Sabtu, 28 Oktober 2017

BAB IV
KODIKOLOGI

Pengertian Kodikologi, Tempat Penyimpanan, Alas, Umur, Penulisan dan Penyalinan Naskah, serta Iluminasi dan Ilustrasi.

1.                Pengertian Kodikologi
Sudah sama-sama kita ketahui bahwa kebudayaan nenek moyang kita masa lampau yang bernilai luhur terekam dalam berbagai cerita rakyat yang disebarluaskan dari mulut ke mulut. Kini cerita rakyat itu telah direkam dan dipublikasikan di berbagai media massa (buku, majalah, surat kabar) dan elektronik (kaset, radio, televisi, film). Selain cerita lisan, ada juga warisan budaya nenek moyang yang berupa naskah yang bentuk dan ragamny a bermacam-macam. Naskah-naskah itu tersebar di seluruh Indonesia dan ditulis dalam berbagai bahasa dan huruf daerah.
Isi naskah itu juga bermacam-macam: ada cerita pelipur lara, cerita tentang sejarah, cerita keagamaan (kepercayaan), cerita yang mengandung ajaran, pengetahuan tentang obat-obatan, mantra, dan lain-lain. Kandungan (segi batin) naskah yang bermacam-macam itu merupakan lahan garapan ilmu filologi. Sebaliknya, segi fisik naskah yang beraneka bentuk dan ragamnya itu merupakan lahan garapan ilmu pernaskahan atau kodikologi. Dalam upava penvusunan karya ilmiah mengenai hasil sastra lama, ilmu filologi dan kodikologi itu sangat diperlukan.


Apakah yang dimaksud dengan kodikologi itu?
Kodikologi berasal dari kata Latin codex (bentuk tunggal; bentuk jamaknya codices). Dalam bahasa Indonesia kata codex itu diterjemahkan dengan 'naskah'.
Dalam bahasa Latin, dahulu, kata codex atau caudex herarti' teras batang pohon'. Itulah sebabnya, kata codex bertalian dengan pemanf aatan kayu sebagai alas untuk menulis. Dalam perkembangannya kata codex kemudian dipakai sebagai padanan istilah naskah. Menurut Robson, dalam bukunya Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, kodikologi dapat diartikan sebagai 'pelajaran naskah'. Baried (1994: 56) dalam bukunya Pengantar Teori Filologi menyatakan sebagai berikut.
Kodikologiialah ilmu kodeks. Kodeks adalahbahan tulisan tangan atau menurut The New Oxford Dictionary (1928) berarti manuscript volume, esp of ancient texts 'gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks kuno'. Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.
Siapakah yang pertama kali menggunakan istilah kodikologi itu?
Jos M.M. Hermans dan Gerda C. Huisman dalam bukunya berjudul De Descriptione Codicum (1979/1980) menyatakanbahwa istilah codicologie mula-mula diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa Yunarti, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah itu dikenal di kalangan yang lebih luas melalui karyanya Les Manuscrits yang diterbitkan pada tahun 1949.
Alphonse Dain menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis dalam naskah. Dijelaskannya pula walaupun istilah kodikologi itu baru, ilmu kodikologi bukanlah ilmu baru.
Selanjutnya, Alphonse Dain menyatakan bahwa tugas dan lingkup kodikologi meliputi sejarah naskah, koleksi naskah, penelitian mengenai tempat penyimpanan naskah yang asli, penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Selain naskah, istilah lain yang sering digunakan ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscriptberasal dariungkapan Latincodicesmanu scripti yang berarti 'buku-buku yang ditulis dengan tangan'. Kata manu berasal dari manus yang berarti 'tangan' dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti 'menulis'.
Dalam bahasa Belanda digunakan istilah handscrift, dalam bahasa Jerman Handscrift, dan dalam bahasa Prancis manuscrit. Dalam berbagai katalogus, istilah manuscript atau manuscrit (keduanya bentuk tunggal) biasanya disingkat menjadi MS, sedangkan istilah manuscripts atau manuscrits (keduanya bentuk jamak) disingkat menjadi MSS. Istilah handscrift atau Handschrift disingkat menjadi HS dan istilah handschriften atau Handschriften (bentuk jamak) disingkat menjadi HSS.
Di dalam bahasa Malaysia istilah nasklmh lebih luas digunakan daripada istilah manuskrip. Demikian pula halnya dalam bahasa Indonesia; istilah naskah (dalam pengertian codex) lebih banyak dipakai daripada istilah manuskrip.Kata naskah tidak perlu disingkat karena sudah singkat. Berdasarkan uraian makna kata di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kodikologi ialah ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan.
Dewasa ini kata naskah sering juga digunakan dalam pengertian yang berbeda, sebagaimana terdapat dalam gabungan kata naskah pidato, naskah siaran radio, naskah perjanjian, naskah undang-undang, dan naskah kerja sama. Kata naskah dalam gabungan kata itu sama maknanya dengan kata teks sehingga gabungan kata itu dapat diganti menjadi teks pidato, teks siaran radio, teks perjanjian, teks undang-undang, dan teks kerja sama.
Dalam kodikologi—juga filologi—harus dibedakan penggunaan istilah naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks ialah isi atau kandungan naskah, apa yang tertulis, sedangkan naskah ialah wujud fisiknya.
Jika kita berbicara tentang pernaskahan, unsur-unsur apa saja yang dapat kita ketahui?
Banyak hal yang dapat kita bicarakan sehubungan dengan pernaskahan itu, antara lain tempat penyimpanan naskah, alas naskah dan cap kertas, umur (daya tahan naskah), penulisan dan penyalinan naskah, serta iluminasi dan ilustrasi, sebagaimana diuraikan berikut ini.

2.          Tempat Penyimpanan Naskah
Daerah-daerah mana saja yang memiliki dan menyimpan naskah Nusantara? Karena naskah merupakan warisan tertulis, secara sederhana, jawabnya adalah daerah-daerah atau kawasan yang memiliki huruf daerah. Selain kawasan yang mempunyai huruf daerah, ada juga daerah yang mewariskan budaya lewat aksara Arab. Daerah-daerah tersebut juga merupakan sumber naskah atau tempat penyimpan naskah.
Di kawasan Sumatra, naskah kita dapati di daerah Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau (termasuk Kepulauan Lingga dan Singkep), Siak, Palembang, Rejang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di kawasan Kalimantan naskah-naskah berasal dari daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di wilayah Jawa, naskah-naskah terdapat di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Brebes, Gresik, Madura, dan daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Bali naskah dapat ditemukan di seluruh wilayah karena sampai sekarang masih terus diproduksi. Di wilayah Sulawesi naskah dapat ditemukan di daerah Bugis, Makasar, Buton, dan Kendari. Di wilayah Nusa Tenggara Barat naskah terdapat di daerah Lombok, Sumbawa, Bima, dan Dompo. Di w ilayah Indonesia Bagian Timur naskah terdapat di daerah Ternate dan Maluku.
Di mana saja naskah-naskah Nusantara itu disimpan?
Pada masa sekarang ini tempat penyimpanan naskah— rang ditulis dalam berbagai huruf dan bahasa daerah — terlengkap adalah Perpustakaan Nasional, Jakarta. Kekayaan naskah di Perpustakaan Nasional berjumlah sekitar 10.000 yang tertulis dalam bahasa Aceh, Bah, Batak, Bugis, Makasar, Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Jawa Baru, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate. Sebagian besar naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu merupakan pindahan dari Museum Nasional (1989)
Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu mulai dihimpun kira-kira dua abad yang lalu oleh suatu lembaga yang bernama Bataviaasch Genootschup van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan pada tahun 1778. Pada tahun 1923 lembaga ini berubah naraa menjadi Koninklijk Bataviaasch Genoootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1968, badan tersebut diubah namahya menjadi Museum Pusat Kebudayaan Indonesia dan pada tahun 1975 menjadi Museum Nasional.
Selain Perpustakaan Nasional, banyak juga tempat penyimpanan naskah Nusantara yang lain, yang berupa museum, pesantren, yayasan, pemerintah daerah, masjid, perpustakaan universitas, dan istana.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, naskah Nusantara ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Meskipun naskah itu terdapat di tempat yang sama dan berasal dari daerah yang sama, bahasa yang digunakan di dalamnya bermacam-macam. Misalnya, naskah yang terdapat di daerah Aceh atau yang berasal dari Aceh ada yang berbahasa Aceh dan ada juga yang berbahasa Melayu. Di samping itu, mungkin juga ada tempat-tempat khusus yang menyimpan naskah berbahasa daerah yang bersangkutan saja.
Selain Perpustakaan Nasional, tempat-tempat lain yang menyimpan naskah Jawa, misalnya, ialah Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman Yogyakarta, Keraton Surakarta, museum-museum di Yogyakarta dan Surakarta, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, Griya Dewantara Yogyakarta, Proyek Javanologi Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Universitas Negeri Banyuwangi dan Sumenep. Selain itu, Gedong Kirtya di Singaraja juga menyimpan naskah-naskah Jawa Kuno dan Jawa Tengahan.
Dalam Katalog Naskah Aneka bahasa Koleksi Museum Nasional susunan Jumsari Jusuf et at (1984) dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipakai dalam naskah-naskah itu antara lain bahasa Aceh, Batak Toba, Batak Mandailing, Lubu (daerah Mandailing), Rejang, Lampung, Minangkabau, Madura, Jawa (Jawa Kuno, Jawa Tengahan), Bali, Sumbawa, Sasak, Rotti, Ende, Timor, Manggarai, Banjar, Pantu Dayak, Kenya-Dayak, Lapo-Tau, Apau-Kayan, Sangir (Sangihe), Taumbulu, Tonsea, Tontemboan, Bolaang-Mongondow, Alfuru, Ternate, Gorontalo, Mori, Baree, Bungku, Bugis, Makasar, Muna, Tolaki (daerah Sulawesi Tenggara), Ambon, Moa, Biak, Kamrau, dan Kapam.
Berdasarkan Katalog Koleksi Naskah Maluku (1980) susunan Jumsari Jusuf et al. bahasa-bahasa yang digunakan dalam naskah Maluku antara lain bahasa Kei, Serong/Alifuru, Luang, Serum, Tuhiti, Masarete, Bum, Sula, Lett, Wetar, dan Ternate.
Selain bahasa, huruf yang digunakan untuk menuliskan teks dalam naskah Nusantara itu juga bermacam-macam. Sebagaimana dinyatakan Voorhoeve, di daerah Ke rinci banyak dokumen yang ditulis dengan huruf rencong, yang digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Dinyatakannya juga bahwa huruf rencong yang dipakai di daerah Kerinci itu berbeda dengan huruf rencong yang digunakan di daerah Rejang, Melayu Tengah (yang disebut huruf Ka*Ga-Nga) dan Lampung. Teks-teks di daefah Rejang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Ka-Ga-Nga, Arab, dan Romawi. (Lihat macam-macam huruf yang digunakan di Nusantara pada Modul 3).
Huruf daerah lain yang dipakai dalarn penulisan naskah adalah huruf Sunda, Jawa, Bah, Sasak, Bima, Ende, Madura, Bugis, dan Makassar. Huruf Bugis dipakai juga untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan bahasa Bima pada masa lampau.
Menurut Ekadjati et al. (1988), naskah Sunda ada yang ditulis dengan huruf Sunda Kuna, huruf Jawa-Sunda, huruf Arab, dan huruf Latin. Paling banyak naskah Sunda yang ditulis dengan huruf Arab.
Sejak agama Islam tersebar di Nusantara—kira-kira akhir abad ke-13 —huruf Arab malai digunakan di Nusantara. Huruf Arab itu tidak hanya digunakan untuk menuiiskan teks berbahasa Arab, tetapi juga untuk menuliskan teks berbahasa daerah. Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan teks berbahasa Melayu disebut huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi. Naskah seperti itu berasal dari Aceh, Riau, Minangkabau, Jakarta, Pontianak, Sambas, Banjarmasin, Buton, Makasar, Bima, Dorrtpu, SumabaWa, Ternate, dan Ambon.

3.       Alas Naskah
Yang dimaksud dengan alas naskah—disebut juga bahan naskah — ialah sesuatu yang dipakai untuk menuliskan teks sehingga terbentuk suatu naskah. Albertine Gaur, sebagaimana dikutip Mulyadi (1994:44),, menyatakan bahwa pada masa lampau di seantero dunia tulisan-tulisan diabadikan dalam berbagai benda, seperti bambu (di Cina), daun palma (di India dan Asia Tenggara), batu bata yang terbuat dari tanah hat (claybricks di Mesopotamia, papirus (di Mesir), baja, linen, velum (vellum), sutera, perkamen {parchment di Iran), dan kertas (Eropa). Selain itu, ada juga bahan lain seperti batu, batu-batuan berharga, kulit kura-kura, tulang, gading, dan kain (baju).
Dalam kegiatan Workshop on Southeast Asian Manuscripts di Perpustakaan Uni­versitas Leiden pada bulan Desember1992 digelar pameran "dunia naskah". Dalam pameranitu terdapatnaskah-naskahyangalasnya bermacam-macam, seperti perak dan gading (naskah Bima), sutera (naskah Cina), kain (cloth, naskah India Barat dan Birma), ternbaga (naskah India Selatan), dan kulit binatang (naskah lbraru).
Menurut jumsari Jusuf 'yang dikutip Mulyadi (1994:44), naskah-naskah di Indo­nesia menggunakan alas atau bahan dari kertas daluwang (dhavang), daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan fotan. Pada waktu dahulu sebagian tulisan diabadikan pada tonggak batu, lempengan ternbaga atau emas (biasanya disebut prasasti). Karena bahan lontar, bambu, nipah, dan kulit kayu mudah rapuh, tulisan-tulisan yang terdapat dalam bahan itu kemudian disalin kembali pada kertas.
Selainbahan-bahan tersebut,naskah-naskah Jawa Barat ada y ang menggunakan alas janur, daun enau, dan daun pandan. Dluwang, deluwang, atau daluwang ialah jenis kertas yang dibuat dari kayu sebagai campuran. Dahulu dluwang banyak dibuat di pesantren Tegalsari, PonOrogo.
Selain dluwang, alas naskah lain yang banyak dipakai ialah daun lontar. Sampai sekarang daun lontar masih dipakai untuk menuliskan teks-teks di daerah Bali dan
Lombok. Daun. lontar juga. digunakan dalam naskah Kerinci. Pemilik naskah Kerinci menyebut daun lontar itu dengan istilah kelopak betiing.
Sampai abad ke-20 daun lontar masih dipakai untuk alas naskah Jawa Timur dan Madura. Di. Banyuwangi, Jawa Timur, kegiatan macaan yang berarti 'membaca lontar', dalam hal ini Lon tar Yusup, dinamakart Ion tar an. Lontaran biasanya dilakukan dalam kaitan dengan upacara nujuh bulan, kelahiran, khitanan, perkawinan, atau untuk memenuhi nazar. Biasanya lontaran itu dilakukan semalam suntuk. Kata lontar dalam Lontar Yusup tidaklah berarti alas naskah yang dipakai untuk menuliskan riwayat Nabi Yusuf, tetapi berarti 'naskah (manuscript)' atau 'karya sastra (literary work)' karena naskah tersebut ditulis pada kertas dengan huruf pegon). Dengan demikian, kata lon tar di daerah Banyuwangi sudah mengalami pergeseran makna.
Bahan lain yang dijadikan alas naskah adalah daun nipah. Naskah-naskah Sunda (Jawa Barat) menggunakan daun nipah sebagai alasnya.
Kulit kayu terutama dipakai sebagai alas naskah Batak.Naskah Batak yang lebih dikenal dengan istilah pustaha ialah naskah (semacam buku) dari kulit kayu yang dilipat-lipat seperti akordeon. Isinya antara lain berupa doa, petunjuk membuat obat, dan cara menolak bala.
Kulitkayu yang dimanfaatkan sebagai alas naskah tidak hanya terdapat dalam naskah Batak, tetapi juga dalam naskah berhuruf rencong. Bahkan, ada juga surat untuk pejabat Belanda di Singkel yang ditulis pada kulit kayu. Di samping itu, kulit kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah pembuat kertas.
Selain kulit kayu, bambu juga telah dimanfaatkan para penulis/penyalin teks sebagai alas naskah. Bentuknya bermacam-macam: ada yang berbentuk bulatan— sekitar 1 sampai 5 r,uas, ada yang setengah bulatan, dan ada yang pipih.
Rotan ternyata telah dipakai juga sebagai alas naskah. Rotan yang dijadikan sebagai alas naskah itu biasanya berbentuk bulat dan panjang.
Selain daun lontar, alas naskah Kerinci juga ada yang menggunakan bahan lain, seperti tanduk (kerbau), bambu, kulit kayu, telapak gajah, daluwang, dan kertas. Pemakaian telapak gajah sebagai alas naskah hanya dijumpai pada naskah Kerinci. Bentuk dokumen (naskah) itu segi empat.
Ada juga yang menyatakan bahwa batok kelapa dan batang tebu pernah dipakai sebagai alas naskah. Selain itu, untuk menuliskan teks Sunda, digunakan pula alas naskah lain, yaitu daun kelapa muda (janur), daun enau, dan daun pandan, di samping daun lontar, nipah, daluwang, dan kertas.
Seba gaimana kita ketahui, naskah-naskah Nusantara yang sampai kepada kita, umumnya ditulis di atas kertas, yang jenis dan warnanya berbeda-beda. Ada kertas yang berwarna putih polos, biru muda, dan ada yang bergaris (horisontal atau garis kombinasi, horisontal dan vertikal). Ukurannya juga bermacam-macam, ada yang berukuran oktavo, kuarto, ataupun folio.

Sejak kapan kertas dikenal umat manusia?
Berdasarkan catatan Albertine Gaur dalam bukunya berjudul Writing Materials of the Last (1979:4), hampir semua penemuan yang berhubungan dengan tulis-menu]is, seperti percetakan, pembuatan kertas, nelum, perkamen, tinta, pena, seni penjilidan buku, dan berbagai aspek mengenai ilustrasi buku berasal dari Asia dan Afrika. Kertas merupakan ciptaan orang Cina yang bernama Thsai Lun, seorang menteri pada zaman Pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han pada tahun 105. Pada masa itu kertas menggantikan sutera sebagai alas tulis.
Dijelaskanya bahwa selama 600 tahun pertama, setelah penemuannya, kertas hanya dikenal di Cina. Cara pembuatanny a sangat dirahasiakan dan industri kertas dianggap sebagai monopoli pemerintah. Dikemukakanny a juga bahwa pada tahun 751 Samarkandia yang diperintah seorang gubernur musiim diserang pasukan Cina. Sebanyak 20.000 orang tentara Cina tertawan. Beberapa orang di antaranya adalah ahli pembuat kertas. Entah karena paksaan atau karena kerelaan akhirnya rahasia mengenai keahlian mereka dalam pembuatan kertas itu dapat terbongkar dan dimanfaatkan masyarakat Samarkand ia. Selama 100 tahun kertas Samarkandia menjadi bahan ekspor penting sebagai kertas Cina.
Lambat laun pengetahuan dan teknik pembuatan kertas menyebar sampai ke Timur Tengah sehingga muncullah pabrik-pabrik kertas di Bagdad, Damsik, dan Kairo. Pada abad ke-12 pembuatan kertas sudah sampai ke Spanyol danSisilia. Pada abad ke-13 kertas sampai ke India.
IV lenurut H. Voorn dalam bukunya De Pamermolens in de Provincie Noord-Holland (1960 ;3), batu, tanah liat, kayu, dan daun-daunan pernah dimanfaatkan sebagai alat tulis sebelum adanya kertas. Di Cina sutera dan bambu pernah dipakai sebagai alat kores pondettsi dan administrasi sebelum adanya kertas. Pada tahun 610 Korea dan Jepang mulai membuat kertas.
Dijelaskannya pula bahwa tidak lama sesudah terjadi peperangan pada tahun 751 antara pasukan Cina dan pasukan Arab di Turkestan dan sesudah para pembuat kertas yang menjadi tawanan perang dipekerjakan, pembuatan kertas mulai berkembang di negeri-negeri Arab, terutama di Bagdad, Damaskus, dan tripolis. Sekitar tahun 1100 didirikan pabrik kertas di Fez. Pada awal abad ke-12 pembuatan kertas telah berkembang di Spanyol. Agaknya, dari Spanyol kertas meluas sampai ke Itali dan pada tahun 1296 telah dibangun pabrik kertas pertama di Itali, yaitu pabrik kertas Fahriano. Pada tahun 1338 dibangun pula pabrik kertas di Troyes dan Pranci; 5, pada tahun 1398 di Nurenbefg, jerman, dan pada tahun 1428 di Gennep, Belanda.
Bagaimana kertas masuk ke Indonesia dan mulai kapan kertas digunakan untuk menulis naskah di Indonesia?
Penerintah Flindia Belanda dan dunia perdagangan, terutama, mempergunakan kertas dari negeri Belanda untuk keperluan administrasi dan surat-menyurat. Impor kertas dari negara-negara lain tidak banyak. Sri VVulan Rujiati Mulyadi (1994:61) menyatakan bahwa berdasarkan penektiannya terhadap naskah-naskah Nusantara, jenis kertas yang dimanfaatkan dalam alas naskah Nusantara adalah kertas buatan. Inggris, Italia, Jerman, dan Singapura.
Sebelum zaman VOC, ada bermacam-macam kertas yang dipakai di Indonesia, yaitu kertas buatan Italia, Francis, Spanyol, dan Portugis. Pada zaman VOC ada tiga arus lalu lintas kertas ke Indonesia, yaitu dari Belanda, dari Inggris, terutama ke Malaysia, dan dari Itali sebelah timur laut, termasuk Kerajaan Austria. Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus mengenai impor kertas sehingga sangat menopang kelanjutan hidup pabrik-pabrik kertas di negeri Belanda. Pada tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan lembaga-lembaga pemerintahan memakai kertas Pro-Patria buatan Belanda. Pada tahun 1874 peraturan mengenai impor kertas ditarik kembali.
Pemerintah Hindia Belanda juga memakai kertas khusus untuk keperluan surat-menyurat yang ditujukan kepada orang-orang penting di Indonesia dan di "timur jauh". Sebagai contoh, sesudah Bantam dikalahkan, yaitu pada tanggal 6 Maret: 1682 Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia Belanda mengirimkan surat kepada Sultan Sepuh dan Sultan Kanoman yang ditulis di atas kertas "Zurat" berper ada emas. Kertas "Zurat" itu berasal dari Surate, sebuah kota di daerah pantai India. Pada tahun 1663 para penguasa VOC (Verenigne Oost-Indische Compagnie) berencana untuk membuat pabrik kertas di Batavia (sekarang Jakarta) dan pabrik tersebut telah siap pada tahun 1665. Selain mendirikan pabrik kertas, VOC juga mendirikan percetakan. Kedua usaha itu kurang berhasil. Pada akhir tahun 1682 penguasa VOC memutuskan untuk menghentikan kegiatannya karena kedua bidang usaha itu selalu rugi.

4.       Deluwang Saeh
Di muka telah dinyatakan bahwa selain kertas Eropa, alas naskah Nusantara juga menggunakan deluwang, yaitu sejenis kertas yang dibuat secara tradisional dari kulit kayu. Sampai saat ini deluwang masih diproduksi, antara lain di daerah Garut (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), dan Ponorogo (Jawa Timur). Berikut ini akan diuraikan cara pembuatan kertas saeh yang diangkat dari hasil penelitian Titik Pudjiastuti (1994).
Kertas saeh adalah istilah yang digunakan oleh penduduk Desa Cinunuk, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk menyebut kertas yang dibuat dari pohon saeh (Broussonetia papyrifera). Saeh disebut juga glugu (Jawa), dhalubang (Madura), kembala (Sumbawa), dan malak (Seram). Saeh berbatang kecil, kira-kira sebesar lengan. Pohonnya setinggi 3 — 5 m. Daunnya lebar berbentuk tiga jari dengan tangkai daun agak panjang sehingga jarak helai daun dan ranting agak jauh. Permukaan daun agak tebal dan berbulu. Saeh tidak berbunga dan tidak berbuah. Pohon saeh berkembang biak dengan tunas yang ke luar dari akarnya yang tumbuh jauh dari induknya. Pohon saeh banyak tumbuh di daerah Leles, Lebakjero, Ngamplang, Majalaya, dan Cicalengka. Penduduk kampung Tunggilis mengambil pohon saeh dari daerah Parentas, di lereng Gunung Galunggung. Selain di daerah Jawa, pohon saeh juga tumbuh subur di Sumatra dan Sulawesi.


Produksi kertas saeh yang berlokasi di sekitar Desa Cinunuk semula dikelola oleh keluarga Bisri, yang mendapat keahlian membuat kertas saeh dari nenek moyangnya. Setelah ia meninggal pada tahun 1965, usahanya dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Ny. Uki. Sekarang usaha tersebut dikelola oleh anak-anak dan sanak familinya sebagai industri rumah tangga yang diwarisi secara turun-temurun Hampir semua penduduk di kampung itu mempunyai usaha kertas saeh.

Proses Pembuatan Deluwang Saeh

Kertas saeh dibuat dari kulit bagian dalam pohon saeh. Kertas saeh yang paling baik murunva berasal dari pohon yang berusia 3 — 6 bulan. Makin muda pohon itu makin hahis seratnya dan hasil yang diperolehnya makin baik. Jika pohon itu telah berumur 6 bulan atau lebih, kuiitnya keras sehingga serat-seratnya mudah putus.
Pohon saeh yang masih muda (berumur 3 — 6 bulan) ditebang. Kuiitnya dilepas dari kayunya. Kulit bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit bagian dalam yang berwama putih. Kulityangberwarna putih itu kemudian dipotong-potong sepanjang 30-40 cm.
Potongan kulit kayu itu lalu direndam dalam air sekitar 12 jam agar menjadi lembut dan mudah dipukul-pukul. Makin lama direndam kulit kayu itu makin lembut dan hasilnya makin baik. Jika perendaman kulit kayu itu lebih dari 12 jam (semalam), air rendamannya harus diganti.
Setelah direndam, kulit saeh itu dipukul-pukul selembar demi selembar dengan sebuah alat pemukul (bahasa Sunda pangeprek) di a tas balok kayu kira-kira berukuran 40 x 150cm. Bentuk alat pemukul itu seperti palu, tetapi kepalanya berbentuk empat persegi panjang berukuran 12 cm x 4 cm dan tingginya 3 cm. Alat tersebut terbuat dari perunggu dan pegangannya dari kayu atau bambu yang panjangnya sekitar 20 cm. Alas pemukubvya berupa balok kayu yang terbuat dari kayu nangka. Kayu nangka adalah jenis kayu yang hat dan kuat sehingga sangat baik dipakai sebagai alas pangeprek kulit saeh itu.
Setelah dikeprek, satu potong kulit dalam yang lebarnya 10 cm akan menjadi sekitar 30 cm. Untuk menghasilkan 1 iembar kertas, dibutuhkan 2 atau 3 lembar kulit dalam yang ditumpuk, yang selanjutnya dikeprek sekaligus. Cara pengeprekarmya adalah sebagai berikut.
Mula-mula satu helai potongan kulit dalam dikeprek. Setelah melebar, kulit itu dilipat menjadi dua, lalu dikeprek lagi. Sesudah melebar, lipatan dibuka dan disisihkan. Hal yang sama dilakukan juga pada lembar kedua dan ketiga. Ketiga lembar kulit yang sudah melebar itu ditumpuk, kemudian dikeprek lagi. Setelah menyatu, bahan tersebut dilipat dua, kemudian dilipat lagi sehingga menjadi empat lipatan. Setelah dirasa cukup rata dan menyatu, lipatan itu dibuka.
Sesudah dikeprek, bahan itu dicelupkan ke dalam air, lalu diperas. Setelah diperas, bahan itu dibungkus daun pisang, kemudian diperam dalam sebuah keranjang bambu selama sekurang-kurangnya 3 hari. Pemeraman itu bertujuan agar getah kulit kayu itu ke luar dan merekatkan serat-seratnya. Makin lama pemeraman dilakukan makin baik kualitas kertas yang dihasilkan.
Sesudah d iperam, bahan tersebut dfjemur di bawah sinar matahari dan diletakkan di atas batang pisang. Sambil dijemur, bahan tersebut digosok-gosok dengan daun ki kandel (benalu pohon cangkring) sehingga permukaannya menjadi halus dan mengkilat. Penjemuran itu dapat berlangsung beberapa hari, bergantung pada cuaca, sampai bahan tersebut kering dan terlepas dari batang pisang.
Setelah kering, bahan tersebut digosok lagi dengan menggunakan kuwuk atau marmer. Bahan tersebut telah menjadi kertas yang siap pakai (ditulisi). Jika lembaran kertas itu kurang lebar, dua lembar kertas dapat disambung dengan lem "ka" (sejenis lem berwarna cokelat). Sambungan kertas itu kemudian digosok dengan kuwuk atau marmer supaya hasilnya rata dan halus.
Sekarang kertas saeh tidak banyak diproduksi. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kertas saeh tidak diproduksi lagi. Kertas saeh masih dibuat sesuai dengan pesanan.
Menurut keluarga Bisri —yang masih menggeluti industri kertas saehnya — harga kertas saeh per lembar sekitar Rpl.000,00 (tahun 1994). Kertas tersebut tidak lagi digunakan sebagai alas tulis seperti dahulu, tetapi kini dipakai sebagai pelapis bagian dalam sampul (cover) buku.

5.Cap Kertas (Watermark)

Jika Anda melihat uang kertas dengan cara menghadap pada cahaya matahari atau lampu, tampaklah gambar membayang dalam uang kertas itu. Gambar yang membayang itu dikenal dengan istilah cap kertas (ivatermark). Cap kertas juga terdapat dalam perangko atau kertas (tulis).
Selain cap kertas, istilah ivatermark juga ada yang menerjerhahkannya dengan 'cap air'. Namun, Mulyadi (1994:63) memandang bahwa istilah cap kertas lebih tepat daripada istilah cap air.
Kalau kita perhatikan kertas itu di tempat yang terang, akan tampaklah dalam kertas itu garis-garis tipis (laid line) dengan posisi mendatar (horisontal) dan garis-garis tebal (chain line) dengan posisi tegak (vertikal). Garis-garis tipis itu berjumlah 8 — 12 per cm, sedangkan jarak antara garis vertikal sekitar 2,5 cm. Dalam Workshop on Malay Manuscrpits di London tahun 1980 istilah chain line disepakati untuk diterjemahkan dengan 'garis acuan tebal' dan laid line dengan 'garis acuan halus'. Perlu diketahui bahwa garis tebal dan garis tipis itu hanya terdapat pada naskah yang diproduksi sebelum tahun 1810. Kertas yang diproduksi sesudah tahun 1810 tidak menggunakan garis tebal atau garis tipis itu.

Kapankah cap kertas mulai digunakan?                                                                              '
Berdasarkan penelitian Edward Heawood, cap kertas yang tertua terdapat pada kertas bUatan Fabriano, Italia, yang diproduksi pada tahun 1282. Tujuan utama pencantuman cap kertas itu adalah sebagai simbol dagang (trade-mark) untuk menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertas. Sekitar tahun 1600—1750 muncul pula cap kertas tandingan (counter-mark), yaitu cap kertas yang menemani cap kertas.
Dalam suatu naskah mungkin saja kita menemukan beberapa macam cap kertas dan cap kertas tandingan. Ketika mendeskripsi naskah, kita tidak perlu terlalu memikirkan cap kertas yang utama dan cap kertas tandingan. Selain itu, jika naskah yang kita garap berukuran kecil, mungkin saja cap kertas itu hanya tampak sebagian saja sehingga sulit mengidentifikasinya.
Sejak tahun 1742 kertas buatan Prancis dibubuhi tahun dalam cap kertasnya, sesuai dengan peraturan pemerintah Prancis tahun 1741. Namun, lambang 1742 ternyata masih dicantumkan pada kertas produksi tahun-tahun berikutnya. Ed­ward Heawood selanjutnya menyimpulkan bahwa tampaknya penggantian tahun pada cap kertas tidak dilakukan dengan tepat.
Setelah kertas Inggris terkenal, sejak tahun 1794 Inggris selalu mencantumkan tahun pembuatan kertasnya yang dibubuhkan di bawah nama pembuat kertas atau dalam bentuk yang lebih kecil di sudut kertas sebagai cap kertas tersendiri. Salah seorang pembuat kertas ternama pada akhir abad ke-18 ialah James Whatman.

Berapa lama suatu cap kertas dipergunakan?
Briquet (dalam Heawood, 1950:32) menyatakan bahwa suatu cap kertas paling lama digunakan 30 tahun. Bahkan, ada cap kertas yang hanya digunakan selama 2 — 3 tahun.
Walaupun tahun pembuatan kertas dan tahun penulisan naskah Jelas-jelas tercantum dalam kolofon, Russel Jones mengingatkan kita supaya berhati-hati dalam menentukan umur naskah. Sebagai contoh, dikemukakan adanya "keganjilan" suatu naskah. Salah satu naskah yang terdapat di Perpustakaan Universitas Malay­sia, yang bernomor Ms 111, bertanggal 1200 H. (atau sekitar tahun 1785 — 1786 M). Akan tetapi, alas naskahnya bercap kertas tahun 1795.
Contoh lainnya adalah naskah koleksi SO AS (School of Oriental and African Studies), London. Naskah yang bernomor 16561 mencantumkan kolofon bulan Mei 1873, tetapi cap kertas yang tercantum pada alas rtaskahnyabertahun 1877. Dengan adanya fakta yang demikian, mungkin saja penulis naskah tersebut menyalin apa adanya yang tersurat pada naskah sumber. Jika memang begitu, besar kemungkinan Mei 1873 adalah tanggal yang terdapat pada naskah sumber yang disalinnya.

Kodikologi adalah ilmu yang mempelajari segi fisik naskah, seperti alas naskah, tempat penyimpanan naskah, penulisan/ penyalinannaskah, umur naskah, serta ilustrasi dan Uurninasi pada naskah. Karena naskah merupakan warisan budaya tertulis, penulisan/penyalinan/penyimpanannya tentu dilakukan di daerah-daerah berbudaya yang mengenai huruf dan di tempat-tempat elit, seperti diistana, museum, pesantren, atau di rumah orang-orang intelek (pujangga).
Alas naskah yang digunakan bermacam-macam pada setiap tempat. Hal itu tergantung pada bahan yang terdapat di tempat mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar