BAB IV
KODIKOLOGI
Pengertian Kodikologi, Tempat Penyimpanan, Alas,
Umur, Penulisan dan Penyalinan Naskah, serta Iluminasi dan Ilustrasi.
1.
Pengertian Kodikologi
Sudah sama-sama kita ketahui bahwa kebudayaan nenek
moyang kita masa lampau yang bernilai luhur terekam dalam berbagai cerita
rakyat yang disebarluaskan dari mulut ke mulut. Kini cerita rakyat itu telah
direkam dan dipublikasikan di berbagai media massa (buku, majalah, surat kabar)
dan elektronik (kaset, radio, televisi, film). Selain cerita lisan, ada juga
warisan budaya nenek moyang yang berupa naskah yang bentuk dan ragamny a
bermacam-macam. Naskah-naskah itu tersebar di seluruh Indonesia dan ditulis
dalam berbagai bahasa dan huruf daerah.
Isi naskah itu juga bermacam-macam: ada cerita
pelipur lara, cerita tentang sejarah, cerita keagamaan (kepercayaan), cerita
yang mengandung ajaran, pengetahuan tentang obat-obatan, mantra, dan lain-lain.
Kandungan (segi batin) naskah yang bermacam-macam itu merupakan lahan garapan
ilmu filologi. Sebaliknya, segi fisik naskah yang beraneka bentuk dan ragamnya
itu merupakan lahan garapan ilmu pernaskahan atau kodikologi. Dalam upava
penvusunan karya ilmiah mengenai hasil sastra lama, ilmu filologi dan
kodikologi itu sangat diperlukan.
Apakah yang dimaksud dengan kodikologi itu?
Kodikologi berasal
dari kata Latin codex (bentuk tunggal; bentuk jamaknya codices). Dalam
bahasa Indonesia kata codex
itu diterjemahkan dengan 'naskah'.
Dalam bahasa Latin, dahulu, kata codex atau
caudex herarti' teras batang pohon'. Itulah sebabnya, kata codex bertalian
dengan pemanf aatan kayu sebagai alas untuk menulis. Dalam perkembangannya kata
codex kemudian dipakai sebagai padanan istilah naskah. Menurut
Robson, dalam bukunya Prinsip-Prinsip
Filologi Indonesia, kodikologi
dapat diartikan sebagai 'pelajaran naskah'. Baried (1994: 56) dalam bukunya Pengantar Teori Filologi menyatakan sebagai berikut.
Kodikologiialah
ilmu kodeks. Kodeks adalahbahan tulisan tangan atau menurut The New Oxford Dictionary (1928) berarti manuscript volume, esp of ancient texts 'gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari
teks-teks kuno'. Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah,
antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.
Siapakah yang
pertama kali menggunakan istilah kodikologi itu?
Jos M.M. Hermans dan
Gerda
C. Huisman dalam bukunya berjudul De Descriptione Codicum (1979/1980) menyatakanbahwa istilah codicologie mula-mula
diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa Yunarti, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah itu dikenal di
kalangan yang lebih luas melalui karyanya Les Manuscrits yang diterbitkan pada tahun 1949.
Alphonse Dain menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai
naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis dalam naskah.
Dijelaskannya pula walaupun istilah kodikologi itu baru, ilmu kodikologi
bukanlah ilmu baru.
Selanjutnya, Alphonse
Dain menyatakan bahwa tugas
dan lingkup kodikologi meliputi sejarah naskah, koleksi naskah, penelitian
mengenai tempat penyimpanan naskah yang asli, penyusunan katalog, penyusunan
daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Selain naskah,
istilah lain yang sering digunakan
ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata
manuscriptberasal dariungkapan Latincodicesmanu scripti yang berarti 'buku-buku yang ditulis dengan tangan'.
Kata manu berasal dari manus
yang berarti 'tangan' dan scriptusx berasal
dari scribere yang berarti 'menulis'.
Dalam bahasa Belanda digunakan istilah handscrift, dalam
bahasa Jerman Handscrift, dan dalam bahasa Prancis manuscrit. Dalam
berbagai katalogus, istilah manuscript
atau manuscrit (keduanya
bentuk tunggal) biasanya disingkat menjadi MS, sedangkan
istilah manuscripts atau manuscrits
(keduanya bentuk jamak) disingkat
menjadi MSS. Istilah handscrift
atau Handschrift disingkat
menjadi HS dan istilah handschriften
atau Handschriften (bentuk
jamak) disingkat menjadi HSS.
Di dalam bahasa Malaysia istilah nasklmh lebih
luas digunakan daripada istilah manuskrip.
Demikian pula halnya dalam bahasa
Indonesia; istilah naskah
(dalam pengertian codex) lebih
banyak dipakai daripada istilah manuskrip.Kata naskah
tidak perlu disingkat karena sudah
singkat. Berdasarkan uraian makna kata di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
kodikologi ialah ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan.
Dewasa ini kata naskah sering
juga digunakan dalam pengertian yang berbeda, sebagaimana terdapat dalam
gabungan kata naskah pidato,
naskah siaran radio, naskah perjanjian, naskah undang-undang, dan naskah
kerja sama. Kata naskah dalam
gabungan kata itu sama maknanya dengan kata teks sehingga
gabungan kata itu dapat diganti menjadi teks
pidato, teks siaran radio, teks perjanjian, teks undang-undang, dan teks
kerja sama.
Dalam kodikologi—juga filologi—harus dibedakan
penggunaan istilah naskah
dan teks. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa teks
ialah isi atau kandungan naskah,
apa yang tertulis, sedangkan naskah
ialah wujud fisiknya.
Jika kita
berbicara tentang pernaskahan, unsur-unsur apa saja yang dapat kita ketahui?
Banyak hal yang dapat kita bicarakan sehubungan
dengan pernaskahan itu, antara lain tempat penyimpanan naskah, alas naskah dan
cap kertas, umur (daya tahan naskah), penulisan dan penyalinan naskah, serta
iluminasi dan ilustrasi, sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.
Tempat Penyimpanan Naskah
Daerah-daerah mana saja yang memiliki dan menyimpan
naskah Nusantara? Karena naskah merupakan warisan tertulis, secara sederhana,
jawabnya adalah daerah-daerah atau kawasan yang memiliki huruf daerah. Selain
kawasan yang mempunyai huruf daerah, ada juga daerah yang mewariskan budaya
lewat aksara Arab. Daerah-daerah tersebut juga merupakan sumber naskah atau
tempat penyimpan naskah.
Di kawasan Sumatra, naskah kita dapati di daerah
Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau (termasuk Kepulauan Lingga dan Singkep),
Siak, Palembang, Rejang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di kawasan Kalimantan
naskah-naskah berasal dari daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di
wilayah Jawa, naskah-naskah terdapat di daerah Banten, Jakarta, Pasundan,
Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Brebes, Gresik, Madura, dan daerah pegunungan
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Bali naskah dapat ditemukan di seluruh
wilayah karena sampai sekarang masih terus diproduksi. Di wilayah Sulawesi
naskah dapat ditemukan di daerah Bugis, Makasar, Buton, dan Kendari. Di wilayah
Nusa Tenggara Barat naskah terdapat di daerah Lombok, Sumbawa, Bima, dan Dompo.
Di w ilayah Indonesia Bagian Timur naskah terdapat di daerah Ternate dan
Maluku.
Di mana saja naskah-naskah Nusantara itu disimpan?
Pada masa sekarang ini tempat penyimpanan naskah—
rang ditulis dalam berbagai huruf dan bahasa daerah — terlengkap adalah
Perpustakaan Nasional, Jakarta. Kekayaan naskah di Perpustakaan Nasional
berjumlah sekitar 10.000 yang tertulis dalam bahasa Aceh, Bah, Batak, Bugis,
Makasar, Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Jawa Baru, Madura, Melayu, Sunda, dan
Ternate. Sebagian besar naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu
merupakan pindahan dari Museum Nasional (1989)
Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional
itu mulai dihimpun kira-kira dua abad yang lalu oleh suatu lembaga yang bernama
Bataviaasch Genootschup van Kunsten
en Wetenschappen yang didirikan
pada tahun 1778. Pada tahun 1923 lembaga ini berubah naraa menjadi Koninklijk Bataviaasch Genoootschap van Kunsten en
Wetenschappen (KBG). Setelah
Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1968, badan tersebut diubah namahya
menjadi Museum Pusat Kebudayaan Indonesia dan pada tahun 1975 menjadi Museum
Nasional.
Selain Perpustakaan Nasional, banyak juga tempat
penyimpanan naskah Nusantara yang lain, yang berupa museum, pesantren, yayasan,
pemerintah daerah, masjid, perpustakaan universitas, dan istana.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, naskah
Nusantara ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Meskipun naskah itu terdapat di
tempat yang sama dan berasal dari daerah yang sama, bahasa yang digunakan di
dalamnya bermacam-macam. Misalnya, naskah yang terdapat di daerah Aceh atau
yang berasal dari Aceh ada yang berbahasa Aceh dan ada juga yang berbahasa
Melayu. Di samping itu, mungkin juga ada tempat-tempat khusus yang menyimpan
naskah berbahasa daerah yang bersangkutan saja.
Selain Perpustakaan Nasional, tempat-tempat lain
yang menyimpan naskah Jawa, misalnya, ialah Kasultanan Yogyakarta, Pura
Pakualaman Yogyakarta, Keraton Surakarta, museum-museum di Yogyakarta dan
Surakarta, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan
Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, Griya Dewantara Yogyakarta, Proyek
Javanologi Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Universitas Negeri Banyuwangi dan
Sumenep. Selain itu, Gedong Kirtya di Singaraja juga menyimpan naskah-naskah
Jawa Kuno dan Jawa Tengahan.
Dalam Katalog
Naskah Aneka bahasa Koleksi Museum Nasional susunan Jumsari Jusuf et at (1984)
dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipakai dalam naskah-naskah itu
antara lain bahasa Aceh, Batak Toba, Batak Mandailing, Lubu (daerah
Mandailing), Rejang, Lampung, Minangkabau, Madura, Jawa (Jawa Kuno, Jawa
Tengahan), Bali, Sumbawa, Sasak, Rotti, Ende, Timor, Manggarai, Banjar, Pantu
Dayak, Kenya-Dayak, Lapo-Tau, Apau-Kayan, Sangir (Sangihe), Taumbulu, Tonsea,
Tontemboan, Bolaang-Mongondow, Alfuru, Ternate, Gorontalo, Mori, Baree, Bungku,
Bugis, Makasar, Muna, Tolaki (daerah Sulawesi Tenggara), Ambon, Moa, Biak,
Kamrau, dan Kapam.
Berdasarkan Katalog
Koleksi Naskah Maluku (1980)
susunan Jumsari Jusuf et
al. bahasa-bahasa yang
digunakan dalam naskah Maluku antara lain bahasa Kei, Serong/Alifuru, Luang,
Serum, Tuhiti, Masarete, Bum, Sula, Lett, Wetar, dan Ternate.
Selain bahasa, huruf yang digunakan untuk menuliskan
teks dalam naskah Nusantara itu juga bermacam-macam. Sebagaimana dinyatakan
Voorhoeve, di daerah Ke rinci banyak dokumen yang ditulis dengan huruf rencong,
yang digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Dinyatakannya juga bahwa huruf
rencong yang dipakai di daerah Kerinci itu berbeda dengan huruf rencong yang digunakan
di daerah Rejang, Melayu Tengah (yang disebut huruf Ka*Ga-Nga) dan Lampung.
Teks-teks di daefah Rejang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf
Ka-Ga-Nga, Arab, dan Romawi. (Lihat macam-macam huruf yang digunakan di
Nusantara pada Modul 3).
Huruf daerah lain yang dipakai
dalarn penulisan naskah adalah huruf Sunda, Jawa, Bah, Sasak, Bima, Ende,
Madura, Bugis, dan Makassar. Huruf Bugis dipakai juga untuk menuliskan bahasa
Sumbawa dan bahasa Bima pada masa lampau.
Menurut Ekadjati et al. (1988),
naskah Sunda ada yang ditulis dengan huruf Sunda Kuna, huruf Jawa-Sunda, huruf
Arab, dan huruf Latin. Paling banyak naskah Sunda yang ditulis dengan huruf
Arab.
Sejak agama Islam tersebar di Nusantara—kira-kira
akhir abad ke-13 —huruf Arab malai digunakan di Nusantara. Huruf Arab itu tidak
hanya digunakan untuk menuiiskan teks berbahasa Arab, tetapi juga untuk menuliskan
teks berbahasa daerah. Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan teks
berbahasa Melayu disebut huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi. Naskah seperti itu
berasal dari Aceh, Riau, Minangkabau, Jakarta, Pontianak, Sambas, Banjarmasin,
Buton, Makasar, Bima, Dorrtpu, SumabaWa, Ternate, dan Ambon.
3. Alas
Naskah
Yang dimaksud dengan alas
naskah—disebut juga bahan naskah — ialah sesuatu yang dipakai untuk menuliskan
teks sehingga terbentuk suatu naskah. Albertine Gaur, sebagaimana dikutip
Mulyadi (1994:44),, menyatakan bahwa pada masa lampau di seantero dunia tulisan-tulisan
diabadikan dalam berbagai benda, seperti bambu (di Cina), daun palma (di India
dan Asia Tenggara), batu bata yang terbuat dari tanah hat (claybricks di
Mesopotamia, papirus (di Mesir), baja, linen, velum (vellum), sutera,
perkamen {parchment di Iran), dan kertas (Eropa). Selain itu, ada juga
bahan lain seperti batu, batu-batuan berharga, kulit kura-kura, tulang, gading,
dan kain (baju).
Dalam kegiatan Workshop on Southeast Asian Manuscripts di Perpustakaan Universitas Leiden pada bulan
Desember1992 digelar pameran "dunia naskah". Dalam pameranitu
terdapatnaskah-naskahyangalasnya bermacam-macam, seperti perak dan gading
(naskah Bima), sutera (naskah Cina), kain (cloth, naskah
India Barat dan Birma), ternbaga (naskah India Selatan), dan kulit binatang
(naskah lbraru).
Menurut jumsari Jusuf 'yang
dikutip Mulyadi (1994:44), naskah-naskah di Indonesia menggunakan
alas atau bahan dari kertas daluwang (dhavang),
daun lontar, daun nipah, kulit
kayu, bambu, dan fotan. Pada waktu dahulu sebagian tulisan diabadikan pada
tonggak batu, lempengan ternbaga atau emas (biasanya disebut prasasti). Karena
bahan lontar, bambu, nipah, dan kulit kayu mudah rapuh, tulisan-tulisan yang
terdapat dalam bahan itu kemudian disalin kembali pada kertas.
Selainbahan-bahan tersebut,naskah-naskah
Jawa Barat ada y ang menggunakan alas janur, daun enau, dan daun pandan. Dluwang, deluwang, atau daluwang
ialah jenis kertas yang dibuat dari
kayu sebagai campuran. Dahulu dluwang
banyak dibuat di pesantren
Tegalsari, PonOrogo.
Selain dluwang, alas
naskah lain yang banyak dipakai ialah daun
lontar. Sampai sekarang daun
lontar masih dipakai untuk menuliskan teks-teks di daerah Bali dan
Lombok. Daun.
lontar juga. digunakan dalam naskah Kerinci. Pemilik naskah Kerinci menyebut
daun lontar itu dengan istilah kelopak
betiing.
Sampai abad ke-20 daun lontar masih dipakai untuk
alas naskah Jawa Timur dan Madura. Di. Banyuwangi, Jawa Timur, kegiatan macaan yang
berarti 'membaca lontar', dalam hal ini Lon
tar Yusup, dinamakart Ion tar an. Lontaran
biasanya dilakukan dalam kaitan dengan upacara nujuh bulan, kelahiran,
khitanan, perkawinan, atau untuk memenuhi nazar. Biasanya lontaran itu
dilakukan semalam suntuk. Kata lontar
dalam Lontar Yusup tidaklah
berarti alas naskah yang dipakai untuk menuliskan riwayat Nabi Yusuf, tetapi
berarti 'naskah (manuscript)' atau 'karya sastra (literary work)' karena naskah tersebut ditulis pada kertas dengan
huruf pegon). Dengan demikian, kata lon
tar di daerah Banyuwangi
sudah mengalami pergeseran makna.
Bahan lain yang dijadikan alas naskah adalah daun
nipah. Naskah-naskah Sunda (Jawa Barat) menggunakan daun nipah sebagai alasnya.
Kulit kayu terutama
dipakai sebagai alas naskah Batak.Naskah Batak yang lebih dikenal dengan
istilah pustaha ialah naskah (semacam buku) dari kulit kayu yang
dilipat-lipat seperti akordeon. Isinya antara lain berupa doa, petunjuk membuat
obat, dan cara menolak bala.
Kulitkayu yang dimanfaatkan sebagai alas naskah
tidak hanya terdapat dalam naskah Batak, tetapi juga dalam naskah berhuruf
rencong. Bahkan, ada juga surat untuk pejabat Belanda di Singkel yang ditulis
pada kulit kayu. Di samping itu, kulit kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan mentah pembuat kertas.
Selain kulit kayu, bambu juga telah dimanfaatkan
para penulis/penyalin teks sebagai alas naskah. Bentuknya bermacam-macam: ada
yang berbentuk bulatan— sekitar 1 sampai 5 r,uas, ada yang setengah bulatan,
dan ada yang pipih.
Rotan ternyata telah dipakai juga sebagai alas
naskah. Rotan yang dijadikan sebagai alas naskah itu biasanya berbentuk bulat
dan panjang.
Selain daun lontar, alas naskah Kerinci juga ada
yang menggunakan bahan lain, seperti tanduk (kerbau), bambu, kulit kayu,
telapak gajah, daluwang, dan kertas. Pemakaian telapak gajah sebagai alas
naskah hanya dijumpai pada naskah Kerinci. Bentuk dokumen (naskah) itu segi
empat.
Ada juga yang menyatakan bahwa batok kelapa dan
batang tebu pernah dipakai sebagai alas naskah. Selain itu, untuk menuliskan
teks Sunda, digunakan pula alas naskah lain, yaitu daun kelapa muda (janur),
daun enau, dan daun pandan, di samping daun lontar, nipah, daluwang, dan
kertas.
Seba gaimana kita ketahui, naskah-naskah Nusantara
yang sampai kepada kita, umumnya ditulis di atas kertas, yang jenis dan
warnanya berbeda-beda. Ada kertas yang berwarna putih polos, biru muda, dan ada
yang bergaris (horisontal atau garis kombinasi, horisontal dan vertikal).
Ukurannya juga bermacam-macam, ada yang berukuran oktavo, kuarto, ataupun
folio.
Sejak kapan kertas dikenal umat manusia?
Berdasarkan catatan Albertine Gaur dalam bukunya berjudul Writing Materials of the Last (1979:4),
hampir semua penemuan yang berhubungan dengan tulis-menu]is, seperti
percetakan, pembuatan kertas, nelum, perkamen, tinta, pena, seni penjilidan
buku, dan berbagai aspek mengenai ilustrasi buku berasal dari Asia dan Afrika.
Kertas merupakan ciptaan orang Cina yang bernama Thsai Lun, seorang
menteri pada zaman Pemerintahan
Kaisar Wu Di dari
Dinasti Han pada tahun 105. Pada masa
itu kertas menggantikan sutera sebagai alas tulis.
Dijelaskanya bahwa selama 600 tahun
pertama, setelah penemuannya, kertas hanya dikenal di Cina. Cara pembuatanny a
sangat dirahasiakan dan industri kertas dianggap sebagai monopoli pemerintah.
Dikemukakanny a juga bahwa pada tahun 751 Samarkandia
yang diperintah seorang gubernur
musiim diserang pasukan Cina. Sebanyak 20.000 orang tentara Cina tertawan.
Beberapa orang di antaranya adalah ahli pembuat kertas. Entah karena paksaan
atau karena kerelaan akhirnya rahasia mengenai keahlian mereka dalam pembuatan
kertas itu dapat terbongkar dan dimanfaatkan masyarakat Samarkand ia. Selama
100 tahun kertas Samarkandia menjadi bahan ekspor penting sebagai kertas Cina.
Lambat laun pengetahuan dan teknik
pembuatan kertas menyebar sampai ke Timur Tengah sehingga muncullah
pabrik-pabrik kertas di Bagdad, Damsik, dan Kairo. Pada abad ke-12 pembuatan
kertas sudah sampai ke Spanyol danSisilia. Pada abad ke-13 kertas sampai ke
India.
IV lenurut H. Voorn dalam
bukunya De Pamermolens in de
Provincie Noord-Holland (1960
;3), batu, tanah liat, kayu, dan daun-daunan pernah dimanfaatkan sebagai alat
tulis sebelum adanya kertas. Di Cina sutera dan bambu pernah dipakai sebagai
alat kores pondettsi dan administrasi sebelum adanya kertas. Pada tahun 610
Korea dan Jepang mulai membuat kertas.
Dijelaskannya pula bahwa tidak lama
sesudah terjadi peperangan pada tahun 751 antara pasukan Cina dan pasukan Arab
di Turkestan dan sesudah para pembuat kertas yang menjadi tawanan perang
dipekerjakan, pembuatan kertas mulai berkembang di negeri-negeri Arab, terutama
di Bagdad, Damaskus, dan tripolis. Sekitar tahun 1100 didirikan pabrik kertas
di Fez. Pada awal abad ke-12 pembuatan kertas telah berkembang di Spanyol.
Agaknya, dari Spanyol kertas meluas sampai ke Itali dan pada tahun 1296 telah
dibangun pabrik kertas pertama di Itali, yaitu pabrik kertas Fahriano. Pada
tahun 1338 dibangun pula pabrik kertas di Troyes dan Pranci; 5, pada tahun 1398
di Nurenbefg, jerman, dan pada tahun 1428 di Gennep, Belanda.
Bagaimana kertas masuk ke Indonesia
dan mulai kapan kertas digunakan untuk menulis naskah
di Indonesia?
Penerintah Flindia Belanda dan
dunia perdagangan, terutama, mempergunakan kertas dari negeri Belanda untuk
keperluan administrasi dan surat-menyurat. Impor kertas dari negara-negara lain
tidak banyak. Sri VVulan Rujiati Mulyadi (1994:61) menyatakan
bahwa berdasarkan penektiannya terhadap naskah-naskah Nusantara, jenis kertas
yang dimanfaatkan dalam alas naskah Nusantara adalah kertas buatan. Inggris,
Italia, Jerman, dan Singapura.
Sebelum zaman VOC, ada bermacam-macam kertas yang
dipakai di Indonesia, yaitu kertas buatan Italia, Francis, Spanyol, dan
Portugis. Pada zaman VOC ada tiga arus lalu lintas kertas ke Indonesia, yaitu
dari Belanda, dari Inggris, terutama ke Malaysia, dan dari Itali sebelah timur
laut, termasuk Kerajaan Austria. Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan khusus mengenai impor kertas sehingga sangat menopang
kelanjutan hidup pabrik-pabrik kertas di negeri Belanda. Pada tahun 1862 pemerintah
Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan lembaga-lembaga
pemerintahan memakai kertas Pro-Patria buatan Belanda. Pada tahun 1874
peraturan mengenai impor kertas ditarik kembali.
Pemerintah Hindia Belanda juga memakai kertas khusus
untuk keperluan surat-menyurat yang ditujukan kepada orang-orang penting di
Indonesia dan di "timur jauh". Sebagai contoh, sesudah Bantam
dikalahkan, yaitu pada tanggal 6 Maret: 1682 Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia
Belanda mengirimkan surat kepada Sultan Sepuh dan Sultan Kanoman yang ditulis
di atas kertas "Zurat" berper ada emas. Kertas "Zurat" itu
berasal dari Surate, sebuah kota di daerah pantai India. Pada tahun 1663 para
penguasa VOC (Verenigne
Oost-Indische Compagnie) berencana
untuk membuat pabrik kertas di Batavia (sekarang Jakarta) dan pabrik tersebut
telah siap pada tahun 1665. Selain mendirikan pabrik kertas, VOC juga
mendirikan percetakan. Kedua usaha itu kurang berhasil. Pada akhir tahun 1682
penguasa VOC memutuskan untuk menghentikan kegiatannya karena kedua bidang
usaha itu selalu rugi.
4.
Deluwang Saeh
Di muka telah dinyatakan bahwa selain kertas Eropa,
alas naskah Nusantara juga menggunakan deluwang,
yaitu sejenis kertas yang dibuat
secara tradisional dari kulit kayu. Sampai saat ini deluwang masih
diproduksi, antara lain di daerah Garut (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah),
dan Ponorogo (Jawa Timur). Berikut ini akan diuraikan cara pembuatan kertas
saeh yang diangkat dari hasil penelitian Titik Pudjiastuti (1994).
Kertas saeh adalah istilah yang digunakan oleh
penduduk Desa Cinunuk, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk
menyebut kertas yang dibuat dari pohon saeh (Broussonetia papyrifera). Saeh disebut juga glugu (Jawa),
dhalubang (Madura), kembala
(Sumbawa), dan malak (Seram).
Saeh berbatang kecil, kira-kira sebesar lengan. Pohonnya setinggi 3 — 5 m.
Daunnya lebar berbentuk tiga jari dengan tangkai daun agak panjang sehingga
jarak helai daun dan ranting agak jauh. Permukaan daun agak tebal dan berbulu.
Saeh tidak berbunga dan tidak berbuah. Pohon saeh berkembang biak dengan tunas
yang ke luar dari akarnya yang tumbuh jauh dari induknya. Pohon saeh banyak
tumbuh di daerah Leles, Lebakjero, Ngamplang, Majalaya, dan Cicalengka.
Penduduk kampung Tunggilis mengambil pohon saeh dari daerah Parentas, di lereng
Gunung Galunggung. Selain di daerah Jawa, pohon saeh juga tumbuh subur di
Sumatra dan Sulawesi.
Produksi kertas
saeh yang berlokasi di sekitar Desa Cinunuk semula dikelola oleh keluarga Bisri, yang
mendapat keahlian membuat kertas saeh dari nenek moyangnya. Setelah ia
meninggal pada tahun 1965, usahanya dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Ny.
Uki. Sekarang usaha tersebut dikelola oleh anak-anak dan sanak familinya
sebagai industri rumah tangga yang diwarisi secara turun-temurun Hampir semua
penduduk di kampung itu mempunyai usaha kertas saeh.
Proses Pembuatan
Deluwang Saeh
Kertas saeh
dibuat dari kulit bagian dalam pohon saeh. Kertas saeh yang paling baik murunva
berasal dari pohon yang berusia 3 — 6 bulan. Makin muda pohon itu makin hahis
seratnya dan hasil yang diperolehnya makin baik. Jika pohon itu telah berumur 6
bulan atau lebih, kuiitnya keras sehingga serat-seratnya mudah putus.
Pohon saeh yang
masih muda (berumur 3 — 6 bulan) ditebang. Kuiitnya dilepas dari kayunya. Kulit
bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit bagian dalam yang berwama putih.
Kulityangberwarna putih itu kemudian dipotong-potong sepanjang 30-40 cm.
Potongan kulit
kayu itu lalu direndam dalam air sekitar 12 jam agar menjadi lembut dan mudah
dipukul-pukul. Makin lama direndam kulit kayu itu makin lembut dan hasilnya
makin baik. Jika perendaman kulit kayu itu lebih dari 12 jam (semalam), air
rendamannya harus diganti.
Setelah
direndam, kulit saeh itu dipukul-pukul selembar demi selembar dengan sebuah
alat pemukul (bahasa Sunda pangeprek) di
a tas balok kayu kira-kira berukuran 40 x 150cm. Bentuk
alat pemukul itu seperti palu, tetapi kepalanya berbentuk empat persegi panjang
berukuran 12 cm x 4 cm dan tingginya 3 cm. Alat tersebut terbuat dari perunggu
dan pegangannya dari kayu atau bambu yang panjangnya sekitar 20 cm. Alas
pemukubvya berupa balok kayu yang terbuat dari kayu nangka. Kayu nangka adalah
jenis kayu yang hat dan kuat sehingga sangat baik dipakai sebagai alas pangeprek kulit
saeh itu.
Setelah dikeprek, satu
potong kulit dalam yang lebarnya 10 cm akan menjadi sekitar 30 cm. Untuk menghasilkan
1 iembar kertas, dibutuhkan 2 atau 3 lembar kulit dalam yang ditumpuk, yang
selanjutnya dikeprek sekaligus. Cara pengeprekarmya adalah sebagai berikut.
Mula-mula satu
helai potongan kulit dalam dikeprek. Setelah melebar, kulit itu dilipat menjadi
dua, lalu dikeprek lagi. Sesudah melebar, lipatan dibuka dan disisihkan. Hal
yang sama dilakukan juga pada lembar kedua dan ketiga. Ketiga lembar kulit yang
sudah melebar itu ditumpuk, kemudian dikeprek lagi.
Setelah menyatu, bahan tersebut dilipat dua, kemudian dilipat lagi sehingga
menjadi empat lipatan. Setelah dirasa cukup rata dan menyatu, lipatan itu
dibuka.
Sesudah dikeprek, bahan
itu dicelupkan ke dalam air, lalu diperas. Setelah diperas, bahan itu dibungkus
daun pisang, kemudian diperam dalam sebuah keranjang bambu selama
sekurang-kurangnya 3 hari. Pemeraman itu bertujuan agar getah kulit kayu itu ke
luar dan merekatkan serat-seratnya. Makin lama pemeraman dilakukan makin baik
kualitas kertas yang dihasilkan.
Sesudah d iperam, bahan tersebut dfjemur di bawah
sinar matahari dan diletakkan di atas batang pisang. Sambil dijemur, bahan
tersebut digosok-gosok dengan daun ki kandel (benalu
pohon cangkring) sehingga permukaannya menjadi halus dan mengkilat. Penjemuran
itu dapat berlangsung beberapa hari, bergantung pada cuaca, sampai bahan
tersebut kering dan terlepas dari batang pisang.
Setelah kering, bahan tersebut digosok lagi dengan
menggunakan kuwuk atau marmer. Bahan tersebut telah menjadi kertas yang siap
pakai (ditulisi). Jika lembaran kertas itu kurang lebar, dua lembar kertas
dapat disambung dengan lem "ka" (sejenis lem berwarna cokelat).
Sambungan kertas itu kemudian digosok dengan kuwuk atau marmer supaya hasilnya
rata dan halus.
Sekarang kertas saeh tidak banyak diproduksi. Namun,
hal itu tidak berarti bahwa kertas saeh tidak diproduksi lagi. Kertas saeh
masih dibuat sesuai dengan pesanan.
Menurut keluarga Bisri —yang masih menggeluti
industri kertas saehnya — harga kertas saeh per lembar sekitar Rpl.000,00
(tahun 1994). Kertas tersebut tidak lagi digunakan sebagai alas tulis seperti
dahulu, tetapi kini dipakai sebagai pelapis bagian dalam sampul (cover) buku.
5.Cap
Kertas (Watermark)
Jika Anda melihat uang kertas dengan cara menghadap
pada cahaya matahari atau lampu, tampaklah gambar membayang dalam uang kertas
itu. Gambar yang membayang itu dikenal dengan istilah cap kertas (ivatermark). Cap
kertas juga terdapat dalam perangko atau kertas (tulis).
Selain cap kertas, istilah ivatermark juga
ada yang menerjerhahkannya dengan 'cap air'. Namun, Mulyadi (1994:63) memandang
bahwa istilah cap
kertas lebih tepat daripada
istilah cap
air.
Kalau kita perhatikan kertas itu di tempat yang
terang, akan tampaklah dalam kertas itu garis-garis tipis (laid line) dengan
posisi mendatar (horisontal) dan garis-garis tebal (chain line) dengan
posisi tegak (vertikal). Garis-garis tipis itu berjumlah 8 — 12 per cm,
sedangkan jarak antara garis vertikal sekitar 2,5 cm. Dalam Workshop on Malay
Manuscrpits di London tahun 1980 istilah chain line disepakati
untuk diterjemahkan dengan 'garis acuan tebal' dan laid line dengan
'garis acuan halus'. Perlu diketahui bahwa garis tebal dan garis tipis itu
hanya terdapat pada naskah yang diproduksi sebelum tahun 1810. Kertas yang
diproduksi sesudah tahun 1810 tidak menggunakan garis tebal atau garis tipis
itu.
Kapankah cap kertas
mulai digunakan? '
Berdasarkan penelitian Edward Heawood, cap
kertas yang tertua terdapat pada kertas bUatan Fabriano, Italia,
yang diproduksi pada tahun 1282. Tujuan utama pencantuman cap kertas itu adalah
sebagai simbol dagang (trade-mark) untuk
menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertas. Sekitar tahun 1600—1750
muncul pula cap kertas tandingan (counter-mark), yaitu
cap kertas yang menemani cap kertas.
Dalam suatu naskah mungkin saja kita menemukan
beberapa macam cap kertas dan cap kertas tandingan. Ketika mendeskripsi naskah,
kita tidak perlu terlalu memikirkan cap kertas yang utama dan cap kertas
tandingan. Selain itu, jika naskah yang kita garap berukuran kecil, mungkin
saja cap kertas itu hanya tampak sebagian saja sehingga sulit
mengidentifikasinya.
Sejak tahun 1742 kertas buatan Prancis dibubuhi
tahun dalam cap kertasnya, sesuai dengan peraturan pemerintah Prancis tahun
1741. Namun, lambang 1742 ternyata masih dicantumkan pada kertas produksi
tahun-tahun berikutnya. Edward Heawood selanjutnya menyimpulkan bahwa
tampaknya penggantian tahun pada cap kertas tidak dilakukan dengan tepat.
Setelah kertas Inggris terkenal, sejak tahun 1794
Inggris selalu mencantumkan tahun pembuatan kertasnya yang dibubuhkan di bawah
nama pembuat kertas atau dalam bentuk yang lebih kecil di sudut kertas sebagai
cap kertas tersendiri. Salah seorang pembuat kertas ternama pada akhir abad
ke-18 ialah James Whatman.
Berapa lama suatu cap kertas dipergunakan?
Briquet (dalam
Heawood, 1950:32)
menyatakan bahwa suatu cap kertas paling lama digunakan 30 tahun. Bahkan, ada
cap kertas yang hanya digunakan selama 2 — 3 tahun.
Walaupun tahun pembuatan kertas dan tahun penulisan
naskah Jelas-jelas tercantum dalam kolofon, Russel Jones mengingatkan kita
supaya berhati-hati dalam menentukan umur naskah. Sebagai contoh, dikemukakan
adanya "keganjilan" suatu naskah. Salah satu naskah yang terdapat di
Perpustakaan Universitas Malaysia, yang bernomor Ms 111, bertanggal 1200 H.
(atau sekitar tahun 1785 — 1786 M). Akan tetapi, alas naskahnya bercap kertas
tahun 1795.
Contoh lainnya adalah naskah koleksi SO AS (School of
Oriental and African Studies),
London. Naskah yang bernomor 16561
mencantumkan kolofon bulan
Mei 1873, tetapi cap kertas yang tercantum pada alas
rtaskahnyabertahun 1877. Dengan adanya fakta yang demikian, mungkin saja
penulis naskah tersebut menyalin apa adanya yang tersurat pada naskah sumber.
Jika memang begitu, besar kemungkinan Mei 1873 adalah tanggal yang terdapat
pada naskah sumber yang disalinnya.
Kodikologi adalah ilmu yang mempelajari segi fisik
naskah, seperti alas naskah, tempat penyimpanan naskah, penulisan/
penyalinannaskah, umur naskah, serta ilustrasi dan Uurninasi pada naskah.
Karena naskah merupakan warisan budaya tertulis,
penulisan/penyalinan/penyimpanannya tentu dilakukan di daerah-daerah berbudaya
yang mengenai huruf dan di tempat-tempat elit, seperti diistana, museum, pesantren,
atau di rumah orang-orang intelek (pujangga).
Alas naskah yang
digunakan bermacam-macam pada setiap tempat. Hal itu tergantung pada bahan yang
terdapat di tempat mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar