KAJIAN PUISI
UNSUR FISIK DAN BATIN PUISI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah
SWT.yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya
senantiasa bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam tak lupa saya curahkan kepada Nabi Muhammad SWT. Penyusunan makalah yang
diberi judul “Unsur Fisik dan Batin Puisi”, diajukan sebagai pamenuhan salah
satu tugas terstruktur mata kuliah
Puisi.
Dalam penyusunan makalah ini saya mendapatkan
beberapa halangan dan rintangan yang harus saya lewati, tetapi berkat dorongan
dan bantuan dari berbagai pihak saya bisa menyelesaikannya, walaupun saya
sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.
Wassalamu’alikum
Wr. Wb.
Pringsewu, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.................................................................................. i
KATA
PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR
ISI............................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................... 1
A.
Latar Belakang...................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 2
C.
Tujuan.................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................ 3
A.
Pengertian Puisi..................................................................... 3
B.
Tujuan Menyimak.................................................................. 2
C.
Unsur-unsur Pembangun
Puisi.............................................. 4
1.
Unsur Fisik Puisi............................................................. 5
2.
Struktur Batin Puisi......................................................... 18
BAB III
PENUTUP................................................................................. 25
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu cabang kajian tentang sastra adalah puisi. Puisi
merupakan bagian dari ilmu sastra. Sastra dalam bahasa Sansekerta berarti
tulisan atau karangan. Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi
ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam
pilihan kata yang cermat dan tepat. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa
yang digunakan serta wujud puisi
tersebut. Bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Wujud puisi dapat dilihat dari bentuknya yang
berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak mementingkan ejaan. Puisi
dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur
yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta
amanat. Selain itu, ada lima unsur yang merupakan metode puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata
konkret, bahasa figuratif, ritma dan rima.
Pengertian puisi sendiri sampai saat ini masih terlalu sulit
untuk di definisikan. Kebanyakan para ahli telah membuat definisi puisi dari
berbagai sudut pandang mereka sendiri. Genre sastra akan dibagi menjadi dua
bagian yaitu sastra imajinatif dan sastra non imajinatif. Puisi sendiri
terdapat pada bagian imajinatif bersama dengan prosa. Sastra imajinatif sendiri
memiliki ciri-ciri isinya yang bersifat khayali, menggunakan bahasa yang
konotatif dan memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Puisi sendiri menitik beratkan keindahan bahasa yang
digunakan oleh sang penulis atau sang penyair. Pandangan seperti ini didasarkan
pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah pemakaian bahasa yang indah.
Untuk lebih memahami apa itu puisi, yang pertama harus kita ketahui adalah
pengertian puisi dan struktur puisi itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka
rumusan dari makalah ini adalah :
1.
Apakah pengertian puisi?
2.
Bagaimana struktur fisik puisi?
3.
Bagaimana struktur batin puisi?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar
mahasiswa memahami kajian puisi baik dari unsur fisik puisi dan batin puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puisi
Secara etimologi kata puisi
berasal dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat, ‘poesis’ yang
berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau
poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to
create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi disebut maker.
Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada
dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah membangun,
membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono,
1988: 50). Sulit membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi.
Namun demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa
ahli sastra tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai pengertian puisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait
(Depdikbud, 1988).
HB. Jassin (1991) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan perasaan.
Seperti diketahui selain penekanan unsur perasaan, puisi juga merupakan
penghayatan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya di mana puisi itu
diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir penyair. Bahkan aktivitas
berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat tinggi, seperti yang
diungkapkan Matheew Arnold yang dikutip Situmorang : “Poetry is the highly organized form of intellectual activity” (Situmorang,
1983). Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan puisi adalah satu-satunya cara
yang paling indah, impresif, dan yang paling efektif mendendangkan sesuatu.
Demikian pula yang dinyatakan oleh John Dryen, puisi adalah musik yang tersusun
rapi. Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac
Newton (Situmorang, 19919). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan
puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991).
Selain unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi pikiran dan ekspresi
perasaan yang bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang dinyatakan para ahli
yang dikutip H.G Tarigan dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” sebagai
berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni pemaduan kegairahan dengan
kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran, (b)
William Wordsworth : puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh daya,
memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali ke dalam
kedamaian, (c) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya
mampu mencegah adanya gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie : Puisi adalah
ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam
ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan
bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Dari
beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan
kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang
merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama secara
imajinatif, dengan menggunakan unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis
sehingga terwujud keindahan. Jadi puisi adalah cara yang paling indah, impresif
dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan
berirama.
B. Unsur-unsur Pembangun Puisi
Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur
pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak
dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan unsur yang
lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya
dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo).
Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin
(Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling
mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh. Struktur batin puisi terdiri atas : tema,
nada, perasaan, dan amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi,
pengimajian, kata kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas
terdiri atas lambang dan kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima,
ritma dan metrum (Waluyo, 1991).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur yang membangun
puisi terdiri dari dua struktur yaitu unsur fisik dan struktur batin.
Struktur fisik terdiri atas diksi, imaji, kata kongkrit, majas, verifikasi, dan
tipografi. Struktur
batin terdiri dari tema, perasaan, nada, suasana dan amanat.
1.
Unsur
Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur
pembangun puisi dari luar (Waluyo, 1991). Puisi disusun dari kata dengan bahasa
yang indah dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana
bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat. Berikut ini akan
dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi, kata konkret,
majas, verifikasi, majas dan tipografi.
a. Diksi (Pilihan Kata)
Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak
disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan perasaan
dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami hatinya. Selain
itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan
pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang setepat-tepatnya.
Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan
cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan
daya magis kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna
menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka
bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya (Waluyo,
1991).
Kalau dipandang sepintas lalu kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada
umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan dalam
kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama. Bahkan bunyi ucapanpun tidak
ada bedanya (Tarigan, 1988).
Namun tidak demikian adanya penyair menggunakan bahasa yang berbeda bahasa
sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapat melukiskan
apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup dapat melukiskan
apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup bila hanya
mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair adalah supaya siapa saja
yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang
dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya (Pradopo, 1980).
Pilihan kata berguna untuk membedakan
nuansa makna dan gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang
sesuai dengan situasi dan nilai rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang
tepat berarti memfungsikan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan
yang tepat pada imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis
pada saat menciptakan puisinya (Keraf, 1984).
Dalam memilih kata-kata yang tepat dan
untuk menimbulkan makna serta gambaran yang jelas penyair harus mengerti
denotasi dan konotasi sebuah kata (Pradopo, 1990). Hal ini disebabkan karena
penyair berbeda dari penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya). Dalam
menentukan pilihan kata yang tepat sering terjadi pergumulan dalam diri
penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang tepat, yang mengandung arti sesuai
dengan maksud puisinya baik dalam arti denotatif maupun konotatif seperti
dikatakan di atas. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada
imajinasi pembacanya maupun pada makna puisinya (Situmorang, 1983).
Seperti dikatakan di atas puisi
memiliki makna masing-masing. Namun secar umum makna kata dalam puisi
digolongkan menjadi dua makna; konotasi dan denotasi. Makna denotasi artinya
makna yang menunjuk pada arti sebenarnya dalam kamus, sedangkan makna denotasi
artinya kata yang memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (Waluyo, 1991).
Namun dalam puisi (karya sastra) sebuah kata tidak hanya mengandung makna
denotasi saja (Pradopo, 1990). Hendaknya disadari bahwa kata dalam puisi lebih
bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu.
Kata-kata dalam puisi dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetis
dan juga puitis artinya mempunyai efek keindahan yang berbeda dari kata-kata
yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Maka kata-kata
yang dipilih penyair bersifat absolut dan tidak bisa diganti. Jika diganti akan
mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi itu sendiri (Waluyo, 1991).
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan
nuansa makna dan suasana yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan
mempertimbangkan arti sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna
konotatif, sehingga mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi diksi selain penting juga merupakan
sebagian dari ciri khas seorang penyair. Karena di antara penyair yang satu
dengan penyair yang lain berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa
diksi itu sudah menjadi satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam
puisi kita seakan bisa mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan
seorang penyair menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada pembacanya
(Situmorang, 1983:19).
b. Pengimajian (Imaji)
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya
kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi
keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata dalam
puisinya (Tarigan, 1984). Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata-kata,
pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih harus menghasilkan dan
karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam
penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi dengan pengertian
kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris
seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo, 1991).
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta
memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut dapat mendorong
imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan
menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha
membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap
bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut
(Tarigan, 1984).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga dan sekuat daya dengan
pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat melihat, merasakan,
mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui fantasinya (imajinya). Dengan
jalan demikian penyair dapat menarik perhatian pembaca bahkan bisa
meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu yang digambarkannya itu
(Situmorang, 1983).
Imaji bisa muncul pada diri seseorang, apabila seseorang itu mau memikirkan
dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya melalui perasaan. Sebab semua
manusia mengalami dan melihat apa yang ada di dunia ini melalui
perasaannya. Jika kita
pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir putih. Kita merasakan
asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di kepala kita dan pasir
panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak, kita dapat merasakan
dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kita
menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada pada rasa kita. Jika kita
kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal di atas tidak akan dapat kita
rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981).
Demikian pula halnya dengan penyair pada saat menciptakan puisi. Dengan
serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya imajinasi dalam puisinya
sehingga pembaca dapat memunculkan apa yang disampaikan penyair dalam
puisinya ke dalam pikirannya dengan perasaan. Segala yang dirasai atau dialami
secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau
imaji atau pengimajian (Tarigan, 1984). Bila seseorang membaca sebuah puisi
yang melukiskan indahnya suasana pantai di pagi hari dan di saat senja datang.
Maka yang muncul dalam imajinasi kita adalah ombang yang saling berkejaran,
angin yang berhembus sejuk, kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar
matahari menambah indahnya suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai berubah
menjadi senja. Sementara matahari tak bosannya menyengat kulit sampai hitam
legam. Imajinasi ini muncul karena kita menggunakan perasaan. Tanpa perasaan semua hal di atas tidak
akan dapat kita rasakan. Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata kongkrit
yang khas (Waluyo, 1991).
Effendi menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai
usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri
pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat
benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat benda-benda, warna
dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati kita
menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna (Waluyo, 1991).
Hal yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati secara nyata selama kita
sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna sebuah puisi (Waluyo, 1991).
Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah gambaran pikiran dan bahasa yang
menggambarkannya (1990).
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas dapat disimpulkan pengimajian
adalah susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris di mana
pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan seperti apa yang
dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara imajinatif
melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang dihasilkan oleh
indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran dan
gerakan (Pradopo, 1990). Selanjutnya terdapat juga imaji penglihatan (visual),
imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo,
1991). Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal
beberapa macam imajinasi, yaitu:
1)
Imajinasi Visuil, yakni imajinasi yang
menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan
atau diceritakan oleh penyair.
2)
Imajinasi Auditory, yakni imajinasi
yang menyebabkan pembaca seperti mendengarsendiri apa yang dikemukakan penyair.
Suara dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang
dikemukakan, hal ini sering menggunakan kata-kata onomatope.
3)
Imajinasi Articulatory, yakni imajinasi
yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan
artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu
seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya, sehingga ikut
bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya.
4)
Imajinasi Olfaktory, yakni imajinasi
penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita
seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti mencium bau rumput yang sedang
dibakar, kita seperti mencium bau tanah yang baru dicangkul, kita seperti mencium
bau bunga mawar, kita seperti mencium bau apel yang sedap dan sebagainya.
5)
Imajinasi Gustatory, yakni imajinasi
pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata
atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang
menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
6)
Imajinasi Faktual, yakni imajinasi rasa
kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita
rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh tekanan udara atau oleh
perubahan suhu udara.
7)
Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi
gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan
badan atau otot-otot tubuh.
8)
Imajinasi Organik, yakni imajinasi
badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan yang capai,
lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh penyair
melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah
kepuitisannya (Pradopo, 1990).
c. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka
kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat
mengarah pada arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Jika
seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat
melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan oleh penyair
(Waluyo, 1991).
Sedangkan yang dimaksud dengan kata
konkret sendiri ialah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi
secara konotatif tidak sama karena disesuaikan dengan kondisi dan situasi
pemakainya. Misalnya pemakaian kata-kata senja, senyap, camar, bakau,
teluk benang raja dalam sajak Amir Hamzah dalam “Berdiri Aku” benar-benar merupakan
kata yang sesuai untuk mendukung makna dari puisinya (Situmorang, 1983).
Dengan kata yang diperkonkret makin
memperjelas gagasan penyair dengan begitu pembaca dapat membayangkan secara
jelas peristiwa, perasaan, keadaan yang dialami penyair pada saat menciptakan
puisinya. Misalnya puisi yang berjudul : “Gadis Peminta-minta”. Untuk
melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis, gembel maka penyair
menggunakan kata-kata gadis kecil berkaleng kecil lukisan itu lebih konkret
dari pada gadis peminta ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi yang dimaksud konkret adalah kata
yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh, dengan demikian pembaca
dapat membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang
digambarkan penyair sehingga pembaca dapat memahami arti puisi.
d. Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga
disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah
bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang
tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan makna kata atau bahasanya
bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991).
Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan
makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan
dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis. Seperti
yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias dapat menciptakan gambaran
angan/ citraan(imagery) dalam diri pembaca yang menyerupai gambar
yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang dapat dilihat
mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan (1990).
Bahasa figuratif dipandang lebih
efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa
figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah
cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak
menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif
adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa Figuratif adalah cara untuk
mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu
yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus menafsirkan kiasan dan
lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional. Menurut uraian di atas
bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan
dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan,
gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak
dikemukakan penyair melalui puisinya. Bahasa kias yang biasa terdapat dalam
puisi:
1) Perbandingan/ perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan
satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti
bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
2) Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan,
hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan
sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain
(Becker, 1978). Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga
denan yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
3) Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati dibuat
dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak
dipergunakan penyair dulu sampai sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan
di samping itu memberi kejelasan beberan,memberikan bayangan angan yang
konkret.
4) Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal
yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
5) Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang
dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia
sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah
atribut sebuah obyek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya
dengan mengganti obyek tersebut.
6) Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda
(hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk
keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk
sebagian
(Pradopo, 1990).
7) Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini
mengkiaskan hal lain atau kejadian lain. Perlambangan yang dipergunakan dalam
puisi:
a.
Lambang warna
b.
Lambang benda : penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu
yang ingin diucapkan.
c.
Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair untuk
melambangkan perasaan tertentu.
d.
Lambang suasana : suasana yang dilambangkan dengan suasana
lain yang lebih konkret.
e. Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Rima adalah
pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi
sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca. Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain:
a) Menurut bunyinya :
ü Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
ü Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
ü Rima mutlak bila
seluruh bunyi kata itu sama
ü Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata
ü Aliterasi :
perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan
ü Pisonansi (rima
rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya berbeda.
b) Menurut letaknya :
ü Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama
ü Rima tengah : bila
kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama
ü Rima akhir bila
perulangan kata terletak pada akhir baris
ü Rima tegak bila
kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya
ü Rima datar bila
perulangan itu terdapat pada satu baris.
c) Menurut letaknya dalam bait puisi :
ü Rima berangkai dengan pola aabb, ccdd……….
ü Rima berselang dengan pola abab, cdef……
ü Rima berpeluk
dengan pola abba, cddc……..
ü Rima terus dengan pola aaaa, bbbb……..
ü Rima patah dengan
pola abaa, bcbb……
ü Rima bebas : rima
yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut sebelumnya (Waluyo, 1991:
93).
ü Efoni kombinasi
bunyi yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang,
cinta dan hal-hal yang menggembirakan.
ü Kakafoni kombinasi
bunyi yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk memperkuat suasana yang
tidak menyenangkan, kacau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.
Ritma, pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang
pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga
membentuk keindahan (Waluyo, 1991:94). Ritma terdiri dari tiga
macam, yaitu:
a.
Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan
irama lambat
b.
Alegro : Kata bervokal tiga,
menimbulkan irama sedang
c.
Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama
cepat.
Metrum,
perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94). Nama metrum
didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah
irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo,
1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan deklamasi.
Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk tekanan keras
ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan, sedangkan tekanan
lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.
f. Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra
lain pada bentuk tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa
puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu
disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan
makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian
satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal
cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir
di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi
disebut tipografi (Pradopo, 1990).
Struktur fisik puisi membentuk
tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi merupakan bentuk visual yang
bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi
konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis,
kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas
puisi pada periode angkatan tertentu.
2. Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi atau struktur makna
merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1987). Struktur
batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau
makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan. Tanpa
penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun dari dalam, mustahil dapat
memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi merupakan isi/ makna yang
sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui puisinya. karena struktur
batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat, maka pembaca
harus terlibat secara mendalam, baik fisik, mental maupun pikiran untuk
mengetahui atau memahami hakekat makna sebuah puisi yang sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang
dikutip Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense),
perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap
pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991).
Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a.
Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai keinginan dan
tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui
puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair, penyair ingin agar apa
yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami dan pembaca
tidak mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan puisinya. Sedangkan tujuan
berhubungan langsung dengan pembaca, penyair berharap setelah membaca dan
memahami isi serta pesan moral dalam puisinya dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman pembaca tentang hidup dan kehidupan.
Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan dengan unsur
kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan
kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh
penyair. Setiap puisi mengandung suatu pokok persoalan (subject matter)
yang hendak dikemukakan (Situmorang, 1983). Tema merupakan gagasan pokok
atau subject matter yang dikemukakan penyair (Waluyo, 1991).
Jadi jelas bahwa dengan puisinya penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi
pembaca melalui puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa kejadian
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan,
mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan kata lain sang
penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui
puisinya (Tarigan, 1985). Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu
kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya.
Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya
bertema ketuhanan. Jika
desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema
kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann untuk memproses ketidakadilan,
maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah
hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena
cinta (Waluyo, 1991).
Jadi tidak ada puisi yang tidak
mempunyai sesuatu yang hendak dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat
lihai menutup-nutupi atau menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata
sehingga pembaca harus bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi
pasti ada sesuatu yang hendak dikemukakannya. Inilah yang disebutsense (Situmorang,
1983).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak lepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah hidup, lingkungan,
agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985). Hal ini didukung oleh pendapat Herman
J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya,
dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan (Waluyo, 1991).
Sebuah puisi bisa menyenangkan karena
bersifat menghibur, mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun
sebuah puisi tidak hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat
yang berupa dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat
spiritual dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita tidak akan dapat memahami tema
dari sebuah puisi kalau hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 19888). Karena
penyair tidak langsung membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam
puisinya. dengan membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan
menemukan isi dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk
diri sendiri maka itu tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca
mendapatkan kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983).
Seorang sastrawan akan merasa bangga
apabila apa yang disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan
dipahami oleh pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk
menafsirkan (Sumardjo, 1982). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu
yang digambarkan penyair dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan
yang hendak dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter.
Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun
puisi secara khusus.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan tema adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair
melalui puisinya yang mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan.
Tema juga merupakan latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat
dipisahkan dari pengarangnya. Dengan latar belakang pengetahuan yang sama,
penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah
puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991).
Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
1) Tema Ketuhanan
Puisi-puisi bertema ke-Tuhanan
biasanya akan menunjukkan religius experience atau “pengalaman religi” penyair
yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga
dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau
lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991). Kedalaman
rasa ke-Tuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan
kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat
hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin
Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991).
2) Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud
menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca
bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan
kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya
perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991).
3) Tema Patriotisme
Tema patriotisme dapat meningkatkan
perasaan cinta aka bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan
perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan yang
berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat
diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangssa atau
membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991).
4) Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya
untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang
pihak yang berkuasa, didapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang
berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua
mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
5) Tema Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema
keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema
keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk
mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
b.
Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan
sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair
dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang
digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana hati penyair
juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991).
Hal ini sejalan dengan kenyataan
bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi
setiap pokok yang diekspresikan. Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan,
kasihan, simpati, acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya
(Tjahyono, 1988).
Jadi perasaan adalah sikap penyair
terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan
gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.
c.
Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan
pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988). Hal ini
seperti dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya
(Tarigan, 1985).
Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang
ditujukan kepada pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh,
membodohkan, rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya
menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991).
Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang
tersurat, yaitu bahasa/ ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam puisi. Nada
berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu pada
pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca
puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo,
1991). Misalnya : puisi yang bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada
pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan suasana khusuk.
d.
Amanat
enyair sebagai sastrawan dan anggota
masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga
kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu
ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan
sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan
juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991). Amanat adalah
maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan
penyair melalui puisinya.
BAB III
PENUTUP
Salah satu genre
sastra adalah puisi. Puisi mempunyai unsur-unsur pembangun yang menunjang
bentuk dari puisi itu sendiri. Unsur pembangun puisi itu sendiri terdiri dari
struktur batin puisi (hakikat puisi) dan struktur fisik puisi (metode puisi).
Struktur batin puisi terdiri dari tema, rasa, nada dan amanat atau pesan;
sedangkan struktur fisik puisi terdiri dari diksi, imaji, kata konkret, majas,
verifikasi dan tipografi. Kedua struktur ini saling berhubungan satu sama lain,
saling bergantung satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Budiman, Sumiati. 1987. Sari Sastra Indonesia. Surakarta: Intan Pariwara
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Esten, Mursal. 1990. Kesusastraan
Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa
Putralagoma. 2010. “Puisi”. http://id.shvoong.com/humanities/1935362-puisi/.
Diakses 3 Oktober 2015.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: UGM Press
Santoso, Agus Budi. 2008. “Puisi”.
http://agusbudiikip.files.wordpress.com/ 2008/11/bab-3-buku.doc. Diakses 3
Oktober 2015.
Siswanto, Wahyudi.
2008. Pengantar Teori Sastra. Bandung:
Grasindo.
Tarigan, Henry Guntur.
1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa
Tio Oi, 2012. Pengertian dan Unsur-unsur Puisi. Dalam
http://adagiooi.blogspot. co.id/2012/04/puisi.html. Diunduh Pada Tanggal 3
Oktober 2015.
Waluyo, Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Bandung:
Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar