Sabtu, 28 Oktober 2017

unsur intrinsik azab dan sengsara

Sinopsis
Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok sangat segan dan hormat kepada keluarga itu. Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu. Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin. Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya. Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.

A.            Unsur Intrinsik Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar

1.    Tema
Roman “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan di masyarakat yang dapat membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang dijelaskan dalam novel tersebut adalah adat dan kebiasaan menjodohkan anak yang menyebabkan kesengsaraan untuk dua anak manusia karena kasih tak sampai.

2.         Amanat
jangan sombong atau menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna. Lebih baik uang tersebut diberikan kepada yang memeng membutuhkan.

agama adalah penopang hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan kesukaan hidup ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan.

 Padahal Tuhan menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan oleh orang tua dan anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut.

Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang menjalankannya.
 Jangan mengambil hak milik orang lain.

3.         Penokohan
Mariamin : Baik, penurut, rajin, ramah, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan pemaaf.
Aminu’ddin : Baik, rajin, tidak sombong, pemaaf, suka menolong, bijaksana, dan berbakti.
Sutan Baringin atau Ayah Mariamin : Pemarah, malas, tamak, pemboros, angkuh, dan bengis.
Nuria atau Ibu Mariamin : Penyabar, sederhana, setia, dan pengiba
Baginda Diatas atau Ayah Aminu’ddin : sombong.
Ibu Aminu’ddin : Baik, pengiba, dan setia.
Kasibun : Jahat, bengis, pandai dalam tipu daya, buas, dan ganas
Marah Sait : Jahat, dan suka menghasut

4.         Latar (Setting)
a.       Latar Tempat
di Kota Sipirok 
“Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.
di batu besar
“Sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang”.
di rumah Mariamin
“rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu”.
di sebelah rusuk rumah
“Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.
di kampung A
“Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu”.
di sawah dala
 “ Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya”.
di tepi sungai
“Tiada berapa lama sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu”.
di stasiun Pulau Berayan
“Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan”.
di Deli
“Setelah lengkaplah sekalian, Baginda di atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya”.
di Medan
“Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan”.

b.      Latar Waktu
Sore hari
“Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok itu”
Malam hari
“Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,”
Pagi hari
“Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin”
Hari pertama
“Tepat hari pertama, setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin”.
Hari Jumat
“Waktunya berangkat pumn sudah dekat, yakni besok hari Jumat”.
Tanggal enam belas
“Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat bagi orang kebun”.
Pukul setengah dua belas
“Pukul setengah dua belas, pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu”
Pagi hari
“Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai”.

c.       Latar Suasana
Menyedihkan, senang, haru, tegang.

5.         Sudut Pandang
a.       Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda.
b.      Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak).

6.         Alur
a.       Pengenalan
Dijelaskan bahwa di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Dan Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya, akan tetapi baginda Diatas memiliki sifat sombong.

b.      Menuju konflik
Aminudin dan Mariamin memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia tidak setuju dengan rencana Aminudin, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat..

c.       Konflik memuncak
Karena baginda Diatas tidak ingin anaknya Aminudin menikah dengan Mariamin sehingga baginda Diatas mengajak istri nya keseorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Kemudian ayahnya mengabarkan kepada Aminudin bahwa ayahnya akan membawa gadis yang dicintainya, yaitu Mariamin. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.



d.      Klimaks
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.

e.       Penyelesaian
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.



7.         Bahasa Figuratif
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini yaitu:
a.       Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
 “bagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut yang lebar”
“ sedang padi itu bagai air yang hijau rupanya”
“ bagai orang yang hanyut di lautan kesusahan”
“ karena nasib manusia itu bagai roda kadang-kadang di atas, kadang-kadang di bawah”
“ibarat bunga yang belum kembang”
“ “ bagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan”
“ibarat gendang kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya”
“ sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya ibarat mata air yang ditutup”
“indah rupanya, bagai disepuh dengan emas juwita”
“angin yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh, bagai gunung runtuh lakunya”

b.       Metafora
Majas metafora membatu orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas, dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan sifat yang sama.

 “ Raja siang itu akan masuk kedalam keperaduannya”
“ masing-masing menyanyi memuja tuhan dan memberi hormat kepada raja siang”
“ ibu nya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu”
“ mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan”

c.       Personifikasi
Personifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak.
 “ angin gunung yang lemah lembut itu berhembuslah”
“sehingga daun dan cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang secara perlahan-lahan”
“Batang padi yang tumbuh disawah luas itupun dibuai-buaikan angin”

d.       Hiperbola
Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
“ matanya yang berkilat-kilat serta terang itu”
“ dan air matanya bercucuran pada pipi yang halus itu”
“ cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si kecil”

e.        Oksimoron
Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama.
 “ sungguh pun tak enak dirasa lidah ku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hati ku”


f.        Paradoks
Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
“ matanya saja yang menatap kesana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tak kan nampak pada matanya”
“ tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah barang lain lah yang nampak olehnya”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar