Sabtu, 28 Oktober 2017

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

A.      Perkembangan Filologi di Eropa dan di Timur Tengah
Kebudayaan Yunani kuno sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan dapat dirasakan unsure-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani kuno, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah milik bangsa itu. Cabang ilmu yang mampu menyingkap aspek yang berakar pada kebudayaan Yunani itu adalah ilmu filologi. Oleh karena itu, ilmu filologi dipandang penting dalam menyajikan kebudayaan Yunani kuno yang sampai kini berperan dalam memperluas dan memperdalam pengetahuan pengenai sumber ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani kuno tidak hanya berpengaruh di dunia Barat, tetapi juga di seantero dunia.
Sejak kecil masyarakat Barat terbiasa mengenal nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas, Athena, Zeus, dan Hera. Para dewa dan pahlawan dalam legenda Yunani kuno dipandang sebagai sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang Barat, sama halnya dengan cerita wayang dalam masyarakat yang memegang tradisi jawa.
Para penulis Barat sering mengutip mitologi Yunani kuno apabila memerlukan perumpamaan yang lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para sarjana dan ilmuwan sering menggunakan istilah yang didasarkan pada legenda Yunani kuno, seperti istilah “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti ilmu filsafat, matematika, dan fisika banyak dikutip pendapat para ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Jelaslah bahwa mereka yang ingin mengetahui aspek tertentu dari masyarakat Barat akan mendapat manfaat apabila mengetahui dasar-dasar kebudayaan Yunani kuno. Ilmu filologi juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.

1.        Filologi di Eropa
1.1.       Filologi di Iskandariah
Filologi, sebagai salah satu cabang ilmu, mula-mula tumbuh dan berkembang di kawasan Kerajaan Yunani, yaitu di kota Iskandariah, di pantai utara Benua Afrika. Dari kota Iskandariah filologi berkembang dan meluas ke Eropa Daratan, kemudian ke bagian dunia lain.
Di kota Iskandariah studi filologi mula-mula dilakukan oleh bangsa Yunani sekitar abad ke-3 S.M. Bangsa Yunani itu mampu membaca teks yang dimuat dalam naskah Yunani kuno yang ditulis kira-kira pada abad ke-8 SM dalam huruf bangsa Funisia (asal huruf Yunani kuno). Teks-teks tersebut ditulis pada daun papirus. Tujuan penulisan teks pada dasarnya merupakan upaya untuk merekam tradisi lisan mereka yang telah mereka miliki sejak berabad-abad sebelumnya. Untuk menyelamatkan teks yang terekam dalam naskah, dilakukanlah penyalinan teks secara berulang-ulang sejak abad ke-8 SM sampai abad ke-3 SM. Karena adanya penyalinan itulah, teks-teks itu kemudian mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk aslinya.
Pada abad ke-3 SM kota Iskandariah dapat dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan karena kota tersebut merupakan tempat dilaksanakannya telaah naskah dan teks oleh para ahli di bidangnya. Para pakar itu berasal dari daerah sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani, dan dari Eropa Selatan. Pusat studi itu kemudian berubah menjadi semacam perpustakaan dan di tempat itulah tersimpan sejumlah naskah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti filsafat, ilmu kedokteran, perbintangan, ilmu hukum, dan sastra. Bangunan asli perpustakaan itu sebetulnya adalah sebuah kuil yang digunakan untuk pemujaan. Para peneliti naskah itu kemudian dikenal sebagai ahli filologi dan yang pertam kali menggunakan istilah itu adalah Erastosthenes.
Pada waktu itu seorang filolog harus berwawasan luas karena untuk memahami naskah itu harus mengenai tulisan, bahasa, dan ilmu yang dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka kemudian menulisnya kembali dengan huruf dan bahasa yang dikenal dan digunakan pada waktu itu. Metode yang mereka gunakan adalah sebagai berikut: Mula-mula mereka memperbaiki bacaan (huruf, kata, ejaan, bahasa, dan tata tulisannya) yang korup (rusak), kemudian menyajikannya dalam suntingan yang mudah dibaca dan bersih dari sesalahan. Teks yang tanpa cacat itu kemudian disalin berulang-ulang. Selain disalin, kadang-kadang dalam salinannya diberi komentar yang berupa tafsiran atau penjelasan lain secukupnya. Ahli filologi pada masa itu betul-betul harus menguasai ilmu dan kebudayaan Yunani kuno dan mereka itu dikenal dengan mazhab Iskandariah.
Selain bertujuan menggali ilmu pengetahuan dan kebudayaan Yunani kuno, kegiatan filologi juga dipandang sebagai kegiatan perdagangan. Untuk mencapai tujuan kedua itu, penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh budak belian yang pada waktu itu mudah didapat. Dengan cara demikian, penyimpangan dari teks yang disalin mudah terjadi karena penyalin tidak memiliki kesadaran yang tinggi terhadap keasliannya. Hasil penyalinan itu kemudian diperdagangkan di daerah sekitar Laut Tengah.
Jika penyalinan teks yang berkali-kali itu bersumber pada naskah yang korup, dapat dipastikan bahwa teks salinan akan makin menyimpang dari teks aslinya. Kemudian, ahli filologi memandang perlu memperbaiki kesalahan atau penyimpangan itu sejauh yang dapat mereka upayakan untuk menjaga keasliannya.
Penyalinan teks dengan tulis tangan memang mudah menimbulkan bacaan yang korup atau rusak. Hal itu terjadi (1) karena penyalin bukan yang ahli dalam bidang ilmu yang terekam dalam teks tersebut, (2) karena ketidaksengajaan, atau (3) karena keteledoran penyalin. Kegiatan penyalinan dan penelaahan naskah makin lama makin meningkat dan terhenti ketika daerah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Perlu dikemukakan bahwa teks yang ditulis dengan menggunakan alas (bahan) papirus itu berbentuk gulungan. Teks tertulis pada satu sisi (tidak bolak-balik) dengan menggunakan benda runcing. Karena berupa gulungan, naskah tidak bernomor halaman seperti dalam naskah berbentuk buku sehingga pembaca sulit mengecek bagian yang telah dibacanya. Selain itu, penyimpangannya juga memerlukan tempat yang luas dan tidak mudah. Setelah selesai dibaca, naskah harus digulung kembali agar awal teks berada di bagian depan.
Teks-teks yang dijadikan bahan kajian para ahli filologi pada masa awal pertumbuhannya antara lain karya Homerus, Plato, Menander, Hippocrates, Socrates, Herodotus, dan Aritoteles. Isinya meliputi berbagai bidang ilmu, filsafat, dan sastra yang bermutu tinggi. Hingga kini karya-karya tersebut diakui sebagai karya agung dalam dunia ilmu pengetahuan, baik di Barat maupun di Timur.
Setelah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa Romawi, kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatan, yang berpusat di kota Roma. Aktivitasnya melanjutkan tradisi Yunani atau mazhab Iskandariah. Teks-teks Yunani kuno merupakan bahan kajian utama dan bahasa Yunani merupakan bahasa kedua mereka. Pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Masehi kegiatan filologi mulai beralih pada pembuatan resensi teks-teks tertentu yang berbahasa Yunani kuno. Kegiatan ini berakhir ketika pecahnya Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur pada abad ke-4. Peristiwa itu ternyata mempengaruhi perkembangan ilmu filologi.

1.2.       Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur
Kegiatan filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah dalam bahasa Latin yang sejak abad ke-3 SM telah digarap filologi. Naskah Latin itu ada yang berupa puisi dan prosa, antara lain karya Cicero dan Varro. Kegiatan ini mungkin mengikuti kegiatan filologi Yunani mazhab Iskandariah pada abad ke-3 SM. Isi naskah itu banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya.
Tradisi Latin itulah yang dikembangkan di Kerajaan Romawi Barat dan bahasa Latin dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadinya kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi di Romawi Barat ditunjukkan untuk telaah teks keagamaan yang dilakukan oleh kaum pendeta. Sebagai akibatnya, naskah Yunani ditinggalkkan. Bahkan, sering kali dipandang sebagai tulisan yang berisi paham jahiliah dan berisi ilmu yang berkaitan dengan paham itu. Dengan demikian, telaah teks Yunani menjadi mundur dan kandungan isinya tidak banyak dikenal lagi.
Sejak abad ke-4 teks sudah ditulis dalam bentuk buku yang disebut codex dengan menggunakan bahan dari kulit binatang, terutama kulit domba yang dikenal dengan nama perkamen (perkament (bahasa Belanda) atau parchment (bahasa Inggris). Dalam bentuk codex itu naskah diberi halaman sehingga mudah dibaca. Selain itu, bahan perkamen juga berdaya tahan lebih lama daripada bahan papirus.
Ketika telaah teks Yunani mulai mengalami kemuduran di Eropa Barat, di Eropa Timur malahan mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, seperti di Antioch, Athena, Iskandariah, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Kota-kota itu merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandariah menjadi pusat studi filsafat Aristoteles dan Beirut menjadi pusat studi bidang hukum. Pusat-pusat studi itu selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, suatu lembaga yang menghasilkan tenaga ahli di bidang pemerintahan, pendidikan, dan administrasi.
Pada periode itu mulai muncul tradisi menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi halaman. Catatan itu disebut scholia. Procopirus dari Gaza telah membiasakan menulis teks yang disertai dengan scholia dengan bahan yang diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena tulisannya pada umumnya mengenai ajaran Beibel, cara penulisan seperti itu dikenal sebagai cara baru dalam kajian Beibel.
Ketika telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur, dirasakan kurangnya ahli yang mampu melakukan hal itu. Untuk mendapatkan tenaga ahli filologi yang andal, teks-teks yang dipandang penting diajarkan di perguruan tinggi. 

1.3.       Filologi pada Zaman Renaisans
Istilah Renaisans mulai dipakai dengan pengertian perubahan dalam lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari Zaman Pertengahan ke zaman baru. Renaisans mulai berkembang di Italia pada abad ke-13, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan berakhir pada abad ke-16. Dalam arti sempit zaman Renaisans adalah suatu zaman yang menempatkan kebudayaan klasik sebagai pedoman hidup. Dalam arti luas, Renaisans adalah suatu zaman yang rakyatnya cenderung berpedoman pada dunia Yunani klasik atau kepada aliran humanisme.  Renaisans mula-mula merupakan gerakan di kalangan para sarjana dan seniman, yang selanjutnya meningkat menjadi perubahan cara berpikir di kalangan umat beradab.
Kata humanisme berasal dari kata humaniora (bahasa Yunani) atau umanista (bahasa Latin) yang semula berarti ‘guru yang mengelola tata bahasa, retorika, puisi, dan filsafat’. Karena bahan-bahan yang diperlukan itu bersumber pada teks klasik, humanisme kemudian diartikan sebagai aliran yang mengkaji sastra klasik yang meliputi keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, ilmu bahasa, kesastraan, dan kesenian.
Pada zaman Renaisans kegiatan telaah teks klasik timbul kembali setelah berabad-abad diabaikan. Kajiannya berpijak pada kritik teks dan sejarahnya.
Pada abad ke-15 Kerajaan Romawi Timur atau Byzantium jatuh ke tangan bangsa Turki. Peristiwa itu mendorong para ahli filologi berpindah dari Romawi Timur ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma. Di tempat-tempat baru itu mereka mendapat kedudukan sebagai pengajar atau penyalin naskah atau penerjemah teks Yunani ke dalam bahasa Latin.
Dengan adanya penemuan mesin cetak oleh Gutenberg dari Jerman pada abad ke-15, bidang filologi mengalami perkembangan baru. Penyalinan teks tidak lagi dilakukan dengan tulis tangan, tetapi dengan mesin cetak dan dalam jumlah yang banyak dan mudah. Penggandaan teks dengan mesin cetak menuntut tersedianya, teks siap cetak dalam bentuk yang baik dan bersih dari korup. Teks seperti itu dapat dihasilkan lewat kajian filologi secara cermat. Kritik teks perlu penyempurnaan dengan jumlah yang lebih banyak dan penyebarannya lebih meluas. Sejak saat itu, kekeliruan pada penyalinan teks makin berkurang, tidak seperti penyalinan dengan tulis tangan.
Dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi pada zaman Pertengahan kegiatan filologi bertambah-tambah karena lembaga pendidikan tinggi itu memerlukan teks lama untuk bahan pelajaran. Selain itu, kedudukan bahasa Romawi, Yunani, dan Latin bertambah penting. Khusus untuk kajian Beibel  diperlukan pengetahuan bahasa Ibrani dan Arab.
Selanjutnya, dalam perkembangannya di Eropa, ilmu filologi diterapkan juga untuk telaah naskah lama nonklasik, seperti naskah Germania dan Romania. Untuk itu, ahli filologi dituntut untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Sejak saat itu, batas antara filologi dan ilmu bahasa (linguistik) menjadi kabur karena kegiatan linguistik juga menelaah teks. Mulai abad ke-19 linguistik memisahkan diri dari filologi dan berkembang menjadi bidang ilmu yang berdiri sendiri. Pada abad ke-20 pengertian filologi di Eropa tetap seperti semula, yaitu telaah teks klasik, sedangkan di kawasan Anglo-Sakson berubah menjadi linguistik.

2.        Filologi di Kawasan Timur Tengah
Negara-negara di Timur Tengah memperoleh ilmu filsafat dan ilmu eksakta melalui bangsa Yunani lama, yang sejak zaman Iskandar Zulkarnain telah menanamkan kebudayaan di Mesir, Siria, dan tempat lain. Sejak abad ke-4 beberapa kota di Timur Tengah telah memiliki perguruan tinggi, pusat studi berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza, pusat ilmu oratori (oratory), Beirut dalam bidang hukum, dan Edessa dalam kebudayaan Yunani. Karena pada abad ke-5 kota Edessa dilanda perpecahan kaum gerejani, banyak ahli filologi dari kota itu yang berpindah ke kota lain, terutama ke kawasan Persia. Di Persia mereka disambut baik kaum penguasa. Oleh Kaisar Anusyirwan mereka diberi kedudukan ilmiah di akademi Jundi Syapur pusat studi ilmu filsafat dan ilmu kedokteran. Di lembaga itu teks-teks Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan dari bahasa Siria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kota Harra, di daerah Mesopotamia, pernah menjadi pusat studi naskah Yunani. Penduduknya, bangsa Sabean, suatu suku bangsa yang tergolong kuno, mahir berbahasa Arab. Tidaklah mengherankan jika di kota itu dipelajari karya-karya Plato, Ptolomaeus, dan Galen. Teks-teks Yunani kuno itu banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab.
Studi teks dan ilmu pengetahuan Yunani makin lama makin berkembang terutama pada masa Dinasti Abasiah, yaitu masa pemerintahan Khalifah Mansur (754-775), Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809),  dan Khalifah Makmun (809-833). Perkembangan studi teks itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah Makmun.
Di istana Khalifah Makmun berkumpul sejumlah ilmuwan dari berbagai Negara. Mereka belajar ilmu geometri, astronomi, teknik, dan musik. Di sana mereka mendapat tempat dan pelayanan yang baik. Mereka dibuatkan pusat studi yang diberi nama Baitul Hikmah (‘lembaga kebijaksanaan’), yang dilengkapi dengan sarana perpustakaan dan observatorium.
Pada masa Khalifah Makmun itu dikenal tiga orang ahli penerjemah, yaitu (1) Qusta bin Luqa, (2) Hunain bin Ishak, dan (3) Hubaisyi. Ketiga orang itu beragama Nasrani.
Di antara ketiga orang itu Hunain-lah yang paling luas ilmu pengetahuannya. Ia lahir berbahasa Arab, Yunani, dan Persia, padahal bahasa ibunya bahasa Arab. Ia menjadi penerjemah ke dalam bahasa-bahasa tersebut sejak berumur 17 tahun. Kemahirannya itu, mungkin, diperolehnya karena ia tinggal di daerah multilingual. Ia mendirikan lembaga penerjemah di kota Bagdad. Akan tetapi, tidak begitu jelas apakah teks sumbernya berbahasa Yunani atau berbahasa Siria. Pada waktu itu di daerahnya masih banyak naskah-naskah berbahasa Yunani. Ia rajin mencari naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria, Palestina, dan Mesopotamia.
Setelah beberapa lama, Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab disertai nama penerjemahnya dan untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Selain itu, disusun juga daftar naskah Yunani yang belum diterjemahkan dan tempat-tempat penyimpanannya.
Hunain juga terkenal karena kritikannya. Kritiknya terhadap hasil terjemahan orang lain sangat tajam. Dalam kritiknya ia tidak segan-segan menunjukkan bagian-bagian yang kurang tepat penerjemahannya dan sebab-sebab kekurangan tepatannya, misalnya karena rusaknya naskah yang menjadi sumber terjemahkan itu atau karena kurangnya penerjemah mengenal bahasa sumber, terutama bahasa Yunani kuno. Di samping mengeritik penerjemah, ia juga melakukan kritik teks dengan menggunakan sebanyak mungkin naskah yang dapat dijangkaunya.
Bangsa-bangsa di Timur Tengah dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama (kuno) yang bernilai luhur, seperti karya tulis yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan Persia. Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab dan Persia telah memiliki karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang mengagumkan. Bangsa Arab jauh sebelumnya telah mengenal “Mu’allaqat” dan “Qasidah”. Setelah Islam berkembang, kegiatan sastra meluas ke kawasan lain di luar Negara Arab dan mistik Islam berkembang pesat di daerah Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-13. Sastra mistik yang termasyhur antara lain “Mantiq At-Tair” karya Fariduddin Attar, “Mansnawi fi M’nawi” karya Jalaluddin Arrumi, dan “Tarjuman al-Asywaq” karya Ibn al-‘Arabi. Selainitu, puisi-puisi Umar Khayyam, penyair Persia ternama, serta ceria “Seribu Satu Malam” yang hingga kini masih banyak dikenal di seluruh dunia dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, baik bahasa-bahasa Barat maupun Timur.
Sejalan dengan datangnya bangsa Barat di kawasan Timur Tengah, kegiatan filologi membuka peluang terhadap karya-karya agung tersebut. Sebagai akibatnya, kandungan teks itu makin dikenal di dunia Barat dan banyak menarik perhatian kaum orientasi Barat. Oleh karena itu, banyak teks yang diteliti oleh mereka sehingga banyak naskah yang tersebar ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah dilakukan di pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasilnya berupa teori mengenal kebudayaan dan sastra Arab, Persia, Siria, Turki, dan sebagainya.
Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-15 kekuasaan Dinasti Umayah meluas sampai ke Spanyol dan Andalusia. Hal itu membuka dimensi baru bagi telaah karya tulis dari kawasan Timur Tengah yang masuk ke Eropa pada waktu itu. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali masuk ke Eropa dengan kemasan Islam. Banyak karya sastra Arab dan Persia dikenal di Eropa dalam periode kekuasaan Dinasti Umayah di Eropa. Tulisan Al-Ghazali, Ibnu al-‘Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya merupakan bahan kuliah dan penelitian yang menarik. Orientalis yang dikenal pada waktu itu ialah Albertus Magnus, ahli filsafat Aristoteles, melalui tulisan Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Albertus Magnus mengajar di Persia pada abad ke-12.
Pada abad ke-13 Roger Bacon dan Raymon Lull belajar bahasa Arab dan Persia untuk mempelajari filsafat Yunani. Pada abad itu Paus Clement telah memerintahkan agar bahasa Arab, Ibrani, dan Kaldea diajarkan di universitas di Rome, Bologne, Paris, dan Oxford sebagai alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang terkandung dalam naskah yang ditulis dengan bahasa tersebut. Pada abad ke-13 di pusat studi Montpillier dilakukan penerjemahan tulisan Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin.
Pada abad ke-17 telaah teks klasik Arab dan Persia di Eropa telah dipandang mantap, terutama did Cambridge dan Oxford. Mimbar kuliah bahasa Arab dibuka dengan dosen terkenal, seperti Thomas Adams, Archbishop Laud, Edward Pococke, dan Abraham Wheelock. Pada waktu itu, di samping naskah Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani, dan Siria. Sementera itu, di Inggris dipelajari pula karya-karya sastra Arab, Persia, dan Turki, seperti Hikayat Seribu Satu Malam dan syair-syair sufi. Syair-syair karya Umar Khayyam deterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa dan disadur dalam bahasa Inggris.
Pada akhir abad ke-18 di Paris didirikan pusat studi kebudayaan ketimuran oleh Silvester de Sacy dengan nama Ecole des Langues Orientales Vivantes. Di tempat itu dipelajari naskah-naskah dari Timur Tengah oleh para ahli di kawasan Eropa sehingga melahirkan ahli-ahli orientalis Eropa terkemuka dan karangan bermutu tentang karya-karya penulis Timur Tengah. Di antara ahli orientalis itu adalah Etienne Quatremere (1782-1857), penanggung jawab Manuscripts Orienteaux di Paris, yang telah menerjemahkan “Tarikh al-Mamalik” karya Al-Maqrizi dan “Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun ke dalam bahasa Perancis. Selain itu, ia juga menerbitkan naskahnya yang berbahasa Arab. Ahli orientalis kedua adalah De Slane. Ia berhasil menyusun katalogus naskah-naskah Arab yang terdapat di Bibliotheque Nationale de Paris. Ia juga berhasil menerjemahkan “Diwan Imru’ul-Qais” ke dalam bahasa Perancis. Ahli orientalis yang ketiga adalah De Sacy. Ia dipandang sebagai bapak para orientalis di Eropa atas jasanya yang telah melahirkan orientalis-orientalis Eropa dari Ecole des Langues Orientales Vivantes. Selain itu, ia juga telah menghasilkan banyak tulisan dalam bidang telaah karya dari kawasan Timur Tengah pada umumnya.

B.       Perkembangan Filologi di Kawasan Asia: India dan Nusantara
1.      Filologi di Kawasan Asia yaitu India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa-bangsa Asia memiliki peradaban yang tinggi, seperti Cina, Jepang, India, dan bangsa-bangsa di kawasan Nusantara. Sejak bangsa-bangsa tersebut mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah, semacam dokumen yang mengandung informasi mengenai kehidupan mereka pada masa lampau.
Studi filologi terhadap naskah-naskah tersebut berhasil membuka khazanah kebudayaan Asia dan kajian tentang naskah tersebut bermanfaat untuk kepentingan studi humaniora di Asia pada umumnya. Hasil studi itu dapat menyibak sejarah bangsa Asia dan kebudayaan serta dapat memperjelas hubungannya dengan kawasan di luar Asia. Dengan demikian, dapat diketahui pula kebudayaan lain yang pernah menjalin hubungannya dengan kebudayaan Asia.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang memiliki dokumen peninggalan masa lampau dan kebudayaannya bersifat terbuka. Keluhuran bangsa India terungkap melalui berbagai penelitian, terutama penelitian terhadap dokumen yang berupa prasasti atau naskah. Bangsa India telah mengadakan kontak secara langsung dengan bangsa Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang telah mengadakan perjalanannya sampai ke India pada abad ke-3 SM. Kebudayaan India di daerah Gandhara ternyata dipengaruhi kebudayaan Yunani. Patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara dipahat seperti patung Apollo dengan memakai jubah tebal.
Perpaduan antara kebudayaan Yunani, Hindu, Budha, dan Jaina dinamakan kebudayaan Gandhara. Kebudayaan tersebut mencapai puncaknya pada zaman Raja Kaniska Kusana dalam tahun 78-100 Masehi. Fisafat Yunani diduga telah mempengaruhi silogisme India. Selain itu, teori atom Empedocies juga telah berpengaruh pada hukum atom India.
Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung antara bangsa India dan bangsa Cina. Pada waktu itu sekelompok pendeta Budha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina. Sebaliknya, sesudah itu musafir-musafir Cina melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci agama Budha di India. Di antara kaum musafir Cina itu ada orang yang tercatat dalam sejarah India, yaitu Fahian yang berkunjung ke India pada tahun 399, Hiuen-tsing pada tahun 630-645, dan I-tsing pada tahun 671-695. Mereka telah menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan, I-tsing telah menulis ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina.
Kontak antara bangsa India dengan bangsa Persia terjadi lebih awal daripada kontaknya dengan bangsa lain karena letak kedua Negara itu berdekatan. Namun, dokumen yang otentik tentang awal terjadinya hubungan itu tidak memberi informasi yang mantap. Dokumen sastra yang merupakan data adanya kontak langsung itu, antara lain, masuknya karya sastra India Pancatantra dalam kesusastraan Persi.
Pancatantra,  yang digubah pada abad ke-3 di India oleh seorang Waisynawa atas perintah Kaisar Anusyirwan dari  Dinasti Sasaniah (531-579) di Persi diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Kaisar tersebut mengirimkan seorang dokter pribadinya yang bernama Burzue ke India untuk menerjemahkan naskah “Pancatantra”. Selanjutnya, versi “Pancatantra” dalam bahasa Persi itu berkali-kali disalin ke dalam bahasa Persi Tengahan dan bahasa Persi Baru. Abdullah ibn Muqaffa menerjemahkan “Pancatantra” versi Persi itu ke dalam bahasa Arab. Hasil terjemahnya itu kemudian diberi judul “Kalila wa Dimna”.
Selain “Pancatantra”, sastra India yang disalin ke dalam bahasa Persi adalah “Sukasaptati”. Dalam versi Persi “Sukasaptati” itu dikenal dengan judul “Tutinameh”.
Berdasarkan telaah filologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kontak langsung antara bangsa India dan bangsa Persi paling awal terjadi pada abad ke-6, saat disalinnya “Pancatantra” ke dalam bahasa Persi.
Pada tahun 1030 Alberuni, seorang musafir Arab-Persi, berkunjung ke India. Dalam catatannya ia menulis tentang aspek-aspek kebudayaan India, seperti filsafat, kesastraan, tatabahasa, dan ilmu kedokteran. Diperkirakan dialah yang pertama kali mempelajari naskah dan teks India untuk mengetahui lebih dekat kebudayaan India itu.

1)      Naskah-Naskah India
Naskah India yang dipandang paling tua adalah “Weda”, kitab suci agama Hindu. “Weda” terdiri atas empat bagian, yaitu “Rigweda”, “Samaweda”, “Yajurweda”, dan “Atarweda”. Kitab “Weda” diperkirakan ditulis pada abad ke-6 SM. Isinya adalah tentang kepercayaan kepada para dewa, penyembahan terhadap para dewa secara ritual, mantra yang mengiringi upacara keagamaan Hindu, dan ilmu sihir.
Sesudah periode “Weda”, disusun pula kitab suci Brahmana, kitab “Aranyaka”, dan kitab “Upanisal”. Kitab suci Brahmana berisi antara lain tentang penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, dan cerita tentang persajian. “Aranyaka” berisi tentang petunjuk bagi petapa yang menjalani kehidupan di hutan-hutan, sedangkan “Upanisad” berisi masalah filsafat yang memikirkan rahasia dunia.
Selain naskah yang bernapaskan agama dan filsafat, naskah lama India juga ada yang berbentuk wiracarita, seperti “Mahabharata” dan “Ramayana”. Selain bentuk wiracarita (cerita kepahlawanan) ada pula karya yang berbentuk puisi, seperti “Harsacarita” (gubahan penyair Bana) dan “Buddhacarita” (gubahan Aswagosa), yang berbetnuk table atau cerita binatang seperti “Pancatantra”, “Sukasaptati” dan “Hitopadesa”, dan ada pula yang berbentuk drama. Di samping itu, ada pula karya yang berisi ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteraan, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu politik.

2)      Telaah Filologi terhadap Naskah-Naskah India
Telaah terhadap naskah-naskah India yang berisi berbagai aspek kebudayaan baru dimulai pada saat bangsa Barat tiba di kawasan itu setelah ditemukannya jalan laut ke India oleh Vasco da Gama tahun 1498. Mereka mengetahui kebudayaan India lewat hasil telaah filologinya terhadap naskah India mutakhir. Berdasarkan telaah filologi itu, mereka mengenal adanya bahasa-bahasa daerah di India, seperti bahasa Gujarati dan bahasa Bangali sebelum abad ke-19. Pada awal abad ke-19 mereka mengetahui tentang bahasa Sansekerta dan pada akhir abad ke-19 mereka menemukan kitab “Weda”.
Hasil kajian filologi terhadap naskah tersebut mulai dipublikasikan oleh orang Belanda yang bernama Abraham Roger dengan judul Open Door to Hidden Heathendom pada tahun 1651. Dia pernah tinggal di Madra dan bertugas sebagai penyiar agama Nasrani. Karangannya itu berbicara tentang ajaran kitab suci “Brahmana” dan berupa ikhtisar puisi penyair Bhratihari. Kemudian terbit pula karangan dua orang Prancis, Bernier (1671) dan Tafernier (1677), tentang geografi, politik, adat-istiadat, dan kepercayaan bangsa India.
Tatabahasa Sansekerta dalam bahasa Latin mula-mula ditulis oleh Hanxleden, seorang pendeta berbangsa Jerman. Tatabahasa tersebut diterbitkan di Roma pada tahun 1790 oleh Fra Paolo Bartolomeo, seorang penginjil berbangsa Austria. Ia pernah tinggal di Malabar pada tahun 1776-1789.
Pada abad ke-18 bangsa Inggris baru memulai kegiatan filologinya di India. Kegiatannya berawal dari adanya hasrat Gubernur Jenderal Warren Hastings untuk menyusun kitab hukum yang bersumber pada naskah-naskah lama bangsa India. Teks-teks hukum yang terdapat dalam naskah lama itu dikajinya dan hasilnya diterbitkan di London pada tahun 1776. Pada tahun 1784 di kota Bengal didirikan suatu wadah kegiatan filologi yang bernama The Asia Society oleh para orientalis Inggris yang pada saat itu sedang bertugas di India. Di antara kaum orientalis itu ada tiga orang yang berhasil memajukan telaah filologi India, yaitu Sir Charles Wilkins, Sir William Jones, dan Henry Thomas Colebrooke. Pada tahun 1785 Wilkins, yang menguasai bahasa Sansekerta, berhasil menerjemahkan “Bagawadgita” ke dalam bahasa Inggris. Terjemahannya itu diberi judul Song of the Adorable One. Pada tahun 1787 ia menerjemahkan “Hitopadesa” ke dalam bahasa Inggris dan pada tahun 1808 menyusun tatabahasa Sansekerta.
William Jones, yang menjabat ketua mahkamah tinggi di Bengal sejak tahun 1783, mendirikan The Asia Society di Calcutta. Pada tahun 1794 ia menerjemahkan “Sakuntala” dan “Gitagowinda”, kitab hukum bangsa Manu. William Jones yang berpendidikan formal di Universitas Oxford itu adalah orang pertama kali menyatakan bahwa bahasa Sansekerta merupakan nenek moyang bahasa Persi, bahasa-bahasa Germani, dan serumpun dengan bahasa Kelt.
Henry Thomas Colebrooke dipandang sebagai orang pertama yang melakukan dasar-dasar filologi India. Dia menulis dalam bidang hukum, filsafat, agama, tatabahasa, astronomi, dan ilmu hitung. Dia berhasil menerbitkan kamus bahasa Sansekerta, buku tatabahasa karangan Panini, dan kitab “Hitopadesa”. Ia juga berhasil mengoleksi naskah-naskah Sansekerta.
Pada awal abad ke-19 dikenal nama Alexander Hamilton (bangsa Inggris) dan Friedrich Schlegel (bangsa Jerman). Mereka dipandang sebagai orang yang memajukan studi naskah Sansekerta di Eropa. Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel menulis buku yang berjudul On the Language and Wisdom of the India. Ia juga berhasil mendirikan sebuah lembaga filologi India di Jerman.
Kakaknya, August Wilhelm von Schlegel, adalah orang yang pertama kali memberikan kuliah bahasa Sansekerta din Bonn, Jermah Barat. Sesudah itu, telaah naskah-naskah Sansekerta di Jerman bertambah maju, melebihi tempat-tempat lain di Eropa.
Selain ketiga orang itu, dikenal juga nama Frans Bopp. Berdasarkan telaahnya terhadap naskah-naskah Sansekerta, ia sampai pada simpulan yang menyatakan bahwa sistem konyugasi bahasa Sansekerta sama dengan sistem konyungasi bahasa-bahasa di Eropa. Pendapatnya itu ditulis dalam karangannya yang berjudul On the Conjugational System of the Sanskrit Language in Comparison with that of the Greek, Latin, Persia, Germanic Languages. Frans Bopp juga dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan filologi.
Sampai pertengahan abad ke-19 telah banyak hasil telaah terhadap naskah karya sastra klasik India dan sastra epic. Namun, telaah terhadap kesastraan Budha dan Weda belum banyak dilakukan.
Pada abad ke-17 kitab “Upanisad” diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Pada tahun 1801-1802 hasil terjemahan itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin oleh seorang orientalis Prancis yang bernama Anquetil Dupperon dengan judul Oupnek’hat. Buku itu dipandang telah mempengaruhi dua orang ahli filsafat Jerman, Schelling dan Schopenhauer.
Telaah filologi yang sebenarnya terhadap sasta “Weda” dilakukan oleh F. Roesen  pada tahun 1838. Hasil terbitannya berupa delapan bagian pertama kitab “Regweda”.
Pada dasawarsa keempat abad ke-19 Rudolf Roth mengenalkan dasar-dasar studi sastra Wedadi Eropa. Pada tahun 1846 dia menulis On the Literature and History of the Weda. Selain Rudolf Roth, orang yang tekun menelaah “Weda” adalah F. max Muller, salah seorang murid F. Rosen. Dia menulis buku tentang Regweda dalam 8 jilid. Dalam buku tersebut disertakan juga tafsiran Regweda karya Sayana.
Dengan telah dilakukannya studi terhadap Wedadan kitab-kitab agama Budha lainnya, perkembangan studi filologi di India, dari segi materi, telah dianggap lengkap pada pertengahan abad ke-19. Sejak tahun 1850 kajian terhadap sastra klasik India secara ilmiah telah dilakukan. Selain itu, sejumlah naskah yang disertakan dengan kritik teks juga telah diterbitkan.
Pada tahun 1876 Albercht Weber menulis History of India Literature. Dua orang ahli filologi Jerman, Rudolf Roth dan Bohtlingk, menyusun kamus besar bahasa Sansekerta dalam 7 jilid.
Pada tahun 1819 Wilhelm von Schlegel  menyusun daftar naskah Sansekerta, baik yang belum disunting maupun yang telah disunting dan yang telah diterjemahkan, yang jumlahnya mencapai puluhan. Pada tahun 1852 Weber  berhasil menyusun daftar naskah Sansekerta itu dengan jumlah sekitar 500 buah. Pada awal abad ke-20 daftar tersebut sudah memuat beribu-ribu naskah, yang tersimpan di berbagai pusat studi kebudayaan dan kesastraan India, baik di India maupun di Eropa.

2.    Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara termasuk kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana kawasan Asia pada umumnya, Nusantara sejak dahulu telah dikenal sebagai kawasan yang memiliki peradaban tinggi. Hal itu terbukti dari adanya peninggalan nenek moyang, baik berupa bahan tulisan (naskah dan prasasti) maupun benda-benda bersejarah (alat rumah tangga, guci, patung, candi, dan lain-lain).
Di kawasan Nusantara terdapat berbagai kelompok etnis. Tiap-tiap etnis memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa mengabaikan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara. Kekayaan naskah lama Nusantara dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang terdapat di berbagai studi kebudayaan Timur dan Barat.

1)        Naskah Nusantara dan Pedagang Barat
Minat untuk menelaah naskah-naskah Nusantara mulai timbul pada abad ke-16 setelah bangsa Barat datang di kawasan Nusantara. Adanya naskah-naskah lama Nusantara itu mula-mula diketahui oleh para pedagang. Mereka menganggap naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendapatkan untung besar, seperti yang mereka kenal di Eropa, sekitar Laut Tengah, dan daerah-daerah lainnya.
Karana adanya anggapan itu, para pedagang Barat mengumpulkan dan membeli naskah-naskah dari perorangan ataupun dari tempat-tempat tertentu yang mengoleksinya, seperti kuil dan pesantren. Naskah-naskah itu mereka bawa ke Eropa, kemudian mereka jual kepada perseorangan atau lembaga yang mengoleksi naskah lama atau yang mempunyai pusat kajian naskah lama. Naskah-naskah Nusantara itu selalu berpindah tangan karena diperjualbelikan atau dihadiahkan.
Salah seorang pedagang Eropa yang bergerak dalam perdagangan naskah adalah Pieter Williemsz atau Peter Floris. Pada tahun 1604 Van Elbinck, pengusaha naskah, pernah tinggal di Aceh. Kumpulan naskahnya, antara lain, dijual kepada Thomas Erpenius, salah seorang orientalis kenamaan dari Leiden (1584-1624).
Tampaknya Erpenius tidak berminat mengkaji naskah-naskah Nusantara itu karena keahliannya tentang kebudayaan Timur Tengah. Pada tahun 1632 koleksi naskah Nusantara Erpenius jatuh ke perpustakaan Universitas Oxford. Selain Erpenius, pembeli naskah Nusantara dari para pedagang ialah Edward Pococke, pemilik naskah tertua “Hikayat Sri Rama”. William Laud, seorang uskup besar dari Canterbury, menghadiahkan koleksi naskah Nusantaranya kepada Bodleian di Oxford.
Dalam kaitannya dengan naskah-naskah Nusantara tersebut, perlu dicatat nama Frederick de Houtman, saudara laki-laki dan teman seperjalanan Cornelis de Houtman. Minatnya yang besar terhadap kebudayaan Nusantara terbukti dari karangannya yang berjudul Spraeck en de Woordencboek, in de Maleysche en de Madagaskarsche Talen yang terbit tahun 1603. Buku tersebut menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, dan Prancis. Berdasarkan kenyaan itu, diduga bahwa kemahiran berbahasa Melayu Frederick de Houtman, antara lain, karena membacma dan mempelajari naskah-naskah Melayu.
Pada zaman VOC upaya mempelajari bahasa-bahasa Nusantara hampir terbatas pada bahasa Melayu karena dengan bahasa Melayu itu mereka sudah dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa asing yang berada di kawasan Nusantara, seperti bangsa India, Cina, Arab, dan bangsa Eropa lainnya. Peranan para pedagang, sebagai pengamat bahasa melalui pembacaan naskah-naskah, dilanjutkan oleh para penginjil. Mereka dikirim VOC ke wilayan Nusantara dalam jumlah yang besar selama 2 abad pertama (abad 17-18).


2)        Telaah Naskah Nusantara oleh para Penginjil
Pada tahun 1629, 30 tahun setelah kapal Belanda pertama tiba di Nusantara, diterbitkan terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu oleh penerbit Jan Jacobsz, Palenstein. Penerjemahnya adalah Albert Cornelisz Ruyl. Buku tersebut berjudul Het Nieuwe Testament in Nederduyts ende Malays, na de Grieckscher waarheyt Overgeset-Jang Testament Baru Bersalin kepada Bassa Hulanda dan Bassa Malaju, seperti jang Adillan Bassa Gregu. Ruyl adalah seorang pedagang. Pada tahun 1600 ia bersama-sama dengan Jacob van Neck datang ke Nusantara. Sebelum tahun 1600 ia telah menerbitkan buku berjudul Spiegel van de Maleise Tale yang bersumber dari karangan Frederick de Houtman dan beberapa terjemahan ajaran gerejani.
Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701), seorang penginjil terkenal, menaruh minat yang besar terhadap naskah-naskah Melayu. Terjemahan Beibelnya dalam bahasa Melayu baru dapat diterbitkan setelah ia meninggal karena perlu penyempurnaan dan revisi. Pada tahun 1835 jilid pertama terjemahan itu terbit.
Atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan Beibel dalam bahasa Melayu tinggi. Untuk memenuhi tugas itu, dia harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangan-karangannya dalam bahasa Melayu pula. Akan tetapi, hingga akhir hayatnya terjemahan itu belum selesai. Pekerjaannya itu kemudian dilanjutkan oleh penginjil lain, Petrus van den Vorm (1664-1731).
Petrus tiba di Indonesia pada tahun 1688. Mula-mula ia ditugaskan sebagai pendeta di Kepulauan Maluku. Ia berpendidikan Teologi dari Universitas Leiden. Dengan diberikannya tugas missionaries di beberapa daerah memungkinkan ia berkesempatan menulis berbagai aspek kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1726 terbitlah karangannya yang ensiklopedik dengan judul Ouden Nieuw Oost Indien, Vervattende een Naukkenigen en Uitvoerige Verhandelinge van Nederlandse Mogentheyd in die Gewesten.
Karangannya itu memperlihatkan bahwa pengetahuannya tenang naskah-naskah Nusantara cukup luas. Dalam tulisannya disebutkan beberapa judul naskah yang diketahuinya pada waktu itu. Kemahirannya berbahasa Melayu, walaupun bahasa Melayu rendah, bertujuan menyebarkan Beibel dan menerjemahkannya. Dia sering menulis karangan tentang kebudayaan Nusantara. Dia juga berhasil menyusun kamus dan buku tatabahasa Melayu yang baik. Perhatiannya terhadap bahasa dan sastra Melayu juga cukup besar.
G.H. Werndly adalah penginjil lain yang mengakrabi bahasa dan sastra Melayu. Pada tahun 1736 terbit karangannya yang berjudul Maleische Spraakkunst. Dalam lampiran bukunya itu dia menyusun daftar naskah Melayu yang diketahuinya yang berjumlah 69 naskah. Dia mempelajari naskah itu hingga memahami isinya. Tiap-tiap naskah dibuat ringkasan isinya, walaupun sangat pendek, dan dibuat deskripsinya.
Makin lama kedudukan VOC makin lemah. Sebagai akibatnya, dorongan untuk mempelajari bahasa dan naskah Nusantara makin berkurang. Usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Karena menghadapi berbagai kesulitan, lembaga tersebut baru dapat mengirim seorang penginjil Protestan, yang bernama G. Bruckner, ke Indonesia pada tahun 1814. Ia ditempatkan di Semarang. Tugas utamanya adalah menyebarkan ajaran Alkitab kepada masyarakat Jawa.
Agar pelaksanaan tugas tersebut berjalan lancer, Bruckner bergaul dengan penduduk Jawa dan membaca naskah-naskah Jawa untuk mempelancar kemampuan-berbahasa-Jawanya, baik lisan maupun tulis. Bruckner berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahsa Jawa. Selain menerjemahkan, dia juga menulis tatabahasa Jawa yang berjudul Proeve eener Javanaasche Spraakkunst. Buku tersebut dicetak pada tahun 1930. Di dalam buku tersebut terdapat teks dan terjemahan cerita Jawa dan beberapa surat dalam bahasa Jawa, sebagai bahan bacaan. Pada tahun 1842 terbit pula kamus Bruckner yang berjudul Een Klein Woordenboek der Hollandsche, Engelsche en avaansdie Talen.
Jika ditinjau dari segi ilmu bahasa, Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG) mempunyai kegiatan penting. Lembaga itu menyanggupi akan menerbitkan terjemahan atau tulisan Bruckner yang lain. Lembaga tersebut berpendapat bahwa untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lain, penerjemah harus memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang ilmu bahasa. Ketetapan NBG itu menuntut para penyiar dan penerjemah Alkitab yang akan dikirim ke Indonesia untuk memiliki pendidikan akademik yang memadai. Dampak ketetapan itu muncul karangan ilmiah dari para penginjil mengenai bahasa, sastra, dan kebudayaan Nusantara pada umumnya. Sebaliknya, negara-negara jajahan Belanda memperoleh dampak positif dari ketetapan NBG tersebut. Para penginjil membantu Pemerintah jajahan Belanda itu memberi pelajaran bahasa secara ilmiah kepada para pegawai sipil Belanda yang memerlukan keahlian itu.
Pada tahun 1824 J.V.C. Gericke, seorang penginjil yang memenuhi persyaratan itu, dikirim NBG untuk bertugas di Indonesia. Ia ditugaskan mengajar dalam bidang bahasa Jawa. Dia dapat membantu pemerintah mengajarkan bahasa Jawa kepada para pegawai negeri sipil Belanda. Dia mendesak Pemerintah Belanda untuk membuka lembaga pendidikan (institut) bahasa Jawa. Pada tahun 1832 NBG mendirikanlembaga tersebutdengannama Javaansclie Instituut. Namun, tampaknya lembaga itu sulit maju. Akhirnya, pada tahun 1834 lembaga itu ditutup.
Selain ke daerah berbahasa Jawa dan Melayu, NBG menugasi penginjil ke daerah Kalimantan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kepulauan Nias. Selain menjalankan tugas dari NBG, mereka juga mengadakan penelitian dan kajian ilmiah terhadap dokumen dan naskah berbahasa daerah tersebut. Sebagai akibatnya, mereka mengakrabi naskah-naskah Nusantara dan menghasilkan karangan ilmiah dalam bidang ilmu yang dikajinya itu. Mereka dipercaya sebagai petugas yang mempunyai otoritas tentang kebudayaan setempat. Beberapa orang terkenal di antara mereka adalah A. Hardeland (untuk bahasa Dayak), H.N. van der Tuuk (bahasa dan Bali), B.F. Matthes (bahasa Bugis dan Makasar), G.j. Grashuis, D. Koorders, dan S. Coolsma (bahasa Sunda), serta L.E. Denninger (bahasa Nias).
Pada umumnya tenaga-tenaga yang dikirim NBG tidak melakukan telaah filologis terhadap naskah yang dibaca dan dipelajari bahasanya. Mereka sering menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda. Karena ada etnis-etnis yang belum mengenai huruf, etnis itu tidak memiliki dokumen tertulis (naskah). Sebagai akibatnya,.kebudayaannya masih tersimpan secara lisan. Menurut teori filologi, sastra lisan termasuk kajian f ilologi. Oleh sebab itu, ada di antara penginjil yang mengkaji sastra lisan daerah yang didatanginya. N. Adriani dan Knujt, misalnya, menelaah sastra lisan Toraja.


3)         Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara
Hadirnya tenaga penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia dengan bekal ilmu pengetahuan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan penelitian naskah dari berbagai daerah Nusantara. Mula-mula mereka mempelajari naskah dengan tujuan mengenai bahasanya untuk kepentingan penyiaran dan penerjemahan Alkitab. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat mengkaji naskah unttik memahami isinya. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat menyuntingnya agar naskah itu dapat diketahui kalangan yang lebih luas.
Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul pada pengajar bahasa-bahasa Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai sipil yang akan dikirim ke Indonesia. Calon pegawai itu perlu dibekali pengetahuan dalam bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (hud, landen volkenkunde). Mimbar kuliah untuk program tersebut mula-mula diadakan di KoninklijkeMilitaire Academie (KNiA) di Breda dimulai pada tahun 1836 dan di Delft pada tahun 1842. Di Akademi Breda diangkat Taco Roorda sebagai guru besar dalam bahasa Melayu, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda, sedangkan di Delft diangkat Roorda van Eysinga. Akhirnya, program tersebut dipindahkart ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Taco Roorda dikenai sebagai orang yang berdedikasi tinggi dalam bidang penerjemahan Alkitab, pendidikan kepangrehprajaan, dan ilmu pengetahuan murni.
Selain tenaga peneliti dari Belanda, banyak juga tenaga peneliti dan ahli filologi yang berasal dari Inggris, seperti John Ijeyden, J. Logan, W. Marsden, Tlionws Stamford Raffles, R.J. Wilkinson, R.O. Winstedt, j: Crafurd, dan Sliellebear. Dari Jerman dapat dicatat nama Hans Overbeck.
Telaah ahli filologi terhadap naskah Nusantara antara lam berbentuk penyuntingan dan/atau penganalisisan isinya. Pada larai awal kajian filologi terutama berbentuk penyuntingan. Karena tenaga penyunting vang masih sangat terbatas, kegiatan penyuntingan lebih banyak dilaknkan untuk naskah Jawa dan Melayu. Basil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf pegon, atau huruf Jawi dengan disertai Pengantar atau Pendahuluan secara singkat, tanpa analisis isinva,
Contoh suntingan seperti itu adalah suntingan "Ramayana Kakawin" oleh H. Kern (1800), "Syair Bidasari" oleh Van Hoevell (1843), Geschiedenis van Sri Rama oleh Roorda van Eysinga (1843), dan Een Javaansche Geschnft uit de 16de Eeww oleh J.G.H. Gunning. Suntingan taraf awal itu pada umumnya menggunakan metode intuitif atau diplomatik.
Dalam perkembangan kajian filologi selanjutm a, naskah itu disunting dalam bentuk transliterasike dalam huruf Latin, seperti siuitingan "Wrettasantjaja" (1849), "Ardjoena Wiwaha" (1850), dan "Bomakmvya" (1850). Ketiga naskah itu berbahasa Jawa Kuna dan disunting oleh R.Th.A. Friederich. Suntingan lainnya adalah "Brata Joeda" (1850) oleh Cohen Stuart. Selain itu, H.H. ]uynboll menghasilkan beberapa suntingan teks Maliabharata berjudul Adipanva, Oud-)avaansche Prozageschrift (1906 dengan transliterasi huruf Latin), dan suntingan yang disertai terjemahan berjudul
DrieBoekenvanhetOud-JavaansclieMalmbliaratainKaivi-TeksenNederlandsclieVertaling (1893).
Kegiatan ahli filologi taraf berikutnya ialah berupa penyuntingan naskah dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda. Hal itu antara lain-dilakukan oleh /. Kats dengan suntingannya berjudul Sang Hyang Kamahcryanikan:Oud-JavaansdietekstmetInleiding, VertalingenAanteekeningen (1910) dan Poerbatjaraka dengan suntingannya berjudul Arjuna-WiwaJui (1926).
Pada abad ke-20 penyuntingan naskah dilakukan dengan disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris atau Belanda. Bahkan, yang diterbitkan hanya berupa terjemahannya, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden (1921), The Malay Annals oleh C.C Brown (1952), dan Hikayat Hang Tuah oleh H. Overbeck (1922).
Telaah filologis dengan metode kritik teks, yang banyak dilakukan pada abad ke-20, menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada suntingan sebelumnya. Terbitan jenis suntingan ini banyak yang disertai terjemahan dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Penyuntingan yang menggunakan pendekatan filologi tradisional itu antara lain dilakukan oleh G.F. Pijper dengan suntingannya berjudul Het Boek der Duizend. Vragen (1924) yang bersumber pada naskah "Hikayat Seribu Masalah"; A. Teeuw dengan suntingannya berjudul Shair Ken Tambuhan (1966); Siti Hawa Saleh dengan suntingannya berjudul Hikayat Merong Mahazvangsa (1970); S. Supomo dengan judul Arjunawijaya (1977); dan Haryati Soebadio dengan judul ]nanasiddhanta (1971).
Pada abad ke-20 juga ada terbitan ulang naskah yang pernah disunting sebelumnya dengan rujuan menyempurnakannya. Hal itu terbukti dari adanya terbitan primbon Jawa yang berasal dari abad ke-16. Suntingan pertama dilakukan oleh Gunning (1881) dengan menggunakan metode diplomatik dan pada tahun 1921 suntingan itu disunting lagi oleh H. Kraemer dengan judul Een Javaansclie Primbon uit de Zestiende Eeuw. Kemudian, pada tahun 1954 suntingan Kraemer itu diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drewes dengan judul yang sama. Naskah "Sunan Bonang" yang pada tahun 1916 disunting oleh B.J.O. Schrieke dengan judul Het Boek van Bonang, pada tahun 1969 suntingan itu diterbitkan lagi oleh Drewes dengan judul The Admonitions ofSeh Bari. Naskah "Wirataparwa" yang pada tahun 1892 diterbitkan oleh Juynboll, pada tahun 1938 diterbitkan lagi oleh Fokker dengan judul Wiratapanva, Opnieuxv Uitgegeven, Vertaalden Toegelicht. Demikianpula Arjunawizualia yang pada tahun 1850 diterbitkan oleh Friederich, pada tahun 1926 diterbitkan lagi oleh Poerbatjaraka dengan judul Arjunawiwaha.
Pada abad ke-20 juga diterbitkan naskah-naskah keagamaan, baik naskah Melayu maupun naskah Jawa, sehingga isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan sebagainya sehingga mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Naskah-naskah keagamaan itu lazim disebut sastra kitab. Kajian seperti itu antara lain dilakukan oleh Naguib al-Attas tentang karya Hamzah Fansuri. Dengan menggunakan metode kritik teks ia menghasilkan karya ilmiah berjudul The Misticmn ofHamzah Fansuri (1970).
Berdasarkan beberapa naskah yang anonim A. Jones berhasil menyunting naskah-naskah tersebut dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan diberi judul Malay Mysticism (1957) • Selanjutnya, berdasarkan naskah "Serat Cabolek" S. Soebardi berhasil menyusun buku dengan judul The Boek ofCabplek (1975).
Selain naskah yang telah diuraikan di atas, naskah yang berisi teks sejarah juga telah banyak yang disunting dan dimanfaatkan oleh ahli sejarah. Di antara ahli sejarah itu ialah (1) Teuku Iskandar yang menghasilkan karangan berjudul De Flikajal Atjeh (1959) berdasarkan naskah "Hikayat Aceh"; (2) Floesen Djajadiningrat yang menghasilkan buku berjudul Critische eschoulving van de Sadjarah Banten (1913) berdasarkan naskah "Babad Banten"; (3) J.J. Ras yang menghasilkan buku berjudul Hikajat Bandjar (1968) berdasarkan naskah sejarah yang berasal dari suatu kerajaan di Kalimantan; dan (4) P.J. Worsley yang menghasilkan kajian berjudul Babad Buleieng berdasarkan naskah sejarah dari Bali. Semua suntingan teks itu menggunakan pendekatan kritik teks.
Selain menerbitkan suntingan naskah, kegiatan filologi lairmya adalah menelaah naskah/teks untuk mengungkap isinya ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Para peneliti naskah itu antara lain, sebagai berikut.
(1)       C.A.O. van Nhiwehuijze dengan telaahnya berjudul Samsuddin van Pasai (1945) berdasarkan naskah-naskah karya Syamsuddin, seorang ulama tasawuf di Aceh.
(2)       Doorenbos dengan kajiannya berjudul De Geschriften van Hamzah Fansoeri (1933) berdasarkan naskah karya Hamzah Fansuri, seorang ulama tasawuf di Aceh.     
(3)       P.J. van Leeuwen dengan kajiannya berjudul Dc Maleische Alexanderroman (1937) berdasarkan naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain".
(4)       Ph.S. van Ronkel dengan telaahnya berjudul De R.oman van Amir Hamzah berdasarkan naskah "Hikayat Amir Hamzah".
(5)       W.H. Rassers dengan kajiannya berjudul De Panji Roman berdasarkan naskah-naskah Panji Nusantara.

Telaah filologi terhadap naskah Iain—selain naskah Jawa dan Melayu—juga telah dilakukan, baik oleh orang asing (Belanda) maupun oleh orang pribumi.
(1)    H.T. Damste yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Perang Sabil (1928) berdasarkan naskah yang dituiis dalam bahasa Aceh.
(2)    H.K.J. Cowan yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Malem Dagang (1937) juga berdasarkan naskah berbahasa Aceh. Kedua suntingan itu berupa transliterasi disertai terjemahannya dalam bahasa Belanda.
(3)    F.S. Eringa menyunting naskah berbahasaSundayangmenghasilkansuntingan berjudul Loetoeng Kasaroeng: Een Mytologish Verhaal uit West-Java (1949).
(4)    Edi S. Ekadjati menghasilkan suntingan berjudul Cento Dipati Ukur (1978) berdasarkan naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.
(5)    Hermansumantri menghasilkan suntingan berjudul Sejarah Sukapura berdasarkan naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.
(6)    J. Noorduyn menghasilkan suntingan berjudul Een Acht tiende Eeuwse Kroniekvan Wadjo (1955) berdasarkan naskah-naskah Bugis.
(7)    Vreede menghasilkan suntingan dengan menggunakan edisi diplomatik yang berjudul Tjarita Brakaj berdasarkan naskah berbahasa Madura. Sebagian cerita itu diterje mahkan oleh Teeuw ke dalam bahasa Belanda dengan judul Fragment uit Tjarita Brakaj yang diterbitkan dalam Letterkunde van de Indische Archipel suntingan /. Gonda (1947).

Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra (Barat). Telaah naskah secara mendalam itu umumnya berupa disertasi atau tesis Program Pascasarjana di berbagai fakultas sastra. Para peneliti naskah itu antara lain sebagai berikut,
(1)    Achadiati Ikram dengan kajiannya berjudul Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (disertasi, 1980);
(2)    Sulastin Su trisno dengan kajiannya berjudul Hikayat Hang Tuah: A nalisis struktur dan Fungsi (disertasi, 1979);            ^
(3)    Worsley dengan telaahnya berjudul Babad Buleleng (1972);
(4)    Ras dengan telaahnya berjudul Hikajat Bandjar (1968);
(5)    Brakel dengan telaahnya berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975).

Pada dekade berikutnya penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis inter teks tual atau resepsi.
(1)    HendrikM.JanMaier melakukan anahsisintertekstual terhadap naskah "Hikayat Merong Mahawangsa" dengan judul Fragment of Reading: Tlte Malay Hikayat Merong Maliawangsa (1985).
(2)    I Kuntara Wiryanviftana melakukan analisis resepsi terhadap naskah "Arjunawiwaha'' dengan judul Arjunawiwalia; Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra }awa (1987).
(3)    Siti Chamamah Soeratno melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain" dengan pendekatan resepsi dan menghasilkan kajian berjudul Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi (1988).
(4)    Imran Teuku Abdullah yang melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat Meukeuta Alam" dan menghasilkan karya berjudul Hikayat Meukeuta Alam: Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Resepsinya (198?).

Dengan telah diketahuinya sejumlah naskah Nusantara dan telah tersedia teks suntingaonya, kemungkinan untuk menyusun sejarah sastra Nusantara atau sejarah sastra daerah makin terbuka. Itulah sebabnya, sejak tahun 1940-an terbitlah buku-buku sejarah sastra seperti berikut. (1) A History of Malay Literature (1940) oleh Winstedt; (2) Letterkunde van de Indische Archipel (1947) oleh Gonda; (3) Over Maleise Literatur (1947) oleh Hooykaas; dan (4) Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik (1982) oleh Liaw Yock Fang.

Dengan terpeliharanya naskah dan tersedianya suntingan naskah Musantara, minat untuk menyusun kamus berbagai bahasa daerah Nusantara juga makin terbuka. Sejak abad ke-19 telah terbit beberapa kamus bahasa Jawa oleh tenaga penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia. Para penyusun kamus Jawa Kuna-Belanda atau Jawa Kuna-Inggris itu adalah sebagai'berikut.
(1)    Van der Tuuk dengan kamusnya berjudul Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek (1897,1912).
(2)    H.}I. Juynboll dengan kamusnya berjudul Old-Javaansch-Nederlandsch Woordenlijst (1923);
(3)      P.J. Zoetmulder dengan kamusnya berjudul Old-Java-nesch-English Dictionary
(1982).                                                                                                                                              .

Selain itu, ada juga kamus bahasa Melayu-Belanda atau Melayu Inggris yang disu su n oleh peneliti berikut.
(1) H. C. Klinkert dengan kamusnya berjudul Niewo Maleish-Nederlandsch Worrdenboek (1947);
(2) R.J. Wilkinson dengan kamusnya berjudul A Malay-English Dictionary (1959);

Kamus bahasa Jawa-Belanda disusun oleh Gericke dan Roorda dengan judul Javaansch-Nederlandsch Handxvoordenboek (1901). Terakhir kamus bahasa Madura-Belanda disusun oleh H.N. Kiliaan dengan judul Madoereesch-Nederlandsch Woorden­boek (1904-1905).

Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda tentang uraian dalam modul ini, kerjakan latihan-latihan berikut!
1.       Di kawasan Asia, studi filologi banyak dilakukan di India! Jelaskan!
2.       Tersebarnya naskah-naskah Nusantara ke Eropa dilakukan oleh para pedagang Barat. Jelaskan!
3.       Dikenalnya naskah-naskah Melayu oleh bangsa Eropa sejalan dengan tugas misionaris yang diemban para penginjil. Jelaskan!

Petunjuk Jawaban Latihan
Jika Anda telah menyelesaikan latihan itu, cocokkan hasil latihan Anda dengan rambu-rambu berikut!
1.  Bangsa India sangat kaya dengan dokumen kebudayaannya, terutama naskah yang berupa kitab suci, baik kitab suci agama Hindu, "Weda", maupun kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" dan naskah eerita, seperti "Mahabharata", "Ramayana", "Harsacarita", "Buddhacarita", "Pancatantra", "Sukasaptati", dan "Hitopadesa". Dokumen budaya yang adiluhung itu telah menarik perhatian kaum filolog berba gai bangsa di kawasan Asia, terutama dari Cina dan Persi.
2.     Para pedagang Barat menganggap bahwa naskah-naskah Nusantara merupakan
baramg daganganyang mendatangkan untung besar, sebagaimana yang terdapat
di Eropa atau di Timur Tengah. Karena adanya dugaan itu, mereka membeli dan
mengoleksi naskah-naskah itu, lalu membawanya ke Eropa dan menjualnya
kepada lembaga atau perseorangan yang mengoleksi naskah lama.
3,  Untuk mempermudah penyebaran agama Kristen, para pendeta harus
menerjemahkan kitab sucinya, Beibel, ke dalam bahasa Melayu. Untuk memenuhi
tugas itu, para penginjil harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya
dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangannya
dalam bahasa Melayu pula.

Studi/kajian filologi di kawasan Asia oleh orang Barat dimulai setelah terbukanya jalan laut dari Eropa ke India. Telaah filologis tersebut berkembang dengan pesat di India karena naskah-naskah klasik India, terutama kitab suci Hindu '' Weda" dan kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" telah menarik perhatian mereka.
Minat meneliti naskah-naskah Nusantara dirintis oleh para penginjil berkebangsaan Belanda. Tenaga penyiar dan penerjemah Alkitab yang dikirim NBG ke Nusantara harus berbekal pengetahuan banasa. Untuk mengenai bahasa-bahasa di Nusantara, mereka lakukan dengan menelaah naskah-naskah dari herbagai daerah Nusantara. Setelah mertguasai bahasa daerah tersebut, mereka memulai missinya, yaitu menyiaricanajaran Alkitab kepada penduduk setempat. Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul di kalangan pengajar bahasa Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai yang akan dikiriict Ke Indonesia. Calon pegawai itu harus dibekali dengan pengetahuan di bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (taal, landen volkenkunde). untuk memperdalam pengetahuan bahasa Nusantara itu, mereka terpaksa menelaah naskah-naskah Nusantara yang mereka peroleh dari pengoleksi naskah Nusantara.

Telaah fiWogis yang objeknya naskah-naskah Nusantara ternyata dapat mendorong adanya berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dapat      dimanfaatkan bagi disiplin ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan tujuan studi filologi, yaitu melalui telaah naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan dapat mengangkat nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar