Sabtu, 28 Oktober 2017

BAB V
UMUR, PENULISAN, PENYALINAN NASKAH, SERTA
ILUMINASI DAN ILUSTRASI

1.Umur  (Daya Tahan) Naskah
Sampai berapa lama naskah dapat bertahan di daerah beralam tropis seperti Nusantara ini? Ada indikasi bahwa di negeri yang beriklim panas dan lembab, seperti di Nusantara, naskah-naskah kurang bisa bertahan lama dibandingkan dengan di negeri yang beriklim dingin, seperti di negeri Barat. Sebagai bukti, di Oxford, Cambridge, dan Itali sampai kini masih terdapat naskah-naskah Nusantara dari abad ke-16 dan ke-17 yang masih utuh.
Dewasa ini berkat kemajuan teknologi, penyimpanan naskah di dalam ruangan yang ber-AC di beberapa perpustakaan menolong upaya pelestariannya. Namun, tidak semua perpustakaan dan tempat penyimpanan naskah di Indonesia memiliki sarana tersebut. Menurut Russel Jones, karena faktor iklim, jarang ada naskah di Indonesia yang dapat bertahan lebih dari dua abad.
Naskah "Hikayat Sri Rama" yang terdapat di Perpustakaan Bodleian, Oxford, t yang dijadikan bahan kajian dalam disertasi Achadiati Ikram, adalah salah satu dari 23 naskah yang berisikan teks "Sri Rama". Pada tahun 1633 naskah itu telah dihadiahkan oleh Uskup Besar William Laud dari Canterbury, yang memiliki beberapa naskah tua dalam beberapa bahasa daerah di Nusantara. Sehubungan dengan itu, naskah tersebut diduga telah beberapa lama dimilikinya sehingga timbul perkiraan bah wa naskah itu ditulis pada awal abad ke-17 atau akhir abad ke-16.
Mulyadi (1983) menyatakan bahwa dari tiga puluh naskah "Hikayat Indraputra " yang dijadikan bahc.n telaahnya, ada satu naskah yang berangka tahun 1700. Sekarang naskah yang masih utuh itu disimpan di Perpustakaan KITLV, Leiden.
Di Perpustakaan. Nasional, Jakarta, juga ada dua naskah yang berisikan teks yangsama. Menurutkajian Mulyadi (1983), salahsatu dari duanaskahitu tampaknya lebih tua daripada naskah yang disimpan di Leiden. Sayang sekali naskah tersebut penuh lakuna dan urutannya juga terbalik-balik sehingga naskah itu tidak dapat dipakai sebagai dasar suntingannya.
Mulyadi juga menambahkan bahwa naskah " Hikayat Indrapu tra" yang bernomor ML. 125 yang sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada tahun 1696 telah dimasukkan di dalam daftar naskah yang disusun oleh Pendeta Melchior Leidecker. Naskah yang tercatat dalam daftar tersebut merupakan naskah koleksi Isaac de St. Martin.
Menurut Werndly (1736), harta peninggalan Isaac de St. Martin telah dimasukkan ke dalam peti kayu dan disimpan di Sekretarye tanpa ada yang memanfaatkannya. Sekretarye itu kemudian berubah nama menjadi Algemeene Secretarie (Kantor Sekretariat Jenderal Pemerintah Belanda). Menurut perkiraan Mulyadi (1983), warisan Isaac de St. Martin itu adalah 59 naskah berbahasa Melayu dan Arab yang disebutkan dalam NBG 5,1897:42. Salah satu dari ke-59 naskah itu adalah "Hikayat Indraputra" yang tercatat dalam urutan ke-27.
Pada tahun 1880 sebanyak 26 naskah (8 naskah berbahasa Arab, 17 naskah berbahasa Melayu, dan 1 naskah berbahasa Jawa) oleh Algemeene Secretarie dihibahkan kepada Bataviaasch Genootscfrap van Kunsten en Wetenschappen, sebagai­mana dinyatakan dalam NBG 18,1880. Di antara ke-26 naskah itu naskah "Hikayat Indraputra" tercatat dalam nomor urut ke-10. Menurut L.W.C. van den Berg, naskah "Hikayat Indraputra" itu adalah naskah yang rusak sekali dan halaman awalnya hilang (NBG 18,1880:23,III,IX).
Naskah-naskah warisan Isaac de Si. Martin, yang meninggal tahun 1696 di Batavia, pernah dibicarakan Van Ronkel dalam tulisannya berjudul "Over Eene Oude Lijst van Maleische Handschriften" dalam BKJ No. 42 tahun 1900. Menurut dugaan Van Ronkel, sebagian peninggalan Isaac St. Martin merupakan warisan Raffles yang terdapat di Royal Asiatic Society, London. Dikemukakannya juga bahwa mungkin sebagian naskah peninggalan Isaac de St. Martin itu termasuk koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappensekarang semua naskah itu disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta — sejak abad ke-19.
. Dugaan Van Ronkel itu kemudian dibantah P. Voorhoeve dalam tulisannya berjudul "A Malay Scriptorium" dalam Malayan and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedton His Eighty-Fifth Birthday yang diedit John Bastian dan R. Roolvink (1964). Berdasarkan penelitiannya, naskah-naskah peninggalan Raffles yang disimpan di Royal Asiatic Society, London, tidak ada yang berasal dari abad ke-17. Voorhoeve juga menyangkal bahwa tidak ada naskah asli koleksi Isaac de St. Martin yang dapat ditelusuri dalam koleksi abad ke-19 yang disimpan di Jakarta. Namun, Mulyadi (1983) menyatakan bahwa salah satu dari dua naskah "Hikayat Indraputra " yang ada di Perpustakaan Nasional, Jakarta, itu adalah naskah peninggalan Isaac de St. Martin sesuai dengan cap kertas yang tertera dalam alas naskah tersebut.
Pada tahun 1990 Mulyadi juga meneliti naskah-naskah Melayu Bima. Yang tertulis dalam naskah-naskah itu ialah peristiwa yang terjadi pada tahun 1619 — 1891. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 42 naskah Bima yang alas naskahnya menggunakan cap kertas tua, yaitu Starsburg Lily. Menurut Churchill dalam tulisannya berjudul Watermark in Paper in Holland, England, France etc., in the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection (1935), Starsburg Lily adalah jenis cap kertas yang diproduksi tahun 1624 — 1789. Sementara itu, Edward Heawood dalam bukunya Watermarks, Mainly oftlte 17th & 18th Centuries menyatakan bahwa kertas yang bercap jenis itu diproduksi sepanjang abad ke-17.
Selain yang bercap kertas Starsburg Lily, Mulyadi juga meneliti 25 naskah Bima yang bercap kertas " VOC+A". Ke-25 naskah Melayu Bima itu mengisahkan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1697—1871. Menurut H. Voorn dalam bukunya De Papiermnlens in de Provincie Noord-Holland (1960:7—9) jenis kertas yang bercap "VOC+A" itu dibuat oleh pabrik kertas VOC di Batavia yang berproduksi antara tahun 1665 dan 1681. Menurut dugaan Mulyadi (1992), sebagaimana dinyatakan dalam tulisannya "Collections of Bima Malay Manuscripts", kertas bercap "VOC+A" itu masih diproduksi di Amsterdam sampai jatuhnya VOC pada akhir abad ke-18. Naskah-naskah Melayu Bima itu menunjukkan buktibahwa kertas yang diproduksi pada abad ke-17 dan ke-18 masih dipakai untuk menuliskan peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871 dan 1891.

2.Penulisan dan Penyalinan Naskah

Siapakah para penulis dan penyalin naskah Nusantara?
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penulis naskah di Indonesia, baik penulis naskah berbahasa Melayu maupun penulis naskah berbahasa daerah, tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama penulis dapat kita ketahui. Biasanya nama penulis tercantum dalam kolofon, yaitu bagian akhir tulisan di luar teks cerita. Dalam kolofon itu selain nama penulis atau penyalin teks, juga terdapat tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan, bahkan ada pula saran atau permohonan kepada pembaca untuk memperbaiki teks, hasil kerja penulis.
Penulis atau penyalin naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, pria atau wanita, baik secara terof ganisasi maupun tidak, menulis atas kehendak sendiri atau atas dasar pesanan. Di antara mereka itu ada yang berprofesi sebagai penulis dan sekaligus sebagai penyalin. Ada pula di antara mereka yang meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau dikenal penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik oleh perseorangan maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau Inggris.
Dalam "Hikayat Abdidlah" tercatat bahwa Raffles sangat rajin menyuruh orang menyalmkan naskah untuknya, sampai-sampai dipekerjakan empat atau lima orang juru tulis untuk memenuhi keinginannya itu. Selain itu, dia juga membeli banyak naskah.
Voorhoeve dalam tulisannya yang berjudul A Malay Scriptorium dalam buku John Bastian dan R. Roolvink (ed.) yang berjudul Malayan and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedt on his Eighty-Fifth Birthday (1964) mengemukakan bahwa kegiatan Raffles itu telah mendorong pemerintah Belanda untuk menggairahkan penyalinan naskah. Pada pertengahan abad ke-19 kantor Algemeene Secretarie pada zaman pemerintah Belanda telah memiliki skiptorium Melayu yang menghasilkan salinan naskah yang sebagian besar merupakan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Voorhoeve (1964:256) juga menambahkan bahwa salinan naskah Melayu yang dibuat di kantor Algemeene Secretarie itu sebagian menjadi koleksi naskah di Berlin, Paris, Brussel, dan Den Haag. Naskah koleksi Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde sekarang sudah dipindahkan ke Leiden.
Salah seorang penyalin yang lama bekerja di Algemeene Secretarie adalah Muhammad Ghing Saidullah. Hal itu terbukti dari banyaknya naskah salinan yang dibuatnya. Voorhoeve (1964:260) menyatakan bahwa salinan naskah produksi Algemeene Secretarie itu menunjukkan kemiripan dan tampak rapi. Penampilan dan format kertas seragam sehingga karya-karya itu dengan mudah dapat dikenali sebagai salinan Algemeene Secretarie.
Maria Indra Rukmi (1993) dalam tulisannya berjudul "Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad Ke-19 Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari Segi Kodikologi" menyatakan bahwa orang yang pernah bekerja di Algemeene Secretarie ialah Muhamad Sulaiman, Muhamad Hasan ibn Haji Abdul Aziz, dan Abdul Hakim.

Sampai seberapa jauh tugas seorang penyalin?
Gambaran tugas penyalin dalam menyiapkan naskah di dunia Barat, khususnya di biara Benedict, pada masa lampau pernah dikemukakan oleh Falconer Madan (1893:34 — 36) dalam karangannya berjudul Books in Manuscript: A Short Introduction to Tlieir Study and Use. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sebuah skiptorium merupakan suatu ruangan yang luas yang terdiri atas ruang-ruang kecil. Dalam skiptorium itu berlaku berbagai peraturan yang ketat. Semua peralatan yang dibutuhkan disediakan oleh seorang petugas khusus. Para biara wan yang ber tugas sebagai penyalin naskah tidak diperbolehkan mengubah sesuatu dalam teks walaupun di dalam teks itu ada sesuatu yang salah. Penyalin juga bertugas sebagai iluminator, ilustrator, atau rubrikator. Jika tugas-itu tidak dapat mereka kerjakan, didatangkan tenaga lain dari luar biara itu.
T.E. Behrend (1922:17-25) dalam tulisannya berjudul "Patrons, Sciptoria and Manuscripts Production in Nineteenth Century Java" menjelaskan bahwa di skiptorium istana Yogyakarta pada pemerintahan Hamengku Buwono V (1822 — 1855) tugas menyalin naskah, memkubuhkan iluminasi atau gambar, dan menjilid naskah dijalankan oleh petugas khusus. Diperkirakan bahwa skiptorium istana Yogyakarta selama Pemerintahar Hamengku Buwono V mempekerjakan 2 — 10 orang penulis dan/ atau penyalin.
Chambert-Loir mencata-' bahwa salah seorang penulis naskah milik Von de Wall pada tahun 1837—1865 adalah Husein bin Ismail, orang Bugis, dari Pulau Penyengat, Riau. Dijelaskannya bahwa naskah-naskah tulisan Husein bin Ismail, berdasarkan gaya tulisannya yang selalu rapi, mencapai 66 naskah lebih. Berdasarkan kolofonnya, naskah-naskah Perpustakaan Nasional koleksi Von de Wall yang ditulis/disalin Husein bin Ismail berjumlah 6 buah, yaitu yang bernomor 11,31,68,157,228, dan 257. Giutnbert-Loir juga mencatat bahwa ada 2 naskah tulisan Husein bin Ismail yang disimpan di School of Oriental and African Studies, University of London; 1 naskah di Cambridge University Library, dan 1 naskah di Library of Congress, Washington.
Naskah-naskah keagamaan—yang berisi ajaran agama, tafsir, atau tasawuf biasanya ditulis dengan hati-hati dan cermat. Selain naskah keagamaan, naskah yang ber.si peraturan atau perundang-undangan ditulis dengan cermat juga. Namun, tidak semua penyalin menaati peraturan itu.
Mulyadi (1994:55) dalam bukunya yang berjudul Kodikologi Melayu di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi penyalinan naskah Melayu dan begitu juga dalam penyalinan naskah daerah lain di Indonesia sangat berlainan dengan tradisi penyalinan di dunia Barat yang ketat, sampai-sampai kesalahan pun harus disalin apa adanya.
Penvalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan. Dia dapat saja memperbaiki sesuatu yang dianggapnya salah dalam naskah yang disalirmya, mengubah, menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya. Dalam kebebasan seperti itu dapat saja dia "menyalin" dari satu naskah atau lebih yang terdapat di hadapannya dan mengambil bagiandxagian yang dianggap paling cocok untuk memenuhi seleranya sehingga lahirlah suatu teks ramuan dari berbagai naskah itu ditambah dengan daya imajinasi.
Dengan gaya penyalinan seperti itu dapat dipahami bahwa dalam penggarapan edisi naskah tidak selalu berhasil merunut teks yang ada sehingga dapat disusun sebuah silsilah (slemma). Dalam alam penyalinan seperti yang terdapat di Indonesia itu, metode stemma yang bertujuan merunut teks asli diragukan keberhasilannya.

3.Iluminasi dan Ilustrasi

Mula-mula istilah iluminasi dipakai dalam penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan. Dalam perkembangannya kemudian, iluminasi mengacu pada gambar dalam naskah yang biasanya terdapat pada halaman depan naskah, halaman 1 dan halaman 2, yang berfungsi sebagai penghias halaman. Gallop (1991:79) menyatakan bahwa gambar yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks disebut iluminasi. Selain iluminasi, dalam naskah juga ada gambar yang berfungsi bukan hanya sebagaipenghias halaman melainkan juga sebagai pendukung isi teks. Gambar seperti itu disebut ilustrasi (Folsom, 1990:40). Karena berfungsi sebagai penjelas teks, ilustrasi terletak di mana saja, bisa di bagian depan, di tengah atau di bagian belakang.
Iluminasi biasanya berbentuk bingkai yang ada pada halaman depan. Dalam The Art of the Book in Central Asia dinyatakan bahwa dekorasi yang terletak pada halaman depan teks ada 3 jenis: (1) dekorasi yang membingkai seluruh teks, yang disebut. arlauh; (2) dekorasi yang terdapat pada bagian atas teks, yang disebut univan; dan (3) dekorasi yang terdapat di tengah teks dan berbentuk oval, yang disebut samsah.
Dalam naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta, sebagian besar iluminasi berbentuk bingkai teks dan terdapat pada halaman bagian depan. Bentuknya persegi panjang dan kadang-kadang bujur sangkar. Bagian atas iluminasi ada juga yang berbentuk setengah lingkaran (kubah) dan bagian tengahnya berbentuk kerucut. Pada kerucut itu ada yang bergambar bunga, kuncup bunga, bintang, bulan, atau gambar geometrik.
Motif gambar yang membingkai teks juga beragam. Iluminasi yang terdapat dalam halaman muka naskah "Syair Kumbang dan Melati" berupa gambar yang membingkai seluruh teks. Motif gambarnya berupa tumbuh-tumbuhan, bunga teratai yang berpadu dengan daun melati, dan daun anggur yang berpadu dengan garis geometris. Motif itu berbentuk mihrab dan di atasnya berbentuk kubah. Di atas gambar kubah itu terdapat gambar bintang.
Iluminasi berbentuk kubah juga terdapat pada naskah "Syahrul lndra VIII". Gambar dalam iluminasi itu dipoles dengan cat air dengan warna-warni yang sangat mencolok: merah, biru, kuning, dan hitam. Goresan dalam iluminasi itu tampak halus dan rapi.
Dalam naskah "Maharaja Boma IV" iluminasi bermotif geometris yang berpadu dengan floral. Gambar hanya terdapat pada bagian atas teks, sedangkan pembatas kiri, kanan, dan bawah hanya menggunakan baris. Bingkai teks seperti itu juga terdapat dalam naskah "Maharaja Boma I" yang bergambar akar sulur dan daun melati, sedangkan bingkai kedua sisinya bergambar bintang.
Mengapa motif iluminasi itu berupa tumbuh-tumbuhan, seperti melati, anggur, dan teratai?
Mungkin tumbuh-tumbuhan jenis itu mempunyai lambang khusus dalam budaya kita. Teratai merupakan lambang kekuatan dan keteguhankarena tumbuhan itu dapat hidup kokoh di atas permukaan air walaupun akarnya hanya terhunjam di air.
Walaupun hidup di air yang kotor, teratai berbunga indah dan berseri-seri.
Motif tumbuhan bersulur yang berupa batang merambat yang dirangkai dengan daun dan bunga yang saling berkaitan dalam istilah Jawa disebut sulur gelung. Dalamnaskah "Sejarah Kawedar" dinyatakan bahwa swZwrgeZimgmerupakan lambang dari pegangan hidup (Pudjiastuti, 1992:3). Menurut Daneshvari (1986:27), baik sulur anggur maupun sulur lainnya, bukan hanya muncul dalam seni Islam, melainkan juga dalam seni Kristen. Sulur merupakan lambang dari kehidupan yang akan datang di surga. Gallop (1991:59) berpendapat bahwa gambar seperti itu (geometris dan floral) dipakai sejalan dengan kepercayaan Islam ortodoks yang menolak gambar makhluk hidup. Oleh sebab itu, gambar manusia jarang dijumpai dalam naskah Melayu.
Sehubungan dengan munculnya seni Islam, (Akbar, 1992:4) menyatakan bahwa salah satu karakteristik seni Islam adalah pengulangan. Pengulangan dapat bermotif geometrik atau floral. Dalam arsitektur Islam dapat kita lihat adanya bentuk yang diulang-ulang hingga menutupi seluruh permukaan dinding. Hal itu melambangkan keterikatan hubungan antara Tuhan dan khaliknya, termasuk juga nilai-nilai estetika. Motif gambar seperti itu merupakan upaya untuk menutupi kekosongan. Kaligrafi merupakan kesenian Islam yang beniilai estetis tinggi.
Motif bunga, bulan, dan geometrik juga berkaitan dengan kepercayaan orang Melayu tentang Ketuhanan. Orang Melayu menganggap bahwa Tuhan itu Mahatinggi dan Mahamulia.
Hal itu menunjukkan bahwa kesenian Melayu berkaitan erat dengan kesenian Islam.
Bertahan dengan kesenian Islam, Akbar (1922) menyatakan bahwa produk seni Islam didominasi oleh pola geometrik dan bunga yang bersifat non-figuratif yang melambangkan keesaan (tauhid) Tuhan, tidak berkompromi, tidak dapat di-
ekspresikan dalam bentuk-bentuk bendawi. Seni Islam merupakan simbul
kepercayaan dan pemahaman akan Tuhan yang dituangkan dalam bentuk garis,
warna, dan irama.               .

Berbeda dengan iluminasi, yang gambarnya membingkai teks, ilustrasi tampil dalam haitannya dengan alur cerita (Gallop, 1991:87). Karena berkaitan dengan alur cerita, ilustrasi tampak pada halaman-halaman tertentu sesuai dengan alur cerita. Ilustrasi dapat berfungsi memperjelas identifikasi tokoh>, jalan cerita, atau makna teks. Oleh sebab itu, Vermeeren dan Hallinga (1963:263) menyebut gambar seperti itu dengan istilah textillustration.
Pada umumnya kehadiran gambar yang berfungsi sebagai ilustrasi itu disesuaikan dengan isi cerita dalam teks. Dalam naskah "Merpati Emas dan Merpati Perak", misalnya, dikisahkan bahwa tokoh berlayar sampai di suatu pantai. Di bawah teks yang menyatakan peris tiwa itu terdapat gambar — dengan tinta hi tarn— dua buah kapal laut sedang berlayar yang menghampiri pantai. Pada halaman lain terdapat gambar istana. Ternyata, istana tersebut merupakan tempat tinggal tokoh yang bernama istana Negeri Padang Temurat.
Dalam naskah "Wayang Arjuna", "Cerita Wayang", dan "Hikayat Purusara", ketiga teksnya tergolong cerita wayang, terdapat gambar wayang, yang menjadi tokoh cerita. Gambar wayang itu dapat diidentifikasi berdasarkan peristiwa yang tertera dalam teks,
Dalam naskah "Hikayat Purusara"halaman 5, misalnya, terdapat gambar Petruk, Gareng, dan Garubug sedang bercakap-cakap. Teks yang terdapat pada halaman itu menyatakan bahwa mereka sedang merundingkan pembagian kerja dalam pembangunan kampung: siapa yang mencangkul dan siapa yang memotong kayu. Dalam halaman 118 naskah itu juga terdapat gambar Petruk, Semar, Garubug, serta Rara Amis dan anaknya. Gambar itu berfungsi memperjelas teks tentang peristiwa Rara Amis dan para punakawannya ketika berada di hutan.
Kehadiran ilustrasi dalam naskah seperti itu jelas dapat membantu pembaca dalam memahami isi teks dan dapat merangsang pembaca untuk terus membaca, di samping untuk menghilangkan kebosanan.
Dalam naskah "Syair Buah-buahan" (bernomor ML 254) terdapat ilustrasi berupa gambar buah jambu, jeruk, pisang, delima, anggur, dan rambutan. Gambar buah-buahan tersebut ditampilkan sesuai dengan alur cerita, bahkan berfungsi sebagai tokoh cerita karena dapat berbicara dan bertindak seperti manusia. Hal itu dapat kita pahami karena "Syair Buah-buahan" tergolong syair simbolik.
Selain bermotif geometrik dan sulur, ilustrasi juga ada yang bermotif daun dan garis yang membentuk silsilah. Dalam naskah koleksi Yayasan Indrasakti, yang terdapat di Pulau Penyengat, Riau, ada beberapa naskah silsilah, seperti "Silsilah Keturunan Raja-raja Riau" dan "Silsilah Laksamana Encik Muhammad Yusuf". Ilustrasi dalam naskah "Silsilah Laksamana Encik Muhammad Yusuf berbentuk tongkat dengan garis ke kiri dan ke-kanan yang mencantumkan nama-nama keturunanny a. Tinta yang digunakan dalam kedua naskah itu berwarna merah dan hitam.
Di Perpustakaan Nasional juga terdapat naskah seperti itu yang berjudul "Tapel Adam". Ilustrasinya berbentuk akar sulur yang membelah menjadi dua bagian. Sulur sebelah kiri ditulis dengan aksara Jawa dan sulur sebelah kanan dengan aksara pegon. Silsilah berawal dari Nabi Adam sampai keturunan Sultan Yogyakarta dan teralchir Kanjeng Sultan Gangsal. Alas naskahnya kertas double folio (3 lembar) yang disambung-sambung.
Selain ilustrasi yang telah diuraikan di atas, ada juga ilustrasi motif lain, sebagaimana yang terdapat dalam naskah kitab, obat-obatan, astrologi, ilmu firasat (primbon), mistik, dan tasawuf. Ilustrasi dalam naskah tersebut juga berfungsi sebagai penjelas teks agar doa, ramalan, dan obat-obatan yang tertera pada teks bertuah ampuh. Ilustrasi dalam naskah seperti itu bermotif binatang, tumbuh-tumbuhan, geometrik, dan manusia (dalam bentuk yang sangat primitif).
Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi teks-teks berikut:
Text Box:

Text Box:

Siapakah yang membuat iluminasi dan ilustrasi itu? Apakah yang membuatnya penulis atau penyalin naskah itu?
Pertanyaan itu sukar dijawab mengingat sulit sekali mengidentifikasinya. Dalam naskah ataupun teks sama sekali tidak ada ciri-ciri yang dapat menelusurinya. jika pembuat iluminasi atau ilustrasi itu penulis/penyalin, hal itu dapat dilacak melalui kolofon. Namun, itu pun tidak dapat diandalkan karena naskah-naskah tua tidak berkolofon. Pada naskah abad ke-19 barulah terdapat kolofon. Kolofon-kolofon itu sering mencantumkan nama penulis/penyalin, tempat, dan waktu penyalinan. Bahkan, dalam kolofon kadang-kadang tencantum data pemilik naskah.
Dalam naskah, Melayu yang berilustrasi dan berkolofon tercatat tempat penyalinan, antara lain Betawi (Jakarta) dan Palembang. Menurut Chambert-Loir (1984:44 — 67), pada abad ke-19 di Betawi ada seorang penyalin dan pemilik naskah yang bernama Muhammad Bakir. Chambert-Loir berhasil mencatat 27 naskah milik Muluwtmad Bakir. Namun, di antara ke-27 naskah itu hanya 8 naskah yang berilustrasi, yaitu (1) "Hikayat Agung Sakti", (2) "Hikayat Maharaja Garebag Jagat", (3) Syair Wayang Arjuna", (4) Hikayat MeiyatiLmas dan MerpatiPerak", (5) "Hikayat Purusara", (6) "Hikayat Sultan Taburatl", (7) "SyairKen Tambuhan",dan(8) "SyairBuah-buahan". Semua naskah itu disalin sekitar tahun 1880-an.
Sebagian besar naskah yang disalin Muhammad Bakir disewakan kepada pembaca. Kolofon yang terdapat dalam naskah "Syahrul Indra VIU" berbunyi sebagai berikut.
Saya hendak berpesan kepada sekalian Tuan-tuan dan Cucu-cucu atau Babah atau Enci-Enci yang suka baca ini hikayat jangan terlalu dekat pelita dan jangan terlalu makan sirih dan jangan terlalu becanda di hadapan ini hikayat sebab takut nanti ketumpahan minyak. Dan lagi jikalau sekalian sanak saudara ada empunya rahim serta rida hati yang puti bersi akan saya, maka adalah saya hendak mohonkan di dalam satu malam 10 sen demikian adanya.

Dalam kolofon "Syahrul Indra VII" juga disebutkan harga sewa naskah sebagai berikut. "... pada tahun seribu delapan puluh delapan enam ... Kasim Sarina yang punya di Kampung Ancol. Siapa yang suka baca boleh bayar 10 sen."
Berdasarkan catatan tersebut, penyewaan naskah ternyata berkaitan erat dengan pemberian ilustrasi dalam naskah karena ilustrasi dapat merangsang minat pembaca dan mempuanyai nuansa lain dalam bacaan.
Ternyata naskah-naskah berilustrasi yang disewakan itu bukan hanya naskah yang disalin di Betawi, melainkan juga naskah yang disalin di Palembang. Kratz (1980:90—96) menyatakan bahwa beberapa naskah yang ditulis di Palembang disewakan. Naskah itu bertahuri 1886 AD. Naskah yang disewakan itu ada yang berilustrasi, seperti naskah "Hikayat Sri Panji Kelana Anaken".
Dalam salah satu naskah tercantum kolofon yang menyatakan bahwa penyalinnya adalah Radin Mas Subra di Palembang dan selesai disalin pada 14 Rabiul Awal 1332 H atau 1914 M. Selain itu, ada juga keterangan sebagai berikut.
"Siapa suka mau beli Syair Syari'at Islam boleh datang di toko Ce Haji Chatib Kampung Sekanak Sungai Besar."
Dalam kolofon naskah yang lain tercatat bahwa naskah tersebut "tamat kepada tanggal 3 bulan Jumadil Aioal malam Ahadjam 5 Viadanya pada tanggal tahun 1336/1918 adanya. Maka adalah yang mengarang ini yaitu Kemas Ahmad pada Kampung 3 Ulu adanya."
Dalam kolofon naskah "Pandawa Lebur" disebutkan bahwa, "Naskah baharu sudah dibaikkan pada tanggal 1 Juli 1906. Yang empunya hikayat ini Muhammad Syafei bin Muhammad Saleh, Kampung Ulu Palembang adanya. Barangsiapa pakai ini hikayat min ta tolong peliharakan."
Dalam kolofon naskah "Hikayat Anbiya" juga dinyatakan sebagai berikut.
Ini hikayat ada empat orang yang empunya bekas tulisannya. Maka jadi berlain-lainan tulisannya. Jangan dikasi tangan pertanyaan dan sewanya dalam sehari semalam 10 sen.... Hamba memberitahukan kepada Tuan-tuan yang manah suka membaca hikayat ini, biarlah Tuan-tuan ingat kepada yang empunya karena ini hikayat tulisannya belum lama dan lagi jangan ada kena kotor karena harganya 15 rupiah perak adanya. Ini hikayat yang empunya bernama Muhammad Din, Kampung Nurbaik, Gang Terunci adanya.
Berdasarkan kolofon tersebut, pencantuman ilustrasi tampaknya berkaitan erat dengan komersialisasi naskah pada abad ke-19, baik untuk disewakan, dipinjamkan, maupun untuk dijual.
Daya tahan (usia) naskah bennacam-macam: ada yang tahan lama dan ada yang tidak tahan lama. Usia naskah sangat bergantung kepada alas naskah yang digunakan, iklim, dan tempat penyimpanannya. Selain itu, daya tahan naskah juga bergantung kepada pemeliharaannya.
Penulis atau penyalin naskah Nusantara pada umumnya anonim. BerdasarKar t kolofon yang biasanya terdapat pada bagian akhir teks, penulis atau penyal n naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, baik secara terorganisa.' si maupun tidak, yang menulis berdasarkan kehendak sendiri atau berdas arkan pesanan. Di antara mereka itu ada yangberprofesi sebagai penulis dar i sekaHgus sebagai penyalin serta meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau dikenal penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik oleh perseo-rangan maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau Inggris.
Naskah-naskah Nusantara pada umumnya tidak beriluminasi, tetapi ada pula yang beriluminasi. Selain itu, ada.pula naskah yang berilustrasi. Iluminasi ac Ialah gambar yang berfungsi sebagai penghias halaman muka naskah, biasanya membuat sejenis bingkai teks. Ilustrasi adalah gambar yang berfungsi sebagai penjelas teks. Jadi, ilustrasi ada kaitannya dengan alur cerita, sedangkan iluminasi tidak berkaitan dengan alur/Lsi cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar