Sabtu, 28 Oktober 2017

V1
Edisi Naskah

Langkah Kerja Edisi Naskah
Penciptaan teks dalam naskah biasanya sangat rumit. Apalagi masa penciptaannya sudah beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, kita sebagai peneliti harus mengerti benar apa vang harus dilakukan ketika menghadapi naskah. Pekerjaan yang harus dijalani tentu saja tergantung pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Teks yang hanva terdapat dalam satu naskah berbeda perlakuannya dengan teks yang ada dalam beberapa naskah. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya, seorang filolog dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
(1)         inventarisasi naskah,                   ,
(2) deskripsi naskah,
(3)         perbandingan teks
(4) penentuan metode penyuntingan,
(5)         penentuan umur naskah, dan
(6) transliterasi.

1)                 Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dapat dilakukan jika kita sudah menentukan naskah apa yang menjadi objek penelitian kita. Misalnya kita akan mengambil naskah Melayu yang berjuudul Hikayat Muliammad Hanafi ifyah. Setelah mengetahuinya, kita beranjak dengan meneliti jumlah naskah tentang cerita atau hikayat itu. Untuk mengetahui jumiahnya kita harus meneliti di berbagai ternpat penyimpanan naskah yang sangat tersebar. Cara yang dilakukan adalah dengan melihat berbagai katalog naskah, baik katalog yang mendaf tarkan naskah yang di dalam negeri maupun di luar negeri.
Katalogus adalah buku yang berisi berbagai judul naskah yang ada dalam suatu koleksi. Katalog terbagi dua, yaitu katalog deskriptif dan katalog yang hanya berupa daftar saja. Katalog deskriptif adalah buku yang mendeskripsikan keadaan suatu naskah dengan lengkap, umpamanya ukuran naskah, jumlah halaman, kolofon, serta ringkasan isi. Contoh katalog yang seperti ini adalah Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat (1972) dan Ronkel (1909) Catalogus der Maleische Handschriften in liet Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Katalog yang kedua berupa daftar karena di dalamnya hanya disebutkan judul naskah dan tempat penyimpanannya. Contoh katalog yang seperti itu adalah yang disusun oleh Joseph Howard dengan judul Malay Manuscripts: A Bibliographical Guide (1966). Bukan hanya katalog yang dapat dipakai untuk menginventarisasi jumlah dan tempat-tempat penyimpanan naskah, melainkan juga daftar naskah yang dimiliki oleh berbagai perpustakaan dan museum. Biasanya suatu perpustakaan atau museum sudah mendaftarkan koleksi naskah yang menjadi miliknya. Kadang-kadang daftar itu dibuat sangatsederhana oleh pemiliknya. Meskipun sederhana, daftar itu tetap bermanfaat.
Katalog apa saja yang kiranya dapat dipakai? Katalog itu tergantung pada naskah yang diambil. Apakah naskah Jawa, Sunda, Melayu atau Bali? Naskah di Indonesia sangat beragam karena ditulis dalam berbagai bahasa daerah dengan aksara yang berbeda. Naskah berbahasa Jawa dapat dicari dalam katalog naskah Jawa; naskah berbahasa Bali dapat dicari dalam berbagai katalog naskah Bali; naskah berbahasa Sunda dapat dicari dalam katalog naskah Sunda, begitu juga halnya dengan naskah yang berbahasa Melayu. Berbagai katalog naskah daerah di Indonesia sudah banyak disusun oleh beberapa pakar. Jika kita mengambil naskah Melayu, berbagai katalog yang memuat naskah Melayu harus kita cari.
Sebagai contoh kalau kita mengambil naskah Melayu, informasi apa saja yang diperlukan? Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Chambert-Loir (1980) naskah Melayu disimpan di 29 negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Inggris, Belanda, Denmark, Belgia, Jerman, Perancis, dan Italia. Dalam suatu negara, naskah disimpan dalam berbagai perpustakaan dan museum. Di samping itu, naskah juga masih disimpan dalam berbagai koleksi pribadi dalam masyarakat di Indonesia yang koleksinya belum dicatat, lain halnya dengan lembaga formal. Naskah-naskah yang dikoleksi oleh lembaga itu biasanya'sudah dibuat katalog. Berbagai katalog perlu diperiksa untuk melihat di mana saja naskah yang kita ambil itu disimpan.
Naskah Melayu yang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dapat diketahui dalam katalog berikut ini.
(a)   Catalogus der Maleische, Javaansche en Kaivi HSS van het Bataviaasch, 1872, disusun oleh Cohen Stuart merUpakan katalog naskah Melayu di Indonesia yang tertua.
(b)  Catalogus der Maleische PISS in het Museum van het Bataviaasch van Kunsten en Wetenschaapen, tahun 1909 disusun oleh Van Ronkel.
(c)   Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, tahun 1972, dibuat oleh Sutaarga dan kawan-kawan.
(d) Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998,

Naskah Melayu yang disimpan di Belanda dapat diketahui dalam katalogus:
(a)          Catalogus van de Maleische en Sundaneesclie Handschriften disusun oleh H.H. Juynboll pada tahun 1899. Katalog ini tidak hanya memuat naskah Melayu, tetapi juga naskah Sunda yang disimpan di Belanda.
(b)         Supplemen t-Catalogus der Maleisclie en Minagkabausche Handschriften in de Leidsche Universiteits Bibliotlieek yang disusun oleh Van Ronkel, 1921.
(c)                 Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and Oilier Collections in the Netfierlands, tahun L998, katalog terbaru yang disusun oleh Y.P. Wieringa.
                Naskah Melayu yang disimpan di Inggris dapat diketahui dalam katalogus dan daftar yang disebutkan berikut ini.
(a)           “Account of six Malay Manuscripts of the Cambridge”, sebuah daftar yang disusun oleh Van Ronkel dalam Majalah BKI, 6, II, 1896.
(b)                Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections, tahun L977. Katalog yang paling lengkap dibuat oleh Ricklefs dan Voorhoeve. Katalog ini memuat seluruh naskah yang disimpan di Inggris, di antaranya di London, yaitu di Royal Asiatic Society, School of Oriental and African Studies, dan The British Library. Naskah yang disebutkan dalam catalog itu adalah naskah-naskah Nusantara, seperti Batak, Aceh, Bali, Ambon, Bugis, Jawa, Lampung, Kalimantan, Makasar, Melayu, Minangkabau, Sasak, dan Sunda.

                Naskah Melayu yang disimpan di Malaysia, Negara tetangga, dapat dilihat dalam katalog:
(a) Malay MSS. A Biblographical Guide, 1966, dibuat Joseph H. Howard yang diterbitkan di Kuala Lumpur oleh University of Malaya. Di negara tersebut ada tiga tempat menyimpan naskah, yaitu Museum Negara, Universitas Malaya, dan Universiti Kebangsaan yang terletak di Kuala Lumpur.

Perancis juga menyimpan naskah melayu. Untuk mengetahui naskah apa saja yang disimpan di negara itu, kita dapat melihatnya dalam beberapa katalog, misalnya
(a)         P.Voorhoeve membuat artikel yang diterbitkan di majalah Archipel 6, 1973 dengan judul "Les MSS Malais de la Bibliotheeque Nationale de Paris",
(b)        Wan Ali Wan Mamat, 1991 menyusun Katalog Manuskrip Melayu di Perancis. Katalog ini memuat 209 naskah Melayu yang ada di negara tersebut.

2)  Deskripsi Naskah

Dalam bagian deskripsi naskah kita harus memaparkan atau mendeskripsikan keadaaan naskah satu per satu sejelas mungkin. Butir-butir apa saja yang dideskripsikan? Sebenarnya beberapa pakar telah mengusulkan suatu daftar yang memuat butir-butir yang harus dirinci dalam mendeskripsikan naskah, tetapi selalu saja ada kekurangan dan kelebihan. Yang dipentingkan dalam sebuah deskripsi ada tiga hal, yaitu deskripsi fisik naskah, jilid naskah, isi naskah. Informasi lain dapat saja diuraikan misalnya catatan lain yang memuat sejarah naskah. Mulyadi (1994) menguraikan hal-hal yang harus dicatat dalam mendeskripsikan sebuah naskah.

(a) Judul naskah
Judul naskah biasanya ditemukan pada halaman awal yang disebut halaman judul, tetapi tidak semua naskah mempunyai halaman judul. Kalau tidak ada halaman itu, judul naskah biasanya disebutkan pada awal teks atau di akhir teks. Kalau ternyata tidak ditemukan juga, filolog wajib memberi judul. Jika filolog yang memberikan judul, sebaiknya judul itu ditulis di dalam kurung siku [....] atau diberi tanda petik “…..”


(b) Tempat penyimpanan naskah
Sebutkan semua tempat yang menyimpan naskah itu (lihat dalam berbagai katalog) .Tempat penyimpanan, seperti yang sudah diuraikan di atas, dapat berupa lembaga formal (yayasan, museum, perpustakaan) atau perorangan.

(c) Nomor naskah
Nomor naskah biasanya diberikan oleh pemilik dan ditempelkan pada sampul naskah. Meskipunpara pemilik naskah sudah mencatatkan nomor, biasanya sebuah lembaga yang menyimpan memberikan juga nomor baru. Jika nomor itu ada, semua nomor yang ada harus dicatat. Sebuah lembaga biasanya tidak akan menghilangkan nomor asli yang dibuat oleh pemiliknya karena nomor itu penting untuk mengetahui sejarah sebuah naskah. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, misalnya nomor lama yang menandai naskah milik Von de Wall diberi inisial W. Tetapi naskah itu juga mempunyai nomor baru dengan kode Ml. (yang berarti Melayu). Kedua nomor itu harus dicatat apa adanya.

(d) Ukuran naskah
Ada tiga hal yang dapat diukur dalam naskah, yaitu ukuran sampul naskah, ukuran halaman naskah, dan ukuran-teks yang ditulis (kolom teks). Ukuran itu dihitung dengan panjang dikali lebar.



(e) Jumlah halaman
Jumlah halaman naskah ada yang menghitung berdasarkan jumlah halaman dan ada juga berdasarkan jumlah lembar. Kita harus memiiih salah satu di antara keduanya agar konsisten dalam penghitungan. Kemudian disebutkan juga jumlah halaman yang ditulisi dan halaman yang kosong. Halaman kosong biasanya digunakan untuk pelindung teks — sebelum dijilid — yang terdapat pada awal dan akhir naskah.
(f) Jumlah baris
Jumlah baris dihitung dalam tiap halaman, biasanya halaman awal dan akhir berbeda jumlah barisnya dengan halaman isi teks. Untuk itu, deskripsikan selengkap mungkin atau diambil jumlah rata-rata naris dalam isi teks, lalu sebutkan jumlah baris halaman awal dan jumlah baris halaman akhir.

(g) Huruf
Huruf adalah tulisan yang dipakai dalam naskah. Huruf disebut juga dengan aksara. Pemakaian huruf ini penting disebutkan karena naskah Nusantara sangat beragam. Apakah naskah itu ditulis dalam aksara daerah (sebutkan namanya), aksara Arab, atau aksara Latin.

(h) Bahasa
Selain huruf sebutkan juga bahasa yang dipakai dalam teks. Sama halnya dengan huruf, bahasa di Nusantara juga sangat beragam. Jadi, sebutkan apakah naskah itu menggunakan bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda.
(i) Tinta
Sebutkan jenis tinta yang digunakan serta warna tintanya, apakah teks itu ditulis dengan tinta hitam, coklat, merah atau mungkin dengan pensil. Dalam naskah sering ditemukan rubrikasi, pewarnaan dengan tinta merah. pada kata atau kalimat yang di anggap penting. Pada perkembangannya tidak hahya tinta merah yang digunakan, tetapi tinta dengan warn a lain. Jika ada yang seperti itu, sebaiknya juga disebutkan

(j) Alas naskah
Sebutkan alas (bahan) yang digunakan untuk menulis. Kalau kertas, sebutkan kertas tradisional atau kertas Eropa. Sama halnya kalau naskah itu menggunakan alas yang lain, neper d lontar atau bambu. Kalau naskah menggunakan kertas tradisional, sebutkan jenis kertasnya apakah termasuk kertas dluwang. Kalau sukar untuk mengidentifikat/ikan, sebutkan saja keadaan kertas itu, apakah tebal, tipis, licin. dan sebutkan warnanya. Untuk kertas Eropa deskripsikan juga cap kertas yang ada di dalamnya di aagan menyebu tkan nama dan mendeskripsikan gambarny a. Nama cap kertas itu da oat dilihat dalam daftar cap kertas tulisan Churchill atau E. Heawood (yang judulnya akan dinyatakan pada pembicaiaan penentuan umur naskah). Untuk naskah yang berasal dari abad ke-19 atau 20 banyak ju ga teks yang ditulis di atas kertas bergaris.



(k) Garis tebal dan garis tipis
Kedua jenis garis ini juga terdapat dalam cap kertas sehingga cara melihatnya sama dengan melihat cap kertas. Kertas diangkat dan dipantulkan ke cahaya. Kedua garis itu adalah garis tebal (chain line) dan garis tipis {laid line). Garis tipis dihitung dalam tiap sentimeter ada berapa garis, sedangkan garis tebal dapat dihitung jumiahnya.

(l) Kondisi naskah
Kondisi naskah dideskripsikan dengan serinci mungkin agar pembaca mendapat gambaran tentang keadaan naskah yang ada pada saat ini. Deskripsi ini penting bagi peneliti selanjutnya. Yang diuraikan, di antaranya keadaan kertas. Apakah kertas masih baik atau sudah banyak yang robek, rusak (bolong-bolong), dan apakah sudah dilaminasi. Bagaimana keadaan tulisan dan tintanya. Akhir-akhir ini banyak juga ditemukan naskah yang dicetak dengan cara tradisional, yaitu cetak batu (litografi). Kalau naskah yang seperti itu yang ditemukan sebaiknya disebutkan juga.

(m) Kolofon
Kalau dalam naskah itu ada kolofon, sebutkan semua keterangan yang dinyatakan di dalamnya, misalnya tempat, waktu, dan penulis atau penyalin. Kolofon biasanya ada di halaman akhir teks, tetapi kadang-kadang juga ada yang dinyatakan pada bagian awal. Untuk menolong peneliti lain, sebaiknya kolofon ini dikutip apa adanya, seperti dalam teks.
(n) Gambar
Dalam naskah kadang-kadang dimuat gambar. Gambar untuk hiasan yang ada pada halaman depan (halaman awal dan halaman dua) disebut iluminasi. Gambar lain yang terdapat pada halaman isi yang berkaitan atau menjelaskan teks disebut ilustrasi. Kalau ada gambar dalam naskah cfeskripsikan gambarnya, alatmenggambar (tinta, cat air, pensil gambar), dan warna. Sebutkan pula pada halaman berapa gambar itu berada.

(o) Jilid naskah
Yang menjadi perhatian untuk jilid naskah, misalnya bahan untuk sampul naskah (cover), motifnya, cara menyatukan lembar-lebar naskah, misalnya dengan benang atau dengan lem, dan kuras. Kuras adalah kertas yang dilipat dan dipotong lalu disusun bertumpuk, ada yang terdiri atas 4,6, atau 8 lembar. Untuk itu, dihitung dalam satu jilid ada berapa kuras.

(p) Catatan
Dalam sebuah naskah kadangkala ditemukan catatan-catatan yang kira-kira dapat mengungkap sejarah teks. Kalau ada catatan itu, kutipkan saja catatan itu apa adanya. Misalnya dalam Hikayat Maharaja Garebeg fagad disebutkan sejumlah judul naskah yang menjadi milik Muhammad Bakir, pengarang dan penyalin dari naskah Betawi yang menyewakan naskahnya kepada pembaca. Contoh lain adalah adanya stempel pada kertas. Hal itu juga harus dicatat karena stempel dapat mengungkap kepemilikan naskah. Intinya segala catatanyang dapat mengungkap sejarah sebuah naskah jika ditemukan, harap dicatat dalam bagian irti.

3)   Perbandingan Teks

Perbandingan teks dalam naskah dilakukan jika teks terdapat lebih dari satu naskah Kalau naskah vang dihadapi hanya satu, langkah kerja ini dilewati. Akan tetapi, kalau kita mempunyai naskah lebih dari satu, langkah ini harus dilakukan. Bagaimana cara rnelakukan perbandingan?
Perbandingan teks dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara bacaan satu naskah dengan bacaan naskah lainnya. Kalau ternyata bacaannya sama dalam semua naskah, penentuan teks yang akan disajikan tidak terlalu sukar. Namun, masalah akan muncul kalau ternyata naskah-naskah berbeda bacaannya atau terdapat penyimpangan antara sa tu dan lainnya. Penentuan naskah yang akan disajikan dalam edisi naskah menjadi sulit. Teks manakah y ang harus dipilih untuk ditransliterasi.
Perbandingan teks dapat dilakukan dengan perbandingan isi cerita, misalnya episode per episode kalau teks-teks yang ditemukan berbeda versi. Akan tetapi, kalau teks yang ditemukan hanya varian dari satu versi, perbandingan biasanya dilakukan dengan melihat perbedaan pemakaian kata, yakni dibandingkan kata per kata. Perbedaan-perbedaan dicatat dalam aparatus kritikus. Aparatus kritikus itu, yang mencatat segala perbedaan, dapat ditempatkan pada kaki halaman atau pada halaman tersendiri di akhir halaman setelah semua perbedaan dicatat. Se telah perbandingan selesai, kita diharapkan sudah dapat menentukan teks mana yang akan dipakai atau disunting karena dari perbandingan itu kita sudah melihat teks yang dianggap baik. Kalau dalam teks itu banyak ditemukan kesalahan, teks itu jangan dipilih. Di samping itu, dapat juga dipilih naskah yang lebih tua. Naskah yang lebih tua menjadi pertimbangan pokok dalam edisi naskah pada masa lalu. Namun, dalam perkembangan keniudian, kelengkapan isi juga menjadi pertimbangan. Pertimbangan itu tergantung pada tujuan penelitian.

4)   Penentuan Metode Pem/imtingan

Setelah rnelakukan perbandingan, kalau naskah lebih dari satu, kita harus menentukan metode penyuntingan (edisi) yang akan digunakan. Metode edisi naskah tunggal berbeda dengan metode dalam edisi naskah yang lebih dari satu (naskah jamak). Khusus penentuan metode edisi ini akan diuraikan pada sub-bab tersendiri dalam bagian ini.

5)   Penentuan Umur Naskah

Yang patut kita ketahui adalah mengapa penentuan umur naskah penting dalam penelitian filologi. Kalau kita tidak mengetahui latar belakang suatu naskah diciptakan atau dari abad mana naskah itu berasal, kita tenru tidak dapat mengetahui konteks sosial teks itu dan fungsinya. Kalau konteks sosialnya tidak diketahui bagaimana kita dapat memakainya. Bagaimana kita mengetahui fungsi teks itu dalam masyarakat yang menciptakannya. Oleh sebab itu, dengan mengetahui umur naskah, kesalahan penafsiran teks yang diteliti dapat diperkecil.
Dari mana kita dapat mengidentifikasi umur naskah? Seperti kita ketahui bahwa naskah lama bersifat anonim (tanpa menyebutkan nama pengarang). Oleh karena itu, inf ormasi usia naskah hampir sangat jarang ditemukan, apalagi pada naskah yang berasal dari abad 17 atau 18. Namun, naskah-naskah yang disalin pada abad 19 atau abad 20 sudah mulai ada yang menginformasikan nama pengarang, nama penyalin, tempat penyalinan, dan kapan naskah itu disalin. Keterangan yang menginformasikan ketiga hal itu disebut kolofon. Kolofon biasanya dicatat pada bagian akhir naskah atau halaman awal naskah. Kalau ada kolofon dalam naskah berarti peneliti tidak sulit untuk menentukan umur naskah. Kesulitan timbul kalau inforrnasi atau kolofon itu tidak ditemukan. Dari mana kita memperolehnya?
Ada dua f aktor yang dapat dipertimbangkan untuk melihat umur naskah. Dua faktor yang dapat dipakai sebagai pertimbangan adalah inforrnasi yang bersifat internal dan inforrnasi yang bersifat eksternal. Faktor internal adalah kalau inforrnasi itu berasal dari naskah itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah inforrnasi yang diperoleh dari luar naskah. Kolofon, termasuk faktor internal karena ada dalam naskah. Faktor internal lain adalah kertas yang digunakan karena dalam kertas itu terdapat cap kertas (watermark). Cara melihat cap kertas, seperti yang sudah dikatakan di atas, adalah dengan mengangkat kertas dan dipantulkan ke cahay a. Di situ dapat terlihat gambar yang ada dalamkertas. Gambar-gambar itulah yang dapat diidentifikasi, dari tahun berapakah gambar itu berasal. Perusahaan yang membuat kertas pada masa lalu, Eropa, biasanya mencantumkan berbagai gambar. Bahkan kadang-kadang di sekitar gambar disebutkan inisial atau tahun. Inisial dan tahun atau tulisan lain yang ada di sekitar gambar disebut cap kertas tandingan (countermark). Kalau tidak ada inisial atau keterangan tahun di sekitar gambar, gambar itulah yang harus diidentifikasi dan dilihat apakah gambar itu tercantum dalam daftar cap kertas yang dibuat oleh Churchill (1935) yang berjudul Watermarks in Paper: In Holland, France, England, etc. in the XVII and XVIII Centuries and Tlieir Interconnection. Buku cap kertas lain yang dapat digunakan adalah yang dibuat oleh Edwar Heawood (1950), Watermarks, Mainly of the 17th & 18th Centuries. Dalam kedua buku itu diinformasikan kapan sebuah perusahaan membuat kertas dengan contoh-contoh gambar yang menjadi trade mark mereka. Dengan mencocokkan gambar itu, umur naskah dapat diketahui. Inforrnasi lain yang dipertimbangkan dapat mengetahui umur naskah juga adalah penjilidan (sampul naskah) atau catatan-catatan lain yang ada dalam naskah itu. Kalau naskah yang diteliti adalah naskah sejarah, biasanya di dalam teks itu ada inforrnasi kapan peristiwa itu terjadi. Dalam Hikayat Negeri Johor rmsalnya peristiwa diawali dengan kalahnya Johor oleh Jambi pada tahun 1611. Dengan adanya angka tahun itu, berarti naskah dibuat setelah peristiwa itu terjadi.
Faktor eksternal yang dapat dipakai untuk memperoleh umur naskah adalah dari sejarah pepyimpanan naskah. Suatu lembaga biasanya mempunyai catatan kapan mereka menerima naskah yang menjadi koleksinya. Informasi lain lagi juga dapat diperoleh melalui teks-teks lain yang kadang-kadang menyebutkan suatu judul teks. Misalnya Hikayat Amir Ham.-ah disebutkan dalam Sejarah Melayu. Hal itu beraiti teks Hikayat Amir Hamzah sudah lebih dahulu ada dari Sejarah Melayu. Yasadipura I adalah pengarang Serat Cabolek. Nama itu ti dak diketahui dari teksnya, tetapi dari catatan lain yang menyebutkan bahwa Yasadipura adalah penulis Babad Cayanti, Babad Prayut, Serat Cabolek.

6) 1 ransliterati

Uraian tentang transliterasi akan dijelaskan dalam sub-bab tersendiri pada akhir bagian ini karena uraian itu harus lebih terperirici.

Kritik Teks
Apakah Anda pernah mendengar istilah kritik teks? I Calau sudahmendengarnya, apakah Ande sudah memahaminya? Bagian ini akan menjelaskan kepada Anda tentang kritilk teks. Baried (1985:61) mengatakan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunai, krites' seorang hakim atau krinein' menghaakimi atau kriterion' dasar peng hakima5.".. Dalam kritik teks, filolog memberikan kritik atau evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada ternpatnya yang tepat. Yang dimaksud pada tempamya adalah mencari teks yang paling asli, teks yang ditulis oleh pengarangnya, yang disebut autograf (autograf). Pada dasarnya teks yang autograf itu hampir tidak dapat ditemukan lagi, di antaranya karena naskah yang berisi teks itu si idahh ilang atau rusak. Karena sukar menemukan teks yang autograf, akhirnya dala m kritik teks hanya dicari teks yang mendekati teks aslinya.
Kritik teks pada awalnya dilakukan terhadap teks-t eks Alkitab, di Eropa. Hal itu dilal tukan untuk mengetahui firman Tuhan yang semi irni mungkin dan tujuannya untuk memahami maknanya. Lama-ke!amaan bukan hanya teks Alkitab saja yang menjadi objek, tetapi berbagai teks termasuk yang be risi kebudayaan.
Bagairnana cara kerja filolog memperoleh naskah yang teksnya mendekati aslin ya? Untuk m endapatkan teks itu filolog harus membandingkan naskah untuk mengkonstruksi naskah dari beberapa naskah yantg ditemukannya. Naskah-naskah itu seharusnya berasal dari korpus yang sarna atau naskah-naskah yang menuliki masalah yang sama. Konstruksi itu dilakukan dengan asumsi bahwa penyalinan suatu teks terus berlangsung. Dalam perjalanan penyalinan itulah, naskah mengalami perubahan. Rangkaian penurunan yang dilalui suatu teks yang turun-temurun d isebut tradisi.
Dalam penciptaan sebuah teks mungkin saja digunakan sebuah naskah (induk) yang digunakan sebagai dasar dalam penciptaan naskah baru. Dalam pekerjaan itu, penulis atau penyalin dapat hanya menyalinnya saja, tetapi dapat juga ia menambahkan, bahkan mengubahnya. Di samping itu, perubahan yang terjadi selama penurunan teks itu mungkin dilakukan penyalin dengan sengaja atau dapat juga terjadi tanpa sengaja. Perubahan dengan sengaja dilakukan penyalin karena ia merasa ingin menyempurnakan teks itu sehingga sesuai dengan masyarakat dan zamannya. Penyalin sengaja menghilangkan atau menambahkan bagian-bagian dalam teks yang menurutnya perlu dilakukan. Perubahan yang dilakukan tanpa sengaja biasanya terjadi karena kelalaian sang penyalin. Perubahan seperti itu biasanya menimbulkan kesalahan dalam teks. Kedua hal itu menyebabkan terjadinya varian dan versi dalam teks. Varian ditemukan dalam teks yang sejenis. Dalam teks-teks itu terdapat perbedaan-perbedaan kecil, misalnya perbedaan dalam pilihan kata dan struktur kalimat. Perbedaan itu tidak sampai mengubah isi teks. Hal itu berbeda dengan versi. Versi juga ditemukan dalam teks sejenis, tetapi perbedaan yang ditemukan dalam teks-teks tersebut agak besar, misalnya jalan cerita sudah berbeda. Antara satu teks dengan teks lainnya sudah berbeda, yang satu lebih pendek dari yang lainnya.
Menurut Robson (1978:35) kriteria untuk mendapatkan sebuah teks adalah varian atau versi dari teks asli. Yang perlu dilihat adalah penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam teks, seperti kesalahan-kesalahan yang ada. Kesalahan itu misalnya terjadi dalam beberapa kasus berikut ini.
(1) Kalau terdapat teks puisi dengan corak metrum tertentu, kita harus mencek apakah varian cocok dengan metrum. Kalau tidak cocok, ada kemungkinan bahwa varian itu termasuk kesalahan.
(2) Apakah varian merupakan perkataan yang dikenal dari tempat (teks) lain? Kalau tidak, ada kemungkinan hal itu salah walaupun juga mungkin varian itu satu-satunya tempat perkataan itu dipakai. Satu-satunya tempat dipakainya perkataan itu disebut Impax.
(3) Apakah varian itu sesuai dengan konteks cerita atau gaya bahasanya dan tidak bertentangan dengan latar belakang kebudayaan atau sejarah? Kalau ternyata ditemukan ketidaksesuaian, kemungkinan adalah varian itu salah.

Reynold dan Wilson (1974) menambahkan bahwa kesalahan yang terjadi dalam penyalinan teks dapat dibagi atas enam macam, yaitu:
(1) kesalahan yang disebabkan oleh tulisan tangan dalam teks aslinya kurang jelas sehingga penyalin mengacaukannya dengan huruf yang mirip
(2) adanya penggeseran lafal sehingga menimbulkan kecenderuhgan penyalin untuk mengubah ejaan aslinya.
(3)     penghilangan beberapa huruf yang disebut haplografi (liaplography). Penghilangan itu terj adi karena mata penyalin melompat maju dari satu perkataan ke perkataan yang sama yang disebut saut de meme au meme. Penghilangan atau pelompatan itu dapat terjadi dalam satu baris, satu bait, bahkan dapat dalam beberapa baris
(4)   tambahan beberapa huruf atau kata yang diulang oleh penyalin yang disebut ditografi (dittography)
(5)     tukaran ditemukan jika pernakaian huruf terbalik, atau baris puisi tertukar
(6)     tularan adalah perkataan terkena pengaruh perkataan lain yang baru saja, displin sehingga meniru bentuknya

Berdasarkan beberapa hal y ang disebutkan di atas, filolog dapat mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam teks dan kemudian merekonstxuksi teks-teks dalam naskah berdasarkan suatu turunan yang sarna. Untuk melakukan hal itu langkah kerja berupa perbandingan naskah harus dilakukan. Setelah perbandingan, filolog mulai inengkonstruksi naskah dengan melakukan susunan sterna atau yang dikenal dengan metode sterna,
Menurat Robson (1978:37) metode sterna dikembangkan pada tahun J 830-an di Eropa olf h Lachmann. Metode itu ber lujuan untuk mendekati teks asli melalui data-data i taskah dengan melakukan perbandingan teks. Dasar teori susunan itu bahwa naskah disalin satu demi satu, dan kesalahan yang pernah masuk dalam suatu teks akan terus diturunkan dalam tradisi penyalinan,
Kesalahan-kesalahan itu dapat dipakai untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara satu teks dengan teks lain. Hal itu dilakukan untuk mengetahui asal sebuah teks dari naskah yang mana su atu kesalahan itu diturunkan. Berdasarkan hal inilah filolog kemungkinan menggolongkan beberapa teks. Penggolongan itu dilakukan karena tujuan kritik teks adalah memperbaiki kesalahan supaya filolog dapat rnerekonstruksikan teks asli.
Teks asli ialah teks yang sudah rnenurunkan semua naskah yang masih ada. Naskah yang seperti itu disebut arketip (archet\/pe). Arketip tidak perlu identik dengan autograf, teks yang ditulis oleh pengarang. Dalam menelusur naskah yang seperti itu, filologboleh melakukan perbaikan atas kesalahan-kesalahan (kemsakan) dalam teks. Perbaikan itu disebutemendasi. Kalau kerusakan teks ditelusur kembali kemungkinan filolog dapat menghilangkan semua kesalahan dan kemungkinan dapat menemukan bentuk teks seperti dulu yang terdapat pada arketip (naskah yang kemungkinan sudah lama hilang ).
Dalambukunya, Reynold dan Wilson (1974:190 -192) memberikan contohcara merekonstruksi naskah. Naskah-naskah yang masih ada biasanya diberi nama dengan huruf Latin: A, B, C, D , E,dan seterusnya. Arketip dan hiparketip (hxfparchehjfe) diberi nama dengan huruf Yunani, arketip dinamakan omega dan hiparketip dinamakan abpa dan beta. Berikut ini adalah ilustrasi yang dibuatnya.
 






Dengan dasar penurunan seperti itu, kritik te ks harus memurnikan teks, teks sudah dibersihkan dari berbagai kesalahan selama penyalinan —melalui perbandingan — sehingga tersusun kembali teks y ang mendekati aslinya dan teks itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumbei kepentingan penelitian disiplin ilmu lain.
Pada perkembangannya kemudian, filolog tic lak lagi hanya melakukan kritik teks untuk mencari teks yang mendekati aslinya. P andangan itu telah berubah. Para filolog saat ini mulai merasa bahwa bukan hanya i naskah yang mengandung teks yang asli yang bernilai, tetapi setiap naskah m empunyai nilai tersendiri yang mewakili zaman dan lingkungan sosial penyalinr lya. Pada kenyataannya penyalin bukan hanya menyalin, tetapi ia juga menciptaka n teks baru dengan memasukkan imajinasi dan kreativitasnya. Oleh sebab itu, dal; am naskah tunggal (naskah yang tinggal satu atau pun naskah yang me'mang har ya satu) sebuah kritik teks dapat dilakukan, terutama pada penerapan edisi stand; ar. Dalam edi;;i itu kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan sudah diperbaiki.

Agar penelitian filologi dapat sempurna, diperlukan beberapa langkah kerja. Langkah kerja itu di antaranya adalah inventarisasi, deskripsi naskah, perbandingan, penentuan umur naskah, penentuan metode yang akan dipakai, dan transliterasi.
Jika teks yang dijadikan objek penelitian hanya ada satu, langkah kerja yang dilakukan adalah langsung pada deskripsi naskah, penentuan umur nasi .all, penentuan metode, dar i transliterasi. Ketika mendeskripsikan naskah, setiap butir dari fisik naskah, jilid naskah, dan isi diuraikan dengan teliti. Ketelitian itu penting karena sttiap butir yang diuraikan dapat menjadi hal penting dalam mengungkap sejarah teks. Jika teks yang ditemukan lebih dari saiu naskah, perbandingan dilakukan. Pada bagian inilah, kritik teks dilakukan. Setelah itu, filolog baru menentukan metode yang akan dipakai untuk menyunting teks. Pemililian u-etode itu disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Langkah yang dikerjakan setelah kritik teks adalah transliterasi, yaitu mengalihaksarakanhuruf. Alih aksara ini penting agar pembaca mengetahui isi yang terkandung di dalamnya.




2
Metode Penyuntingan

Metode merupakan cara kerja bagaimana seorang peneliti menyunting (mengedisi) teks. Metode itu itu ditentukan oleh naskah yang ditemukan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, menyunting naskah tunggal berbeda cara kerjanya dengan menyunting naskah yang lebih dari satu (naskah jamak). Berdasarkan hal itu, ada dua metode untuk edisi naskah.

Metode Edisi Naskah Tunggal

Untuk menyatakan bahwa sebuah naskah adalah naskah tunggal berbagai katalog harus diteliti lebih dahulu. Kita harus membaca dahulu dalam beberapa katalogus yang dapat menginformasikan di mana naskah ituberada. Kalau ternyata setelah dicek tidak tercatat nomor lain dari naskah itu dalam koleksi-koleksi lain, kita dapat menentukan bahwa naskah itu adalah naskah tunggal. Naskah tunggal disebut codex unicus. Menurut Robson (1994:21) ada dua metode yang dapat diterapkan pada naskah tunggal yaitu metode edisi diplomatik dan metode edisi biasa atau yang dikenal dengan edisi standar.




Edisi Diplomatik

Dalam edisi diplomatik penyunting mencoba menyajikan teks dalam bentuk yang semurni mungkin. Kerja yang paling cocok untuk edisi ini adalah reproduksi fotografis, naskah difoto apa adanya, tanpa mengubah sedikitpun. Interpretasi dari peneliti ditutup kemungkinannya dalam edisi seperti ini karena penyunting bahkan tidak dimungkinkan untuk melakukan transliterasi atau mengalihaksarakan huruf. Apalagi membagi kata dan memberikan pungtuasi. Kalau kita menghadapi edisi yang seperti ini, pembaca seolah-olah membaca naskah asli.
Dalam edisi seperti ini pembaca tidak dibantu dari berbagai kesukaran yang ada dalam teks. Edisi ini hanya menarik bagi kalangan akademik yang mengharapkan naskah ditampilkan apa adanya sehingga mereka masih dapat melihat keaslian teks. Bagi pembaca kalangan lain (yang lebih luas) edisi seperti ini mungkin kurang menarik karena bacaan yang ada di hadapannya masih sama dengan naskah asli.
Peneliti yang menggunakan metode ini haras bekerja keras dengan memberikan pertgantar yang biasanya diletakkan pada bagian awal edisi naskah. Contoh yang dapat diberikan dalam edisi seperti ini adalah yang dilakukan oleh Drewes dan Voorhoeve (1958) terhadap Adat Atjeh. Naskah Mukhtasar Tawarikh ul-Wusta dari Riau jug i pernah diterbitkan dalam edisi diplomatik ini dalam Manuscripta Indouesica (1994).


Edisi Biasa (Standar)

Edisi naskah tunggal yang telah memasukkan campur tangan peneliti dalam penyuutingarmya disebut edisi bia^a (Robson, 1978), Baroroh Baried (1985) menyebutnya dengan edisi standar atau kritik. Dalam edisi ini inter pre tasi sudah dimasukkan (membetulkan kesalahan reks) dan pembaca sudah dibantu dari berbagai kesulitan dalam bahasa dan aksara yang ada dalam teks. Filolog sudah mengalil laksarakan, membagi ka ta, menandai kata dengan memakai huruf kapital, dan menyesuaikan ejaan yang dipakai dengan ejaan yang lebih dikenal pembaca. Di samping itu, filolog juga sudah member! komentar pada kata yang kurang dapat dibaca dan memberikan dugaan (konjektur). Namun, dugaan itu harus dipertanggungjawabkan dengan member! catatan yang diletakkan pada catatan kaki. Catatan itu dibuat agar sifat asli sebuah teks tidak hilang.
Tujuanedisi inimeinangberbeda d< ngan edisi diplomatik. Edisibiasabertujuan agar teks dapat dinikmati oleh pembaca vang lebih luas. Pembaca tidak mengalami kesukaran karena dibantu menghadapi rintangan dalam memahami teks. Oleh karena itu, aksara yang digunakan juga aksara yang sudah akrab dengan pembaca. Robson (1978) menekankan bahwa editor dalam edisi seperti ini harus mempertanggungjawabkan segala perubahan yang akan dimasukkaravya, tanpa mengabaikan satu titik atau koma.
Bagaimana cara yang harus dilakukan? Bacaan yang dianggap betul (paling
baik) dimasukkan dalam teks dan bacaan naskah dicatat pada kaki halaman
{footnote) atau catatan itu dikumpulkan semuanya dan diletakkan di tempat khusus
(halaman tersendiri yang mencatat seluruh bacaan). Ada juga yang memasukkan
bacaan yang dianggap benar di dalam a a tan kaki halaman. Kita dapat memilih di
antara kedxra catatan itu yang penting harus konsisten. Yang menjadi prioritas di
sini adalah filolog tidak boleh mendiamkan segala perubahan yang dilakukannya.
Maksudnya supaya pembaca selalu meneliti kembali bagaimana bacaan dalam
naskah. Di samping itu, filolog juga dapat menambahkan, kalau perlu membuat
tafsiran sendiri. la selalu akan bersikap Iritis sehingga tiap-tiap keputusan yang
diambilnya dapat diuji kebenarannya.                                                            *

Dalam edisi ini, setelah transliterasi teks biasanya dilampirkan juga daftar kata sukar. Kata sukar maksudnya kata-kata arkais (kata kuno yang sudah tidak dikenal lagi pada masa kini). Contoh penerapan edisi ini banyak ditemukan, terutama dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa untuk skripsi. Penerapan edisi ini dapat ditemukan juga pada modul 6.

Metode Edisi Naskah Jamak

Jamak berarti lebih dari satu. Metode ini khusus diterapkan pada naskah yang jamak. Seperti yang telah diuraikan di atas, perbandingan teks dilakukan dalam tahap edisi teks pada naskah yang jamak. Ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metode gabungan.
Metode landasan diterapkan jika menurut penafsiran peneliti, di antara naskah-naskah yang diteliti berbeda nilainya. Nilai itu ditentukan setelah penggunaan bahasa, isi, dan umur naskah diteliti. Karena berbeda, peneliti dapat memilih salah satu di antara teks' tersebut. Pemilihan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.,Peneliti yang ingin mengkaji isi naskah yang bersif at sejarah, tentunya akan mengambil naskah yang lebih lengkap atau usianya yang lebih tua. Peneliti yang tertarik untuk mengkaji penggunaan bahasa, tentunya akan memilih naskah yang penggunaan struktur kata dan kalimatnya lengkap. Naskah yang sesuai dengan tujuan itu atau dianggap "berkualitas" yang dijadikan landasan, sedangkan naskah yang lairmya dipakai sebagai bandingan. Jiasil bandingan (perbedaan-perbedaan) dicatat dalam aparatus kritikus.
Metode gabungan juga diterapkan jika naskah lebih dari satu. Metode ini jarang dilakukan karena risikonya lebih besar. Dalam menerapkan metode ini, peneliti seolah-olah menciptakan sebuah teks baru yang berbeda dengan teks-teks asli yang dipakainya.
Kapan metode ini digunakan? Metode ini dipakai jika peneliti menganggap naskah-naskah yang dipilihnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Perbedaan yang ada hanya kecil saja. Karena hampir sama, peneliti sulit memilih salah satu di antaranya. Antara naskah satu dan naskah lain saling melengkapi sehingga kalau digabung akan muncul naskah yang paling lengkap. Untuk itu, peneliti menggabungkan beberapa naskah yang dijadikan objeknya. Di sebut edisi gabungan karena peneliti menggabungkan beberapa bagian dari naskah yang satu dan beberapa bagian lain dari naskah yang lainnya. Yang harus diingat dan diperhatikan dengan seksama bahwa peneliti harus mencatat semua bagian yang digabungkan dengan menyebutkan sumbernya (naskah). Jika hal itu dilakukan berarti peneliti tidak menghilangkan teks asli (data primer) yang diambil dari naskah asli. Metode ini diterapkan J.J. Ras dalam mengedisi Hikayat Bandjar.
Robson (1994:21) mengajukan suatu istilah, metode kritis, jika filolog telah melakukan perbaikan teks. Metode ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk naskah tunggal (metode standar) atau naskah jamak hanya disesuaikan dengan tujuan. Ia memperkenalkan metode ini dalam rangka mengkontraskannya dengan edisi diplomatik (edisi naskah tunggal). Dalam edisi diplomatis, filolog tidak mengadakan sedikitperubahan pun dalam edisinya, sedangkan dalam edisi kritis, filolog sudah mengadakan kritik atas naskah (mengadakan beberapa perubahan untuk keterbacaan teks). Oleh karena itu, peneliti sudah membuat beberapa perbaikan yang harus dipertanggungjawabkannya.
Robson memberikan catatan pada bagian awal uraian tentang edisi ini dengan mengambil pernyataan yang dikutipnya dari De Haan (1973:77). Di bagian itu dikatakan jika sese'orang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, bentuk publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatis. Namun. jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad ke-14, maka ia harus memberikan kepada pembacanya edisi kritis. '
Dalam uraian tentang edisi kritis, ia membedakan dua jenis edisi kritis. Edisi kritis yang direkonstruksi dari satu -umber; akibatnya ada dua metode yang kontras. Yang pertama berusaha memperbaiki teks asli yang hilang berdasarkan pada sumber-sumber yang ada, memilih bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan, dan membakukan ejaan. Yan g kedua, filolog mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni mungkin berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan dikoreksi hanya terbatas pada kesalahan dalam penulisan dan tidak membuhmkan pembakuan ejaan.

Transliterasi

Transliterasi merupakan inti pekerjaanyang dilakukan dalam penelitian filologi. Karena melalui transliterasi (alih aksai a; i i li lah, peneliti memperkenalka n kandungan isi naskah kepada pembaca untuk mengetahui nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Dalam filologi dibedakan dua istiiah. vaitu transliterasi dan transkripsi. Menurut Robson (1978:30), transliterasi adalah pe i nindahan macam tulisan yang dipakai dan transkripsi arti dasarnya hanya pada pemindahan tulisan saja, semacam salinan atau kopi. Yang patut diingat kalau maksudnya memang mengganti satu macam tulisan dengan yang lainnya, istiiah yang tepat ialah transliterasi. Kata yang lebih umum yang dipakai untuk istiiah transliterasi adalah alih aksara. Hal ini biasanya dilakukan untuk naskah daerah yang beraksara daerah dan akan dialihaksarakan ke aksara Latin. Samahalnya dengan m.skah-naskah Melayu yang beraksara Arab-Melayu (Jawi) ditransliterasi ke aksara Latin.
Langkah apa yang harus dilakukan ] etika akan mentransliterasi? Kalau naskah yang Anda miliki masih berbahasa daerah dan beraksara daerah berarti Anda harus mengalihaksarakan lebih dahulu dari aksara daerah ke dalam aksara Latin. Hal itu dilakukan untuk keterbacaan teks. Setelah itu, Anda menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa disertai terjernahan, masyarakat di luar pemakai bahasa itu tidak memahami isinya.
Bagaimana cara membuat transliterasi? Memirut Robson, kita harus sudah melakukan pembagian kata, penyesuaian ejaan, dan menggunakan tanda baca. Sekali lagi ditegaskan bahwa hal itu dilakukan agar pembaca yang lebih luas dapat mengerti. ladi, semua dilakukan untuk keterbacaan naskah. Tanpa melakukan hal itu, pembaca masih kurang memahami isi. Dengan melakukan hal itu berarti peneliti belum membantu pembaca dalam membuka teks.

Pertanggung jawaban Transliterasi

Sebelum transliterasi naskah, dibuat sebuah pertanggungjawaban transliterasi. Dalam pertanggungjawaban itu diuraikan pedoman apa yang digunakan. Tanpa menggunakan sebuah pedoman, pekerjaan yang dilakukan biasanya tidak konsisten dan sukar diuji kebenarannya.
Pedoman yang dipakai untuk transliterasi aksara Arab-Melayu ke aksara Latin dapat digunakan beberapa buku pedoman. Pedoman itu di antaranya dibuat oleh J.J. Holander (1984) dalam Pedoman Bahasa dan sastra Melayu yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka. Selain pedoman itu, masih ada beberapa buku yang memuat bagaimana kita mengalihaksarakan huruf. Untuk pedoman transliterasi aksara Arab yang berbahasa Arab ke aksara Latin, pedoman yang dapat dipakai di antaranya adalah pedoman transliterasi yang dibuat oleh Departemen Agama (1985/1986). Untuk aksara daerah ada beberapa buku yang dapat dipakai sebagai pegangan. Contoh-contoh penggunnaan aksara yang diuraikan pada modul 3 dapat dipakai sebagai pedoman karena diambil dari beberapa buku yang memang membahas aksara daerah.
Bukan hanya pedoman yang diperlukan dalam pertanggungjawaban transliterasi, tetapi juga hal-hal lain, seperti tanda-tanda yang digunakan dalam kerja itu. Beberapa contoh akan diuraikan di bawah ini.
a.        Seperti yang sudah diuraikan di atas kalau ada perbedaan bacaan (dalam
perbandingan naskah), perbedaan bacaan itu ditempatkan dalam
apparatus
kritikus.
Akan tetapi, keterangan dan cara kerja penyusunan itu harus
diungkapkan dalam bagian ini.
b.        Ejaan yang digunakan harus dijelaskan.
c.        Dalam teks sering kali satu kata ditulis dengan dua bentuk bahkan tiga bentuk
tulisan. Jika terdapat perbedaan bentuk tulisan, kita harus memilih satu kata
saja clan bentuk tulisan yang lain harus dijelaskan dan dicontohkan.
d.        Bukan hanya kata yang ditulis berbeda-beda, nama diri juga sering ditulis
dalam dua bentuk atau tiga bentuk. Bentuk yang mana yang dipilih dan pilihan
itu harus dinyatakan. Variasi bentuk tulisan juga harus dijelaskan dalam bagian ini.
e.        Kata-kata yang salah, biasanya dibetulkan. Kesalahan dan pembetulan itu
harus dijelaskan dan dicontohkan bagaimana pembetulan itu dilakukan.
f.         Hal-hal yang ditambahkan dan dikurangi oleh peneliti juga harus dinyatakan
dengan sejelasnya pada bagian ini.
g.        Tanda-tanda khusus yang digunakan oleh peneliti untuk kelancaran pembacaan
teks harus dinyatakan. Tanda-tanda yang lazim digunakan dalam transliterasi
seperti contoh di bawah ini.
(....)   tanda yang digunakan untuk penambahan kata atau huruf dari
penyunting; dalam teks kata atau huruf itu tidak ditemukan.
[....]   tanda yang digunakan untuk menghilangkan kata atau huruf yang ada
dalam teks, kata atau huruf itu dimasukkan dalam tanda itu untuk kelancaran pembacaan.
 .../1... tanda yang digunakan sebagai pengalihan halaman dalam teks.

Pembagian Kata-kata

Dalam aksara daerah tampaknya hampir seluruhnya belum mengenal tanda
baca. Oleh karena itu tidak ditemukan spasi di antara kata-kata dan tidak ada tanda
baca. Sebagai penyunting yang ingin menyajikan teks agar dapat dibaca oleh
pembaca yang lebih luas, ia harus memberikan tanda baca dengan membagi kata-
kata. Pembagian itu dilakukan agar teks dapat dimengerti. Misalnya dalam naskah
Melayu yang ditulis dengan aksar Melayu (Jawi) tidak ditemukan sama sekali pembagian kata atau tanda baca Kalimat terus berlangsung kata demi kata, kali mat demi kalimat dan akhirnya berganti dari satu halaman ke halaman lainnya. Bagaimana kita menyajikan bacaan yang seperti itu? Untuk itu, kita dapat membagi kata demi kata dan kalimat demi kalimat a gar struklurny a jelas sehingga inf ormasinya pun dapatsampai kepada pembaca. U ntukitu keperluan itu, pedoman sebuah ejaan menjadi penting danharus dipakai. Transliterasi dilakukan berdasarkan pembakuan ejaan yang mana?


Ejaan

Pentingnya menggunakan sebuah ejaan sebagai pedoman dalam transliterasi adalah agar suntingan yang dibuat menjadi konsisten. Jika konsisten, pembaca tidak akan bingung karena penyunting sudah menyesuaikan dengan ejaan yang dipilihnya. Ejaan yang biasa dipakai untuk alih aksara ke aksara Latin adalah ejaan yang berlaku saat ini, yaitu Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Cara kerja itu harus dijelaskan agar dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak boleh seenaknya melakukan perubahan dalam teks, tetapi harus membuat per tanggungj awabarvny a.
Bukanhanya ejaan yang digunakan dalam mentransliterasisajayang diuraikan, ejaan dan bahasa yang digunakan dalau i naskah juga sebaiknya dijelaskan sebelum melakukan transliterasi. Uraian ini sanga t membantu dalam menentukan asal-usul sebuah naskah, kapan, di mana, orang dari tingkatan mana yang menghasilkan naskah itu.

Pendekatan atau Kajian

Apakah langkah kerja yang enam langkah itu sudah mencukupi dalam f ilologi? Sebenarnya langkah Itu telah memadai dalam edisi naskah. Namun, menurut Robson (1994:13) tugas filolog ternyata bukan hanya sampai pada kritik teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang disebutkan di atas dalam sebuah edisi naskah. Akan tetapi, penyajian edisi tersebut dapat ditambah dengan interprets: atau penafsiran terhadap teks yang disunting. Hal itu dilakukan karena menurutnya tugas filolog bukan hanya menghilangkan segala rintangan dalam pembacaan teks tetapi filolog juga harus berhasil mengeluarkan sifat-sifat dasar sebuah teks untuk pembacanva. Bagaimana cara melakukannya?
Pertanyaan itu menarik untuk dijawab. Baginya sebuah teks mempunya: signifikasi penuh jika kita dapat memandangnya dalam konteks yang tepat, yakni sebagai bagian dari keseluruhan teks lain yangmuncul bersamanya. Jadi, konteksnya harus diperhatikan karena konteks merupakan bagian dari signifikasi atau pemaknaan suatu teks. Hal yang dapat dilakukan, di antaranya dengan menempatkan teks pada la tar belakang sejarahnya dan melihat fungsinya dalam masyarakatnya.
Dalam menginterpretasikan teks, dilakukan berbagai kajian dengan berbagai pendekatan. Pendekatan harus sesuai dengan sif at naskah. Seperti yang dikatakan Robson (1978:24) bahwa kita membutuhkan pendekatan yang lebih luas daripada hanya mengatakan bahwa sebuah naskah berfaedah atau fungsional saja. Pendekatan yang luas itu berguna untuk meliput dan melukiskan keleluasaan sastra sebagai keseluruhan. Kita membutuhkan teori yang akan membantu kita menghargai setiap karya sastra.
Apa yang harus diperbuat dengan teks? Ada tiga prinsip yang harus diingat dalam menghadapi sebuah teks. (1) Teks harus dianalisis sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri.'(2) Teks harus diperiksa pada latar kebudayaannya sendiri. (3) Keanekaragaman teks perlu diselidiki secara terpisah dari yang lain. Teks itu sendiri pada hakikatnya sangat beragam oleh sebab itu, pendekatannya pun harus beragam pula supaya kita dapat menunjukkan bahwa teks-teks tersebut (sastra tradisional) dapat berguna untuk masa sekarang. Gunanya itu khususnya dalam bidang (1) agama, filsafat, mitologi, (2) ajaran yang bertalian dengan sejarah, dan etika, (3) keindahan alam dan aspek lain.
Keragaman pendekatan yang pernah diterapkan dalam teks-teks naskah Nusantara akan dicontohkan dalam modul 5, aneka edisi naskah Nusantara dan kajiannya. Penelitian yang disajikan pada bagian itu hanya beberapa buah saja. Sementara itu, masih banyak lagi penelitian yang pendekatannya beragam yang belum disajikan.

Metode atau cara kerja dalam penelitian filologi penting. Metode itu disesuaikan dengan keberadaan tel.-. Karena terciptanya sebuah teks, pada masa lalu, sangat rumit, cara kerja itu dapat menolong-untuk memecahkan kemrrutan.
Pada dasarnya ada dua metoie edisi teks, yaitu edisi atas naskah tunggal dan edisi teks atas naskah jamak. Dalam edisi naskah tunggal ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode edisi diplomatik dan edisi biasa (standar). Edisi diplomatik dipakai jika penyunting ingin menyajikan teks apa adanya kepada pembaca Kesukaran bacaan belum terpecahkan dalam edisi ini, sedangkan dalam edisi biasa, kesukaran bacaan sudah tidak ditemui lagi oleh pembaca karena penyunting telah memberikan catatan-catatan.
Dalam menghadapi naskah jamak, ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metod<: gabungan, Metode landasan dipakai kalau menurut penyunting ada satu naskah yang "lebih nilainya" dari yang lain. Naskah ltulah yang akan dijadikan landasan. Metode gabungan dipakai jika penyunting merasa dari teks-teks yang ditemukan nilainya samasehingga suiit menentukan satu naskah yang akan dipilih. Berdasarkan hal ltulah, metode gabungan dipakai. Risiko yang dipakai oleh metode ini sangat besar karena penyunting seolah-olah membuat teks yang paling baru yang tidak ada dalam teks-teks mana pun.















1
EDISI TEKS NASKAH TUNGGAL DAN KAJIANNYA

Pak Belalang (Naskah Melayu)

Penelitian ini diberi judul Pak Belalang: Snatu Cerita Humor Melayu dikerjakan oleh Maria Indra Rukmi diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, tahun 1978. Pada bagian pendahuluan dikatakan bahwa naskah dengan nomor W.212, terdiri atas dua teks, Pak Belalang dan cerita Lebai Malang. Keduanya berasal dari sastra Melayu. Meskipun naskah itu terdiri atas dua teks, Indra Rukmi hanya mengambil satu teks sebagai bahan kajian dalam penelitiannya, yakni Pak Belalang. Naskah tersebut merupakan naskah tunggal yang hanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan NasionaL Jakarta. Oleh karena itu, untuk edisi naskah ia memilih metode edisi biasa (standar). Pada bagian itu ia juga menyampaikan tujuan penelitiannya, yakni mencoba membandingkan teks Pak Belalang dengan cerita-cerita rakyat sejenis. Yang dimaksud dengan cerita sejenis adalah cerita-cerita yang mempunyai unsur yang sama. Unsur yang sama itu adalah humor yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, cerita dengan jenis seperti itu dapat dimasukkan dalam genre cerita humor. Tujuan yang kedua adalah mencoba melihat la tar belakang cerita itu, f ungsinya dalam masyarakat, dan penyebaran di berbagai daerah.
Dalam bab satu ia memfokuskan pembicaraannya pada pernaskahan. Pertama, ia menguraikan riwayat naskah. Dalam riwayat itu ia menemukan informasi yang menarik dalam kolofon naskah, bahwa naskah itu disalin di Pulau Penyengat Cerita itu diambil dari cerita rakyat dan dibuat atas suruhan seorang pejabat Belanda yang bernama Von de Wall. Dari informasi itu ia dapat mengembangkan pembahasannya dengan melihat la tar belakang sejarah Pulau Penyengat, yaitu suatu pulau yang terletak di Kepulauan Riau. Di samping itu, ia juga menguraikan kondisi naskah, bahasa yang digunakan, dan penulisan naskah serta naskah Pak Belalang yang sudah dipublikasikan oleh Winstedt pada tahun 1893. Kemudian ia membandingkan isi cerita naskah yang sudah terbit itu dengan cerita Pak Belalang yang masih dalam bentuk naskah. Setelah perbandingan, pada bagian ini juga ia melakukan transliterasi teks. Sebelum masuk pada transliterasi, ia memberi pertanggungjawaban transliterasi. Dalam pertangungjawaban itu diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan pedoman alih aksara dan cara yang dilakukan dalam memperbaiki teks. Hal itu ia lakukan jika ia menemukan kata-kata atau tulisan yang tidak terbaca. Untuk melengkapi transliterasi, agar pembaca dapat memahami bahasanya, dilampirkan daftar kata-kata sukar yang sudah diberi arti.
Bab dua merupakan bagian analisis. Dalam bagian itu dikatakan meskipun teks Pak Belalang itu teks tertulis, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sastra lisan atau cerita rakyat. Bagian ini diberi judul "Latar Belakang Cerita Humor". Judul itu diberikan karena cerita Pak Belalang termasuk cerita humor. Latar belakang itu dibicarakan sehubungan dengan kolofon atau informasi yang ditemukan dalam akhir teks, bahwa Pak Belalang disalin dari cerita lisan yang tersebar pada waktu itu. Alasan itu kuat baginya untuk menerapkan pendekatan dengan melihat motif cerita berdasarkan motif index yang ada dalam daftar yang dibuat oleh Stith Thompson.
Ada dua hal yang menjadi perhatiannya ketika membahas fungsi cerita humor dalam masyarakat Melayu. Ia mengatakanbahwa cerita itu termasuk dalam dongeng. Sebagai dongeng, Pak Belalang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai hiburan, alat pendidikan, dan alat untuk melakukan kontrol sosial.
Ia juga melihat kedudukan cerita Pak Belalang dalam kelompok cerita humor lain, yaitu "Pak Kadok", "Pak Pandir", "Lebai Malang", "Si Luncai"," Abu Nawas", "Mahashodhak", "Mat Janin", dan "Musang Berjanggut". Dari berbagai cerita itu ia melihat sifat humor cerita berdasarkan sifat-sifat tokoh. Yang dilakukan kemudian adalah membagi cerita Pak Belalang ke dalam beberapa episode. Berdasarkan episode itulah ia melihat motif cerita. Motif-motif cerita itu ada kesamaannya dengan cerita-cerita di atas sehingga cerita-cerita termasuk dalam satu sejenis. Kesamaan itu ditemukan dalam berbagai unsur cerita dengan melihat dalam Motif Index of Literature. Pada akhirnya ia sampai pada pertanyaan yang paling dasar, mengapa cerita itu memiLiki kesamaan, apakah kesamaan itu terjadi karena cerita yang satu mempengaruhi cerita yang lain atau apakah kesamaan itu muncul secara tersendiri di berbagai daerah sebagai suatu cerita yang universal.




Basimalin (Naskah Minangkabau)

Penelitian yang berjudul Naskah Tradisi Basimalin:Pengantar dan Transliterasi dilakukan oleh Suryadi, 1998. Diterbitkan di Jakarta oleh Program Penggalakan Kajian Sumber-Sumber Tertulis Nusantara, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Edisi naskah ini menarik karena naskah yang diambil juga berasal dari tradisi lisan Minangkabau.
Pada pendahuluan dikatakan bahwa kesastraan Minangkabau pada hakikatnya hidup dari tradisi lisan. Oleh karena itu, banyak naskah diturunkan dari tradisi lisan. Di antara naskah itu adalah naskah Kaba Malin Deman yang dijadikan objek penelitiannya. Naskah itu diturunkan dari tradisi basimalin, yaitu suatu tradisi resitasi yang dilakukan oleh beberapa lelaki dan perempuan dewasa yang mendendangkan sebuah cerita. Naskah yang dihasilkan dari tradisi ini, menurutnya, sangat langka karena ditulis dalam aksara Jawi dengan bahasa Minangkabau dialek Payakumbuh. Dalam resitasi ini didendangkan kisah Kaba Malin Deman yang motif ceritanya hampir sama dengan "Jaka Tarub", cerita lisan Jawa, atau "Rajapala", cerita lisan Bali.
Dalam cerita itu dikisahkan kehidupan seorang pria bumi yang menikahi bidadari dari kayangan. Cerita Kaba Malin Deman dikenal luas di Minangkabau, tetapi apresiasi atas cerita itu — melalui tradisi basimalin— bersifat lokal. Cerita dengan tradisi itu hanya dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau di sebagian wilayah Kecamatan Harau, luar Kotamadya Payakumbuh, Sumatra Barat. Oleh karena itu, ia tertarik menyajikan naskah itu dengan tujuan naskah tersebut dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Dengan tujuan itu pula, ia menyertakan terjemahan teks ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam bab kedua ia membahas konteks sosial dan pertunjukan basimalin. Ia menguraikan bahwa dalam tradisi pertunjukan basimalin hanya satu cerita yang disajikan, yakni Kaba Malim Deman yang didendangkan berdasarkan pada naskah. Pada saat pementasan, naskah diletakkan di hadapan seorang tukang simalin yang berdendang. Pertunjukan itu biasanya diadakan pada malamhari, selepas salat isya sampai menjelang waktu subuh (pukul 21.00 — 04.00). Basimalin ditampilkan biasanya dalam upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan, seperti perkawinan, kelahiran bayi, anak turun mandi, dan sunatan.
Dalam pembicaraan pernaskahan ia mengatakanbahwa teks yang disunting itu berbentuk prosa liris. Naskah itu milik perorangan, yakni Suhaimi Dt. Majo Basa yang usianya sekitar 70 tahun. Survadi memperoleh informasi bahwa Suhaimi menyalin naskah itu berdasarkan naskah milik Dimin Dt. Majo Basa —lahir tahun 1901 dan meninggal pada tahun 1977. Dimin Dt Majo berasal dari Desa Aia Putiah, Lubuk Bangku. Naskah milik Dimin Dt Majo itu, sampai saat ini, sudah tidak ditemukan lagi. Setelah diteliti,'Survadi menemukan bahwa dalam naskah itu banyak ditemukan kata-kata arkais yang sudah jarang dikenal lagi oleh masyarakat Payakumbuh. Baginya keseluruhan bahasa naskah ini cukup "aneh" di telinga orang Minangkabau saat ini. Atas alasan itu, ia menduga teks ini usianya cukup tua.


Serat Panji Angreni (Jawa)

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tahun 1998, menerbitkan sebuah penelitian yang dibuat oleh Karsono H. Saputra. Judul penelitian itu Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni. Dalam pendahuluan dikatakan bahwa edisi naskah tidak menjadi tujuan utama dalam penelitian ini. Meskipun pernyataannya seperti itu, ternyata edisi naskah itu dilakukan lengkap dengan transliterasinya. Naskah yang dijadikan objek penelitiannya berjudul, KBG 185, koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Masih dalam bagian pendahuluan dikatakan bahwa dalam analisis teks digunakan pendekatan objektif, pendekatan yang bertitik tolak pada teks sastra. Tujuan yang ingin dicapai ada dua. Yang pertama adalah mendeskripsikan unsur-unsur yang membentuk tata bangun teks KBG 185 dan yang kedua menemukan hubungan antarunsur pembentuk tata bangun teks tersebut. Untuk mencapai tujuan itu, ia menggunakan teori strukturalisme yang diajukan Todorov dengan melihat aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek verbal. Ketiga aspek itu diuraikan dalam bab-bab tersendiri.
Pada uraian tentang naskah KBG 185 ia mengatakan bahwa Serat Panji Angreni merupakan salah satu versi dalam korpus cerita panji. Versi cerita panji yang lain, di antaranya Panji Jayalengkara, Panji Pnyembada, Panji Dewakusuma,dan Panji Jaya Kusuma. Teks Serat Panji Angreni menurutnya terekam dalam 12 naskah. Kedua belas naskah itu disimpan dalam berbagai tempat yang tersebar. Perpustakaan Nasional, Jakarta, menyimpan dua naskah; Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, menyimpan tiga naskah; Museum Sasono Pustoko, Surakarta, menyimpan satu naskah; Museum Sono Budovo, Yogyakarta, menyimpan 2 naskah, dan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, menyimpan tiga naskah. Meskipun naskah ini merupakan naskah jamak (lebih dari satu), ia memperlakukan naskah ini sebagai naskah tunggal.Hal itu dilakukan karena, menurutnya, naskah-naskah yang lain tidak mungkin terjangkau dalam penelitiannya. Alasan pertama yang diberikan karena tempat penyimpanan naskah yang ada di Yogyakarta dan Solo sedang ditutup untuk umum pada vvaktu penelitian ini dilakukan. Alasan kedua karena keterbatasan waktu dan dana, naskah yang dikoleksi Universitas Leiden tidak mungkin terjangkau. Oleh karena itu, ia memilih naskah KBG 185 sebagai dasar penelitian dan naskah inilah yang disunting atau ditransliterasi. Alasan ketiga, naskah itu dipilih karena isinya lengkap dan utuh sehingga memungkinkan untuk menerapkan teori yang diajukan oleh Todorov.
Pendekatan objektif dengan penerapan teori Todorov diuraikan mulai bab 2 sampai dengan bab 4. Ketika membahas aspek sintaksis, ia menguraikan urutan sekuen (setiap ujaran yang membentuk satuan makna), urutan logis (urutan berdasarkan hubungan sebab-akiba t), dan urutan temporal (urutan kronologis atau urutan waktu). Dalam aspek semantik tiga hal yang dikaji, tokoh, latar (tempat dan waktu) serta tema. Pembahasan tokoh dilihat dengan memperhatikan nama tokoh, citraan dan kepribadian serta derajat sosial. Tokoh-tokoh yang dikaji, Serat Panji Angreni, Sekartaji, Prasanta, dan Andayaprana. Dalam aspek verbal, ia meneliti masalah penceritaan, sudut pandang dan gaya bahasa. Dalam bagian ini, di antaranya dibicarakan prosodi macapat yang dipakai dengan memperhatikan guru wilangan, guru gatra, dan guru lagu. Transliterasi dimasukkan dalam bagian tersendiri, yaitu pada lampiran.

Ketiga naskah yang dibicarakan sebagai naskah tunggl adalah naskah Pak Belalang versi melayu, naskah Basimalin yaitu Malin Deman dari Minangkabau, dan naskah Panji Angreni dari Jawa. Naskah Pak Belalang termasuk cerita humor, terdapat pada koleksi naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Kolofon cerita menginformasikan bahwa cerita ini disalin di Pulau Penyengat Riau, atas perintah pejabat Belanda Van de Wall dan pernah diterbitkan oleh R.O. Winstedt pada tahun 1893. Naskah Basimalin Minangkabau merupakan cerita lisan yang berisi tentang cerita Malin Deman yang sama isinya dengan cerita Djaka Tarub di pulau Jawa. Malin Deman menceritakan tentang seorang pemuda ka win dengan putri kayangan yang akhirnya berpisah kembali. Kisah Basimalin ini diceritakan pada upacara yang terdapat di masyarakat sebagai siklus kehidupan seperti pada waktu pernikahan, sunatan, kelahiran atau turun mandi. Mengingat bahwa naskah yang berbeda dengan bahasa Minangkabau sekarang ini, maka dianggap naskah ini adalah naskah yang sudah tua isinya. Serat Panji Angreni adalah naskah satu versi. Cerita Panji yang lain tersimpan di berbagai perpustakaan di Indonesia maupun Belanda. Isinya lengkap untuk menerapkan teori kajian sastra.




2
EDISI NASKAH JAMAK
DAN KAJIANNYA

Hikayat Bandjar (Naskah Melayu)

HikayatBandjar termasuk dalam sastra sejarah. Naskah itu diteliti oleh Johanas Jacobus Ras dengan judul Hikajat Bandja r. A Study in Malay Historiografi. Diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, I%8. Dalam pendahuluan dikatakan bahwa penelitian ini bertitiktolak dari adanya anggapan yang meremehkan sastra sejarah atau kronik Melayu. Sastra sejarah dianggap tidak berisi informasi sejarah. Oleh karena itu, Ras ingin membuktikan dengan mengambil sebuah kronik Melayu dari Bandjarmasin, Kalimantan. Ia, dalam penelitian ini, menyajikan sebuah edisi teks dan terjemahan. Kedua hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa edisi naskah ter sebut dapat digunakan sebagai bahan yang amat bernilai dalam pengkajian sejarah kebudayaan Nusantara. Namun, kalau digunakan sebagai bahan penulisan sejarah Melayu, karya itu menjadi dianggap kurang begitu penting.
Bab pertama terdiri atas 5 bagian. Bagian (1) memperkenalkan penerbitan-penerbitan awal tentang daerah Banjar. Terbitan yang disebutkan, di antaranya adalah J. Hageman yang menulis Contribution to History of Borneo, tahun 1857, A. Van der Ven menulis Notes on tlie Realm of Bandjermasin, tahun I860. Dalam bagian ini disinggung juga tentang naskah-naskah yang akan dibahas. Selain itu, ia juga membahas pemakaianbahasa yang digunakan, yaitu bahasa Melayu yang ragamnya tidak sama dengan bahasa Melayu standar. Sebagian besar pemakaiarmya tidak tunduk dengan bahasa baku Melayu Riau-Johor. Bahasa percakapan daerah Banjar banyak digunakan karena naskah ditulis di Kalimantan Tenggara. Oleh sebab itu, orang yang tidak kenal dengan bahasa itu agak sukar memahaminya. Topik lain yang disorotnya juga adalah tradisi penulisan sejarah Melayu yang banyak berbaur dengan mitos. Dicontohkan penelitian yang dilakukan oleh Djajadiningrat yang mengatakan bahwa di kerajaan-kerajaan Indonesia, tradisi sejarah telah terpelihara dan telah dilakukan dari dahulu kala. Tradisi ini merupakan suatu laporan asal-usul suatu kerajaan.
Dari teks-teks yang ada, Ras menggolongkan cerita menjadi dua, yaitu resensi I dan II. Kedua resensi itu dibuat ringkasannya dan masing-masing dibagi atas 12 episode. Setelah itu antara keduanya dibandingkan. Dari perbandingan itu, ia menyimpulkan bahwa antara dua resensi itu terdapat ketidakseimbangan. Pada dasarnya kedua resensi berjalan sejajar, hanya pada bagian-bagian tertentu panjang pendeknya cerita berbeda; misalnya dalam resensi sejarah kerajaan Kalimantan Barat dibagi atas empat zaman, sedangkan dalam resensi II hanya terdiri atas 2 zaman. Di samping itu, ia juga membuat perbandingan dengan hikay at Melayu lain serta karya sastra Jawa, hanya penekanannya dengan melihat persamaan-persamaannya. Dalam perbandingan itu ada 4 hal yang disampaikan. (1) persamaan dilihat berdasarkan mitos Melayu tentang asal-usul putri yang muncul dari buih. Kemunculan Putri Junjung Buih itu dilihat dari lima cerita, Silsilali Kutai, Cerita Sukadana, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Malwzvangsa, Hikayat Aceh. Bagian itu ditampilkan dengan tujuan menjelaskan mitos asal-usul yang melambangkan penciptaan satu kesatuan antara unsur kosmik, air (dunia bawah) dan matahari (keinderaan). (2) Persamaan dengan melihat mitos Melayu tentang asal-usul dan cerita Rama Melayu. Dalam persamaan ini dilihat cerita Salasilah Kutai dan Serat Kanda. Dalam hikayat Melayu, Hikayat Sri Rama, ditemukan juga kemunculan Putri Junjung Buih, yaitu ketika Raja Destarata menikah dengan gadis dari buluh. Putranya, Rama, menikah dengan Sinta. Hal itu dihubungkan dengan unsur kosmik air. Di- sini terlihat bahwa Hikajat Bandjar sama dengan Hikayat Sri Rama. Jika dibandingkan dengan Silsilah Kutai perbedaan ditemukan dalam perwujudan Mangkubumi. (3) Persamaan juga dilihat antara Hikayat Banjar dan Sejarah Melayu dengan melihat tokoh-tokoh yang muncul, yaitu munculnya putri yang berasal dari buih, pendiri kerajaan, tokoh Mangkubumi, Putera Raja dari Cina, Raja Iskandar Zulkarnain, Nabi Khidir, Raja Keling, dan Raja Negeri bawah laut. (4) Persamaan dilihat juga dengan berdasarkan pada cerita Ampu Jatmika dan Kisah Raja Awab dalam Serat Kanda. Dari cerita itu ia menemukan persamaan tentang cerita Maha­raja Awab dan cerita Panji serta cerita dinasti kerajaan Jawa.
Pada kritik teks atas resensi I ia melihat penggunaan bahasanya. Menurut Ras perbendaharaan kata dan gaya bahasa dalam teks tidak sama antara bagian awal danakhir. Bahasa yang digunakan dalamseparuh bagian pertama lebih dekatpada bahasa Melayu klasik. Selain itu, pada beberapa kata, seperti kata ganti digunakan kata Jawa. Kebanyakan kata-kata itu digunakan dalam bahasa resmi dan tidak resmi. Peralihan dari bahasa Melayu ke bahasa Jawa mencerminkan satu perubahan dalam percakapan yang memunculkan pula satu perubahan kebudayaan.
Ia menyimpulkan bahwa teks resensi I ditulis sekurang-kurangnya oleh dua orang yang bekerja pada zaman yang berbeda. Perubahan juga terjadi dengan penggunaan kata-kata Arab oleh pengarang. Hal itu menandakan bahwa pengarang pertama telah mengarang pada masa Islam masuk ke Kalimantan Tenggara. Pengarang menulis dalam zaman Islam ortodoks yang baru masuk ke daerah itu sebagai agama resmi. Masa itu di Banjarmasin zaman Sultan Suryanullah. Teks yang ditulis di istana itu tidak lengkap, kemudian pengarang kedua menyalinnya dan menambahkan serta membuat perubahan.
Pada bagian akhir menurutnva ada cerita sambungan yang berhubungan dengan raja-raja berikutnya. Bagian ini mengandung lakuna ketika menceritakan masa pemerintahan Sultan Hidayatullah. Bagian yang hilang itu menceritakan pembuangan Sultan Hidayatullah ke Mataram dan digantikan oleh Sultan Mustainullah. Bagian teks setelah lakuna yaitu tentang kisah pemerintahan Marhum Panembahan ditulis selepas kemangkatan sultan itu. Dengan melihat perbedaan gaya penceritaan dengan cerita sebelumnya dapat disimpulkan bahwa selepas lakuna seorang pengarang baru yaitu yang ketiga telah mulai mengarang. Penyalin itu menyalin teks yang lama dan mengarang bagian akhir teks dengan caranya sendiri serta menambah satu cerita sambungan. Ras menyimpulkanbahwa penulisan itu mungkin dilaktikan di kraton baru di Kayu Tangi yang telah dibina oleh Raja (Marhum Panembahan). Pengarang yang ketiga bekerja untuk Pangeran Dipati Tapasana yang menggantikan putra sulung Marhum Panembahan sebagai sultan Riayatullah. Dalam bagian terakhir. pengarang memusatkan perhatiannnya pada Pangeran Dipati Anta-Kusuma atau ratu Kota Waringin daripada Tapasana. Oleh sebab itu, judul teks bernama Cerita Raja-raja Banjar dan Kota Waringin.
Dalam bagian kelima diuraikan jajahan Melayu di Kalimantan Tenggara dan hubungannya dengan Jawa. Untuk melihat keadaan itu, Ras melihat beberapa kasus, di antaranya penyebutan kata Keling dan negeri Tanjung Pura. Keling di Nusantara biasanya adalah India Selatan karena di situ ada orang yang disebut orang Keling, sebutan dari Kalingga. Dalam beberapa karya Jawa nama itu adalah nama lain Kuripan atau Jenggala yang ada pada masa Majapahit.
Pada bagian kritik teks, Ras merekonstruksi teks dengan membandingkan teks-teks resensi I. Pada bagian ini ia sampai pada kesimpulan bahwa perbendaharaan kata dan gaya teks resensi I tidak sama dari awal hingga akhir.Bahasa yang digunakan pada bagian awal dan tengah ialah bahasa Melayu klasik. Dalam teks ini juga digunakan kata-kata Jawa "baru" dan bahasa percakapan Banjar. Bagian enam adalah pernaskahan dan edisi naskah. Ia menemukan 8 naskah yang ada di Jakarta — seperti yang disebutkan oleh Van Ronkel, 10 naskah di Eropa, yakni 7 di Leiden, 1 di Jerman, dan 2 di Inggris. Dari naskah-naskah itu ia mendeskripsikan— meskipun tidak mendetail—seluruh naskah dengan menyebutkan tahun penyalinan. Bahkan ia mengelompokkan masing-masing naskah dengan melihat variasi bacaan. Berdasarkan itulah, ia membagi naskah-naskah tersebut menjadi dua kelompok.
Bagian edisi teks, bab dua, disertai dengan terjemahan dan aparatus kritikus yang diletakkan pada footnote. Edisi itu menggunakan metode gabungan, yaitu menggabungkan 5 naskah. Bab tiga adalah glosari dan indeks serta lampiran yang sangat lengkap berupa gambar silsilah dan beberapa foto, peta, dan latar belakang sejarah serta sosial budaya kota Waringin, permainan dan hiburan, dankesusastraan Melayu di daerah itu.

Babad Buleleng (Naskah Bali)

Naskah yangberasal dari Bali itu diteliti oleh seorang sarjana dari Australia, P.J. Worsley yang diberi judul Babad Buleleng, 1972, diterbitkandi Belanda oleh Martinus Nijhoff. Cerita dalam naskah itu banvak menampilkan tokoh dan peristiwa "sejarah" dari daerah Bali. Dalam penelitian ini, Worsley berhadapan pada sebuah tradisi penulisan sastra yang berkaitan dengan fungsinya. Tradisi penulisan ini menarik dan yang dipersoalkannya mengapa karya seperti ^itu diciptakan pengarang. Tambahan lagi karya sastra itu seringkali muncul sebagai karya anonim, tanpa tanggal pembuatan dan keterangan tentang kepengarangannya sehingga sebuah interpretasi sering menjadi agak berisiko.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Worsley menggunakan pendekatan objektif yaitu sebuah kajian sastra dengan analisis bentuk, tema, dan fungsi serta penokohan. Unsur sastra tersebut diharapkan dapat memperlihatkan tujuan pengarang dan fungsi karya sastra tersebut. Untuk kepentingan penelitian itu, ia memakai4 naskah Babad Buleleng yang terdapat dalam berbagai koleksi, yakni Perpustakaan Fakultas Sastra Udayana, Gedong Kirtya, Bali, serta Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dari keempat naskah itu, ia memilih satu naskah sebagai landasan. Naskah inilah yang ditransliterasi dan naskah-naskah lainnya digunakan sebagai pembanding.
Yang dibicarakan pada bagian pertama adalah tentang cerita Babad Buleleng yang mengisahkan kehidupan Panji Sakti. Karya itu adalah sebuah karya sastra Bali yangberisi genealogi atau silsilah. Cerita yang terdiri atas 22 episode ini menyajikan daftar nenek moyang tokoh tersebut. Dalam silsilah itu dikatakan bahwa leluhur Panji Sakti adalah seorang imigran yang berasal dari Maosapahit (Majapahit). Masa kecilnya diceritakan ketika ia berada di Bali Selatan, di Kerajaan Gelgel dan ia diramal akan menjadi Raja Den Bukit. Dalam bagian lain juga digambarkan tentang Panji Landung dan beberapa peristiwa lain yang berhubungan dengan cerita Bali Selatan. Cerita berakhir pada anak-anak Panji Sakti dan kematiannya.
Dilihat dari bentuknya, babad ini terdiri atas dua unsur, yaitu bagian genealogi dan bagian naratif. Bagian genealogi menceritakan asal-usul keturunan Panji Sakti dengan dua garis keturunan, mulai dari Dang Hyang Kapakisan dan garis klan Jlantik sampai dengan Panji Sakti. Unsur naratif, di antaranya menggambarkan terjadinya perang saudara antara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dan Ki Gusti Ngurah Jlantik yang berperan penting dalam perebutan kerajaan Den Bukit yang dilakukan Raja Karangasem. Bagian naratif ini disusun secara kronologis. Kedua unsur tersebut pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang terpisah, melainkan bersatu. Namun, keduanya masih dapat dikenali. Dari kedua unsur tersebut ditarik tema cerita di sekitar suksesi, yaitu (1) legitimasi keluarga sebagai pendiri Kerajaan Panji Sakti, (2) ketidaksahan Raja Karangasem di Den Bukit, dan (3) legitimasi kerajaan Belanda setelah Den Bukit.
Sehubungan dengan pelegitimasian Raja Panji Sakti dari Den Bukit, penelitian ini juga melihat aspek penokohan, terutama pada tokoh Panji Sakti yang berperan sebagai tokoh sentral. Kehadiran tokoh sentral tersebut berhubungan langsung dengan tema. Selain itu, para tokoh vang berperan dalam cerita tersebut kelihatan mengalami perkembangan.
Tokoh sentral adalah Panji Sakti. Ia keturunan Batara Majapahit (imigran), seorang raja ideal di Jawa.Tokoh Panji Sakti menjadi pusat perhatian babad ini karena ia diceritakan lebih dari setengah naskah. Panji Sakti merupakan leluhur dari klan suku Bali Utara, kerajaan Den Bukit Ia juga diceritakan sebagai tokoh yang sifatnya tidak seperti manusia biasanya karena ia mempunyai kekuatan yang terpendam. Kekuatan itu menakutkan dan mengancam klan lain, suku Bali Selatan, di kerajaan Gelgel.
Ancamankekuatan itu terbukti dengan dikalahkan beberapa musuhnya, seperti Panji Landung dan Kyai Sasankadri. Kesuksesan dan kepahlawanannya dalam pertempuran dikaitkan dengan fungsinya sebagai pelindung rakyat dan pelindung Kerajaan Den Bukit.
Kesuksesan dan keberhasilan Raja Panji Sakti irulah vang ditonjolkan dalam cerita ini. Keberhasilannya itu menjadi dasar munculnva lovalitas dan penghormatan rakyat kepada rajanya. Hal itu merupakan suatu kepuasan untuk menjaga kestabilan bagi kerajaan Panji Sakti. Tokoh-tokoh lain mendukung sosok Panji Sakti, di antaranya Si Luh Pasek Panji (wanita dari Bali Utara) dan Ki Pungakan Gendis serta Dampu Awang (musuh Panji Sakti).
Pokok pembicaraan yang ketiga adalah periode Kerajaan Karangasem di Den Bukit. Bagian ini memasukkan tiga peristiwa bersejarah vang terjadi di Kerajaan Karangasem, yaitu perang saudara dan bencana alam (banju lahar) tahun 1815 A. D., dan pemerintahan Ki Gusti Ngurah Made serta restorasi klan Panji Sakti kepada kerajaan Den Bukit.
Pokok pembicaraan yang lain dalam babad ini adalah pelegitimasian terhadap kerajaan Belanda setelah Den Bukit. Pelegitimasian itu terjadi ketika Ki Gusti Made Rahi disuksesi oleh Ki Gusti Ketut Jlantik. Perampasan itu dikontrol langsung oleh Belanda dan mereka membasmi pemerintahan yang ada di Den Bukit tersebut. Kejadian selanjutnya Belanda tidak mempunyai pilihan lain, kecuali ikut terlibat untuk menyingkirkan Ki Gusti Ketut Jlantik dan kerajaan dengan cara mengabolisinya.
Pokok pembicaraan yang terakhir dalam bagian ini adalah tanggal dan kepengarangan Babad Buleleng. Bagian ini menginformasikan bahwa Naskah C disalin dari naskah milik raja terakhir, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang berkuasa pada tahun 1871 A.D. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa vang disorot dalam babad ini yakni peristiwa berkuasa raja di Den Bukit, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang hichip pada tahun 1872 A.D. Dengan adanya keterangan itu kemungkinan babad ini ditulis antara tahun 1872 — 1928 A.D. oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya. Penyusun babad ini diduga adalah seseorang yang mengerti unsur-unsur cerita Panji Sakti. Ia juga menduga bahwa penulis babad ini mengambil bahan dari Babad Blah Batu. Ia memperoleh bahan cerita dari beberapa sumber yang berbeda kdu mengumpulkan dan menyusunnya sehingga menjadi cerita seperti ini. Penyusunnya merasa bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk penulisan babad yang juga berarti juga menulis "sejarah" untuk kepentingan klannya.
Dalam menyajikan edisi teks Babad Buleleng, Worsley menyadari bahwa berbagai kesulitan pasti akan ditemui. Sebagai seorang editor ia menyadari bahwa menyajikan sebuah kritik teks merupakan hal yang sangat penting karena dengan cara itu ia dapat mengetahui tradisi penyalinan teks-teks yang ditemukan. Ia melihat teks dari sudut linguistik. Kritik teks dengan melihat gejala kebahasaan (Jawa Kuno dan Tengahan) pernah dilakukan di antaranya oleh Teeuw dan Uhlenbeck dalam Negarakertagatna, Pigeaud, dan Van der Tuuk untuk naskah Bali. Ia melihat kekeliruan sering dilakukan penyalin ketika menurunkan teks. Untuk melihat kekeliruan ini, Worsley berpegang pada pokok-pokok yang dibicarakan oleh Reynolds dan Wil­son.
Pembicaraan selanjutnya butir empat sampai lima adalah masalah kebahasaan dalam penyajian sebuah teks. Masalah kebahasaan itu menyangkut pemakaian ejaan, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Pada pembicaraan keenam ia mengatakan bahwa Babpd Buleleng pada dasarnya ada 6 naskah. Keenam naskah itu dijadikan bukti dalam penelitian ini. Akan tetapi, Worsley mengeluarkan 2 naskah sehingga hanya 4 naskah yang diperhitungkannya, dan ke-4 naskah itu dipakai sebagai bahan penelitiannya.
Berdasarkan keempat naskah tersebut, ia mengatakan bahwa keempatnya termasuk dalam satu versi dengan varian yang berbeda. Perbedaan hanya diketahui dari detail cerita. Berdasarkan hubungan antarnaskah ia mengajukan dua alternatif hubungan dengan membuat dua silsilah naskah. Dari naskah-naskah itu, ia memilih naskah A sebagai landasan dan naskah inilah yang ditransliterasi, sedangkan ketiga naskah lain dipakai sebagai bandingan. Naskah-naskah yang diambil kemudian dideskripsikan dengan sangat teliti sehingga pembaca mendapat gambaran yang jelas tentang keberadaan ke-4 naskah tersebut.

Serat Cabolek (Naskah Jawa)

Naskah Jawa ini dikerjakan oleh S. Soebardi dengan judul The Book of Cabolek, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1975. Penelitian ini merupakan sajian edisi kritis dari naskah Jawa yang berjudul Serat Cabolek. Untuk keperluan itu, ia membagi penelitiannya menjadi 4 bagian, yaitu pengantar teks dan transliterasi serta terjemaharmya ke dalam bahasa Inggris. Pada bagian awal ia menyajikan ringkasan cerita. Ringkasan ihi di samping transliterasi sangat bermanfaat karena dapat membimbing pembaca ke arah pembahasan isi. Bagian kedua adalah masalah pernaskahan. Dalam bagian ini dibicarakan dua hal, yaitu perbandingan naskah dan edisi. teks. Setelah melakukan perbandingan, Soebardi menggunakan metode gabungan untuk edisi teks Serat Cabolek. Pada bagian ketiga, Soebardi memperkenalkan pengarang dan karva-karyanya. Bagian keempat adalah makna (significance) Serat Cabolek, dan makna cerita Dexoi Ruci.
Pada bagian pernaskahan, ia mengatakan bahwa naskah yang berisi cerita tersebut mencapai 11 naskah dan 1 cerita terbitan. Kesebelas naskah yang menjadi saksi penelitian ini disimpan dalam dua tempat, yakni 7 naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan 4 naskah (mikrofis) disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Selain itu ada juga satu Serat Cabolek yang diterbitkan oleh Dorp & Co, 1886, yang dipakai sebagai bahan bandingan.
Untuk keperluan edisi teks ini, kesebelas naskah ditandai dengan aksara Latin, yaitu A — k. Naskah-naskah tersebut sebagian besar ditulis dengan aksara Jawa. Dari naskah-naskah tersebut, ia melihat ada 3 unsur cerita yang sama dalam setiap cerita.
Di samping persamaan, ditemukan juga perbedaan di antara cerita tersebut.
Oleh sebab itu, Soebardi memakai studi bandingan naskah untuk melihat persamaan dan perbedaan. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang ada dalam cerita tersebut berhubungan erat dengan kebebasan penyalin dalam mengadaptasi cerita.Padasaat menyalin, sang penyalin bebas menvisipkan karya lainyangdianggapsesuai dengan seleranya.

Soebardi membandingkan berdasarkan bentuk (pupuh dan matra) dan isi cerita. Dari kesebelas cerita tersebut ia membagi cerita menjadi 3 kelompok. Kelompok I adalah naskah E, i, dan J. Kelompok II adalah naskah A,B,f,g, dan h. Kelompok III adalah naskah C,D,k dan 1. Antara ke-3 kelompok tersebut masih terdapat persamaan dan perbedaan. Kelompok I dan II mempunyai persamaan dalam pengadilan Haji Mustakim dan perbedaannya dalam bagian cerita Dewi Ruci. Bagian cerita itu hanya ditemukan dalam naskah i. Naskah i kelihatannya menyisipkan dari naskah E atau J. kelompok II dan III terdapat persamaan dalam cerita Mangkubumi yang ada dalam naskah B di kelompok II. Persamaan yang menghubungkan kelompok I dan III adalah naskah i melalui D.
Dalam edisi teks, Soebardi mengambil dua naskah, yaitu A dan E. Ia memakai edisi gabungan. Dari naskah A, ia mengambil pupuh I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII — stanza lsampai dengan 26, XII — stanza 14 sampai dengan 65, XIII, XIV, XV/ dan dari naskah E ia mengambil pupuh VIII — stanza 27 sampai dengan 28, IX, X, XI. Ia member ikan beberapa catatan sehubungan dengan edisi teks ini, yaitu pada halaman 171. Catatan itu menyangkut penjelasan akar kata, arti kata, juga catatan perbedaan antara naskah (aparatus kritikus).
Pada bagian pengarang dan karyanya, ia menjelaskan bahwa di antara naskah yang disebutkan itu tidak ada satu pun naskah yang mencantumkan keterangan tentang pengarang. Keterangan tentang pengarang, Yasadipura I, hanya diketahui dari sumber luar (eksternal), bahwa Yasadipura I menyusun Babad Gayanti, Babad Prayut, Pesinden Badaya, dan Serat Cabolek Informasi itu juga ditemukan dalam Serat Cabolek yang sudah diterbitkan. Di situ dikatakan bahwa cerita dibuat pada masa Paku Buwana IV.
Yasadipura ketika membuat karya itu mempunyai tendensi, yaitu ia ingin meluruskan dirinya dan para ulama yang syariahnya berbeda. Sikap Yasadipura terhadap syariah dapat dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa. Baginya. syariah merupakan "sebuah wadah yang merupakan bagian luar dalam sistem kepercayaan dan bukan merupakan pokok. Yang pokok adalah ilmu tarekat.
Dalam Serat Cabolek, Haji Mutamakin menggambarkan ajaran mistik yang sangat kuat tentang ilmu tarekat. Ajaran itu merupakan tiruan dari ajaran sebelumnya, ajaran Shaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Shaikh Anion Raga. Di antara pendapat-pendapat tersebut ternyata ditemukan motif umum yang menjadi sumber konflik antara mistik Jawa dengan ortodoks dan hukum Islam. Konflik itu menambah beberapa bagian ke dalam motif dan makna Serat Cabolek. (1) Shaikh Siti Jenar merupakan motif yang muncul dalam beberapa cerita. Oleh karena itu, ajarannya pun muncul dalam berbagai versi. Dalam versi cerita Shaikh Siti Jenar, ajaran yang disebarkannya adalah doktrin mistik heterodoks, yang berpusat pada pengenalan identitas manusia dengan Tuhan. Karena itu ia tidak pernah salat Jumat. Dalam keny ataanny a, Shaikh Siti Jenar adalah seorang Al Hallaj. Ia dieksekusi dengan pedang karena memunculkan pengetahuan vang tidak pernah diketahui orang lain. Ia dianggap melanggar etika mistik yang ada. (2) Sunan Panggung adalah sosok lain dari tiruan Shaikh Siti Jenar di Demak. Sunan Panggung dibakar karena ia dianggap berani melanggar syariah atau hukum agama. Alasan lain pembakarannya karena ia hanya percaya pada iman dan tauhid, sedangkan yang lainnya tidak. Oleh sebab itu, para ulama merasa ia melanggar agama Islam dan dianggap membahayakan masyarakat. (3) Motif Ki Babeluk tidak banyak diinformasikan dalam karya ini. Ia hanya muncul sebagai jembatan yang menghubungkan antara dua gap, yaitu antara tradisi pra-Islam dan era Islam. (4) Shaikh Among Raga dieksekusi di lautan dekat kampung Tanjungbang, daerah kekuasaan Sultan Agung, Raja Islam Ma tar am. Tokoh ini juga dilukiskan Serat Centini. Dengan memasukkan tokoh ini ke dalam karyanya, Yasadipura I kemungkinan besar mengadaptasi dan menyisipkars bagian ini dalam seratnya pada tahun 1815 A.D. (5) Motif Haji Ahmad Mutamakin banyak disorot dalam karya ini. Karena tokoh ini mempunyai ajaran yang banyak persamaannya dengan Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu menandai bahwa daya tarik pengarang sangat besar pada Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu dibuktikan dengan munculnya tokoh Ketib Anom yang menyatakan bahwa Haji Ahmad Mutamakin melanggar syariah. Dalam Serat Cabolek Haji Ahmad Mutamakin digambarkan sebagai seorang mistis yang tidak mempunyai kepribadian, tidak berpengetahuan agama yang mendalam, dan tidak berwibawa.
Cerita Dewi Ruci dalam sastra Jawa merupakan cerita dari era pra-Islam yang berasal dari cerita Mahabarata. Bima dalam cerita ini lebih penting daripada Arjuna. Bima tidak hanya ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat fisiknya, tetapi juga seorang yang bijaksana dengan kualitas spiritual yang tinggi. Dalam versi Yasa dipura I ini cerita diadaptasi dengan cerita wayang purwa.
Dilihat dari maknanya cerita tersebut berfungsi sebagai ajaran. Ajaran yang terkandung di dalamnya ada dua, yaitu ajaran etika dan ajaran mistik. Ajaran etika dalam cerita ini, di antaranya terlihat pada pengalaman Bima pada saat melawan Rakmuka dan Rukmakala waktu mencari air kehidupan. Di bagian itu terlihat segala usaha Bima untuk memperoleh air itu. Dari peristiwa itu dapat diambil ajaran bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup ini manusia harus berusaha keras dan harus dapat mengatasi segala rintangan seberat apa pun. Selain itu, manusia juga harus jujur dan bersifat loyal.
Selain ajaran etika ada ajaran yang lebih penting dalam cerita ini, yaitu ajaran mistik. Ajaran itu berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Bahwa tujuan hidup manusia di bumi ini adalah bagaimana manusia mencapai penyatuan diri dengan Tuhan atau pamoring Kawula Gusti.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa Yasadipura dalam karyanya bertujuan untuk menyejajarkan dirinya dengan ulama vang menghormati ajaran syariah sebagai sebuah petunjuk formal kepada orang jawa yang beragama. Ia berpendapat bahwa syariah harus dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa.

Syair-syair Hamzah Fansuri (Naskah Melayu)

Penelitian atas syair-syair Hamzah Fansuri yang berjudul The Poems of Hamzah Fansuri ini dilakukan oleh G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, diterbitkan di Belanda oleh Foris Publication, 1986. Buku ini bertujuan ingin menampilkan kepenyairan Hamzah Fansuri yang belum dibuat secara tuntas sampai sekarang meskipun sebelumnya beberapa peneliti pernah melakukannya, seperti Al Attas, Untuk itu, Drewes dan Brakel membagi hasil penelitian menjadi 8 bab.
Dalam pengantar dibicarakan 7 topik.
(1)     Riwayat hidup Hamzah Fansuri. Penyair Melayu yang terkenal ini, dilahirkan di Barus, sebuah pusat perdagangan yang terletak antara Singkil dan Sibolga, Sumatra Utara. Kehidupan penyair itu tidak pernah dicatat. Masa hidupnya lebih dulu dari Samsuddin Pasai. Ia diperkirakan hidup sekitar abad ke-16. Nama Hamzah pernah disebut-sebut oleh Samsuddin Pasai (1630) dan Nuruddin Ar Raniri (1658). Dalam Tibyan, Nuruddin melawan Hamzah dan Samsuddin dan mengatakan ajaran mereka sebagai xvujudiah dalalah. Kreamer mengatakan bahwa Hamzah mungkin hidup setelah tahun 1636. Namun, latar belakang pendapatnya sangat lemah. Drewes lebih setuju dengan Voorhoeve daripada Kreamer. Ia mengatakan bahwa masa hidup Hamzah sekitar abad ke-16 dan meninggal sebelum tahun 1590.
(2)     Dalam sajak-sajaknya, Hamzah meniru bentuk ghazal dari Persia yang pada bagian akhir sering menyebutkan nama samaran (takhallus). Ia menggunakan 3 nama yang berbeda, 15 kali dengan Hamzah saja, 15 kali dengan Hamzah Fansuri, dan 2 kali dengan Hamzah Shahrnawi. Berdasarkan beberapa larik syair Hamzah, Al Attas mengatakan bahwa Hamzah orang Bams (Fansur), tetapi tempat memperoleh eksistensi dirinya di tanah Shahrnawi.
(3)     Hamzah Fansuri dalam perjalanannya mencari Tuhan pernah sampai ke tanah Bagdad, Mekkah, dan Shahr-i Naw, dan Yarussalem. Kepergian itu ditunjang dengan bukti yang ditemukan dalam Sejarah Banten yang mengatakan bahwa Raja Banten mengirim tiga buku ke Mekkah dan salah satu buku itu adalah Muntahi karya Hamzah Fansuri.
(4)     Hamzah Fansuri selain menulis syair juga menulis prosa. Ia membuat 32 syair dan juga menulis tiga karya prosa, yaitu Asrar al-arifin, Sharah al-ashiqin,dan al-Muntahi. Dalam karya pertamanya ia menjelaskan sif at keabadian Tuhan yang menciptakan dunia dan seluruh isinya. Setelah itu, dijelaskan juga tentang pengetahuan Tuhan dalam menciptakan hakikat Muhammad atau Nur Muhammad yang menjadi sumber semua ciptaan Tuhan di dunia. Dalam karyanya yang kedua ia menjelaskan 4 hal yang menarik, yaitu a) empat tingkat menuju ajaran mistik dan bagaimana cara mencapainya, b) doktrin emanation yang membedakan 7 tingkat dalam membentangkan satuan absolut ke dalam ciptaan-Nya, c) sifat-sifat Tuhan, d) cinta dan rasa syukur. Karya ketiganya merupakan sebuah risalah yang banyak mengutip ayat Quran, beberapa sajak dari Persia, dan Arab serta ditambah juga dengan terjemahan. Karya ini semacam sebuah antologi yang semua isinya merujuk pada ajaran wujudiah.
(5)     Hamzah Fansuri selain menguasai bahasa Arab juga menguasai bahasa Persia. Kemampuan bahasa Persia itu termuat dalam ketiga karya di atas. Pengetahuannya dalam bahasa Persia kelihatannya samabagusnya dengan kemampuannya dalam bahasa Arab. Pada masa mudanya ia semestinya pernah belajar bahasa Arab dan lebih diperdalam lagi ketika ia ke Arab. Pada saat irulah ia belajar bahasa Persia dan tinggal di Shahranawi.
(6)     Raniri mencela ajaran wujudiah yang diajukan Hamzah Fansuri. Ia menyerang Muntahi dalam karangannya yang berjudul Tibyan fi Ma’rifatal-adyan Ia menyebut ajaran wujudiah Hamzah adalah bid'ah sehingga disebutnya dengan wujudiah dalalah. Ketika Raniri tinggal di Aceh (1637 — 1644) ia didukung Raja Iskandar Muda yang juga tidak setuju dengan ajaran Hamzah dan Shamsuddin sehingga banyak pengikut mereka yang dibunuh dan buku-buku mereka dibakar.
(7)     Bagian ini membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri yang di antaranya ada yang tidak menyebutkan identitasnya. Oleh sebab itu, banyak yang meragukan apakah karya itu memang karya Hamzah. Tiga karya yang anonim Hamzah adalah syair Perahu, Bahr al-nisa (Ikat-ikatan Urn al-nisa) dan Syair Dagang. Syair Perahu pernah diteliti oleh V.Y. Braginsky. Ia mengenali syair karya Hamzah dari struktur rimanya yang biasa digunakan Hamzah dalam syair-syairnya. Bahral-nisa yang tersimpan di Leiden merupakan syair yang layak diper timbangkan. Syair Dagang menur ut Teeu w dari pemakaian rimanya terlihat kurang bagus; banyak dipengaruhi kata-kata Minangkabau, seperti kacie, curita, batunpo-timpo, tidak lai.

Dalam bab 2 tentang pernaskahan, Drewes membicarakan 5 topik. Pertama, syair-syairnya ditulis dalam 7 naskah. Empat naskah disimpan di Leiden, 2 naskah di Jakarta, dan 1 naskah terbitan dalam bentuk faksimile yang dibuat A. Hasjmy, 1976. Di antara naskah-naskah itu, naskah tertua adalah B (Cod or. 2016) yaitu tahun 1704, kemudian naskah C (Cod.or. 3372) yang mencatat tahun pe*nyalinan pada tahun 1851. Di antara naskah-naskah tersebut, yang dianggap paling baik adalah naskah A • MS.83). Naskah yang dianggap kurang baik karena tulisannya buruk dan banyak kesalahan adalah naskah C (Cod.Or.3372). Naskah D (Cod. Or 3374) tidak men yebutkan nama pengarang (anonim) dan memuat tiga teks, yaitu Syair Dagang, Syair Perahu, dan Hikayat Bakhtiar. Naskah B ( Cod. Or. 2016) memuat Syarab al-ashiqin ruga anonim dan memuat syair Hasan Fansuri dan beberapa sajak Abdul Jamal
Kedua, syair Hamzah Fansuri d :ngan nomor Ms. Von de Wall 32, disimpan di Jakarta, merupakan koleksi yang umumya muda dan ditulis ulang dalam bentuk yang isir.ya bervariasi. Syair-syair ini terkenal di Banten pada abad ke-17 dengan judul Muntahi. Pada abad ke-17 dikenal juga drMakassar sebagai Syair Perang Mcrngfamar vang ditulis oleh Skinner tahun 1670.
Ketiga, beberapa syair Hamzah merupakan versi yang menyimpang. Doorenbos menyebutnya sebagai wandering verses dari syair Hamzah. Keempat, sehubungan dengan tulisan Shamsuddin dan Raniri, Van Nieuwenhuijze dan Voorhoeve menemukan kutipan (catatan) syair Hamzah. Catatan itu kadang-kadang berbentuk varias bacaan. Kelima, Drewes membuat tabel yang memperlihatkan perbedaan atau vanasi dari syair Hamzah berdasarkan teks yang disunting Doorenbos, naskah Jak.Mai 83. Cod. Or. 2016, Cod. Or. 3372, dan Cod. Or.3374.
Bab 3 terbagi atas 6 bagian yang akan diuraikan secara singkat di bawah ini. (1) Dalam bagian ini dikatakan syair Hamzah yang berjumlah 32 nomor panjangnya tidak scjajar. Shamsuddindalamkomentarnya tentang sajak Hamzah menyebutnya dengan Ruba'i Hamzah Fansuri. Meskipun begitu rima yang digunakannya sudah memakai rima syair Melayu, yaitu dengan a- a- a- a, bukan a- a- b- b. Dengan begitu Hamzah bukan hanya sekedar imitator, tetapi juga memiliki kekuatan sebagai master. Di Aceh beberapa syairnya dijadikan sebuah nyanyian yang disebut seulaucuet. yang populer disebut daboih dalam bahasa Arab disebut dabbus.
Dalam penggunaan bahasa syair-syair Hamzah sangat akrab dengan bahasa Arab kutipan ayat Quran sehingga syair-syairnya menjadi tidak dapat lagi dikenali. Pilihan katanya pendek dan tepat, tetapi tidak sampai pada kemurnian (clarity). Yang dipentingkan dalam syairnya adalah kedalaman pengalaman spiritual.
Drewes membagi syair hamzah menjadi 6 grup berdasarkan masyarakat yang ditujunya, yaitu kalangan umum, orang Islam, dan kalangan mistik. Dari enam grup itu, ia membua t beberapa sinopsis. Untuk edisi teks ia menggunakan metode gabungan berdasarkan tujuh naskah. Ia tidak menjelaskan kenapa metode ini digunakan. Setelah transliterasi ia membuat aparatus kritikus, dan indeks syair.
Dalam bab 4, ia menjelaskan kata yang digunakan, seperti etimologi kata dan sumber kata atau kalimat ditemukan.Ia juga memperhatikan kata Arab yang digunakan Hamzah Fansuri yang diuraikannya dalam bab 5. Drewes menjelaskan setiap bahasa Arab yang digunakan lengkap dengan kelas katanya, kutipan ayat Quran, dan beberapa istilah, glosari.
Ulasan atas karya Hamzah yang pernah disampaikan oleh beberapa orang diulas lagi pada bab 5, di antaranya oleh Van der Tuuk pada tahun 1866, R. Roolvink,A. Hasjmy, penyunting Shark Ruba'i Hamzah al Fansuri yang bertahun 1840.Ulasan-ulasan lainnya adalah yang dibuat oleh Hamzah Fansuri sendiri atas Asrar al-arifin dan ulasan Shamsuddin atas beberapa nomor syairnya.
Dalam bab 6 ia menyajikan tentang naskah dan edisi teks. Naskah terjemahan ini ada dua buah: naskah koleksi India Office Cod. Or. no. 2446 yang berasal dari koleksi John Ley den dan naskah Cod. Or. Leiden no. 7392 yang merupakan salinan dari naskah primbon Priangan yang dibuat untuk Snouck Hurgronje. Edisi teks menyajikan sebuah transliterasi teks dari naskah yang lengkap yang disimpan dalam India Office Library.
Pada bab 8, ia menyajikan juga transliterasi naskah Jawa, Muntahi yang isinya bukan hanya Muntahi, melainkan teks Ibn al-Arabi, Fusus al-hikam. Kondisi naskah sudah kurang bagus karena beberapa bagian sudah rusak termakan tinta.

Kakawin Gadjah Mada (Naskah Jawa dan Bali)

Penelitian yang dilakukan oleh Partini Sarjono Prakoso ini berjudul Kakawin Gadjah Mada Sebuah Karya Sastra Kakawin Abadke-20 (Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks), diterbitkan di Bandung oleh Binacipta, 1986.Tokoh yang dibicarakan adalah tokoh sejarah yang sangat populer di masyarakat, Gadjah Mada. Dalam bab I, diuraikan beberapa alasan pemilihan kakawin itu,di antaranya kakawin adalah bentuk sastra yang populer dan isinya beragam; puisi ini juga dikenal di Jawa dan Bali; kakawin dapat bertahan selama 6 abad. Ia tertarik mengambil Kakawin Gadjah Mada (selanjutnya KGM) karena ada keterangan secara eksplisit bahwa protagonis, Gadjah Mada, adalah tokoh sejarah. Meskipun tokoh sejarah, penelitian ini tidak menggunakan pendekatan ilmu sejarah karena disiplin itu di luar jangkauannya Sehubungan dengan itu, tujuan utama penelitian ini adalah mengungkap mitos Gadjah Mada melalui edisi teks. Hal itu dilakukan agar jangkauan pembacanya dapat lebih luas. Selain itu,ia juga ingin mengungkap citra Gadjah Mada, apakah tokoh itu mempunyai tempat khusus dalam diri penyair serta bagaimana penyair itu menggambarkannya dalam bentuk kakawin yang berbahasa Jawa Kuno pada abad ke-20. Yang menjadi masalah mengapa penyair KGM mengambil seorang tokoh sejarah sebagai protagonis? Apakah penyair memakai bahasa Jawa Kuno yang sama dengan bahasa Jawa Kuno dulu?
Dalam penelitian ini ia membatasi telaahnya pada satu karya sastra saja. Untuk mencapai sasaran di atas, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif, mendekati KGM dari struktur.Untuk kepentingan di atas, penelitian ini juga akan melihat hubungan antarteks karena setiap teks hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan teks-teks KGM yang lain, termasuk teks dari daerah lain. Sebagai pembanding ia memakai 5 karya sastra daerah.
Berbagai masalah tersebut mulai dibahas pada bab 2—6. Untuk mengikuti butir-butir pembahasan, penelitian ini pada dasarnya diklasifikasi menjadi 4 bagian, yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan pemakaian bahasa Jawa Kuno dalam KGM, (2) pernaskahan atau edisi teks, (3) analisis struktur — alur dan tema, tokoh, (4) hubungan antarteks, dan (5) Citra Tokoh Gadjah Mada dalam sastra daerah lain.
Bab 2 terdiri atas 4 butir. Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada dalam pandangan penyair KGM. Gajah Mada dimitoskan sebagai tokoh yang agung. Ia adalah seorang digjaya yang tak tercela di seluruh dunia. Ia adalah purra Dastrasutra yang gaib karena sering mengeluarkan cahaya. Kedua, seluruh naskah memuat 730 halaman dalam 76 pupuh. Pola wrtta matra KGM ini menunjukkan wisarna wrtta dan wisama matra (abed) Hal itu berarti bahwa prosodi KGM tidak dapat dihitung dengan menggunakan peraturan pola matra India yang terdapat dalam kavya. Kakawminidinyatakanberhasil, meskipun ada juga kelemahannya. Namun, kelemahan itu dimaklumi karena kakawin ini ingin melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya. Itulah sebabnya ia membuat pembaruan. Ketiga, bahasa yang digunakan bahasa Jawa Kuno. Ia menemukan penyimpangan wajar karena kakawin itu dibuat pada abad XX yang drpengaruhi oleh bahasa ibu dan lingkungan masyarakatnya pada zaman itu. Keempat,dalam bagian pernaskahan ini dibicarakan asal-usul, penanggalan, dan penyair naskah KGM. Pernaskahan KGM ini menarik karena di Bali kegiatan penyalinan ternvata masih berlangsung sampai abad ke-20. Menurutnya, naskah KGM yang ditemukan ada 3 dan diterimanya dari I Gusti Ngurah Bagus. Ketiga naskah tersebut disalin dari naskah KGM, yaitu Lontar 315, kropak 136, dankoleksi FS-UNUD. Bali. Naskah koleksi FS-UNUD (Ud) ternyata adalah salinan setia dari satu naskah yang ada di Ubud (Ub). Naskah ini menarik karena ada kolofonnya, yang menvatakan iangan diturun sehingga bagian ini tidak disalin dalam naskah Ud. Naskah Ub ini ternyata disalin pada tahun 1977—1978 dari naskah milik perorangan yang sekarang sudah rusak. Paftini berkesimpulan bahwa naskah Ub merupakan saurian vang lebih muda dari naskah Ud karena keadaan naskah Ub masih tampak baru, tetapi tulisannya lebih buruk. Kolofon yang menarik dari naskah Ub adalah penyebutan nama Ida Cokorda Ngurah. Penyalin ini ditelusur dan dicari identitasnya. Partini menyimpulkan bahwa meskipun penyair KGM, Ida Cok.ria Ngurah Bagus < mengambil pokok isi riwayat hidup Gadjah Mada untuk kakawinnya, ia tidak bermaksud menulis biografi. Oleh karena itu, dengan mengambil seorang tokoh sejarah sebagai protagonis dalam kakawinnya, penyair KGM ini boleh dikatakan menciptakan pembaharuan dalam tradisi kakawin sebagai jenis sastra Jawa Kuna yang pokok isinya sebelumnya jarang sekali bersifat konkret (down to earth).
Bagian pernaskahan ini dapat juga dilihat pada bab VI, bagian pengantar teks dan terjemahan KGM. Dalambagian'ini teks yang diambil sebagai dasar suntingan adalah naskah Ub dan naskah Ud 1 karena menurut Partini keduanya merupakan salinan dari naskah aslinya dan merupakan naskah yang sama. Dia membandingkan kedua naskah itu dan keduanya diambil ketika edisi teks, hanya naskah yang dijadikan landasai adalah naskah Ub.
Bab 3 membahas susunan KGM analisis struktur. Yang dilihat pada bagian ini adalah hubungan antara alur dan tema KGM.  Penulis memilih pendekatan objektif  karena menurutnya  pendekatan inilah yang paling efektif. Akan tetapi, karena sifat kekawin KGM ini ternyata pendekatan-pendekatan lain juga digunakan, yaitu pendekatan ekspresif yang menyoroti pengarang, pendekatan pragmatik karena karya ini juga merupakan mabasam, dan pendekatan mimesis karena karya ini merupakan pencerminan kenyataan yang dilihat.
Pada akhirnya dia melihat bahwa unsur ajaran mendapat perhatian yang paling banyak dari penyair. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa Gadjah Mada adalah tokoh sejarah, tetapi sifat epik dari kakawin tetap dipertahankan dan prota gonisnya masih tetap the epic divine hero. Penyair tidak lagi memakai tokoh Mahabarata karena mempunyai tokoh pujaan tersendiri. Tokoh pahlawan ini mendukung tema, yakni kejayaan tokoh Gadjah Mada. Itulah yang menjadi ide sentral. KGM terdiri atas serentetan peristiwa yang menunjang dan bermain seputar tokoh Gadjah Mada dan tidak lepas dengan unsur yang lainnya, yaitu alur.
Pendekatan objektif dianggap belum len.gkap untuk mengungkapkan makna karya tersebut maka ia juga merigkaji hubungan antarteks. Hubungan tersebut dilihat karena melihat sifat KGM sebagai karya sastra yang mengalanu banyak perkembangan. Hal itu terjadi karana karya ini lahir dari kalangan masyarakat yang kegiatan sastranya kurang. Oleh sebab itu, ada dugaan bahwa waktu meoiggubah KGM, penyair menghadapi berbagai teks lain yang menjadi hipogram. Hal itu terjadi karena penyair sangat akrab dengan te ks-teks lain yang menjadi hipogramnya. Kegiatan penyair KGM dalam posisi ini adalah tri-dimensional (sebagai pembaca, penyambut/penafsir, dan pengarang sekaligus). Penyair kadang-kadang memasukkan satu peristiwa, bahkan satu kalimat atau ungkapan dalam hipogramnya, yang kemudian diselipkan dalam keutuhan gubahannya. Hipogram itu beragam, ada prosa, puisi, dan cerita rakyat. Percampuran itu menyebabkan KGM terbina bagaikan sebuah mosaik kutipan. Partini membagi menjadi 9 hipogram yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu teks yang berisi ajaran moral dan teks agama dalam teks tradisi J a wa Tengahan, cerita sejarah or ang-orang Jawa.
Satu hal yang menolong dalam disertasi ini adanya lampiran garis besar cerita KGM. Lampiran ini dapat memberi gambaran kepada pembaca untuk mengikuti alur cerita. Lampiran lainnya berupa perbandingan hipogram-hipogram.
Bab 4 mengkaji citra Gadjah Mada dalam sastra daerah lain. Sastra d.aerah yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukkan 5 cerita saja, "Negarakertagama", "Pararaton","Kidung Sunda", "Caritra Banjar dan Raja Kota Waringin", dan "Hikayat Hang Tuah". Dari kelima karya tersebut diperoleh gambaran umum sosok Gadjah Mada. Ia adalah seorang perdana menteri besar dari Majapahit. Kebesaran itu terutama berkat kebijakartnya sebagai negarawan dalam penaklukan daerah-daerah di Nu santara. Namanya begitu terkenal sehingga Gadjah Mada menjadi narna umum untuk perdana menteri Majapahit. Adanya gambaran umum ini menimbulkan dugaan bahwa penyalin-penyalin tersebut dapat saja menggunakan teks acuan vang sama atau berbeda. Yang jelas mereka telah menghasilkan karya dari abad-abad yang silam. Kemudian mereka menyesuaikannya dengan tujuan dan rungsi karya sastra masing-masing. Hal itu sejalan dengan Ida Cokorda Ngurah yang menambah dan mengubah atau mengurangi teks-teks acuannya kemudian menyesuaikan dengan tujuan karangarmya.
Bab 5 mempakan kesimpulan umum dan bab yang ke-6 adalah edisi teks, berupa pengantar teks, transliterasi, dan terjemahan KGM.

Siwaratrikalpa (Naskah Bali)

Siwaratrikalpa ofMpu Tanakun, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1969, dikerjakan oleh sebuah tim yang terdiri atas A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P. Galestin, dan P.J. Worsley. Dalam bab pertama ada 17 topik pembicaraan yang dapat uikelompokkan lagi menjadi 7 bagian.
Petama, Siwaratrikalpa dalam sastra Jawa Kuno termasuk dalam genre kakawin. Kakawin merupakan sebuah transposisi dari bentuk kavya India. Penulis Siwaratrikalpa mempunyai tujuan yang lebih khusus yaitu menyebarkan pengetahuan tentang ketaatan atau penghormatan pada perayaan malam Siwa (Siwararrikalva). Karya itu ba gi pengarangnya sendiri berfungsi sebagai pelepasan rasa estetisnya.
Kedua, ringkasan cerita disajikan dengan sangat pendek. Karajaan Gigindra dipimpin oleh Raja Suraprabhawa. Di daerah peguiiungan di kerajaan itu hiduplah seorang pemburu, Lubdhaka namanya. Pada tanggal 14 separuh petang bulan ketujuh, ia pergi berburu. Ia melewati dusun dekat sebuah pertapaan yang tersembunyi di lembah dan halaman sebuah candi yang hampir runtuh. Ia juga melihat laut yang terbentang. Setelah masuk ke hutan, ia siap mencari buruan. Namun, tidak seekor pun hasil buruan didapat. Suatu kali ia sampai di daerah perbukitan clan sampai di sebuah danau. Ketika sore datang, ia belum juga memperoleh buruan. Karena ia merasa tidak mungin lagi pulang ke rumah, ia pun tidur di sebuch pohon maja yang batangnya menggantung ke arah danau. Ketika malam tiba, saat ia diserang kantuk ia ingin tidur. Akan tetapi, jika tidur, ia takut jatuh. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa kantuknya ia memetik daun maja danmenjatuhk annya ke danauitu. Danau tempat ia menjatuhkan daun itu sebenarnya adalah lingga Siwa. Siangnya ia tidak juga memperoleh buruan. Ia pun kembali ke rumah dan disambut oleh istri dan anaknya.
Suatu hari ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Kemudian keluarga mengremasiny a dan mereka pulang. Jiwa Lubdhaka melayang ke langit. Siwa meminta Ganas untuk menangkapnya. Menurut Ganas, Lubdhaka harus dimasukkan ke neraka karena ia tidak melihat kebaikan dalamdirinya. Ia sepanjang usianya hanya membunuh binatang, tetapi Siwa mencegahnya. Siwa menjelaskan bahwa selama hidupnya Lubdhaka pernah berbuat kebaikan yang sangat besar, yakni menghormati Siwa, suatu kebaikan yang tidak ada bandingnya. Akhirnya, Ganas merebut Lubdhaka dari Kinkara-kinkara. Yama penentu seseorang masuk surga atau neraka malu karena merasa tidak dapat menunaikan tugasnya. Ia memohon mengundurkan diri. Akhirnya, Siwa menjelaskan perbuatan baik Lubdhaka. Perbuatan itu dianggap sangat suci sehingga dapat membersihkan perbuatan dosa yang dibuat selama hidupnya. Untuk itu, ia berhak masuk surga.
Ketiga, Mpu Tanakung tercatat sebagai pengarang dalam Siwaratrikalpa yang dinyatakan pada bagian akhir kakawin ini. Karya itu merupakan karya terbaiknya jika dibandingkan Wrttasanca dan Udyakala serta sejumlah puisi pendek lainnya. Penggunaan bahasa dari beberapa kakawinnya tersebut mempunyai kesamaan. Nama Tanakung berasal dari tan dan akung, tan berarti 'tidak' dan akung (darivasi dari kata kuri ditambah awalan a) berarti Tepas dari cinta'. Jadi, tanakung berarti harus melepaskan diri dari segala ikatan cinta. Selain Tanakung, diuraikan juga dua penyair Jawa Kuno lain yaitu Tantular dan Nirarta. Tantular adalah pengarang Sutasoma dan Arjunawijaya yang hidup pada abad ke-14. Nirarta dipercaya dan hidup pada abad ke-16 yang mempunyai peranan penting dalam tradisi sastra Bali. Ia mengarang Nagarakartagama dan Prapanca.
Keempat dibicarakan tentang pernaskahan: penanggalan, penggunaan bahasa,aspek puitis, matra dan manggala, serta naskah dan teks.
Pembicaraan penanggalan, Teeuw dkk. mengacu pada pendapat Zoetmoelder. Mereka mengatakan bahwa teks ini berasal dari abad ke-15. Abad itu merujuk pada nama seorang raja yang tercatat dalam teks, yakni Raja Sri Adisuraprabhawa, seorang keturunan Girindra dengan Raja Sinhawikramawardhana dyah Suraprabhawa. Nama raja yang terakhir itu tercatat dalam inskripsi Pamintihan pada 14 Mei, 1473. Mereka juga melihat inskripsi Warinin Pitu (Suradakan) yang bertanggal 22 November 1447 oleh Wijayaparakramawardhana, Raja Majapahit. Ia menyimpulkan bahwa Shoaratrikalpa berada antara tahun 1466 — 1478. Penetapan tahun itu berbeda pendapat dengan Krom dan Poerbatjaraka. Poerbatjaraka berpendapat bahwa karya sastra itu dibuat pada masa Ken Angrok dan karya itu merupakan cara Tanakung untuk mengambil hati Ken Angrok. Oleh sebab itu, Lubdhaka yang jahat dapat diampuni dan masuk surga meskipun dosanya besar. Hal itu dapat disamakan dengan diri Ken Angrok .
Shvaratrikalpa ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada masa Hindu Jawa antara tahun 850 —1500. Sastra itu disebut juga dalam parwa dan kakawin serta inskripsi. Teeuw dkk. lebih khusus melihat penggunaan bahasa terutama pada idiom yang digunakan saat itu. Mereka mengatakan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno yang sangat artifisial yang memang hanya digunakan dalam penulisan karya sastra. Bahasa itu berdampingan dengan bahasa Jawa Tengahan yang hidup dalam bahasa percakapan dan dalam kidung.
Mereka juga membicarakan penggunaan stilistik dan kepelikan penggunaan bahasa dalam Shvaratrikalpa, yaitu bahasa yang digunakan ditandai dengan penggunaan bahasa kakawin. Shvaratrikalpa pada dasarnya mengikuti struktur cerita, tetapi tidak tipikal dengan kakawin karena ada beberapa hal yang menyimpang. Di antaranya, biasanya kakawin menampilkan pahlawannya dari golongan masyarakat tinggi (kerajaan). seperti raja, tetapi dalam karya ini ia menampilkan tokoh dari kasta rendah, seorang pemburu biasa yang pekerjaannya selalu membunuh binatang yang tinggalnya pun di pegunungan. Ia tidak memunculkan sifat heroik.
Shvaratrikalpa terdiri atas 39 pupuh dengan 20 macam matra, di antaranya Wasantatilaka dan Sragdhara masing-masing 2, Aswalalita 4, Sardulavvikridita 5, Jagadhita 7 pupuh, Sistem matra India berbeda dengan sistem matra Jawa, di antaranya dengan panjang dan pendeknya vokal yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, juga bahasa jawa.Suvaratrikalva berisi 3 unsor, vaitu (1) pembacaan doa dewata, (2) pemujaan pada raja, dan (3) kerendahan hati sang penyair.
Dalam bagian pernaskahan dikatakan bahwa naskah Siwaratrikalpa ada 8 buah. Tujuh naskah terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden dan satu naskah dari Perpustakaan Nasional, Jakarta Kedelapannaskah dideskripsikan, tetapi tidak lengkap. Ada beberapa naskah yang diinformasikan dituhs di atas ior.tar, seperti A,B, dan C, sedangkan yang lain, yakni D ditulis di atas kertas dan yang lainnya tidak disebutkan. Aksara yang dipakai juga tidak banyak disebutkan.
Dari naskah-naskah tersebutnaskah A,B,C, dan D sejajar, tapi B dan C mempunyai bacaan yang sama, tidak sarrra halnya dengan A dan D. Naskah G banvak vang korup (salah) sehingga tidak digunakan dalamedisi ini. Untuk keperluanedisi teks, mereka menggunakan edisi gabungan dari naskah A,B,C, dan D yang dianggap sejajar.
Selain iru, dalam bagian ini juga diinformasikan tentang beberapa caratan sehubungan dengan transliterasi, misalnya ejaan. Dari kedelapan naskah itu. editor membuat aparatus kritikus.
Dalam pembicaraan keagamaan mereka mengatakan melihat adanva sistem kepercayaanketika jiwa Lubdhaka mela) ang-layang dan akhirnya masuk ke surga. Dari situ dapat diketahui konsep tentang kediaman Siwa (surga) dan Cauldron (neraka). Yama adalah pemutus akhir siapa yang berhak masuk surga atau neraka. lalah yang membawa jiwa manusia setelah meninggal kemudian Citragupta membacakan buku atau semua catatan (kebaikan dan keburukan) selama kehidupan manusia. Munculnya surga dan neraka merupakan pembagian atas kebaikan dan keburukan. Selain itu, juga diperlihatkan konsep reinkarnasi yang sangat penting dalam pemikiran India.
Karya ini bertema tentang pemujaan pada Siwa. Kita mendapatkan gambaran tentang pentingnya cara pemujaan pada Siwa dalam periode akhir Ma;apahit. Yang menarik dalam ajaran ini, apakah setelal i meninggal jiwa meninggalkan jasadnya?
Dalam teks dicontohkan dalam diri Lubdhaka, yaitu tanda kehidupannya berakhir ketika jantung dan hati semakin melemah kerjanva dan akhirnya ke luar melalui tenggorokannya. Setelah meninggal, jiwanya melayang menuju udara. Hal itu terjadi karena ia sampai saat itu belum ke luar dari pembebasan dan tidak tahu jalan memasuki surga. Pembebasan itu belum diperolehnya karena ia belum mempunyai darma, yang berhubungan dengan hukum moral.
Keenam, diuraikan Siwaratrikalpa India.Teks ini penting untuk sejarah kebudayaan Indonesia. Masa kejadiannya adalah pada masa Majapahit. Pada saat itu mayoritas beragama Budha. Ajaran itu dalam Bali modern sudah berintegrasi dengan ajaran Siwa. Ajaran itu juga pernah hidup dengan baik pada abad ke-15 di Jawa. Kemunculan karya Tanakung mempunyai misi khusus, yaitu untuk menginformasikan masalah politik, kebudayaan, dan situasi keagamaan di Jawa. Hasil sastranya seolah-olah mengidentifikasikan bahwa pada masa Majapahit, yaitu periode Hindu-Jawa masih mempunyai hubungan dengan India. Melalui karya Tanakung juga upacara ritual Siwa masuk ke Jawa kemudian ke Bali (ke Indonesia). Upacara itu sangat terkenal di India. Pada pertengahan abad ke-15 perayaan itu mulai dari satu tempat di India yaitu Vijayanegara, pusat penyebaran ajaran Siwa. Tempat itu terletak di India Selatan. Dalam karya Tanakung tersebut digambarkan bahwa tempat itu dipimpin oleh Raja Divaraya II. Pada masa raja itu, hidup seorang penyair Srinatha. Penyair itu mahir dalamberbahasa Sansekerta dan dalam sastra Talugu. Ia juga seorang jenius.
Teeuw dkk mempunyai hipotesis bahwa pelajar Jawa mengunjungi India dan memunculkan inspirasi untuk menyesuaikan agama dan situasi kebudayaan India ke Jawa. Implikasi yang lain mengenai kronologis keagamaan yang dipengaruhi India ke Jawa dan Indonesia pada umumnya. Pada saat itu Islam juga maju di Jawa dan Tanakung menemukan inspirasi dari India. Ia kemungkinan mengunjungi Malaka ketika dalam perjalanan ke India. Akhirnya, agama-agama itu mempengaruhi Jawa pada abad ke-15.
Ketujuh, upacara pada Malam Siwaratrikalpa, upacara Malam Siwa dideskripsikan dalam beberapa bagian dari teks ini, di antaranya pada baris 2 dan 2a, yaitu dijelaskan bahwa pada masa mudanya Lubdhaka tidak memperhatikan hukum moral dan agama. Ia hanya suka berburu. Bait 3 pupuh 2 menyatakan pada malam tanggal 14 separuh petang bulan ketujuh, ia pergi berburu dengan menggunakan jaket berburu yang berwarna biru tua. Tanggal itu menunjukkan Malam Siwa. Pada bait 5, pupuh 5 pengarang menggambarkan bahwa Lubdhaka menjatuhkan daun maja tanpa berhenti ke tengah air (danau) yang kebetulan adalah lingga Siwa. Pada pupuh 5 bait 6 diceritakan bahwa ia tidak tidur sepanjang malam.
Semua peristiwa itu memperlihatkan ketidaksadaran Lubdhaka pada kesetiaannya pada Siwaratri. Hal itu memperlihatkan, seperti yang dikatakan Hooykaas, teks Bali mengacu pada peringatan upacara Siwaratri. Dalam upacara itu diajarkan bahwa tidak tidur semalaman dalam setahun dapat membawa kita ke surga Siwa dan mendatangkan kebahagiaan selama hidup.
Malam Siwa disebut juga sebagai bulan Magha, satu dari dua belas bulan dalam satu tahun dan bertepatan dengan Januan-Februari. Satu bulan 30 hari yang dalam kalender Jawa disebut kapitu. Siang harinya disebut Anusmarana suatu pemusatan pikiran dan konsentrasi spirit. Setelah itu. orang-orang harus pergi ke rumah salah seorang guru dan mengekpresikan rasa setianya. Kemudian berpuasa dan menyepi (silence) sdanjutma menviapkan diri mereka untuk mandi dan membersihkan seluiuh badan dan menggunakan sesuatu yaxig baru untuk pergi ke pertunjukan Siwanalarcana. penyembahan untuk mendukung Siwa. Dalam penyembahan itu digunakan panekar dan bunga. Saat itu yang dipentingkan membawa daun maja atau selasih. Dua unsurdasar yang juga harus ada adalah lampu dan kern enyan atau dupa. Sfakanan yang disajikan adalah bubur dua macam, yaitu bubur pehan (campuran susu dan bubur putih yang dicampur dengan gula Jawa. Dalam tradisi Jawa dikenal dengan bubur putih dan bubur merah. Selain itu, dibawa juga buah-buahan, daging, dan minuman. Agar orang tidak tertidur semalaman, dibawakanlah cerita lubdhaka dan sebuah kidung.
Bab dua membicarakanpenelitian India tentang kakawin dengan perbandingan antara Suraratrikalpa dengan Padmapurana. Kedua karya sastra tersebut banyak kesarnaan Keduanya merupakan karya didaktik. Perbedaan ada pada karakter keduanva. Padmapurana tidak mempunyai pretensi sastra dan tidak mementingkan keestetisan karena ia buku ajaran, sedangkan Siwaratrikalpa justru sangat mementingkan keestetisannya. Perbedaan terjadi pada tokoh. Dalam Padmapurana Lubdhaka meminta izin pulang dahulu menemui istrinya sebelum dimakan seekor macan Lubdhaka, sangpemburu, diceritakan sangat ganas. Iabukan hanya memburu dan membunuh binatang-binatang, tetapi juga para brahmana.
Bab uga berisi empatilustrasi Bali tentang cerita Lubdhaka. Ilustrasi (1) sebuah ider-ider Bali milik Royal Tropical Institute, ider-ider Bali itu adalah sebuah kain tenunan dari katun yang panjangnya 28 cm. Tahun 1933 benda ini dipinjamkan kepada Royal Tropical Institute. Teeuw dkk menggambarkan dengan rinci tiap adegan dalam gambar itu. Gambaran itu, di antaranya diberikan terhadap adegan 1 yang dibagi atas sisi kiri dan sisi kanan. Sisi kiri ada sebuah kolamyang di atasnya mengambang 8 lotus merah dan juga daun -daun yang berserakan serta beberapa di antaranya sedang jatuh beterbangan. Di tengah kolam itu ada sebuah konstruksi baru yang berwarna kuning menggambarkan Siwa dengan 4 tangan. Di sisi kanan seorang pria memakai celana pendek, baju biru lengan panjang duduk di cabang pohon yang menjatuhkan daun. (2) Ilustrasi tentang cerita Lubdhaka yang ada dalam 1 ukisan yang dibuat oleh Bagoes Gelgel. (3) Ilustrasi yang ada dalam sebuah lukisan Bali yang menjadi milik Royal Tropical Institute, Leiden. Ilustrasi terdiri atas 20 adegan. (4) Ilustrasi dari lukisan BalikoleksiTh. A. Resink. Lukisan ini dibuat pada tahun 1933 di Puri Gede Saren, Krambitan, Tabanan. Lukisan ini berukuran 90 cm x 70 cm. yang menarik keempat ilustrasi tersebut direproduksi dan dilampirkan pada bagian akhir buku.

Aneka edisi teks Nusantara ini, khususnya pada bagian edisi naskah jamak ber tujuan tintukmenunjukkanmetode dan pendekatan yang dipakai dalammenyunting naskah. Dengan metode dan pendekatan itu diharapkan isi teks dapat terungkap dan diketahui oleh masyarakatnya. Untuk itu, diambil berbagai naskah daerah yang pernah diteliti para pakar.
Sama halnya dengan edisi naskah tunggal di atas, edisi naskah jamak ini disajikan untuk melihat penerapan berbagai teori yang disampaikan pada beberapa bagian dari modul 1 — 5. Dengan aneka edisi teks ini diharapkan berbagai teori dapat lebih dipahami karena contoh-contoh edisi teks ini dapat mengkonkretkannya. Untuk itu, diambil enam penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai f ilolog dari dalam dan luar negeri. Keenam penelitian itu adalah Hikayat Banjar (Melayu),Babad Buleleng (Bali), Serat Cabolek (Jawa), Syair-syair Hamzah Fansuri (Melayu), Kakawin Gadjah Mada (Jawa dan Bali), dan Siwaratrikalpa (Bali).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar