
Belanda, sedangkan di Delft diangkat Roorda
van Eysinga. Akhirnya, program
tersebut dipindahkart ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Taco Roorda dikenai
sebagai orang yang berdedikasi tinggi dalam bidang penerjemahan Alkitab,
pendidikan kepangrehprajaan, dan ilmu pengetahuan murni.
Selain tenaga peneliti dari Belanda, banyak juga
tenaga peneliti dan ahli filologi yang berasal dari Inggris, seperti John Ijeyden, J. Logan, W. Marsden, Tlionws Stamford
Raffles, R.J. Wilkinson, R.O. Winstedt, j:
Crafurd, dan Sliellebear. Dari Jerman dapat dicatat nama Hans Overbeck.
Telaah ahli filologi terhadap naskah Nusantara
antara lam berbentuk penyuntingan dan/atau penganalisisan isinya. Pada larai
awal kajian filologi terutama berbentuk penyuntingan. Karena tenaga penyunting
vang masih sangat terbatas, kegiatan penyuntingan lebih banyak dilaknkan untuk
naskah Jawa dan Melayu. Basil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks
dalam huruf aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf pegon, atau huruf Jawi dengan
disertai Pengantar atau Pendahuluan secara singkat, tanpa analisis isinva,
Contoh suntingan seperti itu adalah suntingan
"Ramayana Kakawin" oleh H. Kern
(1800), "Syair Bidasari"
oleh Van Hoevell (1843), Geschiedenis
van Sri Rama oleh Roorda van Eysinga (1843), dan Een
Javaansche Geschnft uit de 16de Eeww oleh
J.G.H. Gunning. Suntingan taraf awal itu pada umumnya menggunakan
metode intuitif atau diplomatik.
Dalam
perkembangan kajian filologi selanjutm a, naskah itu disunting dalam bentuk
transliterasike dalam huruf Latin, seperti siuitingan "Wrettasantjaja" (1849), "Ardjoena
Wiwaha" (1850), dan "Bomakmvya" (1850). Ketiga naskah itu berbahasa Jawa Kuna dan
disunting oleh R.Th.A.
Friederich. Suntingan lainnya adalah
"Brata Joeda" (1850) oleh Cohen
Stuart. Selain itu, H.H. ]uynboll menghasilkan
beberapa suntingan teks Maliabharata
berjudul Adipanva, Oud-)avaansche Prozageschrift (1906 dengan transliterasi huruf Latin), dan
suntingan yang disertai terjemahan berjudul
DrieBoekenvanhetOud-JavaansclieMalmbliaratainKaivi-TeksenNederlandsclieVertaling
(1893).
Kegiatan ahli filologi taraf berikutnya ialah berupa
penyuntingan naskah dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama
bahasa Belanda. Hal itu antara lain-dilakukan oleh /. Kats dengan suntingannya berjudul Sang Hyang
Kamahcryanikan:Oud-JavaansdietekstmetInleiding, VertalingenAanteekeningen (1910) dan Poerbatjaraka
dengan suntingannya berjudul Arjuna-WiwaJui (1926).
Pada abad ke-20 penyuntingan naskah dilakukan dengan
disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris atau Belanda. Bahkan, yang
diterbitkan hanya berupa terjemahannya, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden
(1921), The Malay Annals oleh C.C Brown
(1952), dan Hikayat Hang Tuah oleh H.
Overbeck (1922).
Telaah filologis dengan metode kritik teks, yang
banyak dilakukan pada abad ke-20, menghasilkan suntingan yang lebih mantap
daripada suntingan sebelumnya. Terbitan jenis suntingan ini banyak yang
disertai terjemahan dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Penyuntingan
yang menggunakan pendekatan filologi tradisional itu antara lain dilakukan oleh
G.F. Pijper dengan suntingannya berjudul Het Boek der Duizend. Vragen (1924) yang bersumber pada naskah "Hikayat
Seribu Masalah"; A.
Teeuw dengan suntingannya
berjudul Shair Ken Tambuhan (1966); Siti
Hawa Saleh dengan suntingannya
berjudul Hikayat Merong
Mahazvangsa (1970); S. Supomo dengan
judul Arjunawijaya (1977); dan Haryati
Soebadio dengan judul ]nanasiddhanta (1971).
Pada abad ke-20 juga ada terbitan ulang naskah yang
pernah disunting sebelumnya dengan rujuan menyempurnakannya. Hal itu terbukti
dari adanya terbitan primbon Jawa yang berasal dari abad ke-16. Suntingan
pertama dilakukan oleh Gunning
(1881) dengan menggunakan metode
diplomatik dan pada tahun 1921 suntingan itu disunting lagi oleh H. Kraemer dengan
judul Een Javaansclie Primbon
uit de Zestiende Eeuw. Kemudian,
pada tahun 1954 suntingan Kraemer itu diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drewes dengan
judul yang sama. Naskah "Sunan Bonang" yang pada tahun 1916 disunting
oleh B.J.O. Schrieke dengan judul Het
Boek van Bonang, pada tahun 1969
suntingan itu diterbitkan lagi oleh Drewes dengan judul The Admonitions ofSeh Bari. Naskah "Wirataparwa" yang pada tahun 1892
diterbitkan oleh Juynboll, pada tahun 1938 diterbitkan lagi oleh Fokker dengan
judul Wiratapanva, Opnieuxv
Uitgegeven, Vertaalden Toegelicht. Demikianpula
Arjunawizualia yang pada tahun 1850 diterbitkan oleh Friederich,
pada tahun 1926 diterbitkan lagi oleh Poerbatjaraka dengan judul Arjunawiwaha.
Pada abad ke-20 juga diterbitkan naskah-naskah
keagamaan, baik naskah Melayu maupun naskah Jawa, sehingga isinya dapat dikaji
oleh ahli teologi dan sebagainya sehingga mereka menghasilkan karya ilmiah
dalam bidang tersebut. Naskah-naskah keagamaan itu lazim disebut sastra kitab.
Kajian seperti itu antara lain dilakukan oleh Naguib al-Attas tentang karya Hamzah Fansuri. Dengan menggunakan
metode kritik teks ia menghasilkan karya ilmiah berjudul The Misticmn ofHamzah Fansuri (1970).
Berdasarkan beberapa naskah yang anonim A. Jones berhasil
menyunting naskah-naskah tersebut dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris
dengan diberi judul Malay
Mysticism (1957) • Selanjutnya,
berdasarkan naskah "Serat Cabolek" S. Soebardi berhasil
menyusun buku dengan judul The
Boek ofCabplek (1975).
Selain naskah yang telah diuraikan di atas, naskah
yang berisi teks sejarah juga telah banyak yang disunting dan dimanfaatkan oleh
ahli sejarah. Di antara ahli sejarah itu ialah (1) Teuku
Iskandar yang menghasilkan
karangan berjudul De Flikajal
Atjeh (1959) berdasarkan
naskah "Hikayat Aceh"; (2) Floesen
Djajadiningrat yang
menghasilkan buku berjudul Critische
eschoulving van de Sadjarah Banten (1913)
berdasarkan naskah "Babad Banten"; (3) J.J. Ras yang
menghasilkan buku berjudul Hikajat
Bandjar (1968) berdasarkan
naskah sejarah yang berasal dari suatu kerajaan di Kalimantan; dan (4) P.J. Worsley yang
menghasilkan kajian berjudul Babad
Buleieng berdasarkan naskah
sejarah dari Bali. Semua suntingan teks itu menggunakan pendekatan kritik teks.
Selain menerbitkan suntingan naskah, kegiatan
filologi lairmya adalah menelaah naskah/teks untuk mengungkap isinya ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu. Para peneliti naskah itu antara lain, sebagai
berikut.
(1)
C.A.O.
van Nhiwehuijze dengan telaahnya
berjudul Samsuddin van Pasai (1945) berdasarkan naskah-naskah karya Syamsuddin,
seorang ulama tasawuf di Aceh.
(2)
Doorenbos
dengan kajiannya berjudul De Geschriften van Hamzah Fansoeri (1933) berdasarkan naskah karya Hamzah Fansuri,
seorang ulama tasawuf di Aceh.
(3)
P.J.
van Leeuwen dengan kajiannya
berjudul Dc Maleische
Alexanderroman (1937)
berdasarkan naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain".
(4)
Ph.S.
van Ronkel dengan telaahnya
berjudul De R.oman van Amir
Hamzah berdasarkan naskah
"Hikayat Amir Hamzah".
(5)
W.H.
Rassers dengan kajiannya
berjudul De Panji Roman berdasarkan naskah-naskah Panji Nusantara.
Telaah filologi
terhadap naskah Iain—selain naskah Jawa dan Melayu—juga telah dilakukan, baik
oleh orang asing (Belanda) maupun oleh orang pribumi.
(1)
H.T.
Damste yang menghasilkan
tulisan berjudul Hikayat Perang
Sabil (1928) berdasarkan
naskah yang dituiis dalam bahasa Aceh.
(2)
H.K.J.
Cowan yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Malem Dagang (1937) juga berdasarkan naskah berbahasa Aceh. Kedua
suntingan itu berupa transliterasi disertai terjemahannya dalam bahasa Belanda.
(3)
F.S.
Eringa menyunting naskah
berbahasaSundayangmenghasilkansuntingan berjudul Loetoeng Kasaroeng: Een Mytologish Verhaal uit
West-Java (1949).
(4)
Edi
S. Ekadjati menghasilkan suntingan
berjudul Cento Dipati Ukur (1978) berdasarkan naskah sejarah tradisional
berbahasa Sunda.
(5)
Hermansumantri
menghasilkan suntingan berjudul Sejarah Sukapura berdasarkan naskah sejarah tradisional berbahasa
Sunda.
(6)
J. Noorduyn
menghasilkan suntingan berjudul Een Acht tiende Eeuwse Kroniekvan Wadjo (1955) berdasarkan naskah-naskah Bugis.
(7)
Vreede
menghasilkan suntingan dengan
menggunakan edisi diplomatik yang berjudul Tjarita Brakaj berdasarkan naskah berbahasa Madura. Sebagian cerita
itu diterje mahkan oleh Teeuw ke dalam bahasa Belanda dengan judul Fragment uit Tjarita Brakaj yang diterbitkan dalam Letterkunde van de Indische Archipel suntingan /.
Gonda (1947).
Pada periode
mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis
berdasarkan ilmu sastra (Barat). Telaah naskah secara mendalam itu umumnya
berupa disertasi atau tesis Program Pascasarjana di berbagai fakultas sastra.
Para peneliti naskah itu antara lain sebagai berikut,
(1)
Achadiati
Ikram dengan kajiannya
berjudul Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (disertasi,
1980);
(2)
Sulastin
Su trisno dengan kajiannya
berjudul Hikayat Hang Tuah: A
nalisis struktur dan Fungsi (disertasi,
1979); ^
(3)
Worsley
dengan telaahnya berjudul Babad Buleleng (1972);
(4)
Ras
dengan telaahnya berjudul Hikajat Bandjar (1968);
(5)
Brakel
dengan telaahnya berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975).
Pada dekade berikutnya penelitian dilakukan dengan
menggunakan analisis inter teks tual atau resepsi.
(1)
HendrikM.JanMaier
melakukan anahsisintertekstual
terhadap naskah "Hikayat
Merong Mahawangsa" dengan
judul Fragment of Reading:
Tlte Malay Hikayat Merong Maliawangsa (1985).
(2)
I
Kuntara Wiryanviftana melakukan analisis resepsi terhadap naskah
"Arjunawiwaha'' dengan judul Arjunawiwalia;
Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat
Tanggapan dan Penciptaan di
Lingkungan Sastra }awa (1987).
(3)
Siti
Chamamah Soeratno melakukan
penelitian terhadap naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain" dengan
pendekatan resepsi dan menghasilkan kajian berjudul Hikayat Iskandar
Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi
(1988).
(4)
Imran
Teuku Abdullah yang melakukan
penelitian terhadap naskah "Hikayat Meukeuta Alam" dan menghasilkan
karya berjudul Hikayat Meukeuta
Alam: Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Resepsinya (198?).
Dengan telah
diketahuinya sejumlah naskah Nusantara dan telah tersedia teks suntingaonya,
kemungkinan untuk menyusun sejarah sastra Nusantara atau sejarah sastra daerah
makin terbuka. Itulah sebabnya, sejak tahun 1940-an terbitlah buku-buku sejarah
sastra seperti berikut. (1) A
History of Malay Literature (1940)
oleh Winstedt; (2) Letterkunde van de
Indische Archipel (1947) oleh
Gonda; (3) Over Maleise Literatur (1947) oleh Hooykaas; dan (4) Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik (1982) oleh Liaw Yock Fang.
Dengan
terpeliharanya naskah dan tersedianya suntingan naskah Musantara, minat untuk
menyusun kamus berbagai bahasa daerah Nusantara juga makin terbuka. Sejak abad
ke-19 telah terbit beberapa kamus bahasa Jawa oleh tenaga penginjil yang
dikirim NBG ke Indonesia. Para penyusun kamus Jawa Kuna-Belanda atau Jawa
Kuna-Inggris itu adalah sebagai'berikut.
(1)
Van
der Tuuk dengan kamusnya
berjudul Kawi-Balineesch-Nederlandsch
Woordenboek (1897,1912).
(2)
H.}I.
Juynboll dengan kamusnya
berjudul Old-Javaansch-Nederlandsch
Woordenlijst (1923);
(3)
P.J.
Zoetmulder dengan kamusnya
berjudul Old-Java-nesch-English
Dictionary
(1982). .
Selain itu, ada
juga kamus bahasa Melayu-Belanda atau Melayu Inggris yang disu su n oleh
peneliti berikut.
(1)
H. C. Klinkert dengan kamusnya berjudul Niewo Maleish-Nederlandsch Worrdenboek (1947);
(2)
R.J. Wilkinson dengan kamusnya berjudul A Malay-English Dictionary (1959);
Kamus bahasa
Jawa-Belanda disusun oleh Gericke dan Roorda
dengan judul Javaansch-Nederlandsch Handxvoordenboek (1901). Terakhir kamus bahasa Madura-Belanda disusun
oleh H.N. Kiliaan dengan judul Madoereesch-Nederlandsch
Woordenboek (1904-1905).
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda tentang
uraian dalam modul ini, kerjakan latihan-latihan berikut!
1.
Di
kawasan Asia, studi filologi banyak dilakukan di India! Jelaskan!
2.
Tersebarnya
naskah-naskah Nusantara ke Eropa dilakukan oleh para pedagang Barat. Jelaskan!
3.
Dikenalnya
naskah-naskah Melayu oleh bangsa Eropa sejalan dengan tugas misionaris yang
diemban para penginjil. Jelaskan!
Petunjuk
Jawaban Latihan
Jika Anda telah
menyelesaikan latihan itu, cocokkan hasil latihan Anda dengan rambu-rambu
berikut!
1. Bangsa India sangat kaya dengan dokumen
kebudayaannya, terutama naskah yang berupa kitab suci, baik kitab suci agama
Hindu, "Weda", maupun kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan
"Upanisad" dan naskah eerita, seperti "Mahabharata",
"Ramayana", "Harsacarita", "Buddhacarita",
"Pancatantra", "Sukasaptati", dan "Hitopadesa". Dokumen
budaya yang adiluhung itu telah menarik perhatian kaum filolog berba gai bangsa
di kawasan Asia, terutama dari Cina dan Persi.
2. Para pedagang Barat menganggap bahwa
naskah-naskah Nusantara merupakan
baramg daganganyang mendatangkan untung besar, sebagaimana yang terdapat
di Eropa atau di Timur Tengah. Karena adanya dugaan itu, mereka membeli dan
mengoleksi naskah-naskah itu, lalu membawanya ke Eropa dan menjualnya
kepada lembaga atau perseorangan yang mengoleksi naskah lama.
baramg daganganyang mendatangkan untung besar, sebagaimana yang terdapat
di Eropa atau di Timur Tengah. Karena adanya dugaan itu, mereka membeli dan
mengoleksi naskah-naskah itu, lalu membawanya ke Eropa dan menjualnya
kepada lembaga atau perseorangan yang mengoleksi naskah lama.
3, Untuk mempermudah penyebaran agama Kristen, para
pendeta harus
menerjemahkan kitab sucinya, Beibel, ke dalam bahasa Melayu. Untuk memenuhi
tugas itu, para penginjil harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya
dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangannya
dalam bahasa Melayu pula.
menerjemahkan kitab sucinya, Beibel, ke dalam bahasa Melayu. Untuk memenuhi
tugas itu, para penginjil harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya
dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangannya
dalam bahasa Melayu pula.
Studi/kajian
filologi di kawasan Asia oleh orang Barat dimulai setelah terbukanya jalan laut
dari Eropa ke India. Telaah filologis tersebut berkembang dengan pesat di India
karena naskah-naskah klasik India, terutama kitab suci Hindu '' Weda" dan
kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" telah
menarik perhatian mereka.
Minat meneliti naskah-naskah Nusantara dirintis oleh
para penginjil berkebangsaan Belanda. Tenaga penyiar dan penerjemah Alkitab
yang dikirim NBG ke Nusantara harus berbekal pengetahuan banasa.
Untuk mengenai bahasa-bahasa di Nusantara, mereka lakukan dengan menelaah
naskah-naskah dari herbagai daerah Nusantara. Setelah mertguasai bahasa daerah
tersebut, mereka memulai missinya, yaitu menyiaricanajaran Alkitab kepada
penduduk setempat. Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul di kalangan
pengajar bahasa Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai
yang akan dikiriict Ke Indonesia. Calon pegawai itu harus dibekali dengan
pengetahuan di bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (taal, landen volkenkunde). untuk memperdalam pengetahuan bahasa Nusantara itu, mereka terpaksa
menelaah naskah-naskah Nusantara yang mereka peroleh dari pengoleksi naskah
Nusantara.
Telaah fiWogis yang objeknya naskah-naskah Nusantara
ternyata dapat mendorong adanya berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi disiplin ilmu lain, terutama
ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan tujuan
studi filologi, yaitu melalui telaah naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan
dapat mengangkat nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar