Sabtu, 28 Oktober 2017

BAB I
PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN MANFAAT FILOLOGI


Di antara Anda mungkin sudah banyak yang mengenal istilah  filologi, bahkan sudah berkecimpung dalam bidang yang satu ini. Mungkin juga berbagai alasan mengapa Anda tertarik terhadapnya. Ada ketidaktertarikan Anda terhadap bidang yang langka peminat ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan bahwa filologi itu adalah ilmu yang berkaitan dengan karya (tulisan) masa lampau, kuno, lapuk, berdebu, dekil, kotor, dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Namun, jika sudah terjun ke dalamnya dan sudah “jatuh cinta” kepadanya, Anda akan merasakan betapa asyiknya “menggauli” teks-teks masa lampau yang sudah lapuk dan berdebu itu.
Karena berkaitan dengan produk masa lampau, yang latar sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini, kebanyakan orang tidak tertarik akan filologi. Itulah sebabnya, sementara orang memandang bahwa filologi itu sebagai ilmu yang “gelap” atau kurang jelas.
Sebagaimana dinyatakan para pakar, karya-karya masa lampau merupakan peninggalan yang mengandung informasi tentang buah pikiran, perasaan, pengalaman, dan pengetahuan mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada. Informasi tentang masa lampau itu merupakan ciptaan manusia yang latar sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini. Di samping itu, kondisi karya masa lampau itu – karena dimakan usia – berangsur lapuk. Selain faktor usia, faktor kesengajaan yang dibuat manusia dalam proses penyalinan, misalnya, juga mempengaruhi keaslian karya itu. Adanya berbagai varian dalam teks merupakan akibat kesengajaan yang dibuat manusia (penyalin).
Kerusakan bahan dan munculnya variasi teks menuntut adanya cara pendekatan dan penggarapannya. Itulah sebabnya, upaya untuk menggali informasi yang tersimpan dalam karya (tulisan) masa lampau itu sangat bergantung kepada kondisi teks – yang sulit dipahami pembaca masa kini – dan kondisi fisiknya yang sudah tidak utuh lagi.
Kekhasan naskah (teks) dengan kondisi yang telah dikemukakan itu memerlukan pendekatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan keterampilan khusus mengenai teks (tulisan dan bahasa yang digunakan di dalamnya) dan fisik naskah. Ilmu yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah filologi.

A.      Pengertian Filologi
Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia, yang berupa gabungan kata philos  yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti ‘ilmu, pembicaraan’. Dalam bahasa Yunani philologia berarti ‘senang berbicara’, kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, ‘senang kepada ilmu’, ‘senang kepada tulisan’, dan akhirnya ‘senang kepada tulisan yang bernilai tinggi’, seperti karya sastra (Baried, 1994:2).
Sebagai istilah, filologi mulai dipakai pada abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli dari Iskandariah, untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji tulisan yang dihasilkan berates-ratus tahun sebelumnya. Pakar dari Iskandariah yang pertama kali melontarkan istilah filologi itu bernama Eratosthenes. Pada waktu itu mereka harus berhadapan dengan sejumlah peninggalan tulisan yang mengandung informasi yang bentuknya bermacam-macam, di samping adanya sejumlah bacaan yang rusak.
1)        Berbagai Pengertian Filologi dalam Perkembangnya
Sesuai dengan perkembangan zaman, studi filologi juga memperlihatkan kemajuan. Sehubungan dengan itu, pengertian filologi juga mengalami perubahan sesuai dengan sasaran dan objek kajiannya, sebagaimana dikemukakan dalam uraian berikut.

a.         Filologi sebagai Ilmu tentang Pengetahuan yang Pernah Ada
Informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat – yang meliputi berbagai segi kehidupan – dapat diketahui masyarakat masa kini melalui karya-karya yang mereka tinggalkan, baik berupa benda budaya maupun tulisan. Karya yang berupa tulisan umumnya mengandung informasi masa lampau yang lebih jelas dan rinci. Jika informasi yang terkandung dalam tulisan masa lampau itu mencakupi bidang kehidupan yang lebih luas, pengetahuan yang dipandang mampu mengungkap informasi itu dapat dikatakan sebagai kunci pembuka pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip August Boekh pengartikan filologi sebagai’ilmu pengetahuan tentan g segala sesuatu yang pernah diketahui orang’. Berdasarkan pandangan itu, pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan masa lampau disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkap khazanah pengetahuan masa lampau.

b.        Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Sebagai hasil budaya masa lampau, suatu tulisan perlu dipahami dari segi konteks masyarakat yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang hidup dalam masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang besar bagi upaya memahami kandungan isinya. Karena prinsip dasar tulisan masa lampau itu berupa bahasa, modal dasar seorang filolog adalah bahasa yang dipakai dalam tulisan tersebut. Hal itu berarti bahwa pengetahuan kebahasaan secara luas diperlukan untuk membedah kandungan karya tulisan masa lampau. Dengan demikian, seorang filolog harus ahli bahasa. Sehubungan dengan itu, filologi dipandang sebagai ilmu tentang bahasa.
Bertalian dengan konsep tersebut, filologi dipandang sebagai studi bahasa yang ilmiah, sebagaimana dilakukan bidang linguistik. Jika studi tentang bahasa itu dikhususkan kepada tulisan masa lampau, studi filologi dapat diartikan sebagai linguistik diakronis. Studi semacam itu antara lain dapat dijumpai di Inggris dan Arab.

c.         Filologi sebagai Ilmu Sastra Tinggi
Dalam kenyataannya, tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi itu berupa karya yang bernilai tinggi dalam masyarakat. Karya itu pada umumnya merupakan karya sastra adiluhung, seperti karya Homerus. Kajian atau studi semacam itu kemudian melahirkan pengertian tentang istilah filologi sebagai studi sastra atau ilmu sastra.

d.        Filologi sebagai Studi Teks
Filologi dapat juga dipakai untuk menyebut ilmu yang berhubungan dengan studi teks, yaitu studi yang berupaya mengungkapkan hasil budaya yang terkandung di dalam suatu teks. Studi seperti itu pernah dilakukan di Belanda. Di Perancis filologi diartikan sebagai studi suatu bahasa melalui dokumen tertulis dan studi mengenai teks lama serta penurunanya. Dalam hubungan dengan konsep tersebut, filologi bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang tersimpan dalam teks aslinya. Dengan demikian, titik berat studinya adalah teks yang tersimpan dalam krya tulis masa lampau.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sebagai istilah, filologi adalah suatu disiplin ilmu tentang teks yang terekam dalam tulisan masa lampau. Studi teks itu didasarkan oleh adanya informasi tentang hasil budaya manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh sebab itu, sebagai satu disiplin ilmu, filologi tergolong dalam ilmu humaniora yang bertujuan mengungkap hasil budaya masa lampau yang terekam dalam karya yang berupa tulisan (teks). Konsep kebudayaan di atas, antara lain, bertalian dengan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, bahasa, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Studi filologi di Indonesia, sampai kira-kira permulaan abad ke-20, masih mengikuti konsep filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak bentuk teks aslinya. Pada paruh kedua abad ke-20 studi filologi di Indonesia mulai mempertimbangkan kondisi teks dan naskah yang tidak sama dengan kondisi teks dan naskah yang melahirkan disiplin filologi serta kehidupan pernaskahan yang ada dalam masyarakat saat itu. Sebagai akibatnya, pelacakan bentuk asal teks bukanlah satu-satunya tujuan studi filologi.

2)        Dasar Studi Filologi
Filologi, sebagi suatu disiplin ilmu, diperlukan karena munculnya variasi teks dalam naskah. Gejala tersebut memperlihatkan bahwa dalam penyalinan teks senantiasa mengalami perubahan sehingga wujudnya bervariasi. Adanya variasi teks itulah yang melahirkan studi filologi. Dengan kata lain, studi filologi berdasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya.
Adanya variasi teks menunjukkan bahwa sifat penurunan (penyalinan) teks tidak setia. Penyalin, baik disengaja maupun tidak disengaja, akan menghasilkan salinan yang tidak sama dengan bentuk aslinya. Dengan berbagai keterbatasan dan kesubjektivitasnya penyalin mempunyai peran yang sangat menentukan dalam penyalinan teks.
Variasi teks yang merupakan dasar studi filologi mula-mula dipandang sebagai kesalahan atau keteledoran penyalin. Dalam perkembangan sikap terhadap adanya variasi yang muncul dalam naskah salinan juga berubah. Variasi teks tidak hanya dipandang sebagai kesalahan penyalinan, tetapi juga sebagai kreasi penyalinan, yang merupakan hasil kreativitas dan subjektivitasnya sebagai penyambut teks sehingga salinannya diterima oleh pembaca sezamannya.
Adanya perbedaan sikap penyalin itu kemudian melahirkan perbedaan pandangan dalam studi filologi. Pertama, sikap yang memandang variasi sebagai wujud kesalahan dan kelengahan penyalin melahirkan pandangan yang disebut filologi tradisional. Dalam konsep itu filologi memandang variasi teks secara negative. Konsekuensinya, teks harus dibebaskan dari kesalahan. Dengan demikian, tugas filologi adalah menyiangi teks dari berbagai bentuk kesalahan.
Kedua, sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang disebut filologi modern. Dalam konsep ini, variasi dipandang secara positif, yang berarti variasi merupakan wujud kreasi dan resepsi penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini, gejala yang sebetulnya merupakan akibat keteledoran atau kesalahan penyalin tetap diperhatikan dan pertimbanngkan dalam pembacaan.
Munculnya perkembangan sikap terhadap variasi teks dipengaruhi oleh perkembangan pemahaman orang terhadap sasaran dan objek kajian filologi yang tidak selalu indentik dengan sasaran serta objek kajian yang melahirkan istilah filologi (di Iskandariah) dan dengan sasaran objek kajian yang dihadapi oleh kajian filologi yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Hal itu dapat dilihat dalam penulisan masa lampau di Nusantara. Berdasarkan gejala-gejala itu, perlu dicermati studi filologi bagi naskah-naskah Nusantara (termasuk Melayu dan Jawa).
Contoh : Naskah Melayu asal-usul Bengkulu terdapat beberapa variasi penulisan, ada yang ditulis dengan aksara Arab, Melayu dan ada yang ditulis dengan aksara Latin.
3)        Sasaran dan Objek Studi Filologi
Karya tulisan yang berupa buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat masa lampau itu disebut naskah. Isi atau informasi yang terdapat dalam naskah disebut teks.
Berdasarkan sejarahnya, sasaran studi filologi adalah naskah. Ilmu yang berkaitan dengan pernaskahan disebut kodikologi. Objek kajian filologi adalah teks atau kandungan naskah.

4)        Tujuan
Sebagaimana karya lainnya, kondisi fisik peninggalan masa lampau itu makin lama makin tua, lapuk,mdan secara perlahan-lahan akan mengalami kerusakan. Untuk menyelamatkan kandungan isinya, cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan penyalinan. Adanya penyalinan yang berulang-ulang dapat menimbulkan wujud salinan yang bermacam-macam. Perubahan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain faktor kesalahpahaman penyalin, kesalahan penulisan, dan faktor kesengajaan (subjektivitas) penyalin. Sebagai akibatnya, informasi yang terkandung di dalamnya juga akan berlain-lainan pula. Selain itu, bahasa dan faktor sosial budaya yang melatarbelakangi lahirnya kandungan naskah juga berbeda.
Adanya variasi teks itu menimbulkan sikap yang berbeda pula. Sikap yang memandang variasi sebagai bentuk korup mempunyai tujuan menemukan bentuk asal teks. Bacaan varian (variant reading) dalam berbagai teks mengudang perhatian untuk menemukan bentuk teks yang asli, yang dihasilkan pertama kali, atau teks yang dalam penyalinannya tidak mengalami perubahan (mendekati yang asli).
Sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi mempunyai tujuan menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi tersebut. Dasar kerja seperti itu memandang penyalin sebagai penyambut teks yang kreatif. Kreativitas penyalin timbul selain berdasar pada subjektivitasnya, juga didukung oleh hasil pembacaan terhadap teks lain. Dengan demikian, tujuan studi filologi dapat dirumuskan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum
Secara umum studi filologi bertujuan
(1)          mangungkapkan produk masa lampau yang berupa (karya) tulisan;
(2)          mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam masyarakat penghasil atau ahli waris karya itu dari dalam masyarakat masa kini;
(3)          mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya itu.

Tujuan Khusus
Secara khusus, studi filologi bertujuan
(1)          menelusuri bentuk asal teks berdasarkan bacaan varian yang ada;
(2)          mengungkapkan sejarah perkembangan teks;
(3)          mengungkapkan sambutan masyarakat penerima teks;
(4)          menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang dapat dibaca oleh masyarakat masa kini.
5)        Metode
Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi menurut adanya metode yang memadai. Berbagai faktor yang berkaitan dengan studi filologi menjadi pertimbangan dalam penetapan metode. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1)          sikapnya terhadap bacaan varian (variant reading);
(2)          sasaran dan objek studinya, seperti sistem bahasa, sistem sastra, konvensi sosial budaya;
(3)          jumlah naskah;
(4)          kondisi naskah (keterbacaan teks); dan
(5)          tujuan.


B.       Kedudukan Filologi
Jika kita memperhatikan kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu yang lain yang berkaitan dengan objek kajian filologi, tampak adanya hubungan timbal balik dan saling membutuhkan. Sebagaimana kita ketahui, objek kajian filologi adalah naskah-naskah yang mengandung teks sastra, yang dihasilkan masyarakat tradisional, yaitu masyarakat yang belum terpengaruh sastra Barat secara intensif. Sastra seperti itu mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat yang menghasilkannya. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang masyarakat yang menghasilkan karya sastra tersebut merupakan syarat mutlak untuk memahami makna karya sastra tersebut. Kesusastraan Melayu lama, misalnya, sebagian besar merupakan warisan budaya zaman Sriwijaya, Pasai, Malaka, Aceh, Johor, dan Riau. Untuk dapat memahami karya sastra Melayu itu, perlu dipelajari pula kehidupan kemelayuan tersebut. Untuk dapat memahami arti setiap kata / istilah dan ungkapan yang digunakan dalam teks tersebut, diperlukan juga penguasaan bahasa yang memadai. Penguasaan bahasa teks tidak terlepas dari pemahaman terhadap masyarakat penghasil karya tersebut. Dengan demikian, teks tersebut harus dilihat dari konteks masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Penelitian yang lebih mendalam dan terinci dapat dilakukan dari ciri bahasanya, nilai sastranya, kandungan isinya, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa filologi memerlukan ilmu bantu yang erat hubungannya dengan bahasa, masyarakat dan budaya yang melahirkan naskah, dan ilmu sastra. Dengan demikian, untuk menggarap naskah dengan baik, seorang filolog memerlukan ilmu lain, seperti linguistik, pengetahuan bahasa yang digunakan dalam teks, ilmu agama, sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor. Karena kajian filologi banyak yang disajikan dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris, perlu pula dimiliki pengetahuan bahasa asing yang memadai. Berikut ini akan diuraikan kaitan antara filologi dan ilmu bantunya.

1)        Linguistik
Mempelajari bahasa teks memang bukanlah tujuan utama studi filologi. Meskipun demikian, karena bahasa teks berbeda dengan bahasa sehari-hari, sebelum sampai pada tujuan yang sesungguhnya, seorang filologi harus memahami bahasanya. Untuk itu, dalam pemahaman bahasa inilah diperlukan bantuan linguistik. Bantuan linguistik dalam bidang filologi sudah tampak sejak awal perkembangannya ketika linguistik mengutamakan bahasa tulis, termasuk bahasa naskah. Bahkan, studi bahasa sampai abad ke-19 dikenal dengan istilah filologi. Pada perkembangannya kemudian, linguistik lebih mengutamakan bahasa lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari. Walaupun demikian, penerapan metodenya diharapkan dapat diterapkan dalam pengkajian bahasa naskah.
Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantuk filologi, antara lain etimologi, sosilinguistik, dan stilistika. Etimologi, yaitu ilmu yang memperlajari asal-usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian filolog. Hampir dapat dikatan bahwa pada setiap kajian bahasa teks selalu ada kajian yang bersifat etimologi. Hal itu dapat dipahami karena bahasa naskah Nusantara banyak yang mengandung kata serapan dari bahasa asing, terutama bahasa Arab dan Belanda, yang dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk, bahkan perubahan arti. Itulah sebabnya, kajian terhadap kata-kata seperti itu perlu dilakukan. Kajian terhadap perubahan bentuk atau makna kata menuntut pengetahuan yang memadai tentang filologi (ilmu tentang bunyi bahasa), morfologi (ilmu tentang pembentukan kata, dan semantic (ilmu tentang makna kata). Ketiga hal itu termasuk dalam bidang linguistik.
Adanya kata muwafakat, di samping mufakat, dalam teks Melayu, misalnya, merupakan hal yang tidak asing karena kata itu diserap dari bahasa Arab. Kata cinta dalam sastra Melayu sering berarti ‘sedih’ atau ‘susah’. Kata masygul dalam naskah karya Nuruddin Arraniri tidak berarti ‘sedih’, ‘gundah’, tetapi berarti ‘sibuk’, yaitu arti pertama dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti itulah yang perlu ditelusuri secara etimologi, dengan pengetahuan tentang fonologi, morfologi, dan semantik.
Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik, mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sosiolinguistik sangat bermanfaat dalam menekuni teks, misalnya ada atau tidaknya undak-usuk (tingkatan) bahasa, ragam bahasa, dan alih kode, yang erat kaitanya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian sosiolinguistik ini diharapkan dapat membantu mengungkapkan keadaan sosiobudaya yang tersurat dalam naskah.
Stiliska, juga salah satu cabang linguistik yang menyelidiki gaya bahasa sastra, diharapkan dapat membantu penelusuran teks asli yang mendekati teks asli dan dalam penentuan usia teks.
Sebagaimana kita ketahui, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah yang telah mengalami penyalinan (penurunan). Dalam penyalinan naskah tampak adanya tradisi penyalinan yang longgar. Artinya bahwa penyalin dapat mengubah, memperbaiki, menambah, dan mengurangi teks yang disalinnya, jika dianggap perlu. Selain itu, penyalinan teks seringkali dilakukan secara horizontal dengan menggunakan beberapa naskah induk sehingga menyulitkan pelacakan naskah asli. Dengan mengkaji gaya bahasa suatu teks, diharapkan dapat diketahui adanya kelainan dalam teks tersebut. Adanya perbedaan itu mengindikasikan bahwa teks itu bukanlah asli.
Di samping untuk menelusuri keaslian teks, pengetahuan stilistika juga diharapkan dapat membantu penentuan usia teks. Sebagaimana kita ketahui, teks lama pada umumnya tidak mencantumkan data penulis / penyalin dan wkatu penulisan/penyalinan. Dengan memperbandingkan gaya bahasa teks, diharapkan dapat diketahui pula siapa pengarang/penyalin teks tersebut dan kapan dilakukan penulisan/penyalinan teks tersebut. Kitab Brahmandapurana dalam sastra Jawa, misalnya, yang tidak memiliki keterangan penulis dan tahun penulisnya, oleh Poerbatjaraka digolongkan ke dalam sastra sezaman dengan “Sang Hyang Kamahayanikan” berdasarkan kajian struktur dan gaya bahasanya.

2)        Pengetahuan tentang Bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks
Bahasa teks Nusantara pada umumnya dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta, Tamil, Arab, Persi dan berbagai bahasa daerah yang serumpun dengannya. Karena teks Nusantara itu ada yang berasal dari Persi dan Tamil, pengaruh kedua bahasa itu tampak juga di dalamnya. Namun, pengaruh kedua bahasa itu sangat sedikit sehingga untuk telaah teks tersebut tidak diperlukan pendalaman kedua bahasa tersebut. Berbeda halnya dengan bahasa Sansekerta dan bahasa Arab. Pengaruh kdedua bahasa itu dalam teks Nusantara sangat besar sehingga untuk keperluan telaah teks, pendalaman terhadap kedua bahasa tersebut penting dilakukan.
Bahasa Sansekerta sangat diperlukan dalam kajian teks berbahasa Jawa, terutama Jawa Kuna. Dalam teks berbahasa Jawa Kuna pengaruh bahasa Sanserkerta ini sangat besar, tidak hanya berupa serapan kosakata atau frasa, tetapi juga berupa cuplikan teks yang tidak disertai terjemahannya. Pengaruh bahasa Sanserkerta itu tampak dalam teks “Ramayana”, “Uttarakanda”, dan “Sang Hyang Kamahayanikan”. Pengaruh dalam teks berbahasa Jawa Baru hanya sebatas kata dan dalam ungkapan yang dikenal dengan istilah tembung Jawi yang berarti ‘kata pujangga’. Dalam teks berbahasa Melayu pengaruhnya hanya berupa kata serapan dan jumlahnya tidak sebanyak dalam teks berbahasa Jawa Baru. Walaupun demikian, penanganan teks Melayu juga memerlukan pengetahuan bahasa Sansekerta.
Pengetahuan bahasa Arab, terutama, diperlukan untuk pengkajian teks yang berisi ajaran Islam atau tasawuf atau teks yang kena pengaruh Islam. Dalam teks seperti itu banyak kata, frasa, kalimat, atau ungkapan berbahasa Arab, bahkan nukilan bagian teks tertentu, seperti bagian pendahuluan atau penutup. Walaupun pada umumnya bagian teks berbahasa Arab itu nukilan dari Alquran, hadis, atau kitab terkenal diikuti terjemahnya dalam bahasa teks, teks itu belum tentu dapat dibaca dengan benar karena ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca. Oleh sebab itu, pengetahuan bahasa Arab yang memadai sangat diperlukan agar pembacaan teks dapat dilakukan dengan benar. Pengetahuan bahasa Arab juga diperlukan jika kita hendak melacak atau membandingkan teks Nusantara yang bersumberkan teks berbahasa Arab atau teks Nusantara yang kena pengaruh Islam. Contoh teks berbahasa Melayu seperti itu adalah teks karya Hamzah Fansuri yang berjudul “Syarabul ‘Asyiqin”, karya Syamsuddin Assumatrani yang berjudul “Mir’atul Mu’minin”, karya Nuruddin Arraniri yang berjudul “Siratal Mustaqim”, dan karya Abdulrauf Singkel yang berjudul “Daqaiqul Huruf”; dalam naskah Jawa antara lain teks yang berjudul “Suluk Sukarsa” dan “Suluk Wujil”.
Selain pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Sansekerta, pengetahuan tentang bahasa daerah Nusantara juga diperlukan dalam penggarapkan naskah dan teks Nusantara. Tanpa wawasan yang luas tentang bahasa daerah Nusantara, pembacaan teks sering direpotkan oleh hadirnya kata bahasa daerah. Hal itu terjadi karena naskah yang digarap itu tidak diketahui asal-usulnya, baik daerah penemuannya maupun daerah penyalinannya, apalagi daerah asal penulis atau penulisannya. Kesulitan seperti itu, terutama, akan dialami dalam pembacaan teks Melayu berhuruf Jawi karena ejaan teks tersebut tidak selalu menyertakan tanda vocal.
Kegiatan lain yang memerlukan pengetahuan bahasa daerah Nusantara ialah menyadur atau menerjemahkan teks lama Nusantara ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, apabila perlu. Kegiatan seperti itu merupakan salah satu kegiatan filolog dalam upaya memasyarakatkan teks lama Nusantara dalam keadaan siap pakai oleh pakar ilmu lain. Dengan demikian, teks lama Nusantara akan dikenal masyarakat luas sehingga dapat dimasukkan ke dalam khazanah sastra Indonesia, bahkan sasta dunia.
Dalam sejarah sastra Jawa, misalnya, penyaduran telah dilakukan oleh Yasadipura I dan Yasadipura II (anak Yasadipura I). Karya sastra Jawa Kuna ynag hampir punah dihayati, kemudian diciptakannya kembali dalam bentuk yang baru (bakan terjemahan). Agar sastra lama Nusantara dikenal dan dapat dipahami oleh masyarakat kini dan yang akan dating, perlu adanya ahli filologi yang berbekal pengetahuan bahasa daerah Nusantara.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa karya saduran dipandang lebih rendah nilainya daripada karangan asli. Karena adanya pandangan seperti itu, mungkin kegiatan penyaduran kurang menarik kaum filolog dan tidak mendapat perhatian. Padahal, kita tahu bahwa penyaduran tidak boleh dianggap enteng atau hina karena kegiatan ini memerlukan persyaratan yang memadai, yaitu bacaan yang luas, latar belakang pendidikan dan kebudayaan yang kuat, dan daya cipta yang dapat dipertanggungjawabkan.
   
3)        Paleografi
Paleografi adalah ilmu tentang macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini diperlukan dalam penelitian tulisan kuna yang berupa prasasti yang tertera di atas batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai tiga tujuan utama: (1) mengalihaksarakan teks tulisan kuna karena teks tersebut sulit dibaca orang awam dan (2) menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, dan (3) menempatkan peninggalan tertulis itu dalam sejarah (kebudayaan) suatu bangsa berdasarkan waktu dan tempat ditulisnya teks tersebut. Paleografi juga merupakan modal utama filolog dalam menelaah teks sastra lama yang tidak mencantumkan penulis serta waktu dan temapt penulisannya.
Untuk memperoleh gambaran tentang teks tulisan kuna dan perkembangannya di Indonesia, berikut ini diuraikan jenis tulisan beberapa prasasti yang tersebar di Nusantara yang berkaitan dengan fungsinya sebagai penunjang penelitian teks lama. Dalam buku Indonesia Paleography karangan J.G. Casparis, dijelaskan macam-macam tullisan yang dipakai di daratan Asia Tenggara, terutama di semenanjung Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan Vietnam Selatan yang berdasarkan pelacakannya berasal dari tulisan yang terdapat pada prasasti raja-raja dinasti Palawa di India Selatan pada abad ke-4. Aksara Palawa yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sansekerta itu dipakai di daerah luar kerajaan Palawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk Kepulauan Indonesia. Di Nusantara huruf Palawa dapat dibedakan antara Palawa awal dan Palawa lanjutan. Palawa awalmenunjukkan cirri-ciri yang berhubungan dengan huruf India Selatan dan Sri Langka pada prasasti abad ke-3 dan ke-5 (antara lain prasasti Kutai di Kalimantan Timur dan prasasti Purnawarman di Jawa Barat). Palawa lanjut yang dipakai dalam prasasti abad ke-7 dan ke-8, antara lain prasasti Tuk Mas di Jawa Tengah, prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan (prasasti Kedukan Bukit (tahun 683), prasasti Talang Tuwo (tahun 684), prasasti Karang Brahi di Jambi, prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686), dan prasasti Canggal (tahun 732) di Jawa Tengah. Prasasti Canggal adalah prasasti tertua di Jawa dan merupakan prasasti terakhir yang berhuruf Palawa.
Prasasti-prasati budha di Jawa Tengah yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf Pra-Nagari- yang berasal dari India utara- dihasilkan pada abad ke-8. Di antara prasati itu adalah prasasti Kalasan (778), prasasti Ratubaka (sejaaman dengan Ratubaka), dan prasati Kelurak (782). Prasati Plaosan diduga dibuat sebelum pertengahan abad ke-9. Batu dan teksnya sudah rusak sehingga tahun dan nama raja yang memerintahnya tidak dapat dilacak.
Tulisan Jawa kuno-yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa-mulai digunakan pada pertengahan abad ke-8 pada prasasti Dinoyo di Jawa Timur (760). Tulisan itu digunakan sampai abad ke-13 dalam prasasti yang terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat, Bali dan Sumatera.
Tulisan yang terdapat dalam Prasasti di Bali, Madura, Bima dan Sumbawa mendekati tulisan Jawa periode Majapahit (Jawa Tengahan) abad ke-13 sampai dengan abad ke-15. Tulisan Jawa Tengahan itu dipakai sampai dengan akhir abad ke-16, kemudian berkembang ke bentuk tulisan Jawa Modern. Sejak zaman itu, tulisan Jawa hanya mengalami perubahan kecil-kecilan.
Tidak adanya prasasti di beberapa daerah di Nusantara tidalk berarti bahwa penduduk daerah setempat belum mengenai tulisan. Tradisi untuk menuliskan ketetapan raja pada batu atau logam di daerah-daerah itu memang tidak  ada. Ada kemugkinan bahwa tulisan itu digunakan pada bahan yang lekas rusak seperti pada kulit kayu, lontar, bamboo, dan sebagainya. Hal itu , antara lain, terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di Filipina yang pada abad ke-16 dan ke-17 masyarakatnya sudah menggunakan tulisan. Tulisan yang dipakai di derah itu rupanya merupakan prototip tukisan Jawa Tengahan atau sebelumnya, sebelum tulisan Arab dan Latin dekenal penduduk. Di beberapa daerah di Sumatera seperti di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci, Lampung dipakai tulisan yang diperkirakan berasal dari tulisan Malaya zaman Adityawarman. Tulisan Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan dan tulisan Bima di Sumbawa Timur juga diperkirkirakan berinduk pada tulisan Sumatera. Karena Bima pernah menjadi daerah bawahan Makasar, tulisannya juga mirip dengan tulisan Makasar.
Prasasti batu berbahasa Melayu Lama yang ditulis dengan huruf Arab terdapat di Tregganu (abada ke-14). Batu nisan di Pasai dan sekitarnya yang berasal dari abad ke-13 juga ditulis dengan huruf Arab. Batu nisan yang bertulisan Arab paling tua adalah batu nisan Malikus-Saleh (1297). Batu nisan itu didatangkan dari Gujarat India. Bentuk tulisan Arab pada batu-batu nisan itu sama dengan  bentuk tulisan Arab Parsi. Tulisan pada prasati Trengganu berbeda dengan tulisan Arab pada kebanyakan batu nisan di Pasai. Bentuk tulisan Arab pada Prasasti Trengganu jelas, sederhana dan fungsional karena prasasti itu berisi undang-undanh dan peraturan yang harus dibaca oleh banyak orang. Ileh karena itu, tulisan dalam prasasti itu dituntu supaya mudah dibaca. Tulisan Arab pada batu nisan Pasai pada umumnya berfungsi sebagai hiasan yang mementingkan segi keindahan (seni kaligrafi).
Di Jawa prasasti bertulisan Arab tertua adalah batu nisan anak perempuan Maimun yang terdapat di Leran (1082), Jawa Timur. Walupun didatangkan dari luar negeri batu nisan itu merupakan bukti telah dipakainya tulisan Arab di Indonesia.
Huruf Arab berkembang dengan pesat melalui penulisan naskah Melayu, Jawa, dan naskah daerah lain sesudah tahun 1500 Masehi. Berdasarkan jenis, bentuk dan ciri khas tulisan naskah dapat ditelusuri daerah asal, waktu penulisan, dan penulisan teks, apakah penulis atau penulisannya seorang atau lebih. Dan tersebut berguna untuk memperkirakan seluk beluk dan sejarah terjadinya. Dengan demikian, paleolografi memberikan sumbangan yang berharga pada filologi.

4)        Ilmu Sastra
Naskah Nusantara pada umumnya berisi teks sastra, yaitu teks yang berupa cerita rekaan (fiksi). Misalnya, teks Melayu yang tergolong cerita pelipurlara, cerita berbingkai, cerita jenaka, cerita wayang, cerita panji, dan cerita pahlawan Islam. Untuk mengkaji teks seperti itu diperlukan metode pendekatan yang sesuai dengan objeknya, yaitu metode pendekatan ilmu sastra.
Ilmu sastra telah dipelajari sejak Zaman Aristoteles. Bukunya yang berjudul Poetika merupakan karya tentang teori sastra yang pertama. Dalam perkembangannya, Abrams (1953) menurut penilaian Teeuw (1980) berhasil merumuskan teori sastra itu dengan baik. Abrams membedakan empat tipe pendekatan (kritik) tradisional terhadap karya sastra.
a.         Pendekatan mimetik yang menonjolkan aspek referensial, acuan karya sastra, dan kaitannya dengan dunia nyata.
b.        Pendekatan pragmatik yang menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap pembaa/pendengarnya.
c.         Pendekatan ekspresif yang menonjolkan penulis karya sastra sebagai penciptaanya.
d.        Pendekatan objektif yang mementingkan karya sastra sebagai struktur otonomi, lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari titik serta nilai penulisnya.

Wellek dan Warren (1956) menggolongkan pendekatan (a), (b), dan (c) sebagai pendekatan ekstrinsik, yaitu pendekatan yang mengkaji karya sastra berdasarkan yang di luar karya sastra itu (latar belakang penciptaannya, keadaan sekitarnya, penulisannya, sebab-sebab luarnya), sedangkan pendekatan (d) termasuk pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang mencoba menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada karya sastra tersebut, sebagai objeknya.
Unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra antara lain alur, latar, perwatakan, pusat pengisahan, dan gaya yang kesemuanya terjalin menjadi satu struktur atau kesatuan organis. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini termasuk pendekatan intrinsik. Jika dalam pendekatan intrinsik itu diperhitungkan juga kaitan antara unsur itu, tanpa memperhitungkan faktor di luar karya sastra, pendekatan seperti itu disebut pendekatan struktural.
Selain keempat pendekatan di atas, ada satu pendekatan lagi yang akhir-akhir ini sering dibicarakan, yaitu pendekatan reseptif, suatu pendekatan yang menitik beratkan kepada tanggapan pembaca atau penikmat sastra, bukan tanggapan perseorangan, melainkan tanggapan kelompok masyarakat. Teori ini dapat diterapkan terhadap naskah Nusantara mengingat adanya tradisi penyalinan yang tradisional. Menurut teori tradisional, penyalinan naskah dilakukan dengan setia kepada naskah induknya dan secara vertikal, hanya menggunakan satu naskah. Dengan demikian, varian bacaan dalam naskah saksi dipandang sebagai suatu kesalahan. Varian-varian yang terdapat dalam naskah Nusantara agak berlainan keadaannya. Varian bacaan ini mencerminkan adanya kebebasan penyalin, yang berupa penambahan, penggunaan, dan perbaikan terhadap naskah yang disalinnya. Mengingat adanya tradisi penyalinan yang demikian, setiap naskah saksi dapat dipandang sebagai penciptaan kembali suatu teks yang telah ada dan varian bacaan tidak dipandang sebagai bentuk korup.
Sehubungan dengan hal di atas, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan dan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Riffatere (1978) menyebut, teks yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra dengan istilah hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasinya disebut teks transformasi.
Dalam sejarahnya, perkembangan karya sastra merupakan interaksi yang terus-menerus antara kreasi dan resepsi, yang menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian ditanggapi lagi, dan seterusnya. Penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan dapat disebut sebagai wujud resepsi.
Selain pendekatan di atas, dalam ilmu sastra juga ada pendekatan yang disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Hal-hal yang diungkap antara lain:
a.         Konteks sosial pengarang: bagaimana pengarang menghasilkan karya, profesionalisme pengarang, sasaran (masyarakat) pembaca;
b.        Sastra sebagai cermin masyarakat, dan
c.         Fungsi sastra dalam masyarakat.

Dengan demikian, pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan ekstrinsik.
Pendektan terakhir disebut pendekatan semiotik, yang memandang sastra sebagai gejala kemasyarakatan dan kebudayaan. Banyak peneliti sastra yang berkeyakinan bahwa sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa memperhatikan aspek kemasyarakatannya sebagai tindakan komunikasi atau dengan kata lain tanpa mendekatinya sebagai tanda (sign) atau sebagai gejala semiotik.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial/kemasyarakatan dan kebudayaan sistem, aturan, konvensi merupakan tanda-tanda yang bermakna. Dalam bidang kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai wujud penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi tambahan dan penelitian ciri-ciri yang menyebabkan berbagai-bagai wacana mempunyai makna.
Tokoh yang dianggap melahirkan teori semiotik ini adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure, seorang linguis, menyebutkan ilmu ini dengan istilah semiologi (berkembang di Perancis), sedangkan Peirce, seorang filosof, menyebut ilmu ini dengan istilah semiotik (digunakan di Amerika).

5)        Pengetahuan Agama Hindu, Budha, dan Islam
Penelurusuran tentang naskah Nusantara melalui katalogus dan karya ilmiah menimbulkan kesan bahwa teks yang terkandung di dalamnya dipengeruhi ajaran Hindu, Budha, dan Islam. Dalam naskah Jawa Kuna, misalnya, tampak jelas adanya pengaruh agama Hindu dan Budha, bahkan memang berisi ajaran agama. “Brahmandapurana” dan “Agastyaparwa” berisi ajaran Hindu dan “Sang Hyang Kamahayanikan” dan “Kunjarakarna” berisi ajaran Budha. Karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Assumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf Singkel berisi ajaran Islam. Dari 5.000 naskah Melayu yang dicatat Ismail Hussein dari perpustakaan dan museum di berbagai negara yang terdiri atas 800 judul – 300 judul di antaranya merupakan karya tentang ketuhanan/keagamaan. Jumlah naskah keagamaan itu diperkirakan akan bertambah lagi. Hal itu terbukti dari adanya penemuan naskah keagamaan (Islam) sekitar 200 naskah – di Sri Langka oleh Bachamiya Abdullah Hussainmiya, dosen Universitias Ceylon.
Berdasarkan gambaran kondisi naskah tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan tentang agama Hindu, Budha, dan Islam amat diperlukan dalam penanganan naskah Nusantara, terutama naskah keagamaan. Naskah yang berisi ajaran tasawuf atau mistik Islam, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Melayu, pada umumnya mengandung kata dan istilah teknik agama Islam yang hanya dapat dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup luas.

6)        Sejarah Kebudayaan
Sastra Nusantara, disamping dipengaruhi ajaran Hindu, Budha, dan Islam, juga dipengaruhi sastra klasik India, Arab, dan Persi. Karya klasik India seperti “Ramayana”  dan “Mahabharata” muncul dalam sastra lama Nusantara, misalnya dalam sastra Jawa Kuna “Ramayana” dan “Mahabharata” yang kemudian disadur kedalam sastra Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru. Selain itu, muncul pula kreasi baru yang diilhami oleh karya klasik India atau karya Jawa Kuna saduran karya klasik India. Dalam sastra lama Melayu pengaruh karya klasik India muncul dalam sastra Jawa, seperti “Hikayat Sri Rama”, “Hikayat Sang Boma”, dan “Hikayat Pandawa Lima”. Karya sastra Melayu seperti “Abu Nawas”, “Hikayat Seribu Satu Malam”, “Hikayat Anbiya” (“Serat Anbiya” dalam sastra Jawa), “Hikayat Nur Muhammad”, “Hikayat Amir Hamzah” (“Serat Menak” dalam sastra Jawa), “Hikayat Ibrahim ibn Adam” dan “Hikayat Seribu Mas’alah” mengingatkan kita akan khazanah sastra klasik dunia Islam, Persia, dan Arab. Hasil sastra yang berupa sastra kitab dari dunia Islam pada umumnya hanya dikenal lewat hasil karya penulis sastra kitab Nusantara (misalnya Nuruddin Arraniri) sebagai buku sumber atau rujukan. Namun, ada juga karya terjemahan seperti “Ihya ‘Ulumuddin” karya Imam AL-Ghazali dan “Tafsir Baidhawi” terjemahan Abdurrahman Singkel.
Dalam pengkajian secara historis terhadap karya-karya lama Nusantara tersebut diperlukan pengetahuan sejarah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Hindu dan Islam. Lewat sejarah kebudayaan dapat diketahui pertumbuhan dan perkembangan unsur budaya suatu bangsa. Unsur budaya yang erat kaitannya dengan perkembangan karya sastra lama Nusantara antara lain sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan agama. Tanpa didasari pengetahuan tentang kebudayaan Hindu, misalnya, orang tidak akan dapat menilai dengan tepat tentang peristiwa yang dalam agama Hindu disebut patibrata, yaitu kerelaan seorang istri untuk terjun ke dalam api pembakaran mayat suaminya dengan disaksikan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal itu dapat dijumpai dalam teks “Smaradahan” atau “Kunjarakarna”.
Contoh lain bagaian teks yang pemahamannya memerlukan pengetahuan sejarah kebudayaan ialah genealogi raja-raja Melayu. Menurut silsilah, raja-raja Melayu secara genealogi berasal dari nenek moyang yang kelahirannya tidak wajar, yaitu lahir dari buih, bamboo, atau turun dari langit atau peristiwa yang berhubungan dengan air. Peristiwa semacam ini terdapat di dalam teks “Hikayat Raja-Raja Pasat” (Putri Betung lahir dari bamboo; Merah Gajah ditemukan di atas kepal gajah yang dimandikannya di sungai); “Hikayat Aceh” (Putri Dewi Indra yang keluar dari bamboo); “hikayat Bajar” (Putri Junjung Buih yang lahir dari buih, Raden Putra lahir di pangkuan Raja Majapahit yang sedang bertapa); dan “Salasilah Kutai” (Putri Karang Melemu yang lahir dari buih dan begitu ke luar duduk di atas gong yang dibawa ular naga, Aji Batara Agung Dewa Sakti turun dari langit dalam bola emas).
 
7)        Antropologi
Telah dijelaskan di muka bahwa penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat dan budaya yang melahirkannya. Untuk keperluan itu, ahli filologi dapat memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai suatu ilmu yang objek penyelidikannya manusia dari segifisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah yang berkaitan dengan antropologi antara lain adanya sikap masyarakat terhadap naskah yang sekarang masih dipelihara dan dimilikinya, apakah naskah itu dipandang sebagai benda keramat atau sebagai benda biasa.
Karya-karya pujangga keraton yang sekarang tersimpan di perpustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti benda-benda pusaka. Tradisi caos dhahar yang berarti ‘memberi sesaji’ dan nyirami yang berarti ‘memandikan’ biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan juga terhadap naskah sastra. Tentu saja perlakuan nyirami naskah tidak dilakukan dengan cara memandikan naskah dengan air, tetapi dilakukan dengan cara mengain-anginkannya. Selain itu, pengeramatan atau penghormatan terhadap naskah tercermin juga dari adanya istilah mutrani, sebagai istilah yang berarti ‘penyalinan naskah’. Secara harfiah, istilah mutrani berarti ‘membuat putra’. Kata putra mengandung konotasi rasa hormat. Hasil mutrani  disebut putran, yang berarti ‘naskah salinan, naskah kopi’. Selain itu, ada naskah magis yang pendekatannya memerlukan informasi antropologi, seperti naskah yang mengandung teks mantera.
Uraian di atas memperlihatkan perlunya bekal pengetahuan antropologi dalam penanganan naskh-naskah Nusantara.

8)        Folklor
Folklor merupakan cabang ilmu yang relative masih baru. Semula folklor dipandang sebagai bagian dari antropologi. Folklor telah ada sejak pertengahan abad ke-19. Folklor dapat dibagi menjadi dua golongan: (a) yang materinya bersifat bahasa lisan dan (b) yang berupa upacara. Yang termasuk golongan (a) antara lain mite, legenda, cerita asal-usul (dunia, nama tempat, binatang, tanaman, dan sebagainya), cerita pelipur lara, dongeng, mantera, tahayul, teka-teki, peribahasa, dan drama tradisional. Yang termasuk golongan (b) antara lain upacara yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Berdasarkan penggolongan itu, golongan (a) mempunyai kaitan erat dengan filologi.

C.      Manfaat Filologi bagi Ilmu-Ilmu Lain
Berdasarkan uraian di muka dapat diketahui bahwa objek filologi terutama teks yang terekam dalam naskah lama. Hasil kegiatannya terutama berupa suntingan teks. Berdasarkan metode penyuntingannya, ada beberapa jenis suntingan, yaitu suntingan diplomatis, fotografis, dan suntingan kritis atau suntingan ilmiah. Suntingan teks biasanya disertai catatan tentang teks atau aparat kritik, kajian bahasa naskah, singkatan isi naskah, bahasa teks, dan terjemahan teks ke dalam bahasa nasional jika teks tersebut tersaji dalam bahasa daerah. Jika suntingan itu disajikan untuk dunia internasional, teks berbahasa daerah itu diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.
Dalam pengertian penyajian  suntingan teks itulah, filologi dapat berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu lain yang menggunakan suntingan teks sebagai objek penelitian. Karena kandungan naskah lama itu bermacam-macam, dapatlah dipastikan bahwa filologi dapat membantu berbagai bidang ilmu, antara lain linguistik, ilmu sastra, sejarah, sejarah kebudayaan, ilmu hukum adat, ilmu agama, dan filsafat. Wujud bantuannya akan diuraikan berikut ini:

1)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Linguistik
Untuk keperluan penelitian linguistik diakronik, ahli linguistik memerlukan suntingan teks lama hasil kerja filologi dan mungkin juga memerlukan kajian bahasa teks lama yang dihasilkan ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik meyakini kaum filologi atau ahli epigrafi dalam pembacaan teks lama. Berdasarkan hasil kerja mereka itulah, ahli linguistik menggali dan menganalisis seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hasil kajian ahli linguistik itu juga dapat dimanfaatkan oleh para peneliti teks/naskah lama.

2)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sastra
Karena banyaknya naskah yang mengandung teks sastra, dalam perkembangan sejarahnya filologi pernah dipandang sebagai ilmu sastra. Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya kemajuan ilmu sastra, filologi dianggap sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan filologi terhadap ilmu sastra, terutama dalam bentuk penyajian teks suntingan dan hasil pengkajian teks yang mungkin, dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.
Ilmu sastra dapat bersifat universal jika dalam penyusunan teorinya didasarkan juga pada sastra lama, bukan hanya sastra baru/modern. Konvensi sasta baru belum tentu sama dengan konvensi sastra lama. Dengan demikian, hasil kajian terhadap teks sastra lama akan sangat berguna dalam penyusunan teori-teori ilmu sastra yang universal.

3)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan
Selain menginventarisasi, memelihara, dan menyunting naskah, kegiatan filologi juga mengungkap khazanah rohaniah nenek moyang, seperti tentang kepercayaan, adat-istiadat, kesenian, dan bahasa. Berdasarkan pembacaan teks lama, banyak dijumpai penyebutkan atau pemberitahuan adanya unsure budaya yang telah punah, seperti istilah di bidang seni (musik), takaran, timbangan, ukuran, dan mata uang. Semua itu merupakan bahan yang sangat berguna dalam penyusunan sejarah kebudayaan.

4)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah
Jumlah naskah Nusantara yang dipandang berisi teks sejarah cukup banyak, seperti “Nagarakertagama”, “Pararaton” (naskah Jawa Kuna), “Babad Tanah Jawi”, “Babad Dipanegara”, “Babad Blambangan”, “Babad Demak” (naskah Jawa Baru), “Sejarah Melayu”, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, “Hikayat Banjar”, dan “Hikayat Aceh” (naskah Melayu). Suntingan naskah jenis ini, terutama yang menggunakan kajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber kajian sejarah setelah diuji berdasarkan sumber lain, seperti prasasti, batu nisan, atau candi. Informasi historis yang tertera dalam batu nisan Sultan Malikus-Saleh tidaklah lengkap jika tidak ditemukannya naskah “Hikayat Raja-Raja Pasai” dan “Sejarah Melayu”.
Selain hal di atas, ilmu sejarah dapat juga memanfaatkan suntingan teks jenis lain, bukan teks sastra sejarah, khusunya teks yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang tidak ditemukan dalam sumber sejarah di luar teks sastra. Dalam “Hikayat Abdullah”, misalnya, dapat kita baca bagian teks yang berupa kritik tajam terhadap kehidupan feudal. Teks “Undang-undang Melayu” juga menggambarkan kehidupan masyarakat.

5)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Hukum Adat
Manfaat filologi bagi ilmu hukum adat, seperti bagi ilmu-ilmu lain, terutama sebagai sumber data (penyedia teks). Banyak naskah Nusantara yang berisi adat-istiadat daerah tertentu. Selain itu, dalam khazanah sastra lama Nusantara memang banyak naskah yang berisi teks hukum, yang dalam sastra Melayu dikenal dengan sebutan “undang-undang” atau “angger-angger” di Jawa. Penulisannya dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian hukum oleh raja atau setelah adanya pengaruh Barat. Contoh teks undang-undang dalam sastra Melayu adalah “Undang-undang Negeri Malaka” (dikenal juga dengan nama “Risalah Hukum Kanun” atau “Hukum Kanon”, “Undangan-undang Minangkabau”, dan “Undang-undang Bangkahulu”. Dalam sastra Jawa terdapat teks “Raja Niti”, “Paniti Raja”, “Kapa-Kapa”, “Surya Ngalam”, “Nawala Pradata”, dan “Angger Sadasa”. Selain sastra undang-undang, dalam sastra Melayu terdapat teks adat”, seperti “Adat Raja-Raja Melayu”. Teks-teks seperti itu sangat bermanfaat bagi ilmu hukum adat.

6)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama
Telah dikemukakan bahwa naskah Nusantara banyak yang mengandung teks keagamaan. Teks Jawa Kuna pada umumnya menggambarkan kehidupan masyarakat beragama Hindu dan Budha, sedangkan teks Melayu menggambarkan kehidupan masyarakat beragam Islam. Pengaruh Islam dalam sastra Jawa Baru pada umumnya melalui sastra Melayu.
Suntingan teks yang berisi ajaran keagamaan (sastra kitab) yang disertai pembahasan isinya merupakan bahan berharga bagi penulisan perkembangan agama. Berdasarkan teks semacam itu akan diperoleh gambaran antara lain wujud penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Budha, dan Islam dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Nusantara, serta permasalahan aliran (mazhab) agama yang masuk ke Nusantara. Masalah seperti itu termasuk masalah yang harus ditangani ilmu sejarah perkembangan agama. Berdasarkan penjelasan itu, penanganan sastra kitab secara filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah perkembangan agama.

7)        Filologi sebagai Ilmu Bantu Filsafat
Filsafat adalah cara berpikir logis, bebas, dan mendalam, hingga sampai ke dasar persoalan. Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa cabang, yaitu metafisika (ontology), epistemology, logika, etika, estetika, dan sebagainya. Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, filsafat alam, dan filsafat ilmu pengetahuan.
Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara lain dapat digali lewat warisan budaya lama yang berwujud teks sastra. Kehidupan masyarakat tradisional Nusantara didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama. Kedatangan kebudayaan Hindu tidak mengubah prinsip hidup tersebut. Pemikiran rasional muncul setelah datangnya Islam. Teks-teks lama terbukti mengandung renungan-renungan filsafat yang erat kaitannya dengan seni dan agama, yaitu estetika, etika, dan metafisika.
Pada hakikatnya semua karya sastra mengandung pandangan hidup tertentu yang tersaji secara jelas atau samar-samar karena ungkapan batin manusia selalu berdasar pada pemikiran filsafati. Kajian tentang renungan filsafati dalam teks sastra secara teoretis dapat dikaitkan dengan teori Roman Ingarden tentang lapis-lapis suatu karya sastra. Ia menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas beberapa lapis, antara lain lapis metafisika, yang memungkinkan adanya perenungan filsafati suatu karya sastra. Keagungan, kesucian, kedahsyatan suatu karya sastra menyebabkan kita untuk merenung-renungkannya atau memikirkannya. Kegiatan itu akan melahirkan makna filsafati suatu karya sastra.
Menurut para filsuf Yunani, filsafat timbul karena adanya kekaguman yang dilanjutkan dengan pertanyaan yang terus-menerus melahirkan jawaban. Subagio Sastrowardoyo (1983) telah mencoba mengangkat pemikiran filsafati dalam sastra hikayat. Ia menyatakan bahwa teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat dan petatah petitih yang menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan moralitas yang dijunjungan masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian bersumber pada keyakinan yang bersifat filsafat atau pemikiran keagamaan. Lukisan tokoh dalam hikayat, yang terdiri atas tokoh jahat dan tokoh baik mencerminkan pandangan hidup sederhana bahwa hidup ini pada dasarnya merupakan pertarungan antara yang baik dan yang buruk, yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik. Dalam sastra tradisional, pandangan umum ini berlaku secara mutlak walaupun ada sedikit perkecualian.
Menurut Al-Attas (1972:67), naskah yang berisi teks tasawuf mengandung filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan psikologi. Al-Attas memandang bahwa ilmu tasawuf merupakan filsafat Islam yang sejati. Naskah yang mengandung teks filsafat dalam sastra Nusantara jumlahnya cukup banyak, terutama dalam sastra Melayu dan Jawa.

Penggalian unsur filsafat dalam teks sastra Nusantara secara mendalam belum banyak dilakukan walaupun suntingan naskahnya cukup tersedia. Sebetulnya, sumbangan filologi kepada ilmu filsafat terutama berupa suntingan teks beserta transliterasi dan terjemahannya dalam bahasa nasional. Suntingan seperti itu dapat dimanfaatkan oleh ahli filsafat. Contoh teks suntingan yang dapat dimanfaatkan oleh ahli filsafat adalah “Sang Hyang Kamahayanikan”, “Ramayana Kakawin”, “Arjuna Wiwaha”, dan “Bomakavya” (berbahasa Jawa Kuna), “Hikayat Sri Rama”, “Hikayat Andaken Penurat”, “Hikayat Banjar”, “Hikayat Merong Mahawangsa”, dan “Tajussalatin” (berbahasa Melayu).

1 komentar: