V1
Edisi Naskah
Langkah
Kerja Edisi Naskah
Penciptaan teks dalam naskah
biasanya sangat rumit. Apalagi masa penciptaannya sudah beberapa abad yang
lalu. Oleh karena itu, kita sebagai peneliti harus mengerti benar apa vang
harus dilakukan ketika menghadapi naskah. Pekerjaan yang harus dijalani tentu
saja tergantung pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Teks yang hanva
terdapat dalam satu naskah berbeda perlakuannya dengan teks yang ada dalam
beberapa naskah. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya, seorang filolog dapat
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
(1)
inventarisasi naskah, ,
(2) deskripsi naskah,
(3)
perbandingan teks
(4) penentuan metode penyuntingan,
(5)
penentuan umur naskah, dan
(6) transliterasi.
1)
Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dapat
dilakukan jika kita sudah menentukan naskah apa yang menjadi objek penelitian
kita. Misalnya kita akan mengambil naskah Melayu yang berjuudul
Hikayat Muliammad Hanafi ifyah. Setelah mengetahuinya, kita beranjak dengan meneliti
jumlah naskah tentang cerita atau hikayat itu. Untuk mengetahui jumiahnya kita
harus meneliti di berbagai ternpat penyimpanan naskah yang sangat tersebar.
Cara yang dilakukan adalah dengan melihat berbagai katalog naskah, baik katalog
yang mendaf tarkan naskah yang di dalam negeri maupun di luar negeri.
Katalogus adalah buku yang berisi
berbagai judul naskah yang ada dalam suatu koleksi. Katalog terbagi dua, yaitu
katalog deskriptif dan katalog yang hanya berupa daftar saja. Katalog
deskriptif adalah buku yang mendeskripsikan keadaan suatu naskah dengan
lengkap, umpamanya ukuran naskah, jumlah halaman, kolofon, serta ringkasan isi.
Contoh katalog yang seperti ini adalah Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat (1972) dan Ronkel (1909) Catalogus der Maleische Handschriften in liet
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Katalog yang kedua berupa daftar karena di dalamnya
hanya disebutkan judul naskah dan tempat penyimpanannya. Contoh katalog yang
seperti itu adalah yang disusun oleh Joseph Howard dengan judul Malay Manuscripts: A Bibliographical Guide (1966). Bukan hanya katalog yang dapat dipakai untuk
menginventarisasi jumlah dan tempat-tempat penyimpanan naskah, melainkan juga
daftar naskah yang dimiliki oleh berbagai perpustakaan dan museum. Biasanya
suatu perpustakaan atau museum sudah mendaftarkan koleksi naskah yang menjadi
miliknya. Kadang-kadang daftar itu dibuat sangatsederhana oleh pemiliknya.
Meskipun sederhana, daftar itu tetap bermanfaat.
Katalog apa saja yang kiranya dapat dipakai? Katalog
itu tergantung pada naskah yang diambil. Apakah naskah Jawa, Sunda, Melayu atau
Bali? Naskah di Indonesia sangat beragam karena ditulis dalam berbagai bahasa
daerah dengan aksara yang berbeda. Naskah berbahasa Jawa dapat dicari dalam
katalog naskah Jawa; naskah berbahasa Bali dapat dicari dalam berbagai katalog
naskah Bali; naskah berbahasa Sunda dapat dicari dalam katalog naskah Sunda,
begitu juga halnya dengan naskah yang berbahasa Melayu. Berbagai katalog naskah
daerah di Indonesia sudah banyak disusun oleh beberapa pakar. Jika kita
mengambil naskah Melayu, berbagai katalog yang memuat naskah Melayu harus kita
cari.
Sebagai contoh kalau kita mengambil naskah Melayu,
informasi apa saja yang diperlukan? Berdasarkan informasi yang diberikan oleh
Chambert-Loir (1980) naskah Melayu disimpan di 29 negara, di antaranya
Indonesia, Malaysia, Inggris, Belanda, Denmark, Belgia, Jerman, Perancis, dan
Italia. Dalam suatu negara, naskah disimpan dalam berbagai perpustakaan dan
museum. Di samping itu, naskah juga masih disimpan dalam berbagai koleksi
pribadi dalam masyarakat di Indonesia yang koleksinya belum dicatat, lain
halnya dengan lembaga formal. Naskah-naskah yang dikoleksi oleh lembaga itu
biasanya'sudah dibuat katalog. Berbagai katalog perlu diperiksa untuk melihat
di mana saja naskah yang kita ambil itu disimpan.
Naskah Melayu yang disimpan di Perpustakaan
Nasional, Jakarta, dapat diketahui dalam katalog berikut ini.
(a)
Catalogus
der Maleische, Javaansche en Kaivi HSS van het Bataviaasch, 1872, disusun oleh Cohen Stuart merUpakan katalog
naskah Melayu di Indonesia yang tertua.
(b) Catalogus der Maleische PISS in het Museum van het
Bataviaasch van Kunsten en Wetenschaapen, tahun 1909 disusun oleh Van Ronkel.
(c)
Katalogus
Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, tahun 1972, dibuat oleh Sutaarga dan kawan-kawan.
(d)
Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998,
Naskah Melayu yang disimpan di Belanda dapat
diketahui dalam katalogus:
(a)
Catalogus
van de Maleische en Sundaneesclie Handschriften disusun oleh H.H. Juynboll pada tahun 1899. Katalog
ini tidak hanya memuat naskah Melayu, tetapi juga naskah Sunda yang disimpan di
Belanda.
(b)
Supplemen
t-Catalogus der Maleisclie en Minagkabausche Handschriften in de Leidsche
Universiteits Bibliotlieek yang disusun oleh Van Ronkel, 1921.
(c)
Catalogue
of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and
Oilier Collections in the Netfierlands, tahun L998, katalog terbaru yang
disusun oleh Y.P. Wieringa.
Naskah Melayu yang disimpan di Inggris
dapat diketahui dalam katalogus dan daftar yang disebutkan berikut ini.
(a)
“Account
of six Malay Manuscripts of the Cambridge”, sebuah daftar yang disusun oleh Van
Ronkel dalam Majalah BKI, 6, II, 1896.
(b)
Indonesian
Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian
Languages in British Public Collections, tahun L977. Katalog yang paling
lengkap dibuat oleh Ricklefs dan Voorhoeve. Katalog ini memuat seluruh naskah
yang disimpan di Inggris, di antaranya di London, yaitu di Royal Asiatic
Society, School of Oriental and African Studies, dan The British Library.
Naskah yang disebutkan dalam catalog itu adalah naskah-naskah Nusantara,
seperti Batak, Aceh, Bali, Ambon, Bugis, Jawa, Lampung, Kalimantan, Makasar,
Melayu, Minangkabau, Sasak, dan Sunda.
Naskah Melayu yang disimpan di Malaysia, Negara
tetangga, dapat dilihat dalam katalog:
(a) Malay MSS. A Biblographical Guide, 1966, dibuat Joseph H. Howard yang diterbitkan di
Kuala Lumpur oleh University of Malaya. Di negara tersebut ada tiga tempat
menyimpan naskah, yaitu Museum Negara, Universitas Malaya, dan Universiti
Kebangsaan yang terletak di Kuala Lumpur.
Perancis juga menyimpan naskah
melayu. Untuk mengetahui naskah apa saja yang disimpan di negara itu, kita
dapat melihatnya dalam beberapa katalog, misalnya
(a)
P.Voorhoeve membuat artikel yang diterbitkan di majalah Archipel 6, 1973 dengan judul "Les MSS Malais de la Bibliotheeque Nationale
de Paris",
(b)
Wan Ali Wan Mamat, 1991 menyusun Katalog
Manuskrip Melayu di Perancis. Katalog ini memuat 209 naskah Melayu yang ada di negara tersebut.
2)
Deskripsi Naskah
Dalam bagian deskripsi naskah kita harus memaparkan
atau mendeskripsikan keadaaan naskah satu per satu sejelas mungkin. Butir-butir
apa saja yang dideskripsikan? Sebenarnya beberapa pakar telah mengusulkan suatu
daftar yang memuat butir-butir yang harus dirinci dalam mendeskripsikan naskah,
tetapi selalu saja ada kekurangan dan kelebihan. Yang dipentingkan dalam sebuah
deskripsi ada tiga hal, yaitu deskripsi fisik
naskah, jilid naskah, isi naskah. Informasi lain dapat saja diuraikan misalnya
catatan lain yang memuat sejarah naskah. Mulyadi (1994) menguraikan hal-hal
yang harus dicatat dalam mendeskripsikan sebuah naskah.
(a) Judul naskah
Judul naskah biasanya ditemukan pada halaman awal
yang disebut halaman judul, tetapi tidak semua naskah mempunyai halaman judul.
Kalau tidak ada halaman itu, judul naskah biasanya disebutkan pada awal teks
atau di akhir teks. Kalau ternyata tidak ditemukan juga, filolog wajib memberi
judul. Jika filolog yang memberikan judul, sebaiknya judul itu ditulis di dalam
kurung siku [....] atau diberi tanda petik “…..”
(b) Tempat penyimpanan naskah
Sebutkan semua tempat yang menyimpan naskah itu
(lihat dalam berbagai katalog) .Tempat penyimpanan, seperti yang sudah
diuraikan di atas, dapat berupa lembaga formal (yayasan, museum, perpustakaan)
atau perorangan.
(c) Nomor naskah
Nomor naskah biasanya diberikan oleh pemilik dan
ditempelkan pada sampul naskah. Meskipunpara pemilik naskah sudah mencatatkan
nomor, biasanya sebuah lembaga yang menyimpan memberikan juga nomor baru. Jika
nomor itu ada, semua nomor yang ada harus dicatat. Sebuah lembaga biasanya
tidak akan menghilangkan nomor asli yang dibuat oleh pemiliknya karena nomor
itu penting untuk mengetahui sejarah sebuah naskah. Di Perpustakaan Nasional,
Jakarta, misalnya nomor lama yang menandai naskah milik Von de Wall diberi
inisial W. Tetapi naskah itu juga mempunyai nomor baru dengan kode Ml. (yang
berarti Melayu). Kedua nomor itu harus dicatat apa adanya.
(d) Ukuran naskah
Ada tiga hal yang dapat diukur dalam naskah, yaitu
ukuran sampul naskah, ukuran halaman naskah, dan ukuran-teks yang ditulis
(kolom teks). Ukuran itu dihitung dengan panjang dikali lebar.
(e) Jumlah halaman
Jumlah halaman naskah ada yang menghitung
berdasarkan jumlah halaman dan ada juga berdasarkan jumlah lembar. Kita harus
memiiih salah satu di antara keduanya agar konsisten dalam penghitungan.
Kemudian disebutkan juga jumlah halaman yang ditulisi dan halaman yang kosong.
Halaman kosong biasanya digunakan untuk pelindung teks — sebelum dijilid — yang
terdapat pada awal dan akhir naskah.
(f) Jumlah baris
Jumlah baris dihitung dalam tiap halaman, biasanya
halaman awal dan akhir berbeda jumlah barisnya dengan halaman isi teks. Untuk
itu, deskripsikan selengkap mungkin atau diambil jumlah rata-rata naris dalam
isi teks, lalu sebutkan jumlah baris halaman awal dan jumlah baris halaman
akhir.
(g) Huruf
Huruf adalah tulisan yang dipakai dalam naskah.
Huruf disebut juga dengan aksara. Pemakaian huruf ini penting disebutkan karena naskah
Nusantara sangat beragam. Apakah naskah itu ditulis dalam aksara daerah
(sebutkan namanya), aksara Arab, atau aksara Latin.
(h) Bahasa
Selain huruf sebutkan juga bahasa yang dipakai dalam
teks. Sama halnya dengan huruf, bahasa di Nusantara juga sangat beragam. Jadi,
sebutkan apakah naskah itu menggunakan bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda.
(i) Tinta
Sebutkan jenis tinta yang digunakan serta warna
tintanya, apakah teks itu ditulis dengan tinta hitam, coklat, merah atau
mungkin dengan pensil. Dalam naskah sering ditemukan rubrikasi,
pewarnaan dengan tinta merah.
pada kata atau kalimat yang di anggap penting. Pada perkembangannya tidak hahya
tinta merah yang digunakan, tetapi tinta dengan warn a lain. Jika ada yang
seperti itu, sebaiknya juga disebutkan
(j) Alas naskah
Sebutkan alas (bahan) yang digunakan untuk menulis.
Kalau kertas, sebutkan kertas tradisional atau kertas Eropa. Sama halnya kalau
naskah itu menggunakan alas yang lain, neper d lontar atau bambu. Kalau naskah
menggunakan kertas tradisional, sebutkan jenis kertasnya apakah termasuk kertas
dluwang.
Kalau sukar untuk
mengidentifikat/ikan, sebutkan saja keadaan kertas itu, apakah tebal, tipis,
licin. dan sebutkan warnanya. Untuk kertas Eropa deskripsikan juga cap kertas
yang ada di dalamnya di aagan menyebu tkan nama dan mendeskripsikan gambarny a. Nama cap kertas itu da oat dilihat
dalam daftar cap kertas tulisan Churchill atau E. Heawood (yang judulnya akan
dinyatakan pada pembicaiaan penentuan umur naskah). Untuk naskah yang berasal
dari abad ke-19 atau 20 banyak ju ga teks yang ditulis di atas kertas bergaris.
(k) Garis tebal dan garis tipis
Kedua jenis garis ini juga terdapat dalam cap kertas
sehingga cara melihatnya sama dengan melihat cap kertas. Kertas diangkat dan
dipantulkan ke cahaya. Kedua garis itu adalah garis tebal (chain line) dan garis tipis {laid line). Garis tipis dihitung dalam tiap sentimeter ada
berapa garis, sedangkan garis tebal dapat dihitung jumiahnya.
(l)
Kondisi naskah
Kondisi naskah dideskripsikan dengan serinci mungkin
agar pembaca mendapat gambaran tentang keadaan naskah yang ada pada saat ini.
Deskripsi ini penting bagi peneliti selanjutnya. Yang diuraikan, di antaranya
keadaan kertas. Apakah kertas masih baik atau sudah banyak yang robek, rusak
(bolong-bolong), dan apakah sudah dilaminasi. Bagaimana keadaan tulisan dan
tintanya. Akhir-akhir ini banyak juga ditemukan naskah yang dicetak dengan cara
tradisional, yaitu cetak batu (litografi). Kalau naskah yang seperti itu yang
ditemukan sebaiknya disebutkan juga.
(m) Kolofon
Kalau dalam naskah itu ada kolofon, sebutkan semua
keterangan yang dinyatakan di dalamnya, misalnya tempat, waktu, dan penulis
atau penyalin. Kolofon biasanya ada di halaman akhir teks, tetapi kadang-kadang
juga ada yang dinyatakan pada bagian awal. Untuk menolong peneliti lain,
sebaiknya kolofon ini dikutip apa adanya, seperti dalam teks.
(n) Gambar
Dalam naskah kadang-kadang dimuat gambar. Gambar
untuk hiasan yang ada pada halaman depan (halaman awal dan halaman dua) disebut
iluminasi.
Gambar lain yang terdapat pada
halaman isi yang berkaitan atau menjelaskan teks disebut ilustrasi. Kalau ada gambar dalam naskah cfeskripsikan
gambarnya, alatmenggambar (tinta, cat air, pensil gambar), dan warna. Sebutkan
pula pada halaman berapa gambar itu berada.
(o) Jilid naskah
Yang menjadi perhatian untuk jilid naskah, misalnya
bahan untuk sampul naskah (cover), motifnya, cara menyatukan lembar-lebar naskah,
misalnya dengan benang atau dengan lem, dan kuras. Kuras adalah kertas yang dilipat dan dipotong lalu
disusun bertumpuk, ada yang terdiri atas 4,6, atau 8 lembar. Untuk itu,
dihitung dalam satu jilid ada berapa kuras.
(p) Catatan
Dalam sebuah naskah kadangkala ditemukan
catatan-catatan yang kira-kira dapat mengungkap sejarah teks. Kalau ada catatan
itu, kutipkan saja catatan itu apa adanya. Misalnya dalam Hikayat Maharaja
Garebeg fagad disebutkan sejumlah judul naskah
yang menjadi milik Muhammad Bakir, pengarang dan penyalin dari naskah Betawi
yang menyewakan naskahnya kepada pembaca. Contoh lain adalah adanya stempel
pada kertas. Hal itu juga harus dicatat karena stempel dapat mengungkap kepemilikan naskah. Intinya segala catatanyang dapat
mengungkap sejarah sebuah naskah jika ditemukan, harap dicatat dalam bagian
irti.
3) Perbandingan Teks
Perbandingan teks dalam naskah dilakukan jika teks
terdapat lebih dari satu naskah Kalau naskah vang dihadapi hanya satu, langkah
kerja ini dilewati. Akan tetapi, kalau kita mempunyai naskah lebih dari satu,
langkah ini harus dilakukan. Bagaimana cara rnelakukan perbandingan?
Perbandingan teks dilakukan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan antara bacaan satu naskah dengan bacaan naskah lainnya. Kalau
ternyata bacaannya sama dalam semua naskah, penentuan teks yang akan disajikan
tidak terlalu sukar. Namun, masalah akan muncul kalau ternyata naskah-naskah
berbeda bacaannya atau terdapat penyimpangan antara sa tu dan lainnya.
Penentuan naskah yang akan disajikan dalam edisi naskah menjadi sulit. Teks
manakah y ang harus dipilih untuk ditransliterasi.
Perbandingan teks dapat dilakukan dengan
perbandingan isi cerita, misalnya episode per episode kalau teks-teks yang
ditemukan berbeda versi. Akan tetapi, kalau teks yang ditemukan hanya varian
dari satu versi, perbandingan biasanya dilakukan dengan melihat perbedaan
pemakaian kata, yakni dibandingkan kata per kata. Perbedaan-perbedaan dicatat
dalam aparatus kritikus. Aparatus kritikus itu, yang mencatat segala
perbedaan, dapat ditempatkan pada kaki halaman atau pada halaman tersendiri di
akhir halaman setelah semua perbedaan dicatat. Se telah perbandingan selesai,
kita diharapkan sudah dapat menentukan teks mana yang akan dipakai atau
disunting karena dari perbandingan itu kita sudah melihat teks yang dianggap
baik. Kalau dalam teks itu banyak ditemukan kesalahan, teks itu jangan dipilih.
Di samping itu, dapat juga dipilih naskah yang lebih tua. Naskah yang lebih tua
menjadi pertimbangan pokok dalam edisi naskah pada masa lalu. Namun, dalam
perkembangan keniudian, kelengkapan isi juga menjadi pertimbangan. Pertimbangan
itu tergantung pada tujuan penelitian.
4) Penentuan Metode Pem/imtingan
Setelah
rnelakukan perbandingan, kalau naskah lebih dari satu, kita harus menentukan
metode penyuntingan (edisi) yang akan digunakan. Metode edisi naskah tunggal
berbeda dengan metode dalam edisi naskah yang lebih dari satu (naskah jamak).
Khusus penentuan metode edisi ini akan diuraikan pada sub-bab tersendiri dalam
bagian ini.
5) Penentuan Umur Naskah
Yang patut kita
ketahui adalah mengapa penentuan umur naskah penting dalam penelitian filologi.
Kalau kita tidak mengetahui latar belakang suatu naskah diciptakan atau dari
abad mana naskah itu berasal, kita tenru tidak dapat mengetahui konteks sosial
teks itu dan fungsinya. Kalau konteks sosialnya tidak diketahui bagaimana kita
dapat memakainya. Bagaimana kita mengetahui fungsi teks itu dalam masyarakat
yang menciptakannya. Oleh sebab itu, dengan mengetahui umur naskah, kesalahan
penafsiran teks yang diteliti dapat diperkecil.
Dari mana kita dapat
mengidentifikasi umur naskah? Seperti kita ketahui bahwa naskah lama bersifat anonim (tanpa
menyebutkan nama pengarang). Oleh karena itu, inf ormasi usia naskah hampir
sangat jarang ditemukan, apalagi pada naskah yang berasal dari abad 17 atau 18.
Namun, naskah-naskah yang disalin pada abad 19 atau abad 20 sudah mulai ada
yang menginformasikan nama pengarang, nama penyalin, tempat penyalinan, dan
kapan naskah itu disalin. Keterangan yang menginformasikan ketiga hal itu
disebut kolofon. Kolofon biasanya dicatat pada bagian akhir naskah
atau halaman awal naskah. Kalau ada kolofon dalam naskah berarti peneliti tidak
sulit untuk menentukan umur naskah. Kesulitan timbul kalau inforrnasi atau
kolofon itu tidak ditemukan. Dari mana kita memperolehnya?
Ada dua f aktor
yang dapat dipertimbangkan untuk melihat umur naskah. Dua faktor yang dapat
dipakai sebagai pertimbangan adalah inforrnasi yang bersifat internal dan
inforrnasi yang bersifat eksternal. Faktor internal adalah kalau inforrnasi itu
berasal dari naskah itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah inforrnasi
yang diperoleh dari luar naskah. Kolofon, termasuk faktor internal karena ada
dalam naskah. Faktor internal lain adalah kertas yang digunakan karena dalam
kertas itu terdapat cap kertas (watermark).
Cara melihat cap kertas, seperti
yang sudah dikatakan di atas, adalah dengan mengangkat kertas dan dipantulkan
ke cahay a. Di situ dapat terlihat gambar yang ada dalamkertas. Gambar-gambar
itulah yang dapat diidentifikasi, dari tahun berapakah gambar itu berasal.
Perusahaan yang membuat kertas pada masa lalu, Eropa, biasanya mencantumkan
berbagai gambar. Bahkan kadang-kadang di sekitar gambar disebutkan inisial atau
tahun. Inisial dan tahun atau tulisan lain yang ada di sekitar gambar disebut
cap kertas tandingan (countermark).
Kalau tidak ada inisial atau
keterangan tahun di sekitar gambar, gambar itulah yang harus diidentifikasi dan
dilihat apakah gambar itu tercantum dalam daftar cap kertas yang dibuat oleh
Churchill (1935) yang berjudul Watermarks
in Paper: In Holland, France, England, etc. in the XVII and XVIII Centuries and
Tlieir Interconnection. Buku
cap kertas lain yang dapat digunakan adalah yang dibuat oleh Edwar Heawood (1950),
Watermarks, Mainly of the 17th
& 18th Centuries. Dalam
kedua buku itu diinformasikan kapan sebuah perusahaan membuat kertas dengan
contoh-contoh gambar yang menjadi trade
mark mereka. Dengan
mencocokkan gambar itu, umur naskah dapat diketahui. Inforrnasi lain yang
dipertimbangkan dapat mengetahui umur naskah juga adalah penjilidan (sampul
naskah) atau catatan-catatan lain yang ada dalam naskah itu. Kalau naskah yang
diteliti adalah naskah sejarah, biasanya di dalam teks itu ada inforrnasi kapan
peristiwa itu terjadi. Dalam Hikayat
Negeri Johor rmsalnya peristiwa
diawali dengan kalahnya
Johor oleh Jambi pada tahun 1611. Dengan adanya angka tahun itu, berarti naskah
dibuat setelah peristiwa itu terjadi.
Faktor eksternal
yang dapat dipakai untuk memperoleh umur naskah adalah dari sejarah pepyimpanan
naskah. Suatu lembaga biasanya mempunyai catatan kapan mereka menerima naskah
yang menjadi koleksinya. Informasi lain lagi juga dapat diperoleh melalui
teks-teks lain yang kadang-kadang menyebutkan suatu judul teks. Misalnya Hikayat Amir Ham.-ah disebutkan dalam
Sejarah Melayu. Hal itu beraiti
teks Hikayat Amir Hamzah sudah lebih
dahulu ada dari Sejarah Melayu. Yasadipura I
adalah pengarang Serat Cabolek. Nama itu ti dak
diketahui dari teksnya, tetapi dari catatan lain yang menyebutkan bahwa
Yasadipura adalah penulis Babad
Cayanti, Babad Prayut, Serat Cabolek.
6) 1
ransliterati
Uraian tentang
transliterasi akan dijelaskan dalam
sub-bab tersendiri pada akhir bagian ini karena uraian itu harus lebih
terperirici.
Kritik Teks
Apakah Anda
pernah mendengar istilah kritik
teks? I
Calau
sudahmendengarnya, apakah Ande sudah memahaminya? Bagian ini akan menjelaskan
kepada Anda tentang kritilk teks. Baried (1985:61) mengatakan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunai, krites' seorang hakim atau krinein' menghaakimi atau kriterion' dasar peng hakima5."..
Dalam kritik teks, filolog memberikan kritik atau evaluasi terhadap teks,
meneliti dan menempatkan teks pada ternpatnya yang tepat. Yang dimaksud pada
tempamya adalah mencari teks yang paling asli, teks yang ditulis oleh
pengarangnya, yang disebut autograf (autograf).
Pada
dasarnya teks yang autograf itu hampir tidak dapat ditemukan lagi, di antaranya
karena naskah yang berisi teks itu si idahh ilang atau
rusak. Karena sukar menemukan teks yang autograf, akhirnya dala m kritik teks
hanya dicari teks yang mendekati teks aslinya.
Kritik teks pada
awalnya dilakukan terhadap teks-t eks Alkitab, di Eropa. Hal itu dilal tukan
untuk mengetahui firman Tuhan yang semi irni mungkin dan tujuannya untuk
memahami maknanya. Lama-ke!amaan bukan hanya teks Alkitab saja yang menjadi
objek, tetapi berbagai teks termasuk yang be risi kebudayaan.
Bagairnana cara
kerja filolog memperoleh naskah yang teksnya mendekati aslin ya? Untuk m
endapatkan teks itu filolog harus membandingkan naskah untuk mengkonstruksi
naskah dari beberapa naskah yantg ditemukannya. Naskah-naskah itu seharusnya
berasal dari korpus yang sarna atau naskah-naskah yang menuliki masalah yang
sama. Konstruksi itu dilakukan dengan asumsi bahwa penyalinan suatu teks terus
berlangsung. Dalam perjalanan penyalinan itulah, naskah mengalami perubahan.
Rangkaian penurunan yang dilalui suatu teks yang turun-temurun d isebut tradisi.
Dalam
penciptaan sebuah teks mungkin saja digunakan sebuah naskah (induk) yang
digunakan sebagai dasar dalam penciptaan naskah baru. Dalam pekerjaan itu,
penulis atau penyalin dapat hanya menyalinnya saja, tetapi dapat juga ia
menambahkan, bahkan mengubahnya. Di samping itu, perubahan yang terjadi selama
penurunan teks itu mungkin dilakukan penyalin dengan sengaja atau dapat juga
terjadi tanpa sengaja. Perubahan dengan sengaja dilakukan penyalin karena ia
merasa ingin menyempurnakan teks itu sehingga sesuai dengan masyarakat dan zamannya.
Penyalin sengaja menghilangkan atau menambahkan bagian-bagian dalam teks yang
menurutnya perlu dilakukan. Perubahan yang dilakukan tanpa sengaja biasanya
terjadi karena kelalaian sang penyalin. Perubahan seperti itu biasanya
menimbulkan kesalahan dalam teks. Kedua hal itu menyebabkan terjadinya varian dan versi dalam teks. Varian ditemukan dalam teks yang sejenis. Dalam
teks-teks itu terdapat perbedaan-perbedaan kecil, misalnya perbedaan dalam
pilihan kata dan struktur kalimat. Perbedaan itu tidak sampai mengubah isi
teks. Hal itu berbeda dengan versi.
Versi juga
ditemukan dalam teks sejenis, tetapi perbedaan yang ditemukan dalam teks-teks
tersebut agak besar, misalnya jalan cerita sudah berbeda. Antara satu teks
dengan teks lainnya sudah berbeda, yang satu lebih pendek dari yang lainnya.
Menurut
Robson (1978:35) kriteria untuk mendapatkan sebuah teks adalah varian atau
versi dari teks asli. Yang perlu dilihat adalah penyimpangan-penyimpangan yang
ada dalam teks, seperti kesalahan-kesalahan yang ada. Kesalahan itu misalnya
terjadi dalam beberapa kasus berikut ini.
(1) Kalau terdapat
teks puisi dengan corak metrum tertentu, kita harus mencek apakah varian cocok
dengan metrum. Kalau tidak cocok, ada kemungkinan bahwa varian itu termasuk
kesalahan.
(2) Apakah varian
merupakan perkataan yang dikenal dari tempat (teks) lain? Kalau tidak, ada
kemungkinan hal itu salah walaupun juga mungkin varian itu satu-satunya tempat
perkataan itu dipakai. Satu-satunya tempat dipakainya perkataan itu disebut Impax.
(3) Apakah varian
itu sesuai dengan konteks cerita atau gaya bahasanya dan tidak bertentangan
dengan latar belakang kebudayaan atau sejarah? Kalau ternyata ditemukan
ketidaksesuaian, kemungkinan adalah varian itu salah.
Reynold
dan Wilson (1974) menambahkan bahwa kesalahan yang terjadi dalam penyalinan
teks dapat dibagi atas enam macam, yaitu:
(1) kesalahan yang
disebabkan oleh tulisan tangan dalam teks aslinya kurang jelas sehingga
penyalin mengacaukannya dengan huruf yang mirip
(2) adanya
penggeseran lafal sehingga menimbulkan kecenderuhgan penyalin untuk mengubah
ejaan aslinya.
(3)
penghilangan beberapa huruf yang disebut
haplografi (liaplography). Penghilangan itu
terj adi karena mata penyalin melompat maju dari satu perkataan ke perkataan
yang sama yang disebut saut
de meme au meme. Penghilangan atau
pelompatan itu dapat terjadi dalam satu baris, satu bait, bahkan dapat dalam
beberapa baris
(4) tambahan beberapa huruf atau kata yang diulang oleh
penyalin yang disebut ditografi (dittography)
(5)
tukaran
ditemukan jika pernakaian huruf terbalik, atau baris puisi tertukar
(6)
tularan
adalah perkataan terkena pengaruh perkataan lain yang baru saja, displin
sehingga meniru bentuknya
Berdasarkan
beberapa hal y ang disebutkan di atas, filolog dapat mengidentifikasi
kesalahan-kesalahan dalam teks dan kemudian merekonstxuksi teks-teks dalam
naskah berdasarkan suatu turunan yang sarna. Untuk melakukan hal itu langkah
kerja berupa perbandingan naskah harus dilakukan. Setelah perbandingan, filolog
mulai inengkonstruksi naskah dengan melakukan susunan sterna atau yang dikenal dengan metode sterna,
Menurat Robson (1978:37) metode
sterna dikembangkan pada tahun J 830-an di Eropa olf h Lachmann. Metode itu ber
lujuan untuk mendekati teks asli melalui data-data i taskah
dengan melakukan perbandingan teks. Dasar teori susunan itu bahwa naskah
disalin satu demi satu, dan kesalahan yang pernah masuk dalam suatu teks akan
terus diturunkan dalam tradisi penyalinan,
Kesalahan-kesalahan itu dapat dipakai untuk
menunjukkan perbedaan dan persamaan antara satu teks dengan teks lain. Hal itu
dilakukan untuk mengetahui asal sebuah teks dari naskah yang mana su atu
kesalahan itu diturunkan. Berdasarkan hal inilah filolog kemungkinan
menggolongkan beberapa teks. Penggolongan itu dilakukan karena tujuan kritik
teks adalah memperbaiki kesalahan supaya filolog dapat rnerekonstruksikan teks
asli.
Teks asli ialah teks yang sudah rnenurunkan semua
naskah yang masih ada. Naskah yang seperti itu disebut arketip (archet\/pe). Arketip
tidak perlu identik dengan autograf, teks yang ditulis oleh pengarang. Dalam
menelusur naskah yang seperti itu, filologboleh melakukan perbaikan atas
kesalahan-kesalahan (kemsakan) dalam teks. Perbaikan itu disebutemendasi. Kalau kerusakan teks ditelusur kembali kemungkinan
filolog dapat menghilangkan semua kesalahan dan kemungkinan dapat menemukan
bentuk teks seperti dulu yang terdapat pada arketip (naskah yang kemungkinan
sudah lama hilang ).
Dalambukunya, Reynold dan Wilson
(1974:190 -192) memberikan contohcara merekonstruksi naskah. Naskah-naskah yang
masih ada biasanya diberi nama dengan huruf Latin: A, B, C, D , E,dan
seterusnya. Arketip dan hiparketip (hxfparchehjfe)
diberi nama dengan huruf Yunani,
arketip dinamakan omega dan hiparketip dinamakan abpa dan
beta. Berikut ini adalah ilustrasi yang dibuatnya.
Dengan dasar
penurunan seperti itu, kritik te ks harus memurnikan teks, teks sudah
dibersihkan dari berbagai kesalahan selama penyalinan —melalui perbandingan —
sehingga tersusun kembali teks y ang mendekati aslinya dan teks itu dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sumbei kepentingan penelitian disiplin ilmu lain.
Pada
perkembangannya kemudian, filolog tic lak lagi hanya melakukan kritik teks
untuk mencari teks yang mendekati aslinya. P andangan itu telah berubah. Para
filolog saat ini mulai merasa bahwa bukan hanya i naskah
yang mengandung teks yang asli yang bernilai, tetapi setiap naskah m empunyai
nilai tersendiri yang mewakili zaman dan lingkungan sosial penyalinr lya. Pada
kenyataannya penyalin bukan hanya menyalin, tetapi ia juga menciptaka n teks
baru dengan memasukkan imajinasi dan kreativitasnya. Oleh sebab itu, dal; am
naskah tunggal (naskah yang tinggal satu atau pun naskah yang me'mang har ya
satu) sebuah kritik teks dapat dilakukan, terutama pada penerapan edisi stand;
ar. Dalam edi;;i itu kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan sudah diperbaiki.
Agar penelitian filologi dapat sempurna, diperlukan
beberapa langkah kerja. Langkah kerja itu di antaranya adalah inventarisasi,
deskripsi naskah, perbandingan, penentuan umur naskah, penentuan metode yang
akan dipakai, dan transliterasi.
Jika teks yang dijadikan objek penelitian hanya ada satu,
langkah kerja yang dilakukan adalah langsung pada deskripsi naskah, penentuan
umur nasi .all, penentuan metode, dar i transliterasi. Ketika mendeskripsikan
naskah, setiap butir dari fisik naskah, jilid naskah, dan isi diuraikan dengan
teliti. Ketelitian itu penting karena sttiap butir yang diuraikan dapat menjadi
hal penting dalam mengungkap sejarah teks. Jika teks yang ditemukan lebih dari
saiu naskah, perbandingan dilakukan. Pada bagian inilah, kritik teks dilakukan.
Setelah itu, filolog baru menentukan metode yang akan dipakai untuk menyunting
teks. Pemililian u-etode itu disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Langkah yang dikerjakan setelah kritik teks adalah transliterasi,
yaitu mengalihaksarakanhuruf. Alih aksara ini penting agar pembaca mengetahui
isi yang terkandung di dalamnya.
2
Metode
Penyuntingan
Metode merupakan cara kerja bagaimana seorang
peneliti menyunting (mengedisi) teks. Metode itu itu ditentukan oleh naskah
yang ditemukan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, menyunting naskah tunggal
berbeda cara kerjanya dengan menyunting naskah yang lebih dari satu (naskah
jamak). Berdasarkan hal itu, ada dua metode untuk edisi naskah.
Metode Edisi
Naskah Tunggal
Untuk menyatakan bahwa sebuah naskah adalah naskah
tunggal berbagai katalog harus diteliti lebih dahulu. Kita harus membaca dahulu
dalam beberapa katalogus yang dapat menginformasikan di mana naskah ituberada.
Kalau ternyata setelah dicek tidak tercatat nomor lain dari naskah itu dalam
koleksi-koleksi lain, kita dapat menentukan bahwa naskah itu adalah naskah
tunggal. Naskah tunggal disebut codex
unicus. Menurut Robson
(1994:21) ada dua metode yang dapat diterapkan pada naskah tunggal yaitu metode
edisi diplomatik dan metode edisi biasa atau yang dikenal dengan edisi standar.
Edisi Diplomatik
Dalam edisi diplomatik penyunting mencoba menyajikan
teks dalam bentuk yang semurni mungkin. Kerja yang paling cocok untuk edisi ini
adalah reproduksi fotografis, naskah difoto apa adanya, tanpa mengubah
sedikitpun. Interpretasi dari peneliti ditutup kemungkinannya dalam edisi
seperti ini karena penyunting bahkan tidak dimungkinkan untuk melakukan
transliterasi atau mengalihaksarakan huruf. Apalagi membagi kata dan memberikan
pungtuasi. Kalau kita menghadapi edisi yang seperti ini, pembaca seolah-olah
membaca naskah asli.
Dalam edisi seperti ini pembaca tidak dibantu dari
berbagai kesukaran yang ada dalam teks. Edisi ini hanya menarik bagi kalangan
akademik yang mengharapkan naskah ditampilkan apa adanya sehingga mereka masih
dapat melihat keaslian teks. Bagi pembaca kalangan lain (yang lebih luas) edisi
seperti ini mungkin kurang menarik karena bacaan yang ada di hadapannya masih
sama dengan naskah asli.
Peneliti yang menggunakan metode ini haras bekerja
keras dengan memberikan pertgantar yang biasanya diletakkan pada bagian awal
edisi naskah. Contoh yang dapat diberikan dalam edisi seperti ini adalah yang
dilakukan oleh Drewes dan Voorhoeve (1958) terhadap Adat Atjeh. Naskah
Mukhtasar Tawarikh ul-Wusta dari Riau jug i pernah diterbitkan dalam edisi
diplomatik ini dalam Manuscripta
Indouesica (1994).
Edisi Biasa (Standar)
Edisi naskah
tunggal yang telah memasukkan campur tangan peneliti dalam penyuutingarmya disebut
edisi bia^a (Robson, 1978), Baroroh Baried (1985) menyebutnya dengan edisi
standar atau kritik. Dalam edisi ini inter pre tasi sudah dimasukkan
(membetulkan kesalahan reks) dan pembaca sudah dibantu dari berbagai kesulitan
dalam bahasa dan aksara yang ada dalam teks. Filolog sudah mengalil laksarakan,
membagi ka ta, menandai kata dengan memakai huruf kapital, dan menyesuaikan
ejaan yang dipakai dengan ejaan yang lebih dikenal pembaca. Di samping itu,
filolog juga sudah member! komentar pada kata yang kurang dapat dibaca dan
memberikan dugaan (konjektur). Namun, dugaan itu harus dipertanggungjawabkan
dengan member! catatan yang diletakkan pada catatan kaki. Catatan itu dibuat
agar sifat asli sebuah teks tidak hilang.
Tujuanedisi inimeinangberbeda d<
ngan edisi diplomatik. Edisibiasabertujuan agar teks dapat dinikmati oleh
pembaca vang lebih luas. Pembaca tidak mengalami kesukaran karena dibantu
menghadapi rintangan dalam memahami teks. Oleh karena itu, aksara yang
digunakan juga aksara yang sudah akrab dengan pembaca. Robson (1978) menekankan
bahwa editor dalam edisi seperti ini harus mempertanggungjawabkan segala
perubahan yang akan dimasukkaravya, tanpa mengabaikan satu titik atau koma.
Bagaimana
cara yang harus dilakukan? Bacaan yang dianggap betul (paling
baik) dimasukkan dalam teks dan bacaan naskah dicatat pada kaki halaman
{footnote) atau catatan itu dikumpulkan semuanya dan diletakkan
di tempat khusus
(halaman tersendiri yang mencatat seluruh bacaan). Ada juga yang memasukkan
bacaan yang dianggap benar di dalam a a tan kaki halaman. Kita dapat memilih di
antara kedxra catatan itu yang penting harus konsisten. Yang menjadi prioritas
di
sini adalah filolog tidak boleh mendiamkan segala perubahan yang dilakukannya.
Maksudnya supaya pembaca selalu meneliti kembali bagaimana bacaan dalam
naskah. Di samping itu, filolog juga dapat menambahkan, kalau perlu membuat
tafsiran sendiri. la selalu akan bersikap Iritis sehingga tiap-tiap keputusan
yang
diambilnya dapat diuji kebenarannya. *
Dalam edisi ini, setelah transliterasi teks biasanya
dilampirkan juga daftar kata sukar. Kata sukar maksudnya kata-kata arkais (kata
kuno yang sudah tidak dikenal lagi pada masa kini). Contoh penerapan edisi ini
banyak ditemukan, terutama dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa untuk
skripsi. Penerapan edisi ini dapat ditemukan juga pada modul 6.
Metode Edisi Naskah Jamak
Jamak berarti
lebih dari satu. Metode ini khusus diterapkan pada naskah yang jamak. Seperti
yang telah diuraikan di atas, perbandingan teks dilakukan dalam tahap edisi
teks pada naskah yang jamak. Ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metode
gabungan.
Metode landasan diterapkan jika menurut penafsiran peneliti, di
antara naskah-naskah yang diteliti berbeda nilainya. Nilai itu ditentukan setelah
penggunaan bahasa, isi, dan umur naskah diteliti. Karena berbeda, peneliti
dapat memilih salah satu di antara teks' tersebut. Pemilihan disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai.,Peneliti yang ingin mengkaji isi naskah yang bersif
at sejarah, tentunya akan mengambil naskah yang lebih lengkap atau usianya yang
lebih tua. Peneliti yang tertarik untuk mengkaji penggunaan bahasa, tentunya
akan memilih naskah yang penggunaan struktur kata dan kalimatnya lengkap.
Naskah yang sesuai dengan tujuan itu atau dianggap "berkualitas" yang
dijadikan landasan, sedangkan naskah yang lairmya dipakai sebagai bandingan.
Jiasil bandingan (perbedaan-perbedaan) dicatat dalam aparatus kritikus.
Metode gabungan juga diterapkan jika naskah lebih dari satu. Metode
ini jarang dilakukan karena risikonya lebih besar. Dalam menerapkan metode ini,
peneliti seolah-olah menciptakan sebuah teks baru yang berbeda dengan teks-teks
asli yang dipakainya.
Kapan metode ini digunakan? Metode ini dipakai jika
peneliti menganggap naskah-naskah yang dipilihnya mempunyai kualitas yang
hampir sama. Perbedaan yang ada hanya kecil saja. Karena hampir sama, peneliti
sulit memilih salah satu di antaranya. Antara naskah satu dan naskah lain
saling melengkapi sehingga kalau digabung akan muncul naskah yang paling
lengkap. Untuk itu, peneliti menggabungkan beberapa naskah yang dijadikan
objeknya. Di sebut edisi gabungan karena peneliti menggabungkan beberapa bagian
dari naskah yang satu dan beberapa bagian lain dari naskah yang lainnya. Yang
harus diingat dan diperhatikan dengan seksama bahwa peneliti harus mencatat
semua bagian yang digabungkan dengan menyebutkan sumbernya (naskah). Jika hal
itu dilakukan berarti peneliti tidak menghilangkan teks asli (data primer) yang
diambil dari naskah asli. Metode ini diterapkan J.J. Ras dalam mengedisi Hikayat Bandjar.
Robson (1994:21) mengajukan suatu istilah, metode
kritis, jika filolog telah melakukan perbaikan teks. Metode ini pada dasarnya
dapat diterapkan untuk naskah tunggal (metode standar) atau naskah jamak hanya
disesuaikan dengan tujuan. Ia memperkenalkan metode ini dalam rangka
mengkontraskannya dengan edisi diplomatik (edisi naskah tunggal). Dalam edisi
diplomatis, filolog tidak mengadakan sedikitperubahan pun dalam edisinya,
sedangkan dalam edisi kritis, filolog sudah mengadakan kritik atas naskah
(mengadakan beberapa perubahan untuk keterbacaan teks). Oleh karena itu,
peneliti sudah membuat beberapa perbaikan yang harus dipertanggungjawabkannya.
Robson memberikan catatan pada bagian awal uraian
tentang edisi ini dengan mengambil pernyataan yang dikutipnya dari De Haan
(1973:77). Di bagian itu dikatakan jika sese'orang ingin memberikan contoh
kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, bentuk
publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatis. Namun. jika
seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad ke-14, maka ia
harus memberikan kepada pembacanya edisi kritis. '
Dalam uraian tentang edisi kritis, ia
membedakan dua jenis edisi kritis. Edisi kritis yang direkonstruksi dari satu
-umber; akibatnya ada dua metode yang kontras. Yang pertama berusaha
memperbaiki teks asli yang hilang berdasarkan pada sumber-sumber yang ada,
memilih bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan, dan membakukan ejaan. Yan g
kedua, filolog mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni
mungkin berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan
dikoreksi hanya terbatas pada kesalahan dalam penulisan dan tidak membuhmkan
pembakuan ejaan.
Transliterasi
Transliterasi
merupakan inti pekerjaanyang dilakukan dalam penelitian filologi. Karena
melalui transliterasi (alih aksai a; i
i li lah,
peneliti memperkenalka n kandungan isi naskah kepada pembaca untuk mengetahui
nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Dalam filologi dibedakan dua
istiiah. vaitu transliterasi dan transkripsi.
Menurut Robson (1978:30),
transliterasi adalah pe i nindahan macam tulisan yang dipakai dan transkripsi
arti dasarnya hanya pada pemindahan tulisan saja, semacam salinan atau kopi.
Yang patut diingat kalau maksudnya memang mengganti satu macam tulisan dengan
yang lainnya, istiiah yang tepat ialah transliterasi. Kata yang lebih umum yang
dipakai untuk istiiah transliterasi adalah alih aksara. Hal ini biasanya
dilakukan untuk naskah daerah yang beraksara daerah dan akan dialihaksarakan ke
aksara Latin. Samahalnya dengan m.skah-naskah Melayu yang beraksara Arab-Melayu
(Jawi) ditransliterasi ke aksara Latin.
Langkah apa yang
harus dilakukan ] etika akan mentransliterasi? Kalau naskah yang Anda miliki
masih berbahasa daerah dan beraksara daerah berarti Anda harus
mengalihaksarakan lebih dahulu dari aksara daerah ke dalam aksara Latin. Hal
itu dilakukan untuk keterbacaan teks. Setelah itu, Anda menerjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Tanpa disertai terjernahan, masyarakat di luar pemakai bahasa
itu tidak memahami isinya.
Bagaimana cara
membuat transliterasi? Memirut Robson, kita harus sudah melakukan pembagian
kata, penyesuaian ejaan, dan menggunakan tanda baca. Sekali lagi ditegaskan
bahwa hal itu dilakukan agar pembaca yang lebih luas dapat mengerti. ladi,
semua dilakukan untuk keterbacaan naskah. Tanpa melakukan hal itu, pembaca
masih kurang memahami isi. Dengan melakukan hal itu berarti peneliti belum
membantu pembaca dalam membuka teks.
Pertanggung jawaban Transliterasi
Sebelum
transliterasi naskah, dibuat sebuah pertanggungjawaban transliterasi. Dalam
pertanggungjawaban itu diuraikan pedoman apa yang digunakan. Tanpa menggunakan
sebuah pedoman, pekerjaan yang dilakukan biasanya tidak konsisten dan sukar
diuji kebenarannya.
Pedoman yang dipakai untuk transliterasi aksara
Arab-Melayu ke aksara Latin dapat digunakan beberapa buku pedoman. Pedoman itu
di antaranya dibuat oleh J.J. Holander (1984) dalam Pedoman Bahasa dan sastra Melayu yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka.
Selain pedoman itu, masih ada beberapa buku yang memuat bagaimana kita
mengalihaksarakan huruf. Untuk pedoman transliterasi aksara Arab yang berbahasa
Arab ke aksara Latin, pedoman yang dapat dipakai di antaranya adalah pedoman
transliterasi yang dibuat oleh Departemen Agama (1985/1986). Untuk aksara
daerah ada beberapa buku yang dapat dipakai sebagai pegangan. Contoh-contoh
penggunnaan aksara yang diuraikan pada modul 3 dapat dipakai sebagai pedoman
karena diambil dari beberapa buku yang memang membahas aksara daerah.
Bukan hanya pedoman yang diperlukan
dalam pertanggungjawaban transliterasi, tetapi juga hal-hal lain, seperti
tanda-tanda yang digunakan dalam kerja itu. Beberapa contoh akan diuraikan di
bawah ini.
a.
Seperti
yang sudah diuraikan di atas kalau ada perbedaan bacaan (dalam
perbandingan naskah), perbedaan bacaan itu ditempatkan dalam apparatus
kritikus. Akan tetapi, keterangan dan cara kerja penyusunan itu harus
diungkapkan dalam bagian ini.
perbandingan naskah), perbedaan bacaan itu ditempatkan dalam apparatus
kritikus. Akan tetapi, keterangan dan cara kerja penyusunan itu harus
diungkapkan dalam bagian ini.
b.
Ejaan
yang digunakan harus dijelaskan.
c.
Dalam
teks sering kali satu kata ditulis dengan dua bentuk bahkan tiga bentuk
tulisan. Jika terdapat perbedaan bentuk tulisan, kita harus memilih satu kata
saja clan bentuk tulisan yang lain harus dijelaskan dan dicontohkan.
tulisan. Jika terdapat perbedaan bentuk tulisan, kita harus memilih satu kata
saja clan bentuk tulisan yang lain harus dijelaskan dan dicontohkan.
d.
Bukan
hanya kata yang ditulis berbeda-beda, nama diri juga sering ditulis
dalam dua bentuk atau tiga bentuk. Bentuk yang mana yang dipilih dan pilihan
itu harus dinyatakan. Variasi bentuk tulisan juga harus dijelaskan dalam bagian ini.
dalam dua bentuk atau tiga bentuk. Bentuk yang mana yang dipilih dan pilihan
itu harus dinyatakan. Variasi bentuk tulisan juga harus dijelaskan dalam bagian ini.
e.
Kata-kata
yang salah, biasanya dibetulkan. Kesalahan dan pembetulan itu
harus dijelaskan dan dicontohkan bagaimana pembetulan itu dilakukan.
harus dijelaskan dan dicontohkan bagaimana pembetulan itu dilakukan.
f.
Hal-hal
yang ditambahkan dan dikurangi oleh peneliti juga harus dinyatakan
dengan sejelasnya pada bagian ini.
dengan sejelasnya pada bagian ini.
g.
Tanda-tanda
khusus yang digunakan oleh peneliti untuk kelancaran pembacaan
teks harus dinyatakan. Tanda-tanda yang lazim digunakan dalam transliterasi
seperti contoh di bawah ini.
teks harus dinyatakan. Tanda-tanda yang lazim digunakan dalam transliterasi
seperti contoh di bawah ini.
(....) tanda yang digunakan untuk penambahan kata
atau huruf dari
penyunting; dalam
teks kata atau huruf itu tidak ditemukan.
[....] tanda yang digunakan untuk menghilangkan
kata atau huruf yang ada
dalam teks, kata atau huruf itu dimasukkan dalam
tanda itu untuk kelancaran pembacaan.
.../1... tanda
yang digunakan sebagai pengalihan halaman dalam teks.
Pembagian Kata-kata
Dalam
aksara daerah tampaknya hampir seluruhnya belum mengenal tanda
baca. Oleh karena itu tidak ditemukan spasi di antara kata-kata dan tidak ada
tanda
baca. Sebagai penyunting yang ingin menyajikan teks agar dapat dibaca oleh
pembaca yang lebih luas, ia harus memberikan tanda baca dengan membagi kata-
kata. Pembagian itu dilakukan agar teks dapat dimengerti. Misalnya dalam naskah
Melayu yang ditulis dengan aksar Melayu (Jawi) tidak ditemukan sama sekali
pembagian kata atau tanda baca Kalimat terus berlangsung kata demi kata, kali
mat demi kalimat dan akhirnya berganti dari satu halaman ke halaman lainnya.
Bagaimana kita menyajikan bacaan yang seperti itu? Untuk itu, kita dapat
membagi kata demi kata dan kalimat demi kalimat a gar struklurny a jelas
sehingga inf ormasinya pun dapatsampai kepada pembaca. U ntukitu keperluan itu,
pedoman sebuah ejaan menjadi penting danharus dipakai. Transliterasi dilakukan
berdasarkan pembakuan ejaan yang mana?
Ejaan
Pentingnya menggunakan sebuah ejaan sebagai pedoman
dalam transliterasi adalah agar suntingan yang dibuat menjadi konsisten. Jika
konsisten, pembaca tidak akan bingung karena penyunting sudah menyesuaikan
dengan ejaan yang dipilihnya. Ejaan yang biasa dipakai untuk alih aksara ke
aksara Latin adalah ejaan yang berlaku saat ini, yaitu Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan. Cara kerja itu harus dijelaskan agar dapat
dipertanggungjawabkan. Kita tidak boleh seenaknya melakukan perubahan dalam
teks, tetapi harus membuat per tanggungj awabarvny a.
Bukanhanya ejaan yang digunakan dalam
mentransliterasisajayang diuraikan, ejaan dan bahasa yang digunakan dalau i
naskah juga sebaiknya dijelaskan sebelum melakukan transliterasi. Uraian ini
sanga t membantu dalam menentukan asal-usul sebuah naskah, kapan, di mana,
orang dari tingkatan mana yang menghasilkan naskah itu.
Pendekatan atau Kajian
Apakah langkah
kerja yang enam langkah itu sudah mencukupi dalam f ilologi? Sebenarnya langkah
Itu telah memadai dalam edisi naskah. Namun, menurut Robson (1994:13) tugas
filolog ternyata bukan hanya sampai pada kritik teks, metode penyuntingan, dan
transliterasi yang disebutkan di atas dalam sebuah edisi naskah. Akan tetapi,
penyajian edisi tersebut dapat ditambah dengan interprets: atau
penafsiran terhadap teks yang disunting. Hal itu dilakukan karena menurutnya
tugas filolog bukan hanya menghilangkan segala rintangan dalam pembacaan teks
tetapi filolog juga harus berhasil mengeluarkan sifat-sifat dasar sebuah teks
untuk pembacanva. Bagaimana cara melakukannya?
Pertanyaan itu menarik untuk
dijawab. Baginya sebuah teks mempunya: signifikasi penuh jika kita dapat
memandangnya dalam konteks yang tepat, yakni sebagai bagian dari keseluruhan
teks lain yangmuncul bersamanya. Jadi, konteksnya harus diperhatikan karena
konteks merupakan bagian dari signifikasi atau pemaknaan suatu teks. Hal yang
dapat dilakukan, di antaranya dengan menempatkan teks pada la tar belakang
sejarahnya dan melihat fungsinya dalam masyarakatnya.
Dalam menginterpretasikan teks,
dilakukan berbagai kajian dengan berbagai pendekatan. Pendekatan harus sesuai
dengan sif at naskah. Seperti yang dikatakan Robson (1978:24) bahwa kita
membutuhkan pendekatan yang lebih luas daripada hanya mengatakan bahwa sebuah
naskah berfaedah atau fungsional saja. Pendekatan yang luas itu berguna untuk
meliput dan melukiskan keleluasaan sastra sebagai keseluruhan. Kita membutuhkan
teori yang akan membantu kita menghargai setiap karya sastra.
Apa yang harus diperbuat dengan teks? Ada tiga
prinsip yang harus diingat dalam menghadapi sebuah teks. (1) Teks harus
dianalisis sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri.'(2) Teks harus diperiksa pada
latar kebudayaannya sendiri. (3) Keanekaragaman teks perlu diselidiki secara
terpisah dari yang lain. Teks itu sendiri pada hakikatnya sangat beragam oleh
sebab itu, pendekatannya pun harus beragam pula supaya kita dapat menunjukkan
bahwa teks-teks tersebut (sastra tradisional) dapat berguna untuk masa
sekarang. Gunanya itu khususnya dalam bidang (1) agama, filsafat, mitologi, (2)
ajaran yang bertalian dengan sejarah, dan etika, (3) keindahan alam dan aspek
lain.
Keragaman pendekatan yang pernah diterapkan dalam
teks-teks naskah Nusantara akan dicontohkan dalam modul 5, aneka edisi naskah
Nusantara dan kajiannya. Penelitian yang disajikan pada bagian itu hanya
beberapa buah saja. Sementara itu, masih banyak lagi penelitian yang
pendekatannya beragam yang belum disajikan.
Metode atau cara
kerja dalam penelitian filologi penting. Metode itu disesuaikan dengan
keberadaan tel.-. Karena terciptanya sebuah teks, pada masa lalu, sangat rumit,
cara kerja itu dapat menolong-untuk memecahkan kemrrutan.
Pada dasarnya ada dua metoie edisi teks, yaitu edisi
atas naskah tunggal dan edisi teks atas naskah jamak. Dalam edisi naskah
tunggal ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode edisi diplomatik dan
edisi biasa (standar). Edisi diplomatik dipakai jika penyunting ingin
menyajikan teks apa adanya kepada pembaca Kesukaran bacaan belum terpecahkan
dalam edisi ini, sedangkan dalam edisi biasa, kesukaran bacaan sudah tidak
ditemui lagi oleh pembaca karena penyunting telah memberikan catatan-catatan.
Dalam menghadapi naskah jamak, ada dua metode yang
dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metod<: gabungan, Metode landasan
dipakai kalau menurut penyunting ada satu naskah yang "lebih
nilainya" dari yang lain. Naskah ltulah yang akan dijadikan landasan.
Metode gabungan dipakai jika penyunting merasa dari teks-teks yang ditemukan
nilainya samasehingga suiit menentukan satu naskah yang akan dipilih. Berdasarkan
hal ltulah, metode gabungan dipakai. Risiko yang dipakai oleh metode ini sangat
besar karena penyunting seolah-olah membuat teks yang paling baru yang tidak
ada dalam teks-teks mana pun.
1
EDISI TEKS NASKAH TUNGGAL DAN
KAJIANNYA
Pak Belalang (Naskah Melayu)
Penelitian ini
diberi judul Pak Belalang: Snatu
Cerita Humor Melayu dikerjakan
oleh Maria Indra Rukmi diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Penerbitan Buku
Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, tahun 1978. Pada bagian pendahuluan
dikatakan bahwa naskah dengan nomor W.212, terdiri atas dua teks, Pak Belalang dan
cerita Lebai Malang. Keduanya berasal dari sastra Melayu. Meskipun naskah
itu terdiri atas dua teks, Indra Rukmi hanya mengambil satu teks sebagai bahan
kajian dalam penelitiannya, yakni Pak
Belalang. Naskah tersebut
merupakan naskah tunggal yang hanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan
NasionaL Jakarta. Oleh karena itu, untuk edisi naskah ia memilih metode edisi
biasa (standar). Pada bagian itu ia juga menyampaikan tujuan penelitiannya,
yakni mencoba membandingkan teks Pak
Belalang dengan cerita-cerita
rakyat sejenis. Yang dimaksud dengan cerita sejenis adalah cerita-cerita yang
mempunyai unsur yang sama. Unsur yang sama itu adalah humor yang ada di
dalamnya. Oleh sebab itu, cerita dengan jenis seperti itu dapat dimasukkan
dalam genre cerita humor. Tujuan yang kedua adalah mencoba
melihat la tar belakang cerita itu, f ungsinya dalam masyarakat, dan penyebaran
di berbagai daerah.
Dalam bab satu ia
memfokuskan pembicaraannya pada pernaskahan. Pertama, ia menguraikan riwayat
naskah. Dalam riwayat itu ia menemukan informasi yang menarik dalam kolofon
naskah, bahwa naskah itu disalin di Pulau Penyengat Cerita itu diambil dari
cerita rakyat dan dibuat atas suruhan seorang pejabat Belanda yang bernama Von
de Wall. Dari informasi itu ia dapat mengembangkan pembahasannya dengan melihat
la tar belakang sejarah Pulau Penyengat, yaitu suatu pulau yang terletak di
Kepulauan Riau. Di samping itu, ia juga menguraikan kondisi naskah, bahasa yang
digunakan, dan penulisan naskah serta naskah Pak Belalang yang
sudah dipublikasikan oleh Winstedt pada tahun 1893. Kemudian ia membandingkan isi cerita
naskah yang sudah terbit itu dengan cerita Pak Belalang yang
masih dalam bentuk naskah. Setelah perbandingan, pada bagian ini juga ia
melakukan transliterasi teks. Sebelum masuk pada transliterasi, ia memberi
pertanggungjawaban transliterasi. Dalam pertangungjawaban itu diuraikan hal-hal
yang berhubungan dengan pedoman alih aksara dan cara yang dilakukan dalam
memperbaiki teks. Hal itu ia lakukan jika ia menemukan kata-kata atau tulisan
yang tidak terbaca. Untuk melengkapi transliterasi, agar pembaca dapat memahami
bahasanya, dilampirkan daftar kata-kata sukar yang sudah diberi arti.
Bab dua merupakan bagian analisis.
Dalam bagian itu dikatakan meskipun teks Pak Belalang itu
teks tertulis, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sastra lisan
atau cerita rakyat. Bagian ini diberi judul "Latar Belakang Cerita
Humor". Judul itu diberikan karena cerita Pak Belalang termasuk
cerita humor. Latar belakang itu dibicarakan sehubungan dengan kolofon atau
informasi yang ditemukan dalam akhir teks, bahwa Pak Belalang disalin
dari cerita lisan yang tersebar pada waktu itu. Alasan itu kuat baginya untuk
menerapkan pendekatan dengan melihat motif cerita berdasarkan motif index yang
ada dalam daftar yang dibuat oleh Stith Thompson.
Ada dua hal yang menjadi perhatiannya ketika
membahas fungsi cerita humor dalam masyarakat Melayu. Ia mengatakanbahwa cerita
itu termasuk dalam dongeng. Sebagai dongeng, Pak Belalang mempunyai
tiga fungsi, yaitu sebagai hiburan, alat pendidikan, dan alat untuk melakukan
kontrol sosial.
Ia juga melihat kedudukan cerita Pak Belalang dalam
kelompok cerita humor lain, yaitu "Pak Kadok", "Pak
Pandir", "Lebai Malang", "Si Luncai"," Abu
Nawas", "Mahashodhak", "Mat Janin", dan "Musang
Berjanggut". Dari berbagai cerita itu ia melihat sifat humor cerita
berdasarkan sifat-sifat tokoh. Yang dilakukan kemudian adalah membagi cerita Pak Belalang ke
dalam beberapa episode. Berdasarkan episode itulah ia melihat motif cerita.
Motif-motif cerita itu ada kesamaannya dengan cerita-cerita di atas sehingga
cerita-cerita termasuk dalam satu sejenis. Kesamaan itu ditemukan dalam
berbagai unsur cerita dengan melihat dalam Motif Index of
Literature. Pada akhirnya ia
sampai pada pertanyaan yang paling dasar, mengapa cerita itu memiLiki kesamaan,
apakah kesamaan itu terjadi karena cerita yang satu mempengaruhi cerita yang
lain atau apakah kesamaan itu muncul secara tersendiri di berbagai daerah
sebagai suatu cerita yang universal.
Basimalin (Naskah Minangkabau)
Penelitian yang
berjudul Naskah
Tradisi Basimalin:Pengantar dan Transliterasi dilakukan
oleh Suryadi, 1998. Diterbitkan di Jakarta oleh Program Penggalakan Kajian
Sumber-Sumber Tertulis Nusantara, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Edisi
naskah ini menarik karena naskah yang diambil juga berasal dari tradisi lisan
Minangkabau.
Pada pendahuluan
dikatakan bahwa kesastraan Minangkabau pada hakikatnya hidup dari tradisi
lisan. Oleh karena itu, banyak naskah diturunkan dari tradisi lisan. Di antara
naskah itu adalah naskah Kaba Malin Deman yang dijadikan objek penelitiannya.
Naskah itu diturunkan dari tradisi basimalin, yaitu
suatu tradisi resitasi yang dilakukan oleh beberapa lelaki dan perempuan dewasa
yang mendendangkan sebuah cerita. Naskah yang dihasilkan dari tradisi ini,
menurutnya, sangat langka karena ditulis dalam aksara Jawi dengan bahasa
Minangkabau dialek Payakumbuh. Dalam resitasi ini didendangkan kisah Kaba Malin
Deman yang motif ceritanya hampir sama dengan "Jaka Tarub", cerita lisan
Jawa, atau "Rajapala", cerita lisan Bali.
Dalam cerita itu dikisahkan
kehidupan seorang pria bumi yang menikahi bidadari dari kayangan. Cerita Kaba
Malin Deman dikenal luas di Minangkabau, tetapi apresiasi atas cerita itu —
melalui tradisi basimalin— bersifat lokal. Cerita dengan tradisi itu hanya
dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau di sebagian wilayah Kecamatan Harau,
luar Kotamadya Payakumbuh, Sumatra Barat. Oleh karena itu, ia tertarik
menyajikan naskah itu dengan tujuan naskah tersebut dapat dibaca oleh kalangan
yang lebih luas dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Dengan
tujuan itu pula, ia menyertakan terjemahan teks ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam bab kedua
ia membahas konteks sosial dan pertunjukan basimalin. Ia menguraikan bahwa
dalam tradisi pertunjukan basimalin
hanya satu cerita yang disajikan,
yakni Kaba Malim Deman yang didendangkan berdasarkan pada naskah. Pada saat
pementasan, naskah diletakkan di hadapan seorang tukang simalin yang
berdendang. Pertunjukan itu biasanya diadakan pada malamhari, selepas salat
isya sampai menjelang waktu subuh (pukul 21.00 — 04.00). Basimalin ditampilkan
biasanya dalam upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan, seperti
perkawinan, kelahiran bayi, anak turun mandi, dan sunatan.
Dalam pembicaraan pernaskahan ia
mengatakanbahwa teks yang disunting itu berbentuk prosa liris. Naskah itu milik
perorangan, yakni Suhaimi Dt. Majo Basa yang usianya sekitar 70 tahun. Survadi
memperoleh informasi bahwa Suhaimi menyalin naskah itu berdasarkan naskah milik
Dimin Dt. Majo Basa —lahir tahun 1901 dan meninggal pada tahun 1977. Dimin Dt
Majo berasal dari Desa Aia Putiah, Lubuk Bangku. Naskah milik Dimin Dt Majo
itu, sampai saat ini, sudah tidak ditemukan lagi. Setelah diteliti,'Survadi
menemukan bahwa dalam naskah itu banyak ditemukan kata-kata arkais yang sudah
jarang dikenal lagi oleh masyarakat Payakumbuh. Baginya keseluruhan bahasa
naskah ini cukup "aneh" di telinga orang Minangkabau saat ini. Atas
alasan itu, ia menduga teks ini usianya cukup tua.
Serat Panji Angreni (Jawa)
Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, tahun 1998, menerbitkan sebuah penelitian yang dibuat
oleh Karsono H. Saputra. Judul penelitian itu Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni. Dalam pendahuluan dikatakan bahwa edisi naskah tidak
menjadi tujuan utama dalam penelitian ini. Meskipun pernyataannya seperti itu,
ternyata edisi naskah itu dilakukan lengkap dengan transliterasinya. Naskah
yang dijadikan objek penelitiannya berjudul, KBG 185, koleksi Perpustakaan Nasional,
Jakarta. Masih dalam bagian pendahuluan dikatakan bahwa dalam analisis teks
digunakan pendekatan objektif, pendekatan yang bertitik tolak pada teks sastra.
Tujuan yang ingin dicapai ada dua. Yang pertama adalah mendeskripsikan
unsur-unsur yang membentuk tata bangun teks KBG 185 dan yang kedua menemukan
hubungan antarunsur pembentuk tata bangun teks tersebut. Untuk mencapai tujuan
itu, ia menggunakan teori strukturalisme yang diajukan Todorov dengan melihat
aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek verbal. Ketiga aspek itu diuraikan
dalam bab-bab tersendiri.
Pada uraian tentang naskah KBG 185
ia mengatakan bahwa Serat
Panji Angreni merupakan salah
satu versi dalam korpus cerita panji. Versi cerita panji yang lain, di
antaranya Panji Jayalengkara,
Panji Pnyembada, Panji Dewakusuma,dan Panji Jaya Kusuma. Teks Serat
Panji Angreni menurutnya
terekam dalam 12 naskah. Kedua belas naskah itu disimpan dalam berbagai tempat
yang tersebar. Perpustakaan Nasional, Jakarta, menyimpan dua naskah; Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, Depok, menyimpan tiga naskah; Museum Sasono
Pustoko, Surakarta, menyimpan satu naskah; Museum Sono Budovo, Yogyakarta,
menyimpan 2 naskah, dan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, menyimpan
tiga naskah. Meskipun naskah ini merupakan naskah jamak (lebih dari satu), ia
memperlakukan naskah ini sebagai naskah tunggal.Hal itu dilakukan karena,
menurutnya, naskah-naskah yang lain tidak mungkin terjangkau dalam
penelitiannya. Alasan pertama yang diberikan karena tempat penyimpanan naskah
yang ada di Yogyakarta dan Solo sedang ditutup untuk umum pada vvaktu
penelitian ini dilakukan. Alasan kedua karena keterbatasan waktu dan dana,
naskah yang dikoleksi Universitas Leiden tidak mungkin terjangkau. Oleh karena
itu, ia memilih naskah KBG 185 sebagai dasar penelitian dan naskah inilah yang
disunting atau ditransliterasi. Alasan ketiga, naskah itu dipilih karena isinya
lengkap dan utuh sehingga memungkinkan untuk menerapkan teori yang diajukan
oleh Todorov.
Pendekatan objektif dengan
penerapan teori Todorov diuraikan mulai bab 2 sampai dengan bab 4. Ketika
membahas aspek sintaksis, ia menguraikan urutan sekuen (setiap ujaran yang
membentuk satuan makna), urutan logis (urutan berdasarkan hubungan sebab-akiba
t), dan urutan temporal (urutan kronologis atau urutan waktu). Dalam aspek
semantik tiga hal yang dikaji, tokoh, latar (tempat dan waktu) serta tema.
Pembahasan tokoh dilihat dengan memperhatikan nama tokoh, citraan dan
kepribadian serta derajat sosial. Tokoh-tokoh yang dikaji, Serat Panji Angreni,
Sekartaji, Prasanta, dan Andayaprana. Dalam aspek verbal, ia meneliti masalah
penceritaan, sudut pandang dan gaya bahasa. Dalam bagian ini, di antaranya
dibicarakan prosodi macapat yang dipakai dengan memperhatikan guru wilangan,
guru gatra, dan guru lagu. Transliterasi dimasukkan dalam bagian tersendiri,
yaitu pada lampiran.
Ketiga naskah
yang dibicarakan sebagai naskah tunggl adalah naskah Pak Belalang versi melayu,
naskah Basimalin yaitu Malin Deman dari Minangkabau, dan naskah Panji Angreni
dari Jawa. Naskah Pak Belalang termasuk cerita humor, terdapat pada koleksi
naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Kolofon cerita menginformasikan bahwa
cerita ini disalin di Pulau Penyengat Riau, atas perintah pejabat Belanda Van
de Wall dan pernah diterbitkan oleh R.O. Winstedt pada tahun 1893. Naskah
Basimalin Minangkabau merupakan cerita lisan yang berisi tentang cerita Malin
Deman yang sama isinya dengan cerita Djaka Tarub di pulau Jawa. Malin Deman
menceritakan tentang seorang pemuda ka win dengan putri kayangan yang akhirnya
berpisah kembali. Kisah Basimalin ini diceritakan pada upacara yang terdapat di
masyarakat sebagai siklus kehidupan seperti pada waktu pernikahan, sunatan,
kelahiran atau turun mandi. Mengingat bahwa naskah yang berbeda dengan bahasa
Minangkabau sekarang ini, maka dianggap naskah ini adalah naskah yang sudah tua
isinya. Serat Panji Angreni adalah naskah satu versi. Cerita Panji yang lain
tersimpan di berbagai perpustakaan di Indonesia maupun Belanda. Isinya lengkap untuk
menerapkan teori kajian sastra.
2
EDISI
NASKAH JAMAK
DAN
KAJIANNYA
Hikayat
Bandjar (Naskah Melayu)
HikayatBandjar
termasuk dalam sastra sejarah. Naskah itu diteliti oleh Johanas Jacobus Ras
dengan judul Hikajat Bandja r.
A Study in Malay Historiografi. Diterbitkan
di Belanda oleh Martinus Nijhoff, I%8. Dalam pendahuluan dikatakan bahwa
penelitian ini bertitiktolak dari adanya anggapan yang meremehkan sastra
sejarah atau kronik Melayu. Sastra sejarah dianggap tidak berisi informasi
sejarah. Oleh karena itu, Ras ingin membuktikan dengan mengambil sebuah kronik
Melayu dari Bandjarmasin, Kalimantan. Ia, dalam penelitian ini, menyajikan
sebuah edisi teks dan terjemahan. Kedua hal itu dilakukan dengan pertimbangan
bahwa edisi naskah ter sebut dapat digunakan sebagai bahan yang amat bernilai
dalam pengkajian sejarah kebudayaan Nusantara. Namun, kalau digunakan sebagai
bahan penulisan sejarah Melayu, karya itu menjadi dianggap kurang begitu
penting.
Bab pertama terdiri atas 5 bagian.
Bagian (1) memperkenalkan penerbitan-penerbitan awal tentang daerah Banjar.
Terbitan yang disebutkan, di antaranya adalah J. Hageman yang menulis Contribution to
History of Borneo, tahun
1857, A. Van der Ven menulis Notes
on tlie Realm of Bandjermasin, tahun
I860. Dalam bagian ini disinggung juga tentang naskah-naskah yang akan dibahas.
Selain itu, ia juga membahas pemakaianbahasa yang digunakan, yaitu bahasa
Melayu yang ragamnya tidak sama dengan bahasa Melayu standar. Sebagian besar
pemakaiarmya tidak tunduk dengan bahasa baku Melayu Riau-Johor. Bahasa
percakapan daerah Banjar banyak digunakan karena naskah ditulis di Kalimantan
Tenggara. Oleh sebab itu, orang yang tidak kenal dengan bahasa itu agak sukar
memahaminya. Topik lain yang disorotnya juga adalah tradisi penulisan sejarah
Melayu yang banyak berbaur dengan mitos. Dicontohkan penelitian yang dilakukan
oleh Djajadiningrat yang mengatakan bahwa di kerajaan-kerajaan Indonesia,
tradisi sejarah telah terpelihara dan telah dilakukan dari dahulu kala. Tradisi
ini merupakan suatu laporan asal-usul suatu kerajaan.
Dari teks-teks yang ada, Ras
menggolongkan cerita menjadi dua, yaitu resensi I dan II. Kedua resensi itu
dibuat ringkasannya dan masing-masing dibagi atas 12 episode. Setelah itu
antara keduanya dibandingkan. Dari perbandingan itu, ia menyimpulkan bahwa
antara dua resensi itu terdapat ketidakseimbangan. Pada dasarnya kedua resensi
berjalan sejajar, hanya pada bagian-bagian tertentu panjang pendeknya cerita
berbeda; misalnya dalam resensi sejarah kerajaan Kalimantan Barat dibagi atas
empat zaman, sedangkan dalam resensi II hanya terdiri atas 2 zaman. Di samping
itu, ia juga membuat perbandingan dengan hikay at Melayu lain serta karya
sastra Jawa, hanya penekanannya dengan melihat persamaan-persamaannya. Dalam
perbandingan itu ada 4 hal yang disampaikan. (1) persamaan dilihat berdasarkan
mitos Melayu tentang asal-usul putri yang muncul dari buih. Kemunculan Putri
Junjung Buih itu dilihat dari lima cerita, Silsilali Kutai, Cerita Sukadana, Sejarah Melayu,
Hikayat Merong Malwzvangsa, Hikayat Aceh. Bagian itu ditampilkan dengan tujuan menjelaskan
mitos asal-usul yang melambangkan penciptaan satu kesatuan antara unsur kosmik,
air (dunia bawah) dan matahari (keinderaan). (2) Persamaan dengan melihat mitos
Melayu tentang asal-usul dan cerita Rama Melayu. Dalam persamaan ini dilihat
cerita Salasilah Kutai dan Serat
Kanda. Dalam hikayat Melayu, Hikayat Sri Rama, ditemukan juga kemunculan Putri Junjung Buih, yaitu
ketika Raja Destarata menikah dengan gadis dari buluh. Putranya, Rama, menikah
dengan Sinta. Hal itu dihubungkan dengan unsur kosmik air. Di- sini terlihat
bahwa Hikajat Bandjar sama dengan Hikayat
Sri Rama. Jika dibandingkan
dengan Silsilah Kutai perbedaan ditemukan dalam perwujudan Mangkubumi. (3)
Persamaan juga dilihat antara Hikayat
Banjar dan Sejarah Melayu dengan melihat tokoh-tokoh yang muncul, yaitu
munculnya putri yang berasal dari buih, pendiri kerajaan, tokoh Mangkubumi,
Putera Raja dari Cina, Raja Iskandar Zulkarnain, Nabi Khidir, Raja Keling, dan
Raja Negeri bawah laut. (4) Persamaan dilihat juga dengan berdasarkan pada
cerita Ampu Jatmika dan Kisah Raja Awab dalam Serat Kanda. Dari cerita itu ia
menemukan persamaan tentang cerita Maharaja Awab dan cerita Panji serta cerita
dinasti kerajaan Jawa.
Pada kritik teks atas resensi I ia
melihat penggunaan bahasanya. Menurut Ras perbendaharaan kata dan gaya bahasa
dalam teks tidak sama antara bagian awal danakhir. Bahasa yang digunakan
dalamseparuh bagian pertama lebih dekatpada bahasa Melayu klasik. Selain itu,
pada beberapa kata, seperti kata ganti digunakan kata Jawa. Kebanyakan
kata-kata itu digunakan dalam bahasa resmi dan tidak resmi. Peralihan dari
bahasa Melayu ke bahasa Jawa mencerminkan satu perubahan dalam percakapan yang
memunculkan pula satu perubahan kebudayaan.
Ia menyimpulkan bahwa teks resensi
I ditulis sekurang-kurangnya oleh dua orang yang bekerja pada zaman yang
berbeda. Perubahan juga terjadi dengan penggunaan kata-kata Arab oleh
pengarang. Hal itu menandakan bahwa pengarang pertama telah mengarang pada masa
Islam masuk ke Kalimantan Tenggara. Pengarang menulis dalam zaman Islam
ortodoks yang baru masuk ke daerah itu sebagai agama resmi. Masa itu di
Banjarmasin zaman Sultan Suryanullah. Teks yang ditulis di istana itu tidak
lengkap, kemudian pengarang kedua menyalinnya dan menambahkan serta membuat
perubahan.
Pada bagian
akhir menurutnva ada cerita sambungan yang berhubungan dengan raja-raja
berikutnya. Bagian ini mengandung lakuna
ketika menceritakan masa
pemerintahan Sultan Hidayatullah. Bagian yang hilang itu menceritakan
pembuangan Sultan Hidayatullah ke Mataram dan digantikan oleh Sultan
Mustainullah. Bagian teks setelah lakuna yaitu tentang kisah pemerintahan
Marhum Panembahan ditulis selepas kemangkatan sultan itu. Dengan melihat
perbedaan gaya penceritaan dengan cerita sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
selepas lakuna seorang pengarang baru yaitu yang ketiga telah mulai mengarang.
Penyalin itu menyalin teks yang lama dan mengarang bagian akhir teks dengan
caranya sendiri serta menambah satu cerita sambungan. Ras menyimpulkanbahwa
penulisan itu mungkin dilaktikan di kraton baru di Kayu Tangi yang telah dibina
oleh Raja (Marhum Panembahan). Pengarang yang ketiga bekerja untuk Pangeran
Dipati Tapasana yang menggantikan putra sulung Marhum Panembahan sebagai sultan
Riayatullah. Dalam bagian terakhir. pengarang memusatkan perhatiannnya pada
Pangeran Dipati Anta-Kusuma atau ratu Kota Waringin daripada Tapasana. Oleh
sebab itu, judul teks bernama Cerita Raja-raja Banjar dan Kota Waringin.
Dalam bagian kelima diuraikan jajahan Melayu di
Kalimantan Tenggara dan hubungannya dengan Jawa. Untuk melihat keadaan itu, Ras
melihat beberapa kasus, di antaranya penyebutan kata Keling dan
negeri Tanjung Pura. Keling di Nusantara biasanya adalah India Selatan karena
di situ ada orang yang disebut orang Keling, sebutan dari Kalingga. Dalam
beberapa karya Jawa nama itu adalah nama lain Kuripan atau Jenggala yang ada
pada masa Majapahit.
Pada bagian kritik teks, Ras merekonstruksi teks
dengan membandingkan teks-teks resensi I. Pada bagian ini ia sampai pada
kesimpulan bahwa perbendaharaan kata dan gaya teks resensi I tidak sama dari
awal hingga akhir.Bahasa yang digunakan pada bagian awal dan tengah ialah
bahasa Melayu klasik. Dalam teks ini juga digunakan kata-kata Jawa
"baru" dan bahasa percakapan Banjar. Bagian enam adalah pernaskahan
dan edisi naskah. Ia menemukan 8 naskah yang ada di Jakarta — seperti yang
disebutkan oleh Van Ronkel, 10 naskah di Eropa, yakni 7 di Leiden, 1 di Jerman,
dan 2 di Inggris. Dari naskah-naskah itu ia mendeskripsikan— meskipun tidak
mendetail—seluruh naskah dengan menyebutkan tahun penyalinan. Bahkan ia
mengelompokkan masing-masing naskah dengan melihat variasi bacaan. Berdasarkan
itulah, ia membagi naskah-naskah tersebut menjadi dua kelompok.
Bagian edisi teks, bab dua,
disertai dengan terjemahan dan aparatus kritikus yang diletakkan pada footnote. Edisi
itu menggunakan metode gabungan, yaitu menggabungkan 5 naskah. Bab tiga adalah
glosari dan indeks serta lampiran yang sangat lengkap berupa gambar silsilah
dan beberapa foto, peta, dan latar belakang sejarah serta sosial budaya kota
Waringin, permainan dan hiburan, dankesusastraan Melayu di daerah itu.
Babad
Buleleng (Naskah Bali)
Naskah yangberasal dari Bali itu diteliti oleh
seorang sarjana dari Australia, P.J. Worsley yang diberi judul Babad Buleleng, 1972, diterbitkandi Belanda oleh Martinus Nijhoff.
Cerita dalam naskah itu banvak menampilkan tokoh dan peristiwa
"sejarah" dari daerah Bali. Dalam penelitian ini, Worsley berhadapan
pada sebuah tradisi penulisan sastra yang berkaitan dengan fungsinya. Tradisi
penulisan ini menarik dan yang dipersoalkannya mengapa karya seperti ^itu
diciptakan pengarang. Tambahan lagi karya sastra itu seringkali muncul sebagai
karya anonim, tanpa tanggal pembuatan dan keterangan tentang kepengarangannya
sehingga sebuah interpretasi sering menjadi agak berisiko.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Worsley menggunakan
pendekatan objektif yaitu sebuah kajian sastra dengan analisis bentuk, tema,
dan fungsi serta penokohan. Unsur sastra tersebut diharapkan dapat
memperlihatkan tujuan pengarang dan fungsi karya sastra tersebut. Untuk
kepentingan penelitian itu, ia memakai4 naskah Babad Buleleng yang terdapat dalam berbagai koleksi, yakni
Perpustakaan Fakultas Sastra Udayana, Gedong Kirtya, Bali, serta Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Dari keempat naskah itu, ia memilih satu naskah
sebagai landasan. Naskah inilah yang ditransliterasi dan naskah-naskah lainnya
digunakan sebagai pembanding.
Yang dibicarakan pada bagian pertama adalah tentang
cerita Babad Buleleng yang mengisahkan kehidupan Panji Sakti. Karya itu
adalah sebuah karya sastra Bali yangberisi genealogi atau silsilah. Cerita yang
terdiri atas 22 episode ini menyajikan daftar nenek moyang tokoh tersebut.
Dalam silsilah itu dikatakan bahwa leluhur Panji Sakti adalah seorang imigran
yang berasal dari Maosapahit (Majapahit). Masa kecilnya diceritakan ketika ia
berada di Bali Selatan, di Kerajaan Gelgel dan ia diramal akan menjadi Raja Den
Bukit. Dalam bagian lain juga digambarkan tentang Panji Landung dan beberapa
peristiwa lain yang berhubungan dengan cerita Bali Selatan. Cerita berakhir
pada anak-anak Panji Sakti dan kematiannya.
Dilihat dari bentuknya, babad ini
terdiri atas dua unsur, yaitu bagian genealogi dan bagian naratif. Bagian
genealogi menceritakan asal-usul keturunan Panji Sakti dengan dua garis
keturunan, mulai dari Dang Hyang Kapakisan dan garis klan Jlantik sampai dengan
Panji Sakti. Unsur naratif, di antaranya menggambarkan terjadinya perang
saudara antara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dan Ki Gusti Ngurah Jlantik yang
berperan penting dalam perebutan kerajaan Den Bukit yang dilakukan Raja
Karangasem. Bagian naratif ini disusun secara kronologis. Kedua unsur tersebut
pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang terpisah, melainkan bersatu. Namun,
keduanya masih dapat dikenali. Dari kedua unsur tersebut ditarik tema cerita di
sekitar suksesi, yaitu (1) legitimasi keluarga sebagai pendiri Kerajaan Panji
Sakti, (2) ketidaksahan Raja Karangasem di Den Bukit, dan (3) legitimasi
kerajaan Belanda setelah Den Bukit.
Sehubungan
dengan pelegitimasian Raja Panji Sakti dari Den Bukit, penelitian ini juga
melihat aspek penokohan, terutama pada tokoh Panji Sakti yang berperan sebagai
tokoh sentral. Kehadiran tokoh sentral tersebut berhubungan langsung dengan
tema. Selain itu, para tokoh vang berperan dalam cerita tersebut kelihatan
mengalami perkembangan.
Tokoh sentral adalah Panji Sakti.
Ia keturunan Batara Majapahit (imigran), seorang raja ideal di Jawa.Tokoh Panji
Sakti menjadi pusat perhatian babad ini karena ia diceritakan lebih dari
setengah naskah. Panji Sakti merupakan leluhur dari klan suku Bali Utara,
kerajaan Den Bukit Ia juga diceritakan sebagai tokoh yang sifatnya tidak
seperti manusia biasanya karena ia mempunyai kekuatan yang terpendam. Kekuatan
itu menakutkan dan mengancam klan lain, suku Bali Selatan, di kerajaan Gelgel.
Ancamankekuatan itu terbukti dengan
dikalahkan beberapa musuhnya, seperti Panji Landung dan Kyai Sasankadri.
Kesuksesan dan kepahlawanannya dalam pertempuran dikaitkan dengan fungsinya
sebagai pelindung rakyat dan pelindung Kerajaan Den Bukit.
Kesuksesan dan keberhasilan Raja
Panji Sakti irulah vang ditonjolkan dalam cerita ini. Keberhasilannya itu
menjadi dasar munculnva lovalitas dan penghormatan rakyat kepada rajanya. Hal
itu merupakan suatu kepuasan untuk menjaga kestabilan bagi kerajaan Panji
Sakti. Tokoh-tokoh lain mendukung sosok Panji Sakti, di antaranya Si Luh Pasek
Panji (wanita dari Bali Utara) dan Ki Pungakan Gendis serta Dampu Awang (musuh
Panji Sakti).
Pokok pembicaraan yang ketiga adalah periode
Kerajaan Karangasem di Den Bukit. Bagian ini memasukkan tiga peristiwa
bersejarah vang terjadi di Kerajaan Karangasem, yaitu perang saudara dan
bencana alam (banju lahar) tahun 1815 A. D., dan pemerintahan Ki Gusti Ngurah
Made serta restorasi klan Panji Sakti kepada kerajaan Den Bukit.
Pokok pembicaraan yang lain dalam babad
ini adalah pelegitimasian terhadap kerajaan Belanda setelah Den Bukit.
Pelegitimasian itu terjadi ketika Ki Gusti Made Rahi disuksesi oleh Ki Gusti
Ketut Jlantik. Perampasan itu dikontrol langsung oleh Belanda dan mereka
membasmi pemerintahan yang ada di Den Bukit tersebut. Kejadian selanjutnya
Belanda tidak mempunyai pilihan lain, kecuali ikut terlibat untuk menyingkirkan
Ki Gusti Ketut Jlantik dan kerajaan dengan cara mengabolisinya.
Pokok
pembicaraan yang terakhir dalam bagian ini adalah tanggal dan kepengarangan Babad Buleleng. Bagian ini menginformasikan bahwa Naskah C disalin
dari naskah milik raja terakhir, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang berkuasa
pada tahun 1871 A.D. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa vang disorot dalam
babad ini yakni peristiwa berkuasa raja di Den Bukit, Ki Gusti Ngurah Ketut
Jlantik yang hichip pada tahun 1872 A.D. Dengan adanya keterangan itu
kemungkinan babad ini ditulis antara tahun 1872 — 1928 A.D. oleh seseorang yang
belum diketahui identitasnya. Penyusun babad ini diduga adalah seseorang yang
mengerti unsur-unsur cerita Panji Sakti. Ia juga menduga bahwa penulis babad
ini mengambil bahan dari Babad
Blah Batu. Ia memperoleh bahan
cerita dari beberapa sumber yang berbeda kdu mengumpulkan dan menyusunnya
sehingga menjadi cerita seperti ini. Penyusunnya merasa bahwa saat ini
merupakan saat yang tepat untuk penulisan babad yang juga berarti juga menulis
"sejarah" untuk kepentingan klannya.
Dalam menyajikan edisi teks Babad Buleleng, Worsley menyadari bahwa berbagai kesulitan pasti
akan ditemui. Sebagai seorang editor ia menyadari bahwa menyajikan sebuah
kritik teks merupakan hal yang sangat penting karena dengan cara itu ia dapat
mengetahui tradisi penyalinan teks-teks yang ditemukan. Ia melihat teks dari
sudut linguistik. Kritik teks dengan melihat gejala kebahasaan (Jawa Kuno dan
Tengahan) pernah dilakukan di antaranya oleh Teeuw dan Uhlenbeck dalam Negarakertagatna, Pigeaud, dan Van der Tuuk untuk naskah Bali. Ia
melihat kekeliruan sering dilakukan penyalin ketika menurunkan teks. Untuk
melihat kekeliruan ini, Worsley berpegang pada pokok-pokok yang dibicarakan
oleh Reynolds dan Wilson.
Pembicaraan selanjutnya butir empat sampai lima
adalah masalah kebahasaan dalam penyajian sebuah teks. Masalah kebahasaan itu
menyangkut pemakaian ejaan, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Pada
pembicaraan keenam ia mengatakan bahwa Babpd
Buleleng pada dasarnya ada 6
naskah. Keenam naskah itu dijadikan bukti dalam penelitian ini. Akan tetapi,
Worsley mengeluarkan 2 naskah sehingga hanya 4 naskah yang diperhitungkannya,
dan ke-4 naskah itu dipakai sebagai bahan penelitiannya.
Berdasarkan keempat naskah tersebut, ia mengatakan
bahwa keempatnya termasuk dalam satu versi dengan varian yang berbeda.
Perbedaan hanya diketahui dari detail cerita. Berdasarkan hubungan antarnaskah
ia mengajukan dua alternatif hubungan dengan membuat dua silsilah naskah. Dari
naskah-naskah itu, ia memilih naskah A sebagai landasan dan naskah inilah yang
ditransliterasi, sedangkan ketiga naskah lain dipakai sebagai bandingan.
Naskah-naskah yang diambil kemudian dideskripsikan dengan sangat teliti
sehingga pembaca mendapat gambaran yang jelas tentang keberadaan ke-4 naskah
tersebut.
Serat
Cabolek (Naskah Jawa)
Naskah Jawa ini
dikerjakan oleh S. Soebardi dengan judul The
Book of Cabolek, diterbitkan di
Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1975. Penelitian ini merupakan sajian edisi
kritis dari naskah Jawa yang berjudul Serat
Cabolek. Untuk keperluan itu, ia
membagi penelitiannya menjadi 4 bagian, yaitu pengantar teks dan transliterasi
serta terjemaharmya ke dalam bahasa Inggris. Pada bagian awal ia menyajikan
ringkasan cerita. Ringkasan ihi di samping transliterasi sangat bermanfaat
karena dapat membimbing pembaca ke arah pembahasan isi. Bagian kedua adalah
masalah pernaskahan. Dalam bagian ini dibicarakan dua hal, yaitu perbandingan
naskah dan edisi. teks. Setelah melakukan perbandingan, Soebardi menggunakan
metode gabungan untuk edisi teks Serat
Cabolek. Pada bagian ketiga,
Soebardi memperkenalkan pengarang dan karva-karyanya. Bagian keempat adalah
makna (significance) Serat
Cabolek, dan makna cerita Dexoi Ruci.
Pada bagian
pernaskahan, ia mengatakan bahwa naskah yang berisi cerita tersebut mencapai 11
naskah dan 1 cerita terbitan. Kesebelas naskah yang menjadi saksi penelitian
ini disimpan dalam dua tempat, yakni 7 naskah di Perpustakaan Nasional,
Jakarta, dan 4 naskah (mikrofis) disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Selain itu ada juga satu Serat
Cabolek yang diterbitkan oleh
Dorp & Co, 1886, yang dipakai sebagai bahan bandingan.
Untuk keperluan edisi teks ini, kesebelas naskah
ditandai dengan aksara Latin, yaitu A — k. Naskah-naskah tersebut sebagian
besar ditulis dengan aksara Jawa. Dari naskah-naskah tersebut, ia melihat ada 3
unsur cerita yang sama dalam setiap cerita.
Di
samping persamaan, ditemukan juga perbedaan di antara cerita tersebut.
Oleh sebab itu, Soebardi memakai studi bandingan naskah untuk melihat persamaan
dan perbedaan. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang ada dalam cerita tersebut berhubungan
erat dengan kebebasan penyalin dalam mengadaptasi cerita.Padasaat menyalin,
sang penyalin bebas menvisipkan karya lainyangdianggapsesuai dengan seleranya. •
Soebardi membandingkan berdasarkan bentuk (pupuh dan
matra) dan isi cerita. Dari kesebelas cerita tersebut ia membagi cerita menjadi
3 kelompok. Kelompok I adalah naskah E, i, dan J. Kelompok II adalah naskah
A,B,f,g, dan h. Kelompok III adalah naskah C,D,k dan 1. Antara ke-3 kelompok
tersebut masih terdapat persamaan dan perbedaan. Kelompok I dan II mempunyai
persamaan dalam pengadilan Haji Mustakim dan perbedaannya dalam bagian cerita
Dewi Ruci. Bagian cerita itu hanya ditemukan dalam naskah i. Naskah i
kelihatannya menyisipkan dari naskah E atau J. kelompok II dan III terdapat
persamaan dalam cerita Mangkubumi yang ada dalam naskah B di kelompok II.
Persamaan yang menghubungkan kelompok I dan III adalah naskah i melalui D.
Dalam edisi teks, Soebardi mengambil dua naskah,
yaitu A dan E. Ia memakai edisi gabungan. Dari naskah A, ia mengambil pupuh I,
II, III, IV, V, VI, VII, VIII — stanza lsampai dengan 26, XII — stanza 14
sampai dengan 65, XIII, XIV, XV/ dan dari naskah E ia mengambil pupuh VIII —
stanza 27 sampai dengan 28, IX, X, XI. Ia member ikan beberapa catatan
sehubungan dengan edisi teks ini, yaitu pada halaman 171. Catatan itu
menyangkut penjelasan akar kata, arti kata, juga catatan perbedaan antara
naskah (aparatus kritikus).
Pada bagian
pengarang dan karyanya, ia menjelaskan bahwa di antara naskah yang disebutkan
itu tidak ada satu pun naskah yang mencantumkan keterangan tentang pengarang.
Keterangan tentang pengarang, Yasadipura I, hanya diketahui dari sumber luar
(eksternal), bahwa Yasadipura I menyusun Babad
Gayanti, Babad Prayut, Pesinden Badaya, dan
Serat Cabolek Informasi itu juga ditemukan dalam Serat Cabolek yang
sudah diterbitkan. Di situ dikatakan bahwa cerita dibuat pada masa Paku Buwana
IV.
Yasadipura
ketika membuat karya itu mempunyai tendensi, yaitu ia ingin meluruskan dirinya
dan para ulama yang syariahnya berbeda. Sikap Yasadipura terhadap syariah dapat
dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa. Baginya. syariah merupakan
"sebuah wadah yang merupakan bagian luar dalam sistem kepercayaan dan
bukan merupakan pokok. Yang pokok adalah ilmu tarekat.
Dalam Serat
Cabolek, Haji Mutamakin
menggambarkan ajaran mistik yang sangat kuat tentang ilmu tarekat. Ajaran itu
merupakan tiruan dari ajaran sebelumnya, ajaran Shaikh Siti Jenar, Sunan
Panggung, Ki Bebeluk, dan Shaikh Anion Raga. Di antara pendapat-pendapat
tersebut ternyata ditemukan motif umum yang menjadi sumber konflik antara
mistik Jawa dengan ortodoks dan hukum Islam. Konflik itu menambah beberapa
bagian ke dalam motif dan makna Serat
Cabolek. (1) Shaikh Siti Jenar
merupakan motif yang muncul dalam beberapa cerita. Oleh karena itu, ajarannya
pun muncul dalam berbagai versi. Dalam versi cerita Shaikh Siti Jenar, ajaran
yang disebarkannya adalah doktrin mistik heterodoks, yang berpusat pada
pengenalan identitas manusia dengan Tuhan. Karena itu ia tidak pernah salat
Jumat. Dalam keny ataanny a, Shaikh Siti Jenar adalah seorang Al Hallaj. Ia
dieksekusi dengan pedang karena memunculkan pengetahuan vang tidak pernah
diketahui orang lain. Ia dianggap melanggar etika mistik yang ada. (2) Sunan
Panggung adalah sosok lain dari tiruan Shaikh Siti Jenar di Demak. Sunan
Panggung dibakar karena ia dianggap berani melanggar syariah atau hukum agama.
Alasan lain pembakarannya karena ia hanya percaya pada iman dan tauhid,
sedangkan yang lainnya tidak. Oleh sebab itu, para ulama merasa ia melanggar
agama Islam dan dianggap membahayakan masyarakat. (3) Motif Ki Babeluk tidak
banyak diinformasikan dalam karya ini. Ia hanya muncul sebagai jembatan yang
menghubungkan antara dua gap, yaitu antara tradisi pra-Islam dan era Islam. (4)
Shaikh Among Raga dieksekusi di lautan dekat kampung Tanjungbang, daerah
kekuasaan Sultan Agung, Raja Islam Ma tar am. Tokoh ini juga dilukiskan Serat Centini. Dengan memasukkan tokoh ini ke dalam karyanya,
Yasadipura I kemungkinan besar mengadaptasi dan menyisipkars bagian ini dalam
seratnya pada tahun 1815 A.D. (5) Motif Haji Ahmad Mutamakin banyak disorot
dalam karya ini. Karena tokoh ini mempunyai ajaran yang banyak persamaannya
dengan Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu menandai bahwa daya tarik
pengarang sangat besar pada Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu
dibuktikan dengan munculnya tokoh Ketib Anom yang menyatakan bahwa Haji Ahmad
Mutamakin melanggar syariah. Dalam Serat
Cabolek Haji Ahmad Mutamakin digambarkan
sebagai seorang mistis yang tidak mempunyai kepribadian, tidak berpengetahuan
agama yang mendalam, dan tidak berwibawa.
Cerita Dewi Ruci dalam
sastra Jawa merupakan cerita dari era pra-Islam yang berasal dari cerita
Mahabarata. Bima dalam cerita ini lebih penting daripada Arjuna. Bima tidak
hanya ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat fisiknya, tetapi juga seorang yang
bijaksana dengan kualitas spiritual yang tinggi. Dalam versi Yasa dipura I ini
cerita diadaptasi dengan cerita wayang purwa.
Dilihat dari
maknanya cerita tersebut berfungsi sebagai ajaran. Ajaran yang terkandung di
dalamnya ada dua, yaitu ajaran etika dan ajaran mistik. Ajaran etika dalam
cerita ini, di antaranya terlihat pada pengalaman Bima pada saat melawan
Rakmuka dan Rukmakala waktu mencari air kehidupan. Di bagian itu terlihat
segala usaha Bima untuk memperoleh air itu. Dari peristiwa itu dapat diambil
ajaran bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup ini manusia harus berusaha keras
dan harus dapat mengatasi segala rintangan seberat apa pun. Selain itu, manusia
juga harus jujur dan bersifat loyal.
Selain ajaran etika ada ajaran yang lebih penting
dalam cerita ini, yaitu ajaran mistik. Ajaran itu berisi tentang hubungan
manusia dengan Tuhan. Bahwa tujuan hidup manusia di bumi ini adalah bagaimana
manusia mencapai penyatuan diri dengan Tuhan atau pamoring Kawula Gusti.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa Yasadipura dalam
karyanya bertujuan untuk menyejajarkan dirinya dengan ulama vang menghormati
ajaran syariah sebagai sebuah petunjuk formal kepada orang jawa yang beragama.
Ia berpendapat bahwa syariah harus dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis
Jawa.
Syair-syair
Hamzah Fansuri (Naskah Melayu)
Penelitian atas
syair-syair Hamzah Fansuri yang berjudul The
Poems of Hamzah Fansuri ini
dilakukan oleh G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, diterbitkan di Belanda oleh Foris
Publication, 1986. Buku ini bertujuan ingin menampilkan kepenyairan Hamzah
Fansuri yang belum dibuat secara tuntas sampai sekarang meskipun sebelumnya
beberapa peneliti pernah melakukannya, seperti Al Attas, Untuk itu, Drewes dan
Brakel membagi hasil penelitian menjadi 8 bab.
Dalam pengantar dibicarakan 7 topik.
(1)
Riwayat
hidup Hamzah Fansuri. Penyair Melayu yang terkenal ini, dilahirkan di Barus,
sebuah pusat perdagangan yang terletak antara Singkil dan Sibolga, Sumatra
Utara. Kehidupan penyair itu tidak pernah dicatat. Masa hidupnya lebih dulu
dari Samsuddin Pasai. Ia diperkirakan hidup sekitar abad ke-16. Nama Hamzah
pernah disebut-sebut oleh Samsuddin Pasai (1630) dan Nuruddin Ar Raniri (1658).
Dalam Tibyan, Nuruddin melawan Hamzah dan Samsuddin dan mengatakan
ajaran mereka sebagai xvujudiah
dalalah. Kreamer mengatakan
bahwa Hamzah mungkin hidup setelah tahun 1636. Namun, latar belakang
pendapatnya sangat lemah. Drewes lebih setuju dengan Voorhoeve daripada
Kreamer. Ia mengatakan bahwa masa hidup Hamzah sekitar abad ke-16 dan meninggal
sebelum tahun 1590.
(2)
Dalam
sajak-sajaknya, Hamzah meniru bentuk ghazal
dari Persia yang pada bagian akhir
sering menyebutkan nama samaran (takhallus).
Ia menggunakan 3 nama yang berbeda,
15 kali dengan Hamzah saja, 15 kali dengan Hamzah Fansuri, dan 2 kali dengan
Hamzah Shahrnawi. Berdasarkan beberapa larik syair Hamzah, Al Attas mengatakan
bahwa Hamzah orang Bams (Fansur), tetapi tempat memperoleh eksistensi dirinya
di tanah Shahrnawi.
(3)
Hamzah
Fansuri dalam perjalanannya mencari Tuhan pernah sampai ke tanah Bagdad,
Mekkah, dan Shahr-i Naw, dan Yarussalem. Kepergian itu ditunjang dengan bukti
yang ditemukan dalam Sejarah
Banten yang mengatakan bahwa
Raja Banten mengirim tiga buku ke Mekkah dan salah satu buku itu adalah Muntahi karya
Hamzah Fansuri.
(4)
Hamzah
Fansuri selain menulis syair juga menulis prosa. Ia membuat 32 syair dan juga
menulis tiga karya prosa, yaitu Asrar
al-arifin, Sharah al-ashiqin,dan
al-Muntahi. Dalam karya pertamanya ia menjelaskan sif at
keabadian Tuhan yang menciptakan dunia dan seluruh isinya. Setelah itu,
dijelaskan juga tentang pengetahuan Tuhan dalam menciptakan hakikat Muhammad
atau Nur Muhammad yang menjadi sumber semua ciptaan Tuhan di dunia. Dalam
karyanya yang kedua ia menjelaskan 4 hal yang menarik, yaitu a) empat tingkat
menuju ajaran mistik dan bagaimana cara mencapainya, b) doktrin emanation yang
membedakan 7 tingkat dalam membentangkan satuan absolut ke dalam ciptaan-Nya,
c) sifat-sifat Tuhan, d) cinta dan rasa syukur. Karya ketiganya merupakan
sebuah risalah yang banyak mengutip ayat Quran, beberapa sajak dari Persia, dan
Arab serta ditambah juga dengan terjemahan. Karya ini semacam sebuah antologi
yang semua isinya merujuk pada ajaran wujudiah.
(5)
Hamzah
Fansuri selain menguasai bahasa Arab juga menguasai bahasa Persia. Kemampuan
bahasa Persia itu termuat dalam ketiga karya di atas. Pengetahuannya dalam
bahasa Persia kelihatannya samabagusnya dengan kemampuannya dalam bahasa Arab.
Pada masa mudanya ia semestinya pernah belajar bahasa Arab dan lebih diperdalam
lagi ketika ia ke Arab. Pada saat irulah ia belajar bahasa Persia dan tinggal
di Shahranawi.
(6)
Raniri
mencela ajaran wujudiah yang diajukan Hamzah Fansuri. Ia menyerang Muntahi dalam
karangannya yang berjudul Tibyan fi Ma’rifatal-adyan Ia menyebut ajaran
wujudiah Hamzah adalah bid'ah sehingga disebutnya dengan wujudiah dalalah. Ketika Raniri tinggal di Aceh (1637 — 1644) ia
didukung Raja Iskandar Muda yang juga tidak setuju dengan ajaran Hamzah dan
Shamsuddin sehingga banyak pengikut mereka yang dibunuh dan buku-buku mereka
dibakar.
(7)
Bagian
ini membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri yang di antaranya ada yang tidak
menyebutkan identitasnya. Oleh sebab itu, banyak yang meragukan apakah karya
itu memang karya Hamzah. Tiga karya yang anonim Hamzah adalah syair Perahu, Bahr al-nisa (Ikat-ikatan Urn al-nisa)
dan Syair Dagang. Syair Perahu pernah diteliti oleh V.Y. Braginsky. Ia mengenali
syair karya Hamzah dari struktur rimanya yang biasa digunakan Hamzah dalam
syair-syairnya. Bahral-nisa yang tersimpan di Leiden merupakan syair yang layak
diper timbangkan. Syair Dagang menur ut Teeu w dari pemakaian rimanya terlihat
kurang bagus; banyak dipengaruhi kata-kata Minangkabau, seperti kacie, curita, batunpo-timpo, tidak lai.
Dalam bab 2 tentang pernaskahan, Drewes membicarakan
5 topik. Pertama, syair-syairnya ditulis dalam 7 naskah. Empat naskah disimpan
di Leiden, 2 naskah di Jakarta, dan 1 naskah terbitan dalam bentuk faksimile
yang dibuat A. Hasjmy, 1976. Di antara naskah-naskah itu, naskah tertua adalah
B (Cod or. 2016) yaitu tahun 1704, kemudian naskah C (Cod.or. 3372) yang
mencatat tahun pe*nyalinan pada tahun 1851.
Di antara naskah-naskah tersebut,
yang dianggap paling baik adalah naskah A • MS.83). Naskah yang dianggap kurang
baik karena tulisannya buruk dan banyak kesalahan adalah naskah C (Cod.Or.3372). Naskah D (Cod. Or 3374) tidak men yebutkan nama
pengarang (anonim) dan memuat tiga teks, yaitu Syair Dagang, Syair Perahu, dan Hikayat
Bakhtiar. Naskah B ( Cod. Or.
2016) memuat Syarab al-ashiqin ruga anonim dan memuat syair Hasan Fansuri dan
beberapa sajak Abdul Jamal
Kedua, syair
Hamzah Fansuri d :ngan nomor Ms.
Von de Wall 32, disimpan di Jakarta, merupakan koleksi yang umumya muda dan
ditulis ulang dalam bentuk yang isir.ya bervariasi. Syair-syair ini terkenal di
Banten pada abad ke-17 dengan judul Muntahi.
Pada abad ke-17 dikenal juga
drMakassar sebagai Syair
Perang Mcrngfamar vang ditulis oleh Skinner tahun 1670.
Ketiga,
beberapa syair Hamzah merupakan versi yang menyimpang. Doorenbos menyebutnya
sebagai wandering verses dari syair Hamzah. Keempat, sehubungan dengan
tulisan Shamsuddin dan Raniri, Van Nieuwenhuijze dan Voorhoeve menemukan
kutipan (catatan) syair Hamzah. Catatan itu kadang-kadang berbentuk varias bacaan. Kelima,
Drewes membuat tabel yang memperlihatkan perbedaan atau vanasi dari
syair Hamzah berdasarkan teks yang disunting Doorenbos, naskah Jak.Mai 83. Cod.
Or. 2016, Cod. Or. 3372, dan Cod. Or.3374.
Bab 3 terbagi atas 6 bagian yang akan diuraikan
secara singkat di bawah ini. (1) Dalam bagian ini dikatakan syair Hamzah yang
berjumlah 32 nomor panjangnya tidak scjajar.
Shamsuddindalamkomentarnya tentang
sajak Hamzah menyebutnya dengan Ruba'i
Hamzah Fansuri. Meskipun begitu
rima yang digunakannya sudah memakai rima syair Melayu, yaitu dengan a- a- a-
a, bukan a- a- b- b. Dengan begitu Hamzah bukan hanya sekedar imitator, tetapi
juga memiliki kekuatan sebagai master. Di Aceh beberapa syairnya dijadikan
sebuah nyanyian yang disebut seulaucuet.
yang populer disebut daboih dalam
bahasa Arab disebut dabbus.
Dalam penggunaan bahasa syair-syair Hamzah sangat
akrab dengan bahasa Arab kutipan ayat Quran sehingga syair-syairnya menjadi
tidak dapat lagi dikenali. Pilihan katanya pendek dan tepat, tetapi tidak
sampai pada kemurnian (clarity).
Yang dipentingkan dalam syairnya
adalah kedalaman pengalaman spiritual.
Drewes membagi syair hamzah menjadi 6 grup
berdasarkan masyarakat yang ditujunya, yaitu kalangan umum, orang Islam, dan
kalangan mistik. Dari enam grup itu, ia membua t beberapa sinopsis. Untuk edisi
teks ia menggunakan metode gabungan berdasarkan tujuh naskah. Ia tidak
menjelaskan kenapa metode ini digunakan. Setelah transliterasi ia membuat
aparatus kritikus, dan indeks syair.
Dalam bab 4, ia menjelaskan kata yang digunakan,
seperti etimologi kata dan sumber kata atau kalimat ditemukan.Ia juga
memperhatikan kata Arab yang digunakan Hamzah Fansuri yang diuraikannya dalam bab 5.
Drewes menjelaskan setiap bahasa Arab yang digunakan lengkap dengan kelas
katanya, kutipan ayat Quran, dan beberapa istilah, glosari.
Ulasan atas karya Hamzah yang pernah disampaikan
oleh beberapa orang diulas lagi pada bab 5, di antaranya oleh Van der
Tuuk pada tahun 1866, R. Roolvink,A. Hasjmy, penyunting Shark Ruba'i Hamzah al Fansuri yang bertahun 1840.Ulasan-ulasan lainnya adalah yang
dibuat oleh Hamzah Fansuri sendiri atas Asrar
al-arifin dan ulasan
Shamsuddin atas beberapa nomor syairnya.
Dalam bab 6 ia menyajikan tentang
naskah dan edisi teks. Naskah terjemahan ini ada dua buah: naskah koleksi India
Office Cod. Or. no. 2446 yang berasal dari koleksi John Ley den dan naskah Cod.
Or. Leiden no. 7392 yang merupakan salinan
dari naskah primbon Priangan yang
dibuat untuk Snouck Hurgronje. Edisi
teks menyajikan sebuah
transliterasi teks dari naskah yang lengkap yang disimpan dalam India Office
Library.
Pada bab 8, ia menyajikan juga transliterasi naskah
Jawa, Muntahi yang isinya bukan hanya Muntahi, melainkan
teks Ibn al-Arabi, Fusus
al-hikam. Kondisi naskah sudah
kurang bagus karena beberapa bagian sudah rusak termakan tinta.
Kakawin
Gadjah Mada (Naskah Jawa dan Bali)
Penelitian yang
dilakukan oleh Partini Sarjono Prakoso ini berjudul Kakawin Gadjah Mada Sebuah Karya Sastra Kakawin
Abadke-20 (Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan
Antarteks), diterbitkan di Bandung
oleh Binacipta, 1986.Tokoh yang dibicarakan adalah tokoh sejarah yang sangat
populer di masyarakat, Gadjah Mada. Dalam bab I, diuraikan beberapa alasan
pemilihan kakawin itu,di antaranya kakawin adalah bentuk sastra yang populer
dan isinya beragam; puisi ini juga dikenal di Jawa dan Bali; kakawin dapat
bertahan selama 6 abad. Ia tertarik mengambil Kakawin Gadjah Mada (selanjutnya KGM) karena ada keterangan secara
eksplisit bahwa protagonis, Gadjah Mada, adalah tokoh sejarah. Meskipun tokoh
sejarah, penelitian ini tidak menggunakan pendekatan ilmu sejarah karena
disiplin itu di luar jangkauannya Sehubungan dengan itu, tujuan utama
penelitian ini adalah mengungkap mitos Gadjah Mada melalui edisi teks. Hal itu
dilakukan agar jangkauan pembacanya dapat lebih luas. Selain itu,ia juga ingin
mengungkap citra Gadjah Mada, apakah tokoh itu mempunyai tempat khusus dalam
diri penyair serta bagaimana penyair itu menggambarkannya dalam bentuk kakawin
yang berbahasa Jawa Kuno pada abad ke-20. Yang menjadi masalah mengapa penyair
KGM mengambil seorang tokoh sejarah sebagai protagonis? Apakah penyair memakai
bahasa Jawa Kuno yang sama dengan bahasa Jawa Kuno dulu?
Dalam penelitian ini ia membatasi telaahnya pada
satu karya sastra saja. Untuk mencapai sasaran di atas, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan objektif, mendekati KGM dari struktur.Untuk
kepentingan di atas, penelitian ini juga akan melihat hubungan antarteks karena
setiap teks hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan teks-teks KGM yang
lain, termasuk teks dari daerah lain. Sebagai pembanding ia memakai 5 karya
sastra daerah.
Berbagai masalah tersebut mulai dibahas pada bab
2—6. Untuk mengikuti butir-butir pembahasan, penelitian ini pada dasarnya
diklasifikasi menjadi 4 bagian, yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan
pemakaian bahasa Jawa Kuno dalam KGM, (2) pernaskahan atau edisi teks, (3)
analisis struktur — alur dan tema, tokoh, (4) hubungan antarteks, dan (5) Citra
Tokoh Gadjah Mada dalam sastra daerah lain.
Bab 2 terdiri atas 4 butir.
Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada dalam pandangan penyair KGM.
Gajah Mada dimitoskan sebagai tokoh yang agung. Ia adalah seorang digjaya yang
tak tercela di seluruh dunia. Ia adalah purra Dastrasutra yang gaib karena
sering mengeluarkan cahaya. Kedua, seluruh naskah memuat 730 halaman dalam 76
pupuh. Pola wrtta matra KGM ini menunjukkan wisarna wrtta dan wisama matra (abed) Hal itu berarti bahwa prosodi KGM
tidak dapat dihitung dengan menggunakan peraturan pola matra India yang
terdapat dalam kavya. Kakawminidinyatakanberhasil, meskipun ada juga
kelemahannya. Namun, kelemahan itu dimaklumi karena kakawin ini ingin
melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya. Itulah
sebabnya ia membuat pembaruan.
Ketiga, bahasa yang digunakan bahasa Jawa Kuno. Ia menemukan penyimpangan wajar
karena kakawin itu dibuat pada abad XX yang drpengaruhi oleh bahasa ibu dan
lingkungan masyarakatnya pada zaman itu. Keempat,dalam bagian pernaskahan ini
dibicarakan asal-usul, penanggalan, dan penyair naskah KGM. Pernaskahan KGM ini
menarik karena di Bali kegiatan penyalinan ternvata masih berlangsung sampai
abad ke-20. Menurutnya, naskah KGM yang ditemukan ada 3 dan diterimanya dari I
Gusti Ngurah Bagus. Ketiga naskah tersebut disalin dari naskah KGM, yaitu
Lontar 315, kropak 136, dankoleksi FS-UNUD. Bali. Naskah koleksi FS-UNUD (Ud)
ternyata adalah salinan setia dari satu naskah yang ada di Ubud (Ub). Naskah
ini menarik karena ada kolofonnya, yang menvatakan iangan diturun sehingga bagian ini tidak disalin dalam naskah Ud.
Naskah Ub ini ternyata disalin pada tahun 1977—1978 dari naskah milik
perorangan yang sekarang sudah rusak. Paftini berkesimpulan bahwa naskah Ub
merupakan saurian vang lebih muda dari naskah Ud karena keadaan naskah Ub masih
tampak baru, tetapi tulisannya lebih buruk. Kolofon yang menarik dari naskah Ub
adalah penyebutan nama Ida Cokorda Ngurah. Penyalin ini ditelusur dan dicari
identitasnya. Partini menyimpulkan bahwa meskipun penyair KGM, Ida Cok.ria Ngurah Bagus < mengambil pokok
isi riwayat hidup Gadjah Mada untuk kakawinnya, ia tidak bermaksud menulis
biografi. Oleh karena itu, dengan mengambil seorang tokoh sejarah sebagai
protagonis dalam kakawinnya, penyair KGM ini boleh dikatakan menciptakan
pembaharuan dalam tradisi kakawin sebagai jenis sastra Jawa Kuna yang pokok
isinya sebelumnya jarang sekali bersifat konkret (down to earth).
Bagian pernaskahan ini dapat juga dilihat pada bab
VI, bagian pengantar teks dan terjemahan KGM. Dalambagian'ini teks yang diambil
sebagai dasar suntingan adalah naskah Ub dan naskah Ud 1 karena menurut Partini
keduanya merupakan salinan dari naskah aslinya dan merupakan naskah yang sama.
Dia membandingkan kedua naskah itu dan keduanya diambil ketika edisi teks,
hanya naskah yang dijadikan landasai adalah naskah Ub.
Bab 3 membahas
susunan KGM analisis struktur. Yang dilihat pada bagian ini adalah hubungan
antara alur dan tema KGM. Penulis
memilih pendekatan objektif karena
menurutnya pendekatan inilah yang paling
efektif. Akan tetapi, karena sifat kekawin KGM ini ternyata
pendekatan-pendekatan lain juga digunakan, yaitu pendekatan ekspresif yang
menyoroti pengarang, pendekatan pragmatik karena karya ini juga merupakan
mabasam, dan pendekatan mimesis karena karya ini merupakan pencerminan
kenyataan yang dilihat.
Pada akhirnya
dia melihat bahwa unsur ajaran mendapat perhatian yang paling banyak dari
penyair. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa Gadjah Mada adalah tokoh
sejarah, tetapi sifat epik dari kakawin tetap dipertahankan dan prota gonisnya
masih tetap the epic divine hero. Penyair tidak lagi memakai tokoh Mahabarata
karena mempunyai tokoh pujaan tersendiri. Tokoh pahlawan ini mendukung tema,
yakni kejayaan tokoh Gadjah Mada. Itulah yang menjadi ide sentral. KGM terdiri
atas serentetan peristiwa yang menunjang dan bermain seputar tokoh Gadjah Mada
dan tidak lepas dengan unsur yang lainnya, yaitu alur.
Pendekatan
objektif dianggap belum len.gkap untuk mengungkapkan makna karya
tersebut maka ia juga merigkaji hubungan antarteks. Hubungan tersebut dilihat
karena melihat sifat KGM sebagai karya sastra yang mengalanu banyak
perkembangan. Hal itu terjadi karana karya ini lahir dari kalangan masyarakat
yang kegiatan sastranya kurang. Oleh sebab itu, ada dugaan bahwa waktu
meoiggubah KGM, penyair menghadapi berbagai teks lain yang menjadi hipogram.
Hal itu terjadi karena penyair sangat akrab dengan te ks-teks lain yang menjadi
hipogramnya. Kegiatan penyair KGM dalam posisi ini adalah tri-dimensional
(sebagai pembaca, penyambut/penafsir, dan pengarang sekaligus). Penyair
kadang-kadang memasukkan satu peristiwa, bahkan satu kalimat atau ungkapan
dalam hipogramnya, yang kemudian diselipkan dalam keutuhan gubahannya. Hipogram
itu beragam, ada prosa, puisi, dan cerita rakyat. Percampuran itu menyebabkan
KGM terbina bagaikan sebuah mosaik kutipan. Partini membagi menjadi 9 hipogram
yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu teks yang berisi ajaran
moral dan teks agama dalam teks tradisi J a wa Tengahan, cerita sejarah or
ang-orang Jawa.
Satu hal yang menolong dalam disertasi ini adanya
lampiran garis besar cerita KGM. Lampiran ini dapat memberi gambaran kepada
pembaca untuk mengikuti alur cerita. Lampiran lainnya berupa perbandingan
hipogram-hipogram.
Bab 4 mengkaji citra Gadjah Mada dalam sastra daerah
lain. Sastra d.aerah yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukkan 5
cerita saja, "Negarakertagama", "Pararaton","Kidung
Sunda", "Caritra Banjar dan Raja Kota Waringin", dan
"Hikayat Hang Tuah". Dari kelima karya tersebut diperoleh gambaran
umum sosok Gadjah Mada. Ia adalah seorang perdana menteri besar dari
Majapahit. Kebesaran itu terutama berkat kebijakartnya sebagai negarawan dalam
penaklukan daerah-daerah di Nu santara. Namanya begitu terkenal sehingga Gadjah
Mada menjadi narna umum
untuk perdana menteri Majapahit.
Adanya gambaran umum ini menimbulkan dugaan bahwa penyalin-penyalin tersebut
dapat saja menggunakan teks acuan vang sama atau berbeda. Yang jelas mereka
telah menghasilkan karya dari abad-abad yang silam. Kemudian mereka
menyesuaikannya dengan tujuan dan rungsi karya sastra masing-masing. Hal itu
sejalan dengan Ida Cokorda Ngurah yang menambah dan mengubah atau mengurangi
teks-teks acuannya kemudian menyesuaikan dengan tujuan karangarmya.
Bab 5 mempakan kesimpulan umum dan bab yang ke-6
adalah edisi teks, berupa pengantar teks, transliterasi, dan terjemahan KGM.
Siwaratrikalpa
(Naskah Bali)
Siwaratrikalpa ofMpu Tanakun, diterbitkan
di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1969, dikerjakan oleh sebuah tim yang terdiri
atas A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P. Galestin, dan P.J. Worsley. Dalam bab
pertama ada 17 topik pembicaraan yang dapat uikelompokkan lagi menjadi 7
bagian.
Petama, Siwaratrikalpa
dalam sastra Jawa Kuno termasuk
dalam genre kakawin. Kakawin merupakan sebuah transposisi dari bentuk
kavya India. Penulis Siwaratrikalpa
mempunyai tujuan yang lebih khusus
yaitu menyebarkan pengetahuan tentang ketaatan atau penghormatan pada perayaan
malam Siwa (Siwararrikalva). Karya itu ba gi pengarangnya sendiri berfungsi
sebagai pelepasan rasa estetisnya.
Kedua, ringkasan cerita disajikan
dengan sangat pendek. Karajaan Gigindra dipimpin oleh Raja Suraprabhawa. Di
daerah peguiiungan di kerajaan itu hiduplah seorang pemburu, Lubdhaka namanya.
Pada tanggal 14 separuh petang bulan ketujuh, ia pergi berburu. Ia melewati
dusun dekat sebuah pertapaan yang tersembunyi di lembah dan halaman sebuah
candi yang hampir runtuh. Ia juga melihat laut yang terbentang. Setelah masuk
ke hutan, ia siap mencari buruan. Namun, tidak seekor pun hasil buruan didapat.
Suatu kali ia sampai di daerah perbukitan clan sampai di sebuah danau. Ketika
sore datang, ia belum juga memperoleh buruan. Karena ia merasa tidak mungin
lagi pulang ke rumah, ia pun tidur di sebuch pohon maja yang batangnya
menggantung ke arah danau. Ketika malam tiba, saat ia diserang kantuk ia ingin
tidur. Akan tetapi, jika tidur, ia takut jatuh. Oleh sebab itu, untuk
menghilangkan rasa kantuknya ia memetik daun maja danmenjatuhk annya ke
danauitu. Danau tempat ia menjatuhkan daun itu sebenarnya adalah lingga Siwa.
Siangnya ia tidak juga memperoleh buruan. Ia pun kembali ke rumah dan
disambut oleh istri dan anaknya.
Suatu hari ia jatuh sakit dan
akhirnya meninggal. Kemudian keluarga mengremasiny a dan mereka pulang. Jiwa
Lubdhaka melayang ke langit. Siwa meminta Ganas untuk menangkapnya. Menurut
Ganas, Lubdhaka harus dimasukkan ke neraka karena ia tidak melihat kebaikan
dalamdirinya. Ia sepanjang usianya hanya membunuh binatang, tetapi Siwa
mencegahnya. Siwa menjelaskan bahwa selama hidupnya Lubdhaka pernah berbuat
kebaikan yang sangat besar, yakni menghormati Siwa, suatu kebaikan yang tidak
ada bandingnya. Akhirnya, Ganas merebut Lubdhaka dari Kinkara-kinkara. Yama
penentu seseorang masuk surga atau neraka malu karena merasa tidak dapat
menunaikan tugasnya. Ia memohon mengundurkan diri. Akhirnya, Siwa menjelaskan
perbuatan baik Lubdhaka. Perbuatan itu dianggap sangat suci sehingga dapat
membersihkan perbuatan dosa yang dibuat selama hidupnya. Untuk itu, ia berhak
masuk surga.
Ketiga, Mpu Tanakung tercatat
sebagai pengarang dalam Siwaratrikalpa
yang dinyatakan pada bagian akhir
kakawin ini. Karya itu merupakan karya terbaiknya jika dibandingkan Wrttasanca dan
Udyakala serta sejumlah puisi pendek lainnya. Penggunaan
bahasa dari beberapa kakawinnya tersebut mempunyai kesamaan. Nama Tanakung
berasal dari tan dan akung,
tan berarti 'tidak' dan akung (darivasi
dari kata kuri ditambah awalan a) berarti
Tepas dari cinta'. Jadi, tanakung berarti harus melepaskan diri dari segala
ikatan cinta. Selain Tanakung, diuraikan juga dua penyair Jawa Kuno lain yaitu
Tantular dan Nirarta. Tantular adalah pengarang Sutasoma dan
Arjunawijaya yang hidup pada abad ke-14. Nirarta dipercaya dan
hidup pada abad ke-16 yang mempunyai peranan penting dalam tradisi sastra Bali.
Ia mengarang Nagarakartagama dan Prapanca.
Keempat dibicarakan tentang
pernaskahan: penanggalan, penggunaan bahasa,aspek puitis, matra dan manggala,
serta naskah dan teks.
Pembicaraan penanggalan, Teeuw dkk. mengacu pada
pendapat Zoetmoelder. Mereka mengatakan bahwa teks ini berasal dari abad ke-15.
Abad itu merujuk pada nama seorang raja yang tercatat dalam teks, yakni Raja
Sri Adisuraprabhawa, seorang keturunan Girindra dengan Raja
Sinhawikramawardhana dyah Suraprabhawa. Nama raja yang terakhir itu tercatat
dalam inskripsi Pamintihan pada 14 Mei, 1473. Mereka juga melihat inskripsi
Warinin Pitu (Suradakan) yang bertanggal 22 November 1447 oleh
Wijayaparakramawardhana, Raja Majapahit. Ia menyimpulkan bahwa Shoaratrikalpa berada antara tahun 1466 — 1478. Penetapan tahun itu
berbeda pendapat dengan Krom dan Poerbatjaraka. Poerbatjaraka berpendapat bahwa
karya sastra itu dibuat pada masa Ken Angrok dan karya itu merupakan cara
Tanakung untuk mengambil hati Ken Angrok. Oleh sebab itu, Lubdhaka yang jahat
dapat diampuni dan masuk surga meskipun dosanya besar. Hal itu dapat disamakan
dengan diri Ken Angrok .
Shvaratrikalpa ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada masa Hindu Jawa
antara tahun 850 —1500. Sastra itu disebut juga dalam parwa dan kakawin serta
inskripsi. Teeuw dkk. lebih khusus melihat penggunaan bahasa terutama pada
idiom yang digunakan saat itu. Mereka mengatakan bahwa bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa Kuno yang sangat artifisial yang memang hanya digunakan
dalam penulisan karya sastra. Bahasa itu berdampingan dengan bahasa Jawa
Tengahan yang hidup dalam bahasa percakapan dan dalam kidung.
Mereka juga
membicarakan penggunaan stilistik dan kepelikan penggunaan bahasa dalam Shvaratrikalpa, yaitu bahasa yang digunakan ditandai dengan
penggunaan bahasa kakawin. Shvaratrikalpa
pada dasarnya mengikuti struktur
cerita, tetapi tidak tipikal dengan kakawin karena ada beberapa hal yang
menyimpang. Di antaranya, biasanya kakawin menampilkan pahlawannya dari
golongan masyarakat tinggi (kerajaan). seperti raja, tetapi dalam karya ini ia
menampilkan tokoh dari kasta rendah, seorang pemburu biasa yang pekerjaannya
selalu membunuh binatang yang tinggalnya pun di pegunungan. Ia tidak
memunculkan sifat heroik.
Shvaratrikalpa terdiri atas 39 pupuh dengan 20 macam matra, di
antaranya Wasantatilaka dan Sragdhara masing-masing 2, Aswalalita 4,
Sardulavvikridita 5, Jagadhita 7 pupuh, Sistem matra India berbeda dengan
sistem matra Jawa, di antaranya dengan panjang dan pendeknya vokal yang tidak
lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, juga bahasa jawa.Suvaratrikalva berisi 3 unsor, vaitu (1) pembacaan doa dewata, (2)
pemujaan pada raja, dan (3) kerendahan hati sang penyair.
Dalam bagian pernaskahan dikatakan
bahwa naskah Siwaratrikalpa ada 8 buah. Tujuh naskah terdapat di Perpustakaan
Universitas Leiden dan satu naskah dari Perpustakaan Nasional, Jakarta
Kedelapannaskah dideskripsikan, tetapi tidak lengkap. Ada beberapa naskah yang
diinformasikan dituhs di atas ior.tar, seperti A,B, dan C, sedangkan
yang lain, yakni D ditulis di atas kertas dan yang lainnya tidak disebutkan.
Aksara yang dipakai juga tidak banyak disebutkan.
Dari naskah-naskah tersebutnaskah A,B,C, dan D sejajar, tapi B
dan C mempunyai bacaan yang
sama, tidak sarrra halnya dengan A dan D. Naskah G banvak vang korup (salah)
sehingga tidak digunakan dalamedisi ini. Untuk keperluanedisi teks, mereka
menggunakan edisi gabungan dari naskah A,B,C, dan D yang dianggap sejajar.
Selain iru, dalam bagian ini juga
diinformasikan tentang beberapa caratan sehubungan dengan transliterasi,
misalnya ejaan. Dari kedelapan naskah itu. editor membuat aparatus kritikus.
Dalam
pembicaraan keagamaan mereka mengatakan melihat adanva sistem kepercayaanketika
jiwa Lubdhaka mela) ang-layang dan akhirnya masuk ke surga. Dari situ dapat
diketahui konsep tentang kediaman Siwa (surga) dan Cauldron (neraka). Yama
adalah pemutus akhir siapa yang berhak masuk surga atau neraka. lalah yang
membawa jiwa manusia setelah meninggal kemudian Citragupta membacakan buku atau
semua catatan (kebaikan dan keburukan) selama kehidupan manusia. Munculnya
surga dan neraka merupakan pembagian atas kebaikan dan keburukan. Selain itu,
juga diperlihatkan konsep reinkarnasi yang sangat penting dalam pemikiran
India.
Karya ini
bertema tentang pemujaan pada Siwa. Kita mendapatkan gambaran tentang
pentingnya cara pemujaan pada Siwa dalam periode akhir Ma;apahit. Yang menarik
dalam ajaran ini, apakah setelal i
meninggal jiwa meninggalkan
jasadnya?
Dalam teks dicontohkan dalam diri Lubdhaka, yaitu
tanda kehidupannya berakhir ketika jantung dan hati semakin melemah kerjanva
dan akhirnya ke luar melalui tenggorokannya. Setelah meninggal, jiwanya
melayang menuju udara. Hal itu terjadi karena ia sampai saat itu belum ke luar
dari pembebasan dan tidak tahu jalan memasuki surga. Pembebasan itu belum diperolehnya
karena ia belum mempunyai darma, yang berhubungan dengan hukum moral.
Keenam, diuraikan Siwaratrikalpa India.Teks ini
penting untuk sejarah kebudayaan Indonesia. Masa kejadiannya adalah pada masa
Majapahit. Pada saat itu mayoritas beragama Budha. Ajaran itu dalam Bali modern
sudah berintegrasi dengan ajaran Siwa. Ajaran itu juga pernah hidup dengan baik
pada abad ke-15 di Jawa. Kemunculan karya Tanakung mempunyai misi khusus, yaitu
untuk menginformasikan masalah politik, kebudayaan, dan situasi keagamaan di
Jawa. Hasil sastranya seolah-olah mengidentifikasikan bahwa pada masa
Majapahit, yaitu periode Hindu-Jawa masih mempunyai hubungan dengan India.
Melalui karya Tanakung juga upacara ritual Siwa masuk ke Jawa kemudian ke Bali
(ke Indonesia). Upacara itu sangat terkenal di India. Pada pertengahan abad
ke-15 perayaan itu mulai dari satu tempat di India yaitu Vijayanegara, pusat
penyebaran ajaran Siwa. Tempat itu terletak di India Selatan. Dalam karya
Tanakung tersebut digambarkan bahwa tempat itu dipimpin oleh Raja Divaraya II.
Pada masa raja itu, hidup seorang penyair Srinatha. Penyair itu mahir
dalamberbahasa Sansekerta dan dalam sastra Talugu. Ia juga seorang jenius.
Teeuw dkk mempunyai hipotesis bahwa pelajar Jawa
mengunjungi India dan memunculkan inspirasi untuk menyesuaikan agama dan
situasi kebudayaan India ke Jawa. Implikasi yang lain mengenai kronologis
keagamaan yang dipengaruhi India ke Jawa dan Indonesia pada umumnya. Pada saat
itu Islam juga maju di Jawa dan Tanakung menemukan inspirasi dari India. Ia
kemungkinan mengunjungi Malaka ketika dalam perjalanan ke India. Akhirnya,
agama-agama itu mempengaruhi Jawa pada abad ke-15.
Ketujuh, upacara pada Malam
Siwaratrikalpa, upacara Malam Siwa dideskripsikan dalam beberapa bagian dari
teks ini, di antaranya pada baris 2 dan 2a, yaitu dijelaskan bahwa pada masa
mudanya Lubdhaka tidak memperhatikan hukum moral dan agama. Ia hanya suka
berburu. Bait 3 pupuh 2 menyatakan pada malam tanggal 14 separuh petang bulan
ketujuh, ia pergi berburu dengan menggunakan jaket berburu yang berwarna biru
tua. Tanggal itu menunjukkan Malam Siwa. Pada bait 5, pupuh 5 pengarang
menggambarkan bahwa Lubdhaka menjatuhkan daun maja tanpa berhenti ke tengah air
(danau) yang kebetulan adalah lingga Siwa. Pada pupuh 5 bait 6 diceritakan
bahwa ia tidak tidur sepanjang malam.
Semua peristiwa itu memperlihatkan ketidaksadaran
Lubdhaka pada kesetiaannya pada Siwaratri. Hal itu memperlihatkan, seperti yang
dikatakan Hooykaas, teks Bali mengacu pada peringatan upacara Siwaratri. Dalam
upacara itu diajarkan bahwa tidak tidur semalaman dalam setahun dapat membawa
kita ke surga Siwa dan mendatangkan kebahagiaan selama hidup.
Malam Siwa disebut juga sebagai bulan Magha, satu
dari dua belas bulan dalam satu tahun dan bertepatan dengan Januan-Februari.
Satu bulan 30 hari yang dalam kalender Jawa disebut kapitu. Siang
harinya disebut Anusmarana suatu pemusatan pikiran dan konsentrasi spirit.
Setelah itu. orang-orang harus pergi ke rumah salah seorang guru dan
mengekpresikan rasa setianya. Kemudian berpuasa dan menyepi (silence) sdanjutma
menviapkan diri mereka untuk mandi dan membersihkan seluiuh badan dan
menggunakan sesuatu yaxig baru untuk pergi ke pertunjukan Siwanalarcana.
penyembahan untuk mendukung Siwa. Dalam penyembahan itu digunakan panekar dan
bunga. Saat itu yang dipentingkan membawa daun maja atau selasih. Dua
unsurdasar yang juga harus ada adalah lampu dan kern enyan atau dupa. Sfakanan
yang disajikan adalah bubur dua macam, yaitu bubur pehan (campuran
susu dan bubur putih yang dicampur dengan gula Jawa. Dalam tradisi Jawa dikenal
dengan bubur putih dan bubur merah. Selain itu, dibawa juga buah-buahan,
daging, dan minuman. Agar orang tidak tertidur semalaman, dibawakanlah cerita
lubdhaka dan sebuah kidung.
Bab dua membicarakanpenelitian India tentang kakawin
dengan perbandingan antara Suraratrikalpa
dengan Padmapurana. Kedua
karya sastra tersebut banyak kesarnaan Keduanya merupakan karya didaktik.
Perbedaan ada pada karakter keduanva. Padmapurana tidak mempunyai pretensi
sastra dan tidak mementingkan keestetisan karena ia buku ajaran, sedangkan
Siwaratrikalpa justru sangat mementingkan keestetisannya. Perbedaan terjadi
pada tokoh. Dalam Padmapurana Lubdhaka meminta izin pulang dahulu menemui istrinya
sebelum dimakan seekor macan Lubdhaka, sangpemburu, diceritakan sangat ganas.
Iabukan hanya memburu dan membunuh binatang-binatang, tetapi juga para
brahmana.
Bab uga berisi empatilustrasi Bali tentang cerita
Lubdhaka. Ilustrasi (1) sebuah ider-ider
Bali milik Royal Tropical Institute, ider-ider Bali itu adalah sebuah kain tenunan dari katun yang
panjangnya 28 cm. Tahun 1933 benda ini dipinjamkan kepada Royal Tropical
Institute. Teeuw dkk menggambarkan dengan rinci tiap adegan dalam gambar itu.
Gambaran itu, di antaranya diberikan terhadap adegan 1 yang dibagi atas sisi
kiri dan sisi kanan. Sisi kiri ada sebuah kolamyang di atasnya mengambang 8
lotus merah dan juga daun -daun yang berserakan serta beberapa di antaranya
sedang jatuh beterbangan. Di tengah kolam itu ada sebuah konstruksi baru yang
berwarna kuning menggambarkan Siwa dengan 4 tangan. Di sisi kanan seorang pria
memakai celana pendek, baju biru lengan panjang duduk di cabang pohon yang
menjatuhkan daun. (2) Ilustrasi tentang cerita Lubdhaka yang ada dalam 1 ukisan
yang dibuat oleh Bagoes Gelgel. (3) Ilustrasi yang ada dalam sebuah lukisan
Bali yang menjadi milik Royal Tropical Institute, Leiden. Ilustrasi terdiri
atas 20 adegan. (4) Ilustrasi dari lukisan BalikoleksiTh. A. Resink. Lukisan
ini dibuat pada tahun 1933 di Puri Gede Saren, Krambitan, Tabanan. Lukisan ini
berukuran 90 cm x 70 cm. yang menarik keempat ilustrasi tersebut direproduksi
dan dilampirkan pada bagian akhir buku.
Aneka edisi teks
Nusantara ini, khususnya pada bagian edisi naskah jamak ber tujuan
tintukmenunjukkanmetode dan pendekatan yang dipakai dalammenyunting naskah.
Dengan metode dan pendekatan itu diharapkan isi teks dapat terungkap dan
diketahui oleh masyarakatnya. Untuk itu, diambil berbagai naskah daerah yang
pernah diteliti para pakar.
Sama halnya dengan edisi naskah
tunggal di atas, edisi naskah jamak ini disajikan untuk melihat penerapan
berbagai teori yang disampaikan pada beberapa bagian dari modul 1 — 5. Dengan
aneka edisi teks ini diharapkan berbagai teori dapat lebih dipahami karena
contoh-contoh edisi teks ini dapat mengkonkretkannya. Untuk itu, diambil enam
penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai f ilolog dari dalam dan luar
negeri. Keenam penelitian itu adalah Hikayat Banjar (Melayu),Babad Buleleng
(Bali), Serat Cabolek (Jawa), Syair-syair Hamzah Fansuri (Melayu), Kakawin
Gadjah Mada (Jawa dan Bali), dan Siwaratrikalpa (Bali).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar